TIGA REGISTRASI LACAN | Logika Demistifikasi Simbolik NKRI (1)

Tulisan ini pada dasarnya adalah bagian kecil dari segala upaya untuk membuka sekaligus melampaui deadlock dalam sistem simbolik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke arah tata penanda baru Negara kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI). Pertanyaaan mengenai ‘mengapa perlu dilampaui’ sedikitnya sudah diungkap pada bagian latar belakang, yakni demi mengatasi stagnannya peranan negara dalam pemenuhan kesejahteraan warga. Pertanyaan kedua ialah: melalui logika seperti apa atau bagaimana mungkin pelampauan tatanan penandaan semacam ini mampu memobilisir potensi perubahan pada bidang kerja negara di sola penyejahteraan warga? Untuk menjawab ini kita memerlukan apa yang disebut dengan "tiga registrasi utama" dalam teori perkembangan subyek Jacques Lacan.

I
Tiga registrasi dalam Lacan adalah apa yang dia sebut sebagai yang-Rill, (the Real), yang-Simbolik (the Symbolic) dan yang-Imaginer (the Imaginary). Yang-Rill secara sederhana adalah dunia atau realitas sebelum dikenai oleh bahasa. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa ia ada tapi sekaligus tidak ada (ia ada, tapi oleh karena ia belum dikenai bahasa maka ia menjadi tidak ada). Yang-Simbolik adalah realitas atau segala hal yang sudah dikenai oleh bahasa. Sementara yang-Imaginer adalah residu yang tersisa dari proses diskursif tatkala ‘the Real” dikalimatisasikan ke dalam bahasa.[1]

Sebagaimana tersirat di atas, Lacan menyatakan bahawa akan selalu ada lack atau kekurangan dalam setiap upaya penandaan dari yang-Riil kedalam yang-Simbolik. Dan oleh karena kegagalan permanen ini maka setiap tatanan penandaan pada dasarnya mengidap cacat bawaan didalam dirinya. Di saat yang sama, dalam rangka memenuhi lackness being ini maka Lacan mengajukan konsep desire/hasrat. Desire adalah mekanisme yang mendorong pelampauan atas situasi kekurangan yang diakibatkan ketakmampuan yang-Simbolik merepresentasikan yang-Riil secara utuh. Merujuk kepada fase transisi dari fase Pra Oedipal ke fase Cermin dalam teori perkembangan subyeknya, Lacan mengatakan bahwa sifat dari hasrat adalah nostalgis sekaligus permanen. Yaitu bahwa kerinduan untuk kembali kedalam yang-Riil –situasi dimana setiap kebutuhan secara otomatis segera dipenuhi oleh tubuh ibu—bersifat nostalgis dan permanen[2]. Jika setiap upaya simbolisasi atas yang-Riil selalu mengalami kegagalan, maka situasi yang sama juga terjadi pada simbolik NKRI.

Dari interpretasi statistik (lihat tabel 1.1. & 1.2) diketahui bahwa secara umum usaha penyejahteraan warga yang dilakukan negara berjalan stagnan alias mandek. Negara dalam hal ini terlihat kehilangan haluan simbolik untuk mengintervensi situasi secara tepat. Ringkasnya, inilah citra material dari yang-mental atau fitur kegagalan nyata dari simbolik NKRI sebagai tatanan yang diandalkan dalam usaha penyejahteraan warga. Jika dibaca lebih jauh dan dengan tetap konsisten bertopang pada beberapa konsep Lacan, maka situasi ini secara tegas bisa dinyatakan sebagai kegagalan Yang-simbolik dalam mentranslasikan apa yang disini diefisiensikan ke dalam satu set penanda mengenai Indonesia yang sejahtera, berdaulat, adil dan makmur—the Real. Di saat yang sama—dengan tetap bersandar pada Lacan—dorongan terhadap pelampauan atas kekurangan tersebut bersifat nostalgis dan permanen. Oleh karenanya, penting untuk melancarkan semacam konfrontasi simbolik terhadap sistem identifikasi NKRI yang terlihat kehilangan haluan yang bersifat simbolik dalam usaha penyejahteraan warga negara. Mengapa demikian? Mengapa kegagalan penandaan ini bisa berdampak sedemikian rupa terhadap mendeknya usaha penyejahteraan warga? Untuk itu kita perlu terlebih dahulu mencermati jalinan argumen yang dibangun di dalam kutipan di bawah ini:

“Lebih jauh menurut Lacan, tatanan the Symbolic ini dipersatukan dan dibina oleh hukum penanda atau Chain of Signifier. Konsep signifier ini dipetik dari Saussure (1857-1913). Saussure menjelaskan bahwa bahasa dibentuk melalui sistem penandaan yang terdiri dari dua bagian yakni the signifier dan the signified. Signifier adalah mental image dari bunyi tanda, sementara the signified adalah konsep yang diasosiasikan dengan bunyi tersebut. Dengan mengatakan bahwa Signifiying Chain adalah instansi yang merekatkan dan menyatukan the Symbolic maka ini mengacu pada keseluruhan jaringan dari seluruh signifier yang ada. Merujuk pada kemungkinan bagaimana satu signifier berhubungan atau digantikan dengan signifier yang lain, misalnya ketika mengatakan ‘merah’ maka merah bisa saja digantikan – karena berhubungan – dengan kesebelasan Liverpool, kesebelasan Manchester... Sementara setiap kata yang mengganti kata merah itu sendiri kemudian memiliki lagi hubungan atau bisa digantikan dengan signifier yang lain lagi misalnya kata panas, bisa diganti dengan demam, sakit atau bahkan dengan kata dingin (sebagai oposisinya).

“Dengan menerima Signifiying Chain dalam pemahaman instansi the Symbolic ini, maka di sini terdapat dua implikasi, yakni pertama bahwa karena tatanan the Symbolic dipersatukan dengan rantai penanda, oleh karenanya kita tidak dapat mengakses realitas apapun tanpa melalui hukum penandaan ini... Kedua, apabila hubungan antara signifier dan signified itu bersifat kontijen, unstable, maka karakter dari the Symbolic itu sendiri pun kontijen dan unstable, tidak permanen...”[3]

II
Satu dari beberapa gagasan penting yang muncul di dalam kutipan di atas adalah bahwa the Symbolic dibina oleh hukum penanda atau Chain of Signifier. Di dalam dirinya, bahasa, atau dalam hal ini tatanan penanda NKRI dipandu oleh sistem penandaan yang terdiri dari signifier dan signified. Dan karena hukum penanda berfungsi sebagai instansi yang merekatkan dan menyatukan the Symbolic, maka tapal batas terminologi NKRI dengan sendirinya mengacu pada seluruh jaringan signifier yang ada.
Di titik ini kita bisa secara langsung mencari chain of signifier yang kira-kira berhubungan dengan NKRI. Kita juga bisa mencari padanan kata NKRI atau bahkan mencari oposisi kata dari tatanan simbolik NKRI ini. Signified dari signifier ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ sepadan dengan bentuk pemerintahan republik, suatu wilayah teritorial, mencerminkan satu kesatuan negara-bangsa, sebuah negara yang terdiri dari berbagai bangsa dan disatukan di dalam format negara kesatuan. Jika kita teliti secara seksama, maka sukar sekali menemukan rantai yang menghubungkan simbolik NKRI yang bisa dengan mudah dihubungkan dengan simbolik ‘kesejahteraan’ atau ‘kemakmuran’. Akibatnya, NKRI kontemporer kehilangan haluan simbolik untuk ‘mengakses’ realitas yang berkesejahteraan.
 
Dalam satu tarikan nafas, kehilangan haluan simbolik ini juga berdampak pada hilangnya imperatif simbolik mengenai tugas sekaligus tindak-tanduk negara yang fit dan profer untuk memajukan kesejahteraan warga. Tentu saja hal ini tidak diajukan untuk mengatakan secara bodoh bahwa untuk menjadi negara yang berkesejahteraan Indonesia harus merubah nama semata. Aspirasi terdalam dari rumusan ini ialah bahwa melampaui lack atau kekurangan dari apa yang dipilih para pendiri bangsa sebagai titik artikulasi, yakni NKRI, itu sah dan penting. Karena seluruh penandaan tidak pernah ada yang bersifat firm dan final. Seluruhnya bersifat kontijen dan unstable.

Dengan demikian maka upaya konfrontasi simbolik ini pada dasarnya merupakan konfrontasi  yang diarahkan untuk menstimulasi terciptanya transformasi tindakan kenegaraan yang lebih berorientasi pada ikhtiar penyejahteraan warga. Hal ini, hematnya dilakukan di dalam format tatanan simbolik baru, dalam hal ini: “Negara kesejahteraan Republik Indonesia”. Dengan titik artikulasi itu, kita akan mencoba mengakses realitas Indonesia yang lebih berkesejahteraan.  

Oleh
U. Abdul Rozak / Iwa Inzagi

Catatan:
Tulisan ini ialah petikan Kerangka Teoritis dalam Skripsi: Mencari Prasyarat Teoritis-Insitusional Realisasi Negara Kesejahteraan Republik Indonesia. Universitas Negeri Jakarta 2011].
Bahan Bacan
[1] Robertus Robet, Pandangan Tentang Yang Politis: Tanggapan Terhadap Konsepsi Subyek dan Tindakan dalam Pemikiran Slavok Žižek, (Jakarta: STF Driyarkara, 2008), hal: 78-82.

[2] Robertus Robet, “Subyek atau Mengapa Perempuan Tidak Eksis (Provokasi Lacan tentang Sexuasi dan Tindakan Etis)”, Kuliah Umum tentang Seksualitas di Komu­nitas Salihara, (Jakarta: Komunitas Salihara, 2010), hal:7
[3] Op.Cit., Robet, hal: 81-82.