Sketsa Negara Kesejahteraan Jerman

Pengantar 
Negara kesejahteraan lebih mudah dikenali di dalam tujuan-tujuan terpentingnya yang secara sederhana bisa diuraikan sebagai berikut: Pertama, negara kesejahteraan pada dasarnya selalu merupakan sebentuk tindakan eksperimentasi politik yang dilancarkan berbagai kekuatan sosial politik di level domestik (dan juga dipengaruhi faktor eksogen) yang secara sengaja diproyeksikan untuk mengail sebesar-besarnya dukungan pemilih. Kedua, negara kesejahteraan sejatinya merupakan semacam penulisan kontrak sosial baru yang bersifat mempertegas komitmen demi menjembatani kesenjangan sosial yang muncul seiring naik pasangnya industrialisasi. Ketiga, dengan sendirinya di dalam format negara kesejahteraan inheren terselip suatu model intervensi politik yang lebih banyak mengambil bentuk kedalam berbagai rumusan kebijakan sosial yang pertama-tama ditujukan demi meredam gejolak sosial yang mengiringi industrialisasi, dan pada akhirnya digunakan untuk berbagai kepentingan (integrasi bangsa, mobilisasi dukungan politik dan perluasan kesejahteraan itu sendiri). Dalam tarik menarik berbagai tujuan dan kepentingan inilah negara kesejahteraan sebagaimana halnya Jerman lahir. 

“The ideas for modern social insurance and welfare policies came from domestic experimentation and transnational communication, and they were put into effect by sets of political executives, civil administrators, and political party leaders who were looking for innovative ways to use existing or readily extendable government administrative capacities to deal with (initially key segments of) the emerging industrial working class. Pioneering social insurance innovations, especially, were not simply responses to the socioeconomic dislocation of industrialism; nor were they straightforward concessions to demands by trade unions or working-class-based parties. Rather they are best understood...as sophisticated efforts at anticipatory political incorporation of the industrial working class, coming earlier (on the average) in paternalist, monarchical-bureaucratic regimes that hoped to head off working-class radicalism, and coming slightly later (on the average) in gradually democratizing liberal parliamentary regimes, whose competing political parties hoped to mobilize new working-class voters into their existing political organizations and coalitions”[1]

Sejarah Negara Kesehateraan German 

Membaca kesejarahan negara kesejahteraan akan selalu mengantarkan kita pada satu simpulan bahwa Jerman merupakan salah satu dari sedikit negara yang secara kronologis dianggap mampu menginspirasi sekaligus memicu berkembangnya negara-negara kesejahteraan di Eropa. “In many countries the foundations for the modern welfare state were laid in the 1930s and 1940s. In Germany key normative and institutional foundations were, however, already established by the late nineteenth century”.[2] Hal ini –dalam disiplin studi mengenai negara kesejahteraan– pada dasarnya lebih merujuk kedalam tiga rangkaian paket kebijakan sosial yang secara gradual diluncurkan Jerman di masa pemerintahan Otto Van Bismark, yakni masing-masing pada tahun 1871 terkait kebijakan sosial untuk melindungi resiko kecelakaan kerja industri (industrial accident), kemudian kebijakan sosial di bidang kesehatan (health) pada tahun 1883, serta paket kebijakan yang mengatur distribusi kesejahteraan purna kerja (pensions) pada tahun 1889.[3]

Berbagai paket kebijakan sosial di atas sebaiknya juga tidak lantas dilepaskan dari konteks sosial politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, berbagai paket kebijakan sosial ini mestinya dibaca sebagai sebentuk respons atas berbagai gejolak sosial politik yang mengemuka seiring naik pasangnya industrialisasi. yang memicu terbentuknya konfigurasi sosial-politik ekonomi yang baru dan dengan sendirinya memerlukan upaya reorgansasi dengan tujuan lebih kepada harmonisasi dan integrasi nasional. Konfigurasi sosial politik ekonomi yang baru itu kira-kira berkutat di seputar perubahan-perubahan berikut: (1) Industrialisasi membawa perubahan dramatis dalam tatanan tradisional penyediaan kesejahteraan yang dalam saat yang sama melonggarkan keketatan ikatan keluarga; (2) Perubahan pola kehidupan keluarga dan komunitas; (3) Pertumbuhan populasi penduduk; (4) Munculnya pembagian kerja; (5) Maraknya pengangguran siklikal, dan (6) Terciptanya kelas pekerja nirlahan beserta potensi mobilitas politis mereka. 

“In the 1800s Germany’s rapid industrialisation propelled the problems associated with the risks of workers to the forefront of state activities and eventually contributed to the legislation of statutory social insurance schemes in the second half of the nineteenth century. Private and mutual self-help insurance systems had already been established prior to state legislation, but these insurance schemes were viewed as relatively ineffective. Due to their low wages, the majority of workers could not afford to pay the necessary premiums for coverage in private or mutual self-help systems. Furthermore, these systems did not guarantee that benefits would definitely be paid in times of need.”[4]

Dalam konteks sosial politik semacam inilah negara kesejahteraan Jerman awal dilahirkan atau dengan meminjam tesisnya Pierson maka rumusan negara kesejahtehteraan Jerman pada dasanya adalah the product of the needs generated by the development of industrial societies. 

“The origins of the welfare state were seen to lie in secular changes associated with the broad processes of industrialization and, particularly, the breakdown of traditional forms of social provision and family life. These changes included economic growth and the associated growth in population (especially of an aged population), the developed division of labour, the changing patterns of family and community life and industry’s increasing need for a reliable, healty and literate workforce .”[5]

Beralih kepada deskripsi Manow, perjalanan negara kesejahteraan Jerman bisa dibagi ke dalam tiga periode, yakni: periode legislasi Bismarck, Periode Republik Wiemar dan periode pasca Perang Dunia II.[6] Pada periode Bismarck (1883-1889) diluncurkannya paket-paket jaminan sosial lebih ditujukan sebagai instrumen politik untuk meredam radikalisasi kelompok pekerja nirlahan juga lebih sebagai instrumen untuk mengkonsolidasi negara-bangsa sesuai penataan teritorial pasca perang Jerman Inggris (1870-1871). Motif integrasi bangsa dan politik demikian kentara mewarnai periode Bismarck ini. 

“The welfare-state social systems in Germany have a long tradition dating back to the industrial revolution. In the late 19th century, Reich Chancellor Otto von Bismarck devised the principles of the state social insurance scheme; It was under his aegis that the laws relating to accident and health insurance as well as provisions for invalidity and old age were passed. Whereas in those days a mere ten percent of the population benefited from the welfare legislation, nowadays almost 90 percent of people in Germany enjoy its protection.” 

Pada periode Republik Wiemar, basis legitimasi bagi format negara kesejahteraan Jerman jauh lebih kuat dibanding di masa Bismarck, yang ditandai dengan perlindungan terhadap hak-hak sosial warga yang dijamin di dalam Kontitusi Wiemar yang ditetapkan pada tahun 1918. Di periode ini Jerman secara umum berhasil menempatkan kebijakan sosial sebagai prioritas dalam penyelenggaran pemerintahan. Keberhasilan pencapaian format negara kesejahteraan seperti ini sekali lagi merupakan produk yang dilandasi perubahan-perubahan situasi sosial politik pasca perang Dunia ke-I (masalah pengungsi dan penanganan korban perang) yang dalam titik tertentu memberikan legitimasi empiris bagi terciptanya format negara kesejahteraan yang jauh lebih komprehensif dibanding sebelumnya. Selama 10 tahun dalam periode ini (1914-1924) pengeluaran sosial perkapita Jerman tercatat mengalami peningkatan sebesar 8 kali lipat dibanding dengan periode Bismarck. Pada eriode ini Jerman sekaligus mengukuhkan diri sebagai negara kesejahteraan paling maju di Eropa diukur berdasarkan besaran pengeluaran publik dan cakupan program jaminan sosial. Lain dengan periode Republik Wiemar, pada periode pasca Perang Dunia II lanskap negara kesejahteraan Jerman kembali mengalami restrukturisasi yang cukup berarti yang ditandai dengan karakter jaminan sosial yang cenderung segregatif alih-alih komprehensif. Secara unik namun gamblang Hubert dan Stephens (2001) menjelaskan pergeseran degradatif negara kesejahteraan Jerman pada periode ini sebagai: “…different insurance funds for different social risk, and for different occupational categories…”.[7] Secara umum pada periode ini basis dari hak sosial tidak lagi didasarkan atau diturunkan dari konsep citizenship yang bersifat universalis melainkan diturunkan dari prinsip keterlibatan di pasar tenaga kerja yang cenderung diskriminatif. Kurun waktu berlangsungnya segregasi dan lantas stagnannya skema jaminan sosial ini berlangsung antara periode 1949-1969 dan kemudian berhasil direformasi kembali segera setelah koalisi SPD-FDP berhasil merebut tampuk kekuasaan pada tahun 1969 dan melakukan berbagai reformasi jaminan sosial yang agendanya mencakup unifikasi, ekspansi, dan redistribusi kebijakan-kebijakan sosialnya. Fase-fase setelah ini dilukiskan Huber dan Stephens dengan optimisme sebagai berikut: “…the German welfare state was on it’s way to having more social democratic elements grafted onto the Catholic-corporatist structure…”.[8] Memasuki dekade 1970 yang diwarnai krisis dan memburuknya kinerja perekonomian telah secara signifikan mempengaruhi kemampuan pembiayaan jaminan sosial pemerintah, sekali lagi negara kesejahteraan Jerman harus mengalami tekanan restrukturisasi yang cukup berarti di tengah upaya ekspansi atas berbagai skema jaminan-jaminan sosialnya. Periode ini ditandai dengan upaya-upaya restrukturisasi kebijakan sosial yang lebih mengambil bentuk ke dalam skema pengurangan besaran pengeluaran sosial (cost containment) dan semakin menguat seiring dengan kembalinya koalisi CDU-CSU-FDP ke tampuk kekuasaan pada tahun 1982. Berlalunya masa-masa krisis ekonomi pada akhirnya kembali memungkinkan Jerman melakukan reformasi khususnya di bidang jaminan kesehatan pada 1992 yang kemudian disusul dengan reformasi lanjutan pada tahun 1997. Overview mengenai sejarah negara kesejahteraan Jerman ini secara singkat menunjukkan konsistensi Jerman dalam melancarkan eksperimentasi politik kesejahteraannya di tengah berbagai tekanan restrukturasi terhadap format berbagai skema kebijakan sosialnya. 

Karakter Negara Kesejahteraan Jerman 

Jika deskripsi di atas menitik beratkan kepada sisi formasi-formasi sosial yang menopang eksistensi Jerman sebagai negara kesejahteraan, maka bagian ini ingin menyoroti pengaruh berbagai kekuatan sosial politik itu terhadap terbentuknya karakter khas negara kesejahteraan Jerman. 

Dalam tipologi Esping-Andersen, karakter negara kesejahteraan Jerman dikategorikan sebagai konservatif. Ciri konservatif ini lebih merujuk pada resultan yang merupakan hasil tarik menarik antar berbagai kelompok kepentingan yang pada akhirnya menciptakan konfigurasi rezim kesejahteraan Jerman kontemporer yang lebih bersitopang pada prinsip familialism (bertumpu pada peran aktif keluarga sebagai penyedia kesejahteraan) yang pada gilirannya juga menjadikan skema-skema jaminan sosial Jerman diorientasikan untuk menunjang keajekan keluarga dalam melancarkan peranannya sebagai pasok utama kesejahteraan. Skema jaminan pensiun adalah salah satu contoh yang lebih merupakan keharusan terkemudian dari pilihan yang bertopang pada prinsip familialism ini. 

“When Bismarck promoted his first social-insurance scheme, he had to battle on two fronts: one side again the liberals, who preferred market solutions, and the other side against concervatives who sponsored the guild-model or familialism. Bismarck desired the primacy of etatism. By insisting on direct state financing and distribution of paternal authority of the monarchy rather than to either the occupational funds, or the cash nexus. In reality the project was strongly compromised, and Bismarck’s pension legislation of 1891 retained only a fraction of the state largesse he had sought. Indeed, the subsequent pension system, as with most of the Wilhelmine social programs can be interpreted as an etatism with partial concession to liberalism (actualirialism), and to concervative corporatism (compulsory accupationally distict schemes).”[9]

Munculnya karakter konservatif pada rezim kesejahteraan Jerman merupakan pengaruh yang diperoleh dari sifat korporatisme Gereja Katolik. Berikut pandangan Esping-Andersen terkait hal ini:

Corporatist welfare became the dogma of the catholic Church and was actively espoused in the two major Papal Encyclicals on the social question: Rerum Novarum (1981) and Quadrogesimo Anno (1931). The Corporatist element was especially strong in the latter, and was in line with current Fascist ideology. In Germany, as in Italy, Fascism was not particularly keen on nurturing a workforce of atomized commodities, but wanted to reinstall the principle of moral desert. Thus it’s social policy was positively in favor of granting an array of social rights. These rights, nonetheless, were conditional upon appropriate loyalty and morality.; they were seen as part and parcel of the new fascist man…[10]

Demikianlah sketsa sejarah kelahiran negara kesejahteraan Jerman beserta dinamika pasang surut peran dan tindak-tanduk negara dalam bidang kesejahteraan. Semoga bermanfaat. Salam kesejahteraan. 

Iwa Inzagi (Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi P2D) 

Daftar Pustaka

[1] Christoper Pierson, Late Industrializers and the Development of the Welfare State, (UNRISD: 2004), hal: 4 
[2] Peter Blesses and Martin Seeleib-Kaiser, The Dual Transformation of the German Welfare State, (New York: Palgrave Macmillan, 2004) hal: 14-15 
[3] Christoper Pierson, Beyond The Welfare State? The New Political Economy of Welfare, second edition (London, Polity Press, 1998), ha:l 104. 
[4] Peter Blesses, Op.Cit., hal: 14 
[5] Christopher Pierson, Op. Ci.t, hal: 15. 
[6] P Manow, Federalism and the Welfare State: the German Case (Max Planck Institute, tanpa tahun), hal: 4. 
[7] E Huber dan J D Stephens, Development and Crisis of the Welfare State; Parties and Politics in Global Market (University of Chicago Press, 2001), hal: 115-116. 
[8] Ibid, hal: 150. 
[9] GØsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism, (New Jersey: Princetown University Press, 1990), hal: 59 
[10] Ibid., hal: 41.

No comments:

Post a Comment