Gestalt Problem adalah satu
konsep yang diajukan Lacan ketika berusaha menjelaskan satu problem
identifikasi ego/diri yang dialami bayi (infant) saat berusia sekitar 18
bulan-an. Bagi Lacan, di usia inilah bayi meninggalkan fase pre-oedipal dan
mulai memasuki fase cermin atau fase dimana bayi untuk pertama kalinya memasuki
dan kemudian “berhasil” mengenali dirinya (I) dalam dunia simbolik/dunia
bahasa. Ringkasnya, inilah fase pertama saat bayi mengenali ego/dirinya, dan
persis di di dalam peristiwa inilah problem gestalt itu muncul.
Gambar di samping ialah gambar
mengenai “Bayi yang riang karena mengalami sensasi kebertubuhannya yang utuh
yang tampil di dalam cermin”, yang lalu di-“iya”-kan atau status keutuhan itu
dikonfirmasi oleh sosok Ibunya, yakni sosok selain dirinya, sosok yang-Lain
Besar (the Big Other). Lebih lanjut, dalam keperluannya, gambar sejenis
sekaligus digunakan Lacan sebagai metafora untuk membantu mempermudah
penjelasan terkait kondisi-kondisi yang dialami bayi pada fase pertama
identifikasi diri/egonya.
Pada fase krusial ini terjadi dua
hal: (1) untuk pertama kalinya bayi mengalami sensasi keterpesonaan atas
kebertubuhannya yang utuh/ego (gestalt); (2) namun ego yang ditemukan disini
adalah ego yang “telah tercemar suplay” yang-Lain, dalam hal ini karena
konfirmasi atau peneguhan tentang diri dari the Other atau sang Ibu yang
mengatakan: “Ya Nak, itulah dirimu”.
Disini, ego/diri pertama kali
ditemukan Bayi adalah ego yang justru dijumpai dalam keterasingan atau ego yang
bersifat fantasmatis.[1] Kenapa fantasmatis? Dua alasan: karena ego/diri yang
pertama kali ditemukan ini sebetulnya ialah: (1) ego/diri yang merupakan
pantulan citra cermin; dan (2) ego/diri yang telah mendapatkan konfirmasi atau
ego yang telah “tercemar suplay” dari the Other. Persis inilah yang dimaksud
Lacan sebagai problem gestalt atau persoalan yang muncul sebagai akibat dari
sensasi keterpesonaan pada keutuhan diri.
Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud
Lacan dengan “missrecognition”? Konsep ini pada dasarnya merupakan efisiensi
simbolik guna merujuk dua momen miss-identifikasi atas ego/diri anak di atas.
Dengan kalimat lain, dua sensasi/persepsi atas keutuhan diri yang secara
beruntun diterima sang Anak itulah yang kemudian secara dramatis diterima si
anak sebagai ego/diri-nya. Disini, sekedar untuk menyimpulkan: ego/diri
ditemukan subyek justru dalam keterasingan dan bukan dalam terang kesadaran!
Sebagai implikasinya, bagi Lacan, tak ada itu namanya diri/ego (I) yang murni
atau otentik, karena dalam diri kita ada yang lebih dari diri kita, yakni the
Other, yang masuk melalui bahasa atau instansi the Symbolic, pada fase cermin.
“The fact is that the total form
of the body by which the subject anticipates in a mirage the maturation of his
power is given to him only as Gestalt, that is to say, in an exteriority in
which this form is certainly more constituent than constituted, but in which it
appears to him above all in a contrasting size (un relief de stature) that
fixes it and in a symmetry that inverts it, in contrast with the turbulent
movements that the subject feels are animating him. Thus, this Gestalt – whose
pregnancy should be regarded as bound up with the species, though its motor
style remains scarcely recognizable – by these two aspects of its appearance,
symbolizes the mental permanence of the I, at the same time as it prefigures
its alienating destination; it is still pregnant with the correspondences that
unite the I with the statue in which man projects himself, with the phantoms
that dominate him, or with the automaton in which, in an ambiguous relation,
the world of his own making tends to find completion.”[2]
Dalam keperluannya, kerangka
logika missrecognition/salah pengenalan terhadap diri yang dialami subyek di
atas seluruhnya akan digunakan untuk menelisik status ego warga terhadap
tatanan simbolik NKRI, dan di tahap lebih lanjut akan digunakan sebagai kerangka
logika untuk melumerkan rigiditas interpretasi atas NKRI yang ada dewasa ini.
Melalui kerangka logika model
identifikasi ego Lacanian di atas maka di titik ini menjadi mungkin bagi kita
untuk menyatakan bahwa ego tentang NKRI yang pertama kali dikenali warga pada
dasarnya tidak ditemukan di dalam terang kesadaran melainkan ditemukan justru
dalam kondisi keterasingan.
Hal itu, sebagaimana juga
dijelaskan di atas, muncul sebagai efek keterpesonaan pada figur NKRI yang utuh
(gestalt problem) yang di taraf terkemudian sensasi akan keutuhan itu
dikonfirmasi oleh yang-Lain Besar/the Big Other –terutama rezim, yang dalam hal
ini mengatakan: "NKRI Harga Mati!". Dengan demikian, maka genealogi
kekeliruan identifikasi diri atau ego warga yang secara keliru menganggap bahwa
NKRI telah bersifat final, firm, tetap dan tidak pernah berubah --
missrecognition -- sebenarnya bersumber dari: (1) pandangan yang keliru atas
ego/diri yang sebenarnya merupakan pantulan citra cermin/pantulan citra
realitas sosial spesifik; serta (2) ego/diri yang pada dasarnya telah
mendapatkan konfirmasi atau ego yang telah “tercemar suplay” dari the
Other/rezim yang mengkonfirmasi status NKRI tersebut. Disini, secara ringkas
bisa kita nyatakan bahwa sebenarnya tidak pernah ada ego warga mengenai NKRI
yang benar-benar otentik dan murni. Tegasnya, sebagaimana Lacan, tidak pernah
ada ego warga mengenai NKRI yang tidak bersifat fantasmatis. Dalam arti ego
NKRI yang ada saat ini pada dasarnya adalah fantasi yang rezim kehendaki untuk
warga negara ingini. Lebih lanjut, maka tidak pernah ada tatanan simbolik
mengenai NKRI yang benar-benar final, murni, dan tak berubah di dalam gerak
laju waktu dan perubahan sejarah Indonesia.
Secara faktual, fase pengenalan
warga terhadap ego NKRI sebagai kategori konseptual, politik, dan kategori
identitas kebangsaan/kewargaan, atau dengan kalimat lain fase pertama
identifikasi warga terhadap tatanan simbolik NKRI secara samar-samar terjadi
jauh sebelum periode pra kemerdekaan, yakni sekitar 1912,[3] lalu makin menguat
terutama menjelang periode proklamasi kemerdekaan, yakni terjadi sekitar tahun
1940-1945.
Intensifikasi atau makin
gencarnya sosialisasi atas tatanan simbolik NKRI misalnya bisa kita temukan
dalam satu kalimat utuh: “NKRI Harga Mati”, terjadi pasca proklamasi
kemerdekaan 1945. Dalam keperluannya, tatanan simbolik ini dimaksudkan lebih
sebagai jargon politik atau kerangka haluan simbolik bagi satu gerak politik
demi mempertahankan kesatuan/keutuhan teritorial NKRI dari “rongrongan” gerakan
separatisme, baik dari dalam maupun luar. Ringkasnya, simbolik “NKRI Harga
Mati” pada dasarnya ialah perkakas simbolik yang secara sengaja dirumuskan
sebagai instrumen politik demi mereduksi eskalasi tuntutan separatisme dan atau
ancaman kembalinya kekuasaan penjajah Belanda. Masa edar tatanan simbolik “NKRI
Harga Mati” sebagai jargon politik sendiri terjadi terutama terjadi pasca
proklamasi kemerdekaan, yaitu antara tahun 1945-1965 semasa pemerintahan
Soekarno.
Periode pasca 1966 hingga tahun
1998 pada dasarnya merupakan masa dimana tatanan simbolik NKRI dikristalisasi,
direifikasi, dihomogenisasi, dan pada akhirnya sepenuhnya diekonomisasi
Soeharto dalam keperluan sebagai basis legitimasi ideologis bagi bekerjanya
satu kerangka politik pembangunan di sepanjang masa pemerintahannya. Atas nama
“Trilogi Pembangunan”[4] tatanan simbolik NKRI dimistifikasi, sedang pendekatan
kesejahteraan lain (baca: selain developmentalism) dianggap sebagai subversi
atau didefinisikan rezim sebagai ancaman terhadap keutuhan Negara
Kesatuan—NKRI.
Lantas bagaimana ego NKRI
dirumuskan pasca Gerakan Reformasi tahun 1998? Tak syak lagi, pada periode ini
tatanan simbolik NKRI sama sekali belum pernah ‘disentuh’. Ringkasnya, disini
tatanan simbolik NKRI pada dasarnya tengah berada dalam posisi menunggu untuk
direformulasi/direkonseptualisasi. Sedang apa yang diajukan dalam skripsi ini
pada dasarnya adalah sebentuk upaya rekonseptualisasi NKRI ke dalam NkRI, yakni
satu formasi penalaran mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
instrumen pemersatu utamanya adalah “kesejahteraan”; Negara kesejahteraan
Republik Indonesia (NkRI).
Oleh
U. Abdul Rozak / Iwa Inzagi
Note:
Tulisan ini ialah petikan
Kerangka Teoritis dalam Skripsi: Mencari Prasyarat Teoritis-Insitusional
Realisasi Negara Kesejahteraan Republik Indonesia. Universitas Negeri Jakarta
2011.
Bahan Bacaan
[1] Fantasi (fantasy) dalam Lacan
diartikan sebagai: apa yang the Other kehendaki untuk kita ingini.
[2] Jacques Lacan, Ecrits: A
Selection, translated by Alan Sheridan, (London: Routledge Classics 2001), hal:
2 cat: cetak tebal ditambahkan.
[3]Pada tahun 1908 organisasi
pemuda bernama Boedi Oetomo didirikan didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa
STOVIA, antara lain Goenawan M angoenkoesoemo dan Soeraji. Peristiwa ini kelak
dikenal dan ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional. Jatuh persis pada
tanggal 20 Mei 1908. Masa ini kemudian disepakati sebagai masa bangkitnya rasa
dan semangat Persatuan, Kesatuan, Nasionalisme serta momen awal tumbuhnya
kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sepanjang
1900-1945 ditandai dengan dua peristiwa penting, yaitu berdirinya Boedi Oetomo
(20 Mei 1908) dan ikrar Soempah Poemuda (28 Oktober 1928). Genealogi peristiwa
ini adalah efek politik etis yang diperjuangkan sejak masa Multatuli.
[4] Stabilitas politik,
Pertumbuhan ekonomi tinggi, Pemerataan pertumbuhan ekonomi. Khusus yang
terakhir ditempuh terutama dengan bertumpu pada strategi efek tetesan kebawah
(tricle down effect).