Iwa Inzagi. Prasyarat Teoritis-Institusional Realisasi Negara Kesejahteraan
Republik Indonesia. Program Studi Sosiologi Pembangunan, Jurusan Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, 2010.
ABSTRAK
Cakrawala penelitian
ini berkutat di seputar pencarian prasyarat teoritis-institusional demi
memungkinkan terealisasikannya cita-cita mengenai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang sekaligus sebagai Negara kesejahteraan Republik Indonesia
(NkRI). Dengan demikian, apa yang dicoba diretas melalui penelitian ini ialah
satu formasi penalaran baru mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
lebih berkesejahteraan, kali ini dengan bertopang pada konsep
kesejahteraan (welfare) sebagai instrumen integrasinya.
Jadi, di satu sisi
penelitian ini bermaksud memberikan semacam penalaran baru mengenai bagaimana
NKRI sebagai negara modern seharusnya bekerja sebagai institusi politik
demokratis yang peka terhadap aspirasi kesejahteraan warganya, sementara di
sisi lainnya penelitian ini juga berusaha merumuskan satu draft desain
kelembagaan yang memungkinkan bermunculannya tindakan-tindakan kenegaraan yang
bersifat lebih asertan terhadap kesejahteraan semua warga.
Pada aspek teknisnya,
penelitian ini pertama-tama bergerak dengan menggunakan metode library researh,
yakni satu penjelajahan atas teori-teori negara kesejahteraan (welfare state)
yang pada dasarnya merupakan khazanah intelektual yang telah sangat solid terbentuk
di Eropa, terhitung sejak tahun 1900. Pada bagian selanjutnya, yakni kajian
mengenai institusi negara kesejahteraan, penelitian ini pun lagi-lagi bertumpu
pada metode studi pustaka, dalam hal ini demi menjelajahi hasil-hasil kajian
mengenai formasi institusi negara kesejahteraan Swedia. Kedua hasil temuan
penelitian di atas pada gilirannya direstrospeksi dengan menggunakan metode
hermeneutis dalam bidang sosiologi dalam keperluan untuk mengajukan satu draft
mengenai apa yang dalam skripsi ini disebut dimensi mental-institusional Negara
kesejahteraan Republik Indonesia.
Keywords: Teori negara
kesejahteraan, Institusi negara kesejahteraan, tranformasi NKRI, Draft Negara
kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI).
Sebagaimana terlihat di
bagian kerangka konseptual, khususnya pada bagian gestalt problem dan
missrecognition (lihat hal 24-29), maka disini menjadi mungkin bagi kita untuk
merumuskan satu tesis tentang bahwa bidang-bidang yang selama ini ditandai
sebagai NKRI pada dasarnya selalu berubah-ubah. Dengan demikian maka tatanan
penanda NKRI pada dasarnya juga tidak pernah firm apalagi final. Dengan kata
lain tidak ada yang tak mungkin, sejauh dalam kerangka untuk
mentranslasikan/mengaktualkan the Real (baca: segenap aspirasi mengenai NKRI) yang
sejauh ini belum sempat terkalimatisasi atau masuk ke dalam dunia
penandaan/simbolik.
Di titik ini, sekali
lagi, menjadi lebih jelas bagi kita bahwa bidang-bidang yang ditandai sebagai
NKRI –meminjam istilah Saussure: signifier dari signified NKRI– secara empirik
selalu berubah! Lantas, akan kemana kali ini perubahan itu diarahkan? Mengingat
dalam formulasinya tatanan simbolik NKRI selalu di-drive dan selalu melibatkan
agen-agen (rezim, perasaan kolektif enggan dijajah, situasi sosial spesifik,
pembangunan, dlsb) yang secara aktif turut menandai signified NKRI.
Pertanyaan pada
paragraf di atas –Akan kemana kali ini perubahan diarahkan? Atau dengan rumusan
yang lebih tajam lagi: Dengan apa tatanan simbolik NKRI itu kali ini diisi?–
selain bersifat menantang, pada dasarnya adalah kerangka logika yang digunakan
untuk menawarkan signifier baru bagi tatanan simbolik NKRI di kemudian hari.
Mengenai kaitannya dengan penelitian ini, disini kita bisa sekaligus merumuskan
satu pertanyaan lain yakni: Apakah normatif-normatif teori negara kesejahteraan
yang diteliti pada riset ini bisa ditawarkan sebagai signifier bagi tatanan
simbolik NKRI? Hal ini terutama dengan kembali mempertimbangkan posisi
penelitian ini yang pada akhirnya juga mau menunjukkan satu peluang/potensi
teori-teori negara kesejahteraan yang sebenarnya bisa dijadikan kerangka acuan
intelektual bagi proyek transformasi sosial skala nasional, yang dalam skripsi
ini ditempuh dengan upaya rekonseptualisasi NKRI kedalam NkRI.
Jika posisi di atas
diterima, lantas apa saja prasayat yang dibutuhkan NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) sehingga dia bisa sekaligus sebagai NkRI (Negara
kesejahteraan Republik Indonesia) –singkatnya NKRI yang sekaligus NkRI? Secara
ringkas, pertanyaan ini bisa dijawab dengan mengajukan dua pertanyaan
sekaligus: Pertama: bagaimana prasyarat teoritiknya atau seperti apa dimensi
intelektual yang kelak akan menjadi kerangka logika bagi gerak-tindak NKRI
terkemudian itu? Disini, tak syak lagi kita sedang berbicara mengenai dimensi
dalam/mentalitas NKRI-terkemudian. Kedua, apa saja prasyarat institusional agar
NKRI bisa sekaligus dikenali sebagai NkRI? Pada pertanyaaan kedua sebenarnya
kita sedang membicarakan dimensi luar/tubuh institusional yang compatible bagi
dimensi mental NKRI-terkemudian.
Prasyarat
Teoritik Transformasi NKRI kedalam Negara kesejahteraan Republik Indonesia
(NkRI)
Bagi Asa Briggs atau
tepatnya apa yang menonjol dalam kajian historis tentang evolusi negara
kesejahteraan Eropa (lihat Bab 2) ialah fakta teoritis yang menyebutkan bahwa
kemunculan fenomena negara kesejahteraan dan perkembangannya di Eropa tidak
bisa dilepaskan dari keberanian negara melancarkan satu gerak eksperimentasi
politik kesejahteraan demi mengatasi situasi resesi ekonomi. Disini, dengan
kalimat lain, logika negara kesejahteraan pada dasarnya adalah logika yang
dirumuskan untuk menanggulangi krisis ekonomi melalui negara –krisis yang
apabila dibiarkan berlarut-larut pada akhirnya pasti menjalar menjadi krisis
multidimensi. Disini, ide negara kesejahteraan secara mendasar adalah logika
pengatasan situasi resesi (logic of recession).
Dengan demikian, jika
kita renungkan secara mendalam tentang apa yang menjadi tujuan utama penteorian
Briggs ialah upayanya dalam menggarisbawahi pentingnya negara melancarkan satu
gerak ekperimentasi politik kesejahteraan yang bersifat evolutif,
berkesinambungan, dan sistematik, yang ditujukan demi melampaui ragam situasi
resesi. Di titik ini, dengan sekaligus mengkontekstualisasikannya kedalam NKRI
sebagai kategori organisasi politik atau negara, maka mentalitas yang harus
dimiliki NKRI-terkemudian ialah kualitas keberanian untuk melancarkan satu
gerak ekperimentasi politik kesejahteraan yang berkesinambungan dan sistematik.
Karena, sebagaimana juga disebutkan Briggs: negara kesejahteraan adalah negara
yang secara terorganisir menggunakan kekuasaannya (melalui politik dan
administrasi) demi mengikis derajat ketidakamanan sosial, dilakukan dengan
jalan memberi insentif yang memungkinkan warga mampu berhadapan dengan situasi
kontijensi (misalnya sakit, usia senja, dan atau kondisi tanpa pekerjaan) yang
pada akhirnya membuat warga sanggup terhindar dari terjerembab ke dalam situasi
krisis. Disini, NKRI hadir, muncul, serta tampil sebagai negara yang berani
bertanggung jawab penuh dalam memastikan semua populasi warga memperoleh
beragam standar layanan sosial yang disediakan negara. Dengan kata lain
NKRI-terkemudian adalah negara yang berani aktif menghadapi ragam situasi
resesi yang berada di sepanjang garis dinamis pertumbuhan kehidupan warga di
Indonesia. Ringkasnya, dengan meminjam istilah Slavoj Žižek, NKRI terkemudian bisa
dibayangkan sebagai “negara yang radikal” atau negara yang benar-benar negara,
dalam arti benar-benar berani aktif bertanggung jawab penuh sebagai penanggung
jawab serta penjamin terpenuhinya kesejahteraan seluruh warganya. Keberanian
ini pun sekaligus menandai karakter NKRI-terkemudian yang benar-benar memiliki
state of appreciation atau benar-benar berani mengakui dan kemudian secara
aktif mengupayakan terciptanya satu konfigurasi kondisi standar untuk kehidupan
yang layak. Dengan demikian, keberanian memulai eksperimentasi politik
kesejahteraan sama dengan keberanian untuk memulai apa yang disebut Beatrice
Webb sebagai “dorongan ke arah penciptaan standar minimum keberadaban”. Secara
lebih spesifik lagi yakni NKRI sebagai organisasi politik yang berani
berpenetrasi menciptakan kondisi yang adil dan beradab, sebagaimana termaktub
dalam konstitusi.
Dari Cristopher Pierson
kita juga mendapati beberapa poin atau satu set normatif teoritik yang bisa
kita proyeksikan sebagai kerangka mental-intelektual bagi NKRI-terkemudian,
atau yang dalam tulisan ini diefisienkan ke dalam simbolik NkRI –Negara
kesejahteraan Republik Indonesia.
Bagi Pierson, negara
kesejahteraan terutama ditandai dengan keberadaan basis material yang dimiliki
sebuah negara (dalam kasus Eropa manifes dalam rupa industri), yang di tahap
terkemudian memungkinkan negara mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dan
pada taraf selanjutnya memungkinkan negara berkemampuan mengerahkan serta
menginvestasikan sumber daya secara besar-besaran untuk belanja publik.
Jika kita telusuri
lebih dalam, substansi yang ingin disampaikan Pierson dalam beberapa karyanya
sebetulnya ialah mengenai kondisi material dasar dari negara kesejahteraan.
Secara lebih spesifik, apa yang dimaksud kondisi dasar ini ialah semacam
ketentuan historis mengenai pentingnya negara memiliki basis material, manifes
dalam rupa means of production kolektif,
yang mestinya terlebih dulu dimiliki suatu negara jika benar-benar berhasrat –tidak
hanya sebagai penjamin hak sipil politik– melainkan juga sekaligus sebagai
institusi yang aktif bertanggung jawab penuh atas hak ekosob warganya. Jadi,
kondisi dasar yang diperlukan NKRI untuk bertransformasi menjadi NkRI ialah
pertama-tama menemukan, menentukan, dan lalu membangun alat produksi
kemakmurannya. Sekedar contoh, dalam Pierson, kepemilikan means of production
negara itu dirujuk dengan mengajukan dua konsep, yakni “negara industri dini”
(industrializer) dan “negara industri-terkemudian” (late-industrializer). Atau
dengan kata lain: negara-negara kesejahteraan adalah negara industri atau
industri disini dipahami dalam kategori alat produksi kemakmuran negara
kesejahteraan.
Sebagaimana juga
disinggung pada Bab 2, Pierson –dengan mengulang tesis Cutright– menyatakan
bahwa: “the degree of social security coverage is most powerfully correlated
with its level of economic development”. Tesis ini pada dasarnya berhasil
meringkaskan tujuan dari pentingnya negara memiliki alat produksi kemakmuran
kolektif di atas, yakni demi menumbuhkan kapital ekonomi yang kemudian untuk
dibelanjakan negara demi membiayai penyelenggaraan pendidikan, kesehatan,
jaminan hari tua, jaminan pengangguran (baca: jaminan sosial). Disini, dengan
secara langsung mengkontekskannya ke dalam NKRI, maka mentalitas NKRI-terkemudian
haruslah NKRI yang di dalam dirinya benar-benar memahami kepentingan negara
untuk menemukan, menentukan, dan ditaraf lebih lanjut, memiliki alat produksi
kolektif yang potensial mampu mengemban beban tugas sebagai mesin
pelipatganda/akselerator pertumbuhan kapital ekonomi. Penemuan alat produksi
kemakmuran kolektif ini seyogianya diikat sedemikian rupa dan tidak pernah
dilepaskan dari tujuan awalnya, yakni demi agar negara menjadi benar-benar
mampu berinvestasi secara besar-besaran di bidang penyejahteraan warga.
Lepas dari Pierson,
rumusan mengenai mentalitas Negara kesejahteraan Republik Indonesia di atas
selanjutnya bisa lebih dikuatkan dengan terutama merinci dan kemudian
mencermati rincian konseptual yang menjadi kerangka tubuh teori negara
kesejahteraan Gøsta Esping-Andersen.
Setidaknya ada tiga
konsep utama yang ditawarkan Esping-Andersen dalam karyanya tersebut. Ketiga
konsep tersebut masing-masing ialah konsep penganugerahan hak-hak sosial (the
granting of social right), kewargaan sosial (social citizenship), serta cara
pandang terhadap kebijakan sosial sebagai instrumen dekomodifikasi
(decomodification). Dengan langsung memproyeksikannya ke dalam formasi mental
NKRI-terkemudian maka Negara kesejahteraan Republik Indonesia ialah suatu
negara dengan mentalitas transfer welfare yang dibasiskan secara kokoh pada
prinsip penganugerahan hak-hak sosial yang bersifat inviolable atau sama sekali
tidak boleh dilanggar oleh negara terhadap warga. Selanjutnya, sifat inviolable
ini pun dikaitkan secara ketat dengan prinsip lain, yakni kewargaan sosial.
Tujuannya ialah agar seluruh aspek transfer kesejahteraan yang diintroduksi
negara bisa menjangkau segenap populasi warga, sehingga mampu mengoreksi secara
radikal struktur ketimpangan dan mengarahkannya kedalam kondisi keadilan
ekonomi, persamaan dan solidaritas antar sesama warga. Di taraf terkemudian,
resultan yang diharapakan ialah munculnya satu karakter masyarakat yang secara
aktual hidup di dalam situasi kesetaraan; sebuah kategori masyarakat yang
bangga memandang dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari satu kesatuan
politik yang hidup di ruang publik bertajuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Terakhir, negara yang
tampil dalam rupa kebijakan sosial muncul menjelma sebagai instrumen
dekomodifikasi. Dengan kalimat lain, hak ekosob warga yang manifes dalam
kebijakan sosial diposisikan sebagai pintu keluar dari ketergantungan warga
terhadap pasar sebagai pasok utama kesejahteraannya. Artinya, terlepas dari
fakta bahwa selalu ada kemungkinan warga tidak mampu berpatisipasi di sektor
produktif (karena situasi kontijen selalu bersifat tak terhindarkan dan
merupakan siklus alami kehidupan), namun kondisi kesejahteraan warga selalu
bisa terjaga dalam keadaan secure. Disini negara benar-benar siaga siang maupun
malam (mis: negara hadir dalam bentuk rumah sakit negara yang siaga 24 jam).
State of thinking negara atau kondisi berpikir negara dalam hal ini ialah bahwa
negara mempersepsi kebijakan sosial tidak hanya sebagai hak, namun lebih dari itu,
yakni sebagai semacam firewall untuk memproteksi di tahap awal dan memastikan
warga mampu hidup dalam standar kesejahteraan tertentu, lepas dari potensi
destruktif pasar—yang di masa Marx misalnya disimpulkan telah mendegradasi
keutamaan manusia menjadi sekedar binatang ekonomi, semata konsumen, dan
ditarap lebih tragis hanya mungkin diterangkan dalam kategori yang sangat
ekonomistik, yakni komoditi (mis: kondisi berpikir mengenai manusia yang
dipandang hanya dalam kategori tenaga kerja, yakni sebagai elemen dari biaya
produksi yang diperjualbelikan dalam mode produksi kapitalisme). Di dalam mode
produksi masyarakat kapitalis ini, dimana dimensi kesejahteraan warga
sepenuhnya tergantung pada keterlibatan aktifnya di pasar tenaga kerja yang
akarnya menancap kukuh pada prinsip mekanisme pasar yang dingin, kondisi warga
menjadi sedemikian rupa berada dalam kondisi rentan terhadap ragam situasi
kontijen yang senantiasa menguntitnya. Namun, jika negara memiliki wawasan
mendalam atas situasi ini dan menemukan kondisi pikir yang benar, dengan cara
mengambil peran sebagai penjaga stabilitas kesejahteraan warga melalui beragam
kebijakan sosial, maka potensi ancaman dan bahaya berantai yang mengintai
dibalik tirai kehilangan kemampuan berpartisipasi di dunia kerja ini bisa
direduksi ke tahap paling minimum. Meminjam istilah Giorgio Agamben, dengan
kebijakan sosial yang diproyeksikan negara sebagai instrumen dekomodifikasi,
maka warga potensial terhindar dari terjerembab menjadi homo sacer, yakni
satuan manusia yang direduksi kekuatan pasar menjadi nihil sedemikian rupa
tanpa hak dan perlindungan apapun.[1] Dengan kebijakan sosial hadir sebagai
instrumen dekomodifikasi, warga potensial mencicipi buah ajaib yang dipetik
dari pohon pengetahuan yang pernah menumbuhkan konsep negara sebagai institusi
artifial yang sigap menjaga eksistensi haknya sebagai manusia, dan institusi
selalu siaga melindunginya saat terpaksa harus berhadapan dengan segala macam
situasi kontijen. Pendeknya, institusi artifisial yang hadir dalam rupa
organisasi politik bernama negara disini tampil sebagai penyelamat warga dari
aib hidup secara telanjang tanpa sehelai pun kain pengaman sosial yang melekat
melindungi kemaluan akibat hidup melarat. Mengulang Esping Andersen: “The outstanding criterion for social rights
must be the degree to which they permit people to make their living standards
independent of pure market forces. It is in this sense that social rights
diminish ‘citizens’ status as ‘commodities’.”[2]
Dengan mentalitas NkRI
serupa ini, terutama dengan mempertimbangkan posisinya dalam lanskap era
ekonomi modern, penganugerahan hak-hak sosial, sebagaimana terjadi di Swedia
misalnya, secara efektif akan berdampak terhadap terciptanya peningkatan
kapabilitas kebebasan warga dari ketergantungan pada pasar sebagai satu-satunya
pasok kesejahteraan. Disini, tiga hal terjadi secara simultan: (1) program
sosial berdampak secara efektif mengendurkan ketegangan relasi warga dan pasar;
(2) dalam saat yang sama mengkatrol posisi tawar warga tatkala berhadap-hadapan
langsung dengan kekuatan pasar; (3) di titik tertentu juga hadir sebagai
pelindung utama tatkala kemampuan warga untuk terlibat di sektor produktif
memudar. Dalam pengalaman Swedia, kebijakan sosial yang kemudian diturunkan
kedalam program-program yang berkecenderungan memberi efek dekomodifikasi
diterapkan untuk program-program seperti asuransi pensiun, asuransi persalinan,
program cuti keluarga, program cuti pendidikan, dan asuransi pengangguran.[3]
Corak program-program sosial seperti ini tidak terlepas dari means of
production kolektif Swedia yang memang banyak bertumpu pada industri. Lantas
bagaimana desain kebijakan/program-program sosial yang mungkin diintroduksi di
NkRI? Namun, sebelum lebih jauh bergerak kesana, program-program ini hanya akan
bisa diketahui coraknya setelah terlebih dahulu ditentukan apa yang pada
akhirnya disepakati sebagai basis kemakmuran material/means of production dari
Negara kesejahteraan Republik Indonesia. Hal ini akan coba diajukan pada bagian
berikut.
Basis
Material Negara Kesejahteraan Republik Indonesia
Dengan kembali pada
pikiran Pierson dan Esping-Andersen yang menyatakan eksistensi negara
kesejahteraan selalu mempersyaratkan keberadaan (1) basis material demi
menunjang tugasnya sebagai (2) institusi penjamin serta penanggung jawab
terpenuhinya penganugerahan hak (sipol&ekosob) secara sekaligus serta
merata kepada seluruh warganya, dan oleh karena itu maka jenis pertanyaan yang
relevan diajukan di titik ini ialah: apa yang mungkin diajukan sebagai means of production utama negara
kesejahteraan republik indonesia?
Demi menjawab
pertanyaan di atas dan demi menemukan semacam presisi dalam proses penentuan
pilihan means of production NkRI, maka disini kita bisa kembali mengevaluasi
landasan dari dipilihnya basis material di negara-negara kesejahteraan di
dunia. Dalam kategori ini terdapat negara seperti Negara Kesejahteraan Swedia
dan negara-negara di kawasan Eropa pada umumnya, Amerika Serikat serta sebagian
negara-negara di Asia semisal Jepang dan Korea, yang secara resmi menjatuhkan
pilihan pada industri manufaktur sebagai basis material penunjang pertumbuhan
negara kesejahteraannya.
Dasar dari
dijatuhkannya pilihan/keputusan kolektif/negara di atas terhadap industri
sebagai basis material penunjang pertumbuhan ekonomi, dengan misalnya bersandar
pada dikotomi teori pembagian kerja internasional (international division of
labour theory) pada dasarnya merupakan manifestasi dari pemahaman akan
pentingnya negara melakukan spesialisasi produksi berdasarkan keunggulan
komparatif yang dimilikinya. Secara sederhana namun relatif jelas teori ini
menbagi negara-negara di dunia kedalam dua kelompok besar berdasar kategori
geografis: Utara yang dingin dan miskin cahaya dan Selatan yang kaya akan
cahaya karena berada di sepanjang jalur khatulistiwa. Utara adalah
negara-negara dengan spesifikasi industri barang olahan/manufaktur dan Selatan
sebagai pemasok bahan-bahan mentah untuk negara-negara industri yang secara
geografis berada di utara. Bagi teori ini, akan terlampau mahal jika negara
yang berada di jalur khatulistiwa harus berinvestasi di bidang mesin industri,
dan juga sebaliknya, akan terlampau boros jika negara di utara berinvestasi di
sektor pertanian. Dengan terutama bertumpu pada argumen bahwa (1) kemajuan
teknologi akan berdampak pada melimpah-ruahnya barang manufaktur, dan (2)
perdagangan bebas akan membuat persaingan harga makin intensif, sehingga –ke
dua faktor di atas– diandaikan akan bisa mengoreksi tingginya valuasi harga
barang-barang industri dibanding valuasi terhadap bahan mentah yang umumnya
berada dalam kondisi murah. Di tahap lebih lanjut, sebagai teori yang
menjelaskan derap pembangunan di dunia, teori ini menyerukan pembagian kerja
internasional dan menghimbau semua negara masuk melibatkan diri ke dalam sistem
ekonomi dunia jika memang berkeinginan menjadi negara yang maju dalam
pembangunan ekonominya, karena sebagaimana juga dinyatakan Todaro: “pembangunan
yang paling baik bagi suatu negara... adalah pembangunan yang meleburkan diri
ke dalam kegiatan ekonomi dunia, karena pada dasarnya negara-negara yang ada
saling tergantung, dan akan lebih menguntungkan bila negara-negara saling
mengisi kelemahan yang ada.[4]
Dalam perjalanannya
teori ini mendapatkan koreksi yang cukup radikal. Adalah teori pembagian kerja
internasional baru (new international division of labour –NIDOL theory) yang
membuat koordinat penjelasan teori pembagian kerja internasional lama mengalami
semacam deviasi revisionistik, dan di tahap lebih lanjut turut mempengaruhi
prilaku produksi dan membentuk relasi produksi baru antara negara industri dan
negara-negara yang secara geografis berada di bagian Selatan.
Bagi teori ini
faktor-faktor yang muncul sebagai akibat dari keberhasilan revolusi
transportasi, revolusi (cara bertukar) informasi, dan kemajuan taknologi
persenjataan akan serta merta mempermudah dan memungkinkan semakin tingginya
frekuensi lalu-lintas/ mobilitas modal, barang-jasa, dan tenaga kerja. Dengan bertumpu
pada pandangan itu, teori ini pun lantas menolak dalil teori pembagian kerja
internasional lama yang menyebutkan negara-negara di Selatan akan terlampau
mahal jika pertama-tama harus menginstalasi infrastruktur industri di negaranya
sebagai prasyarat bagi kemajuan ekonominya. Dalam rangka menyelesaikan polemik
teoritik itu, teori ini menyebutkan bahwa negara-negara Selatan sangat
dimungkinkan membangun infrastruktur industrinya, namun kali ini dengan
menerima insentif bantuan modal dari negara-negara industri, muncul dalam
bentuk relokasi pabrik dan infrastruktur-infrastruktur lain yang berhubungan
dengan produksi industri manufaktur. Ringkasnya, dalam pandangan teori
pembagian kerja ternasional baru dikotomi spesialisasi kerja berdasar
keunggulan komparatif tidak lagi diperlukan (Utara-Selatan/Industri vis a vis
Agraris– dan sebagai gantinya keduanya kini bisa sepenuhnya bercorak
industrial. Caranya dengan mentransformasi negara-negara agraris kedalam negara
industri, dilakukan dengan menginstalasi infrasturktur industri yang modalnya
disuplay dari negara-negara maju. Hasilnya dari diterimanya logika seperti ini,
terutama dengan bertumpu pada penjelasan yang tertuang dalam teori
ketergantungan, maka negara-negara yang berada di sepanjang jalur khatulistiwa
semacam Indonesia menjadi memang menjadi negara industri, namun negara industri
dengan tambahan predikat “pinggiran” atau satelit dari metropolisnya—dengan
karakteristik pertumbuhan kemajuan ekonomi yang tersendat-sendat alias
medioker.
Penjelesan atas sumber
penyebab tersendat-sendatnya laju pertumbuhan ekonomi di Dunia Ketiga di atas
salah satunya bisa dilihat melalui serangkaian evaluasi empirik atas
keterbelakangan pembangunan yang umumnya dilakukan teoritisi berhaluan Marxis.
Kelompok teori ketergantungan secara umum menolak tesis kelompok teori
modernisasi yang menyebutkan bahwa (1) keterbelakangan adalah akibat dari
keterlambatan negara-negara tersebut dalam memodernisasi dirinya, (2) hubungan
internasional dalam arti terjalinnya kontak dengan dunia luar dianggap akan
mampu membantu negara-negara ini, khususnya dalam pengenalan nilai-nilai
modern, pemberian modal, pendidikan dan transfer teknologi.[5] Bagi kelompok
teori ketergantungan kedua tesis itu keliru, karena pada dasarnya
problematisasi mengenai keterbelakangan yang diderita negara-negara Dunia
Ketiga –yang umumnya mengkhususkan diri di sektor produksi pertanian–
sebenarnya muncul (1) dari persentuhannya dengan dunia luar, dan (2) disebabkan
oleh karena sistem atau struktur perekonomian dunia yang eksploitatif, dimana
negara yang kuat/maju secara ekonomi mengeksploitasi yang lemah. Dengan
struktur perekonomian dunia yang ekploitatif seperti ini surplus yang
dihasilkan negara-negara Dunia Ketiga justru beralih ke negara-negara industri
maju. Lebih jauh lagi, perdagangan bebas sebagai pusat tumpuan pendapatan
negara justru dalam kenyataannya justru malah tampil sebagai semacam vacuum
cleaner yang menyedot bersih pendapatan negara-negara pertanian.[6] Adalah Raul
Prebisch yang dianggap sebagai teoritisi pioneer yang mencetuskan problem
fundamental dari keterbelakangan yang diidap Negara Dunia Ketiga ini.
Dilihat dari
pandangannya mengenai industri substitusi impor sebagai solusi bagi
keterbelakangan negara Dunia Ketiga, Prebisch jelas masuk kedalam matriks
logika teori NIDOL. Namun jika dilihat dari kritik mendasar yang diajukannya
terhadap mekanisme perdagangan bebas sebagai biang keladi terjadinya
eksploitasi atas negara Dunia Ketiga, maka dia terkategori sebagai teoritisi
ketergantungan—bahkan yang paling pertama/pioneer. Prebisch secara jeli
berhasil menganalisis persoalan keterbelakangan negara Dunia ketiga dengan
pertama-tama memusatkan perhatiannya dalam menjawab pertanyaan berikut:
“Mengapa negara-negara yang melakukan spesialisasi di bidang industri berhasil
menjadi negara kaya, sedangkan mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja
miskin? Pertanyaan seperti ini muncul dalam karyanya yang berjudul The Economic
Development of Latin America and its Principal Problem –dikenal juga dengan
nama ECLA Manifesto. Diajukan sebagai kertas kerja dalam kapasitasnya sebagai
Sekretaris Eksekutif Economic Commission for Latin America (ECLA), terbit tahun
1950.[7]
Dalam analisnya
Prebisch mengelompokkan negara-negara dunia ke dalam dua cluster. Cluster
pertama adalah negara pusat (metropolis), yakni negara dengan spesialisasi
produksi barang-barang industri, dan cluster kedua adalah negara-negara pinggiran
(satelite), dengan spesialisasi produksi di bidang pertanian. Dalam teori
pembagian kerja internasional lama, kedua cluster ini saling melakukan
perdagangan dan diandaikan akan sama-sama saling menghasilkan keuntungan yang
setara. Bagi Prebisch apa yang luput dihitung dalam pengandaian teori pembagian
internasional lama ialah fakta defisit pada neraca perdagangan diantara dua
kelompok negara yang saling bertransaksi di perdagangan bebas itu. Di level
yang lebih teknis hal ini terjadi karena kurva harga komoditi industri semakin
menanjak di satu sisi sedangkan harga barang-barang hasil proses pertanian
bergerak relatif statis di sisi lainnya, dengan level konsumsi yang juga
statis. Dan gap defisit neraca perdagangan ini semakin lama semakin melebar.
Penyebabnya ada tiga. Berikut keterangannya:
“Gejala ini dapat dijelaskan dengan pertama
karena permintaan untuk barang-barang pertanian tidaklah bersifat elastis.
Disini berlaku Hukum Engels, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat
menyebabkan prosentase konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun.
Artinya, pendapatan yang naik tidak akan menaikkan konsumsi untuk makanan,
tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran
negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari
negara-negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil
ekspornya relatif tetap. Inilah yang menimbulkan defisit neraca perdagangannya.
“Kedua, karena negara-negara industri sering
melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri, sehingga sulit bagi
negara pertanian untuk mengespornya kesana. Ini memperkecil jumlah ekspor
negara pinggiran ke negara pusat.
“Akhirnya, ketiga, kebutuhan akan bahan mentah
bisa dikurangi sebagai akibat dari adanya penemuan-penemuan teknologi baru yang
bisa membuat bahan-bahan mentah sintetis... hal ini memperkecil jumlah ekspor
dari negara-negara pinggiran ke negara-negara pusat”.[8]
Kondisi-kondisi yang
memperburuk valuasi terhadap barang-barang pertanian justru tidak terjadi pada
barang-barang industri dan secara otomatis juga tidak mengurangi pendapatan
negara industri. Hal ini dijelaskan Prebisch dengan mengingatkan kita pada: (1)
Hukum Engels, yakni “pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi
makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya pendapatan yang naik tidak
akan menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi
barang-barang industri.”[9] Dengan langsung memproyeksikannya ke dalam neraca
perdagangan negara pertanian, khususnya pada sektor impor: naiknya pendapatan
negara pertanian diikuti dengan kenaikan impor komoditi industri, sedangkan
kenaikan volume impor justru tidak terjadi pada barang-barang pertanian. Inilah
penyebab defisit pada neraca perdagangan; (2) Kenaikan upah buruh di
negara-negara industri sebagai akibat dari kenaikan tingkat kemakmuran, secara
linear mengakibatkan naiknya harga komoditi industri, dan di tahap tertentu
meningkatkan besaran pengeluaran negara pertanian yang mengimpor berbagai
komoditi industri dari negara Utara. Di tahap lebih lanjut, seluruh argumen di
atas pada gilirannya digunakan Prebisch untuk mendasari kesimpulannya yang
antara lain menyebutkan bahwa biang keladi dari keterbelakangan yang dialami
negara-negara di kawasan Amerika Latin ialah karena (1) defisit pada neraca
perdagangan negara pertanian, yang disebabkan (2) terlalu mengandalkan ekspor
bahan-bahan mentah atau primer. Kesimpulannya ini kelak dikenal dengan Tesis
Prebisch-Singer.[10]
Sebagai jalan keluar
dari malapetaka dunia ketiga ini, Prebisch melontarkan solusi yang sangat
terkenal yakni: Negara-negara terbelakang harus melakukan industrialisasi!
Taktik yang ditawarkan Prebisch yakni: (1) dengan memulai industri substitusi
impor –membangun industri di dalam negeri sebagai pengganti komoditi yang
tadinya diimpor dari negara-negara industri maju; (2) proteksi pemerintah atas
industrialisasi yang masih bayi hingga mampu berkompetisi dengan negara-negara
maju.
Dari kajian di atas,
langsung maupun tak langsung Indonesia sebagai negara mengikuti dengan baik
perdebatan teoritik ini dan terlibat secara intens dengan berbagai pikiran yang
tujuannya utamanya ialah demi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang dipercaya
akan mengawali tahap evolusi terkemudian menuju kesempurnaan relatif suatu
negara bangsa.
Bersandar pada
pikiran-pikiran W. W. Rostow, dan dalam tahap tertentu juga senada dengan
anjuran Prebisch, Indonesia menghindari memilih melakukan spesialisasi kerja di
bidang pertanian, melainkan masuk dalam problematisasi dan solusi yang
disarankan kedua pemikir pembangunan Negara Dunia Ketiga ini, yakni bergegas
mentransformasikan diri menjadi negara industri. Dengan mempertimbangkan kelemahan
yang diidap negara pertanian sebagaimana terlihat dalam problematisasi
Prebisch, dan dalam saat yang sama bersetuju dengannya dalam pemilihan means of
production negara (baca: industri), Indonesia secara pasti kemudian menempuhnya
dengan menerapkan secara persis apa yang dalam penteorian Rostow dikenal dengan
five stages of economic growth atau lima tahap yang harus dilalui dalam proses
pembangunan ekonomi. Inilah lajur rasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan
yang secara resmi dibentangkan semenjak tahun 1969 di Indonesia.[11]
Mulai saat itu, secara
resmi Indonesia memulai proyek mentransformasikan struktur ekonominya kedalam
segala sesuatu yang bersifat industrial. Terutama dengan memperhatikan doktrin
pembangunan Rostow tahap kedua, yakni apa yang disebutnya “tahap pra kondisi
tinggal landas”, Indonesia secara resmi melancarkan pembangunan di bidang
infrastruktur industrinya sendiri. Bagi Rostow, apa yang perlu disiapkan di
dalam tahap pra kondisi tinggal landas ialah segala jenis infrastruktur yang
memungkinkan terjadinya peningkatan produktivitas dan merangsang kemampuan
investasi. Di titik ini yang dimaksud infrastruktur ialah operator industri,
yakni (1) tenaga kerja (human industrial resources) yang dibentuk melalui
disisipkannya industri kedalam kurikulum pendidikan, (2) infrastruktur berat
seperti jalan, pabrik dst. Doktrin ini pun selanjutnya menjelaskan perlunya
Negara Dunia Ketiga menerima ‘sentuhan’ dunia luar dalam proses
transformasinya. Artinya menerima bantuan modal, yang dalam praktiknya penuh
dengan konsesi-konsesi yang memberatkan sebagaimana diulas panjang lebar oleh
para teoritisi ketergantungan.
Dalam perjalanannya
Indonesia bisa dinyatakan gagal menjadi negara industri, dan sebagai
konsekuensinya, Indonesia juga gagal menyentuh puncak piramida dalam teori
pentahapan pembangunan ekonomi Rostow, yakni tahap konsumsi masal tinggi—fase
dimana surplus ekonomi tidak lagi dijadikan modal melainkan dialokasikan
sepenuhnya bagi kesejahteraan sosial. Lantas apa yang menjadi biang keladi
kegagalan ini? Dan lebih jauh lagi, pilihan apa yang masih tersisa setelah dua
kegagalan beruntun (baca: negara pertanian & industri) dalam menentukan
means of production negara ini?
Pertanyaan pertama
secara hipotetik bisa dijawab dengan menyebutkan bahwa penyebab dari kegagalan
ini ialah karena kita melewatkan sepenggal kebenaran dari apa yang diutarakan
teori pembagian kerja internasional lama, khususnya mengenai keperluan
melakukan spesialisasi kerja berdasarkan keunggulan komparatif yang dimiliki
sebagai negara selatan yang berlimpah cahaya dan berada disepanjang lajur garis
khatulistiwa, serta abai pada fakta geografis bahwa kita merupakan negara
kepulauan yang dikelilingi lautan yang penuh dengan ikan. Bagi Maurice Duverger[12]
misalnya, misrecognisi seperti ini sukar ditoleransi, sebab sebagai akibatnya
analisis terhadap politik kehilangan akurasinya, semata karena dia gagal
memperhatikan apa yang disebutnya dengan territorium atau struktur fisik yang
didalamnya populasi dan struktur geografi –termasuk iklim– akan memberikan
sumbangsih penting dalam menghadirkan akurasi serta presisi pada hasil analisis
politik, dalam hal ini analisis atas politik kesejahteraan suatu negara. Untuk
memperkuat argumen di atas, kita juga bisa
menyebutkan disini bahwa pemerintah pada waktu itu terkesan terlalu
tergesa-gesa menerima seluruh problematisasi yang diformulasi para teoritisi
yang bahkan tidak menempatkan Indonesia secara spesifik sebagai medan teliti
dan analisanya. Dengan kata lain, para penasehat kebijakan-kebijakan Soeharto
pada waktu itu mungkin lupa untuk memikirkan dalam-dalam dampak dari adaptasi
teori secara membabi buta tanpa terlebih dahulu memperhatikan
perbedaan/kekhasan dan kesamaan yang dimiliki Indonesia dengan negara-negara
yang menjadi obyek analis para developmentalis saat itu.
Sedangkan untuk
pertanyaan kedua bisa dijawab dengan mengajukan hal yang pada dasarnya senada
namun dengan model penalaran yang berbeda, yakni kita masih mungkin menjadi
negara industri, namun negara industri yang sama sekali tidak berkosentrasi
pada spesialisasi kerja industri manufaktur sebagaimana lazimnya apabila kita
menyebut industri. Ringkasnya, secara hipotetik kita masih mungkin menjadi
negara industri yang maju, namun dengan terutama memperhatikan dimensi
spesialisasi kerja yang sesuai dengan keunggulan kompartif yang secara aktual
kita miliki. Tak syak lagi, apa yang dimaksud disini ialah negara industri
dengan konsentrasi pada produksi pertanian dan perikanan, yang nota bene sesuai
dengan keunggulan komparatif yang kita miliki sebagai negara yang secara
geografis berada di lajur khatulistiwa yang kaya akan cahaya sehingga cocok
untuk spesialisasi produksi di bidang pertanian dan negara kepalauan yang
dikelilingi kekayaan sumber daya kelautan.
Selain karena fakta
geografis di atas, pemilihan means of production negara seperti ini pun –yang
pada dasarnya merupakan tesis Christopher Pierson– juga disandarkan pada satu
cita-cita mengenai bagaimana mengupayakan satu karakter penganugerahan hak-hak
sosial yang bersifat mencakup seluruh populasi warga/universal coverage
sebagaimana dirumuskan Esping-Andersen melalui konsep social citizenship, yakni
dalam rangka secara nyata menata ulang stratifikasi sosial yang senjang dan
tidak merefleksikan eksisnya kesetaraan dan solidaritas sesama warga negara di
Indonesia.
Hal ini terutama dengan
memperhatikan fakta bahwa kalangan tani dan nelayan adalah kategori sosial yang
secara kuantitatif menempati porsi terbesar dalam struktur demografi Indonesia,
yang tragisnya tidak mendapatkan hak sipol dan ekosob secara memadai dari
negara. Pilihan diksi “kalangan tani-nelayan tidak mendapatkan hak sipol dan
ekosob secara memadai” disini semata-mata untuk menghindari penggunaan istilah
“diskriminasi/privilasi negara yang faktanya memperlakukan PNS dan anggota TNI
secara berbeda dengan lainnya” ditandai dengan dianugerahinya kalangan ini
dengan berbagai tunjangan kesejahteraan dari negara”. Dengan kalimat lain, asa
untuk menjatuhkan pilihan pada industri pertanian dan perikanan –ringkasnya
kita sebut saja “industri hijau dan basah”—sebagai means of production Negara
kesejahteraan Republik Indonesia didasari satu hasrat untuk menghabisi
diskriminasi distribusi welfare, dan di taraf lebih lanjut demi menciptakan
struktur kesetaraan serta keadilan sosial-ekonomi baru muncul dalam rupa
mengusahakan karakter transfer kesejahteraan bisa bersifat mencakup seluruh
populasi warga. Mengapa bisa demikiran? Adakah jalan untuk menciptakan karakter
kebijakan sosial di Indonesia ke arah yang bersifat universal?
Pertanyaan ini bisa
dijawab dengan pertama-tama mengajukan argumen bahwa jika kelompok tani dan
nelayan bisa dimasukkan ke dalam sistem ekonomi formal maka negara akan bisa
secara formal memunguti pajak dari kelompok ini, dan selanjutnya mendistribusi
ulang dalam berbagai bentuk, misalnya pendidikan, pensiun, kesehatan dlsb.
Selanjutnya, pertanyaan
di atas juga bisa dijawab dengan bertumpu pada pendekatan yang bersifat lebih
kental dengan sense geografisnya. Disini, kita pertama-tama perlu mengakui jika
petani dan nelayan pada dasarnya merupakan bagian terbesar dari proporsi populasi
di Indonesia, dan celakanya mereka semua secara tragis terkesan tidak pernah
benar-benar diakui hak sipol dan ekosobnya –yang sejatinya melekat sebagai
bagian inheren dari imperatif keanggotaan politik resminya di NKRI; warga.
Ada persoalan dalam
tragedi ini. Persoalan itu antara lain bisa disasar dengan mengasumsikan bahwa
paradigma yang digunakan negara dalam memandang petani dan nelayan lebih
sebagai burden alih-alih sebagai aset potensial penunjang pertumbuhan ekonomi.
Secara lebih kasar namun benar, negara cenderung justru memandang pertanian dan
pengolahan sumberdaya kelautan sebagai sejenis pekerjaan yang harus dieliminir
dari proses ekonomi formal yang modern, minimum ditransformasi. Hal ini tak
lepas dari terminologi industri (manufaktur) yang secara formal dipercaya dan
diamini negara sebagai sumber utama devisa. Dengan bertumpu pada sejenis
paradigma ini maka negara kemudian menjadi buta, kehilangan makna strategis,
daya kreatif serta kemauan untuk berinvestasi secara jeli dalam rangka memposisikan
kerja tani dan perikanan juga sebagai sumber devisa negara –yang jika dilihat
dari segi kuantitasnya— bisa menjadi leverage yang akan menimbulkan efek
signifikansi yang mencengangkan pada terjadinya perubahan progresif dari
konfigurasi struktur pendapatan negara, dan lebih jauh lagi terhadap
terombaknya karakter distribusi welfare di Indonesia yang selama ini bersifat
diskriminatif, fragmentatif dan incremental.
Sebagai solusi, disini
saya ajukan perubahan paradigmatik dalam cara negara memandang pertanian dan
sektor perikanan sebagai bidang investasi yang akan membangkitkan kurva koma
petumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, skema solusi ini tidak pertama-tama
diajukan sebagai semata terarah pada pertumbuhan ekonomi ala Rostow, melainkan
merupakan turunan dari status inviolability atau tidak boleh dilanggarnya
imperatif penganugerahan hak-hak sosial oleh negara, yang dalam tulisan ini
dijelaskan sebagai mentalitas atau dimensi dalam dari rancang bangun
intelektual Negara kesejahteraan Republik Indonesia.
Lebih jauh,
dijatuhkannya pilihan pada “industri hijau & basah” sebagai means of
production NkRI adalah bagian dari taktik untuk menyiasati bagaimana membuat
petani dan nelayan mampu muncul masuk dihitung dalam setiap momen
formulasi/skematisasi distribusi welfare. Ringkasnya, mereka yang dulunya
terabaikan, kini resmi dan tak terelakkan sebagai yang mesti dihitung masuk
sebagai yang berhak mendapatkan benefit dari diintroduksinya kebijakan sosial
oleh negara. Karena dia –secara teoritik– berhasil dimunculkan sebagai bagian
integral dari gerak laju proses ekonomi formal yang produktif. Disini –dan
inilah sesungguhnya yang menjadi isu utama paragraf ini– sebagai resultannya,
kebijakan sosial di Indonesia kelak akan bisa bersifat universal/mencakup seluruh
populasi warga, sebab kini bagian terbesar yang selama ini tak pernah
dianugerahi hak ekosob berhasil didorong sebagai salah satu penyumbang dari
pembiayaan jaminan sosial. Inilah translasi atau bentuk lain dari kebijakan
tenaga kerja aktif khas Swedia yang dimodifikasi ke dalam formasi penalaran
NkRI.
Taktik di atas akan
dimungkinkan pertama-tama dengan memasukkan terminologi industri tani-perikanan
sebagai pilihan utama means of production negara. Di titik ini kita bisa mulai
mengidentifikasi peranan negara di tahap awal, yakni berinvestasi secara
besar-besaran di tiga level: 1) produksi; 2) distribusi; 3) konsusmsi.
Di level produksi
negara bisa memulai dengan menginstalasi segala aspek yang berkaitan dengan
keperluan produktivitas tani dan perikanan. Sejauh yang bisa dibayangkan, disni
negara bertugas melakukan investasi di bidang (1) peningkatan sumber daya
manusia sebagai operator terampil bagi gerak laju industri hijau dan basah, dan
(2) berinvestasi pada bidang infrastruktur fisik yang dibutuhkan untuk
menunjang industri hijau dan basah ini.
Di bidang peningkatan
kapasitas sumber daya, negara bisa menempuhnya dengan mengintegrasikan kedalam
kurikulum pendidikan formal terkait satu cita rasa pendidikan yang berdimensi
produktif dengan spesifikasi di bidang produksi pertanian dan perikanan. Di
titik ini negara akan banyak sekali memunculkan sekolah-sekolah dengan kadar
perhatian yang tinggi dan seimbang, baik itu terhadap ilmu-ilmu humaniora
maupun terhadap pendidikan yang berdimensi keterampilan yang dibasiskan pada
kearifan lokal, dalam hal ini yang mengajarkan keterampilan produksi tani dan
atau keterampilan yang bersifat kelautan. Pendeknya pendidikan yang disesuaikan
dengan kondisi daerahnya. Disini visi pendidikan adalah satu perspektif yang
basisnya adalah perkawanan dekat dengan alam itu sendiri—eco education. Selain
itu, negara akan banyak berinvestasi di bidang penelitian, sejauh hal itu
menunjang produktivitas industri hijau dan basah. Di titik ini kita bisa
membayangkan riset-riset aplikatif yang berkutat pada teknologi pembenihan,
penemuan alat produksi semacam traktor yang ringan dan bisa dijinjing karena
memang kontur tanah yang berbukit-bukit, perkapalan, riset cuaca, dlsb.
Di level distribusi
–sekaligus untuk memberi keterangan mengenai pentingnya membangun infrastruktur
fisik– negara akan berinvestasi di soal-soal yang terkait dengan mobilitas
barang dan jasa pertanian dan perikanan. Hal ini penting mengingat kemudahan
dalam proses distribusi akan menekan secara signifikan biaya produksi yang akan
membuat harga komoditi menjadi kompetitif dan berdaya saing. Disini kita bisa
membayangkan negara membuat jalan-jalan yang memungkinkan pergerakan barang dan
jasa lebih cepat dan efisien. Infrastruktur komunikasi pun diinstalasi
sedemikian rupa dan diintegrasikan untuk memungkinkan pertukaran informasi,
penyebaran pengetahuan, spesialisasi produksi antar daerah bisa dilakukan
secara terbuka dan simetris. Mesin-mesin produksi pun secara berkesinambungan
dibangun dengan tujuan untuk membangun suatu identitas baru tentang kerja
tani dan nelayan yang ringan dan
manusiawi. Artinya, teknologi diperbantukan secara maksimal demi mereduksi
kinerja otot yang menyiksa sekaligus membangun pencitraan mengenai pekerjaan
agro industri yang terhormat dan bermartabat/bukan kerja binatang. Pendeknya,
disini kita bicara mengenai modernisasi dalam proses produksi dan distribusi
pertanian dan sektor perikanan.
Untuk level konsumsi
negara bisa menetapkan sasaran-sasaran kemana komoditi-komoditi industri hijau
dan basah ini nantinya diserap. Disini tak syak lagi kita berbicara mengenai
pangsa pasar hasil produksi. Dengan mempertimbangkan besaran jumlah
penduduk Indonesia yang saat ini
mencapai kurang lebih 230 juta jiwa, maka prioritas pangsa pasar yang mestinya
negara tetapkan pertama-tama adalah pangsa pasar dalam negeri. Negara di titik
ini bisa saja meluncurkan berbagai kebijakan seperti membatasi impor bahan
pangan dari luar dengan cara memprioritaskan komoditi dalam negeri. Dengan
kebijakan ini negara dapat mengakumulasi surplus yang diperoleh dari perputaran
ekonomi di dalam negeri dan atau menggunakannya untuk keperluan investasi di
bidang lain. Sasaran paling pokok dari pengelolaan ini adalah produktivitas
warga serta ketahanan pangan. Jika memang dimungkinkan, di tahap lebih lanjut,
pasca swasembada pangan tercipta –meskipun sedikit agak riskan– negara bisa
saja memproyeksikan komoditi industri hijau dan basah sebagai komoditi dengan
orientasi ekspor dan memperoleh devisa dari hasil perdagangan di sektor
ini.
Di tahap selanjutnya,
dengan mempertimbangkan intervensi aktif negara yang hadir dalam bentuk
investasi seperti disinggung di atas, negara secara resmi mulai bisa memungut
pajak dari petani dan nelayan. Memungut pajak disini pada dasarnya merupakan
bentuk nyata dari peran negara dalam mengelola fiskal yang nantinya akan
diredistribusi negara untuk membiayai ragam kebijakan sosial/jaminan sosial.
Dengan kalimat lain, kewajiban membayar pajak disini ialah sebentuk kontribusi
nyata para petani dan nelayan terhadap negara yang akan bertugas untuk
mendistribusi ulang pendapatan negara tersebut demi kepentingan segenap warga
negara, baik itu untuk membiayai sektor pendidikan, jaminan kesehatan, jaminan
pensiun, jaminan anak, jaminan kehilangan kemampuan kerja dlsb. Pada momen ini
terjadi dua hal secara simultan (1) negara memberdayakan warganya dan (2) warga
memberdayakan negaranya. Negara disini bertransformasi menjadi institusi yang
kuat, berdaya dan budiman yang dioperasikan oleh warga yang aktif, kuat,
berdaya, budiman sekaligus sensitif terhadap realisasi ide-ide mengenai
kesetaraan, kebebasan dan solidaritas persaudaran antar sesama warga
negara—social citizenship/kewargaan sosial.
Prasyarat
Institusional bagi Transformasi NKRI kedalam Negara kesejahteraan Republik
Indonesia (NkRI)
Dengan mencermati
karakter means of production negara sedemikian maka kita potensial memiliki
karakter distribusi welfare yang bersifat universal. Potensialitas tersebut di
tahap lebih lanjut memerlukan semacam formalisme yang diintegrasikan kedalam
konstitusi negara, semata agar kontrak sosial benar-benar berhasil ditulis
ulang dan lebih merefleksikan eksisnya ide-ide kesetaraan, kebebasan dan
persaudaran antar manusia/warga di dalam proses sosial keseharian atau tidak
bersifat metafisika atau utopia semata.
Mengikuti Swedia
misalnya, formalisme sebagaimana dimaksud di atas ditempuh dengan mendesain
pilar-pilar regulatif, muncul dalam bentuk perundang-undangan, yang
memungkinkan semua orang memiliki legal standing ketika menuntut hak-hak
kebebasan positif maupun negatifnya. Selain itu, kepentingan dari legalisasi
ini ialah agar kinerja pemerintah bisa menjadi jauh lebih terukur dan jauh
lebih mungkin ditagih akuntabilitas/daya pertanggungjawabannya oleh warga.
Dengan status kebijakan sosial yang bersifat inviolable atau tidak boleh
dilanggar oleh negara maka pemerintah yang umumnya diterima secara teoritik
sebagai pemangku resmi kepentingan segenap warga akan bekerja secara sepenuhnya
untuk sebesar-besarnya kepentingan warga yang merupakan stake holder utama
sekaligus basis legitimasi kekuasaan resmi pemerintahan demokratis.
Dengan memperhatikan
imperatif di atas, maka regulative pillars yang merupakan bagian dari desain
institusional Negara kesejahteraan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Universal Healtcare Act
2. Universal Education Act
3. Universal Pension Act
4. Universal Family Act
Seluruh undang-undang
di atas diupayakan untuk menyertakan term universal dalam setiap formulasinya.
Hal ini terkait erat dengan keperluan sebagai haluan simbolik yang akan
menavigasikan arah kebijakan sosial Indonesia agar bersifat mencakup seluruh
populasi warga, yang dengan demikian diharapkan mampu mengoreksi struktur
ketidaksetaraan dan ketidaksejahteraan yang melanda bagian terbesar dari warga
Indonesia hari-hari ini. Dengan diproklamirkannya visi kenegaran baru, yang
dalam tulisan ini diefisiensikan ke dalam tatanan penandaan Negara
kesejahteraan Republik Indonesia, dan dengan secara evolutif dibarengi
introduksi paling tidak empat (4) perundang-undangan di atas, maka kesatuan
teritorial, identitas dst, sebagaimana dimaksudkan dalam simbolik NKRI potensial
menemukan semacam lem perekat dengan daya lekat lebih kuat, yang kali ini
terutama dengan mengandalkan welfare/kesejahteraan sebagai instrumen
integrasinya.
Akhirnya, penulis sadar
banyak sekali kekurangan di dalam totalitas tulisan ini. Semoga di kemudian
hari bisa dilengkapi dan disempurnakan oleh siapapun yang berhasrat
mengasertasi kesetaraan dan membumikan kesejahteraan di republik ini. Semoga
upaya kecil nan sederhana ini mampu memberikan kontribusi pada kejayaan
Indonesia di kemudian hari. Menutup bagian ini, saya ingin menggemakan
sepenggal frasa yang pernah diucapkan wanita istimewa: “Jangan pernah berhenti
mencintai Indonesia”.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Andersen, Gøsta Esping,
1999, Social Foundation of Postindustrial Economies, New York: Oxford
University Inc.
_________, 1990, The
Three Worlds of Welfare Capitalism, Cambridge: Polity Press.
Berman, Sheri,
Understanding Social Democracy, New York: Columbia University.
Briggs, Asa, 2006, “The
Welfare State in Historical Perspective”, dalam Christopher Piersons, Welfare
State Reader, Cambridge: Polity Press.
Budiman, Arief, Teori
Pembangunan Dunia Ketiga, 1995, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
D. Pearce, R.K. Turner
and I. Bateman, 1994, Environmental Economics: An Introduction, New York: Harvester-Wheatsheaf.
Duverger, Maurice,
Sosiologi Politik, Penj. Daniel Dhakidae, Ed. 1, Cet.6, 1998, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Einhorn, Eric S. and
John Logue, 2003, Modern Welfare States: Scandinavian Politics and Policy in
the Global Age, second edition,s, London: Praeger
Gambert, Tobias, dkk.,
Ivan A. Hadar (penj), Landasan Sosial Demokrasi, Bonn:
Friedrich-Ebert-Stiftung.
Hjertqvist, Johan,
2002a, The Health Care Revolution in Stockholm: a Short Personal Introduction
to Change, Stockholm: Timbro Health Care Unit.
Huijbers, Theo, 1995,
Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta:Kanisius.
Hulet, Karen M, 2001,
“Environmental Perspective on Public Institutions” dalam B. Guy Peters &
Jon Pierre (Ed), Handbook of Public administration, California: Sage
Publications, Inc.
Kuhnle, Stein, 2003,
The Developmental Welfare State in Scandinavia: Lessons to the Developing
World, (UNRISD).
Kyrklund-Elena Dingu,
2009, Inclusion and Education in European Countries, Stockholm: Stockholm
University.
Lacan, Jacques,
2001, Ecrits: A Selection, translated by Alan Sheridan, London:
Routledge Classics.
Meyer, Thomas &
Lewis P. Hinchman, 2007, The Theory of Social Democracy, Cambridge: Polity.
Pierson, Christoper,
2004, Late Industrializers and the Development of the Welfare State, UNRISD.
Rawls, John, 2006, A
Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George and J. J
Goodman, Teori Sosiologi Modern, 2001, Jakarta, Kencana.
Robet, Robertus, 2008,
Pandangan Tentang Yang Politis: Tanggapan Terhadap Konsepsi Subyek dan Tindakan
dalam Pemikiran Slavok Žižek, Jakarta: STF Driyarkara.
_____________, 2010,
“Subyek atau Mengapa Perempuan Tidak Eksis (Provokasi Lacan tentang Sexuasi dan
Tindakan Etis)”, Kuliah Umum tentang Seksualitas di Komunitas Salihara,
Jakarta: Komunitas Salihara.
Rorty, Richard, 1984,
Philosophy in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin
Skinner, Cambridge: Cambridge University Press.
Rostow, W. W, The Stages of Economic Growth: A
Non-Communist Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960)
Stephens, John D, 1995,
The Scandinavian Welfare States: Achievents, Crisis and Prospect, Geneva:
UNRISD.
Tim Peneliti PSIK,
2008, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: pengembangan kebijakan dan
perbandingan pengalaman, Jakarta: Pusat
Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina.
Triwibowo, Darmawan
& Sugeng Bahagijo, 2006, Mimpi Negara Kesejahteraan, Jakarta: LP3ES.
Zed, Mestika, Metode
Penelitian Kepustakaan Edisi kedua, 2008, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Internet:
Berita Resmi
Statistik, No. 47/ IX/ 1 September
2006, (Online), (http:///www.bps.go.id
2008). Diakses tanggal 18 Oktober 2009.
EFA Report 2000 from
Sweeden (Online) http://www.unesco.org/education/wef/countryreports/sweden/rapport_1.html,
diakses tanggal 14 Februari 2011.
Gufron, Ali, dkk,
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Tahun 2005 (Studi di Dua
Kabupaten), (Online)
(http:///www.litbang.depkes.go.id) hal 1. Juga merupakan makalah pada
Seminar Nasional Reformasi Sektor Kesehatan di Bandung, 6-8 Juni 2006, diakses
tanggal 13 oktober 2009.
Hessle, Sven & Bo
Vinnerljung, Child welfare in Sweeden:
An Overview, (Online), www.nccg.org/freesweden/krsweden.rtf , diakses
tanggal 20 Juli 2011.
Marx, Karl, Freidrich
Engels, “Manifesto of the Communist Party”, (Online)
http://www.marxists.org/archive/marx/works/1848/communistmanifesto/ch01.htm#023,
diakes tangggal 12 Januari 2011.
Penduduk Menurut Jenis
Kegiatan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009, (Online),(http:///www.bps.go.id
2008), diakses 18 Oktober 2009.
Pontoh, Coen Husain,
Melampaui Sosial Demokrasi, (Online), www.unisosdem.org. Ket: paper juga
disampaikan pada diskusi di Reform Institute, Jakarta, 09/09/2009, diakses
tanggal 20 Oktober 2009.
Regeringkansliet, The
New Education Act-for Knowledge, Choice and Security, (Online),
http://www.sweden.gov.se/sb/d/12996, diakses pada tanggal 12 Juni 2011.
Social Security Online,
History, (Online), http://www.ssa.gov/history/1900.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2011.
Supriyono, Bambang,
“Pertautan Teori Organisasi dan Institusi”, (Online) http://images.hozinulasrul.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SJavGAoKCBoAAF@cPH41/Teori%20Institusi.pdf?nmid=108832919,
diakses tanggal 12 Februari 2011
The New Education Act,
(Online) http://www.sweden.gov.se/sb/d/12996, diakses tanggal 14 Februari 2011.
Unesco, EFA Report 2000 from Sweden, (Online),
http://www.unesco.org/education/wef/countryreports/sweden/rapport_1.html, diakses pada tanggal 12 Juni 2011.
Koran:
“Dua Demo Digelar di
Depan Istana”, 2008, Media Indonesia 21 Oktober.
“Massa Demo Tolak SBY
Penuhi Kawasan Senayan”, 2009, Kompas Rabu, 21 Oktober.
“Massa Demo Tolak SBY Penuhi Kawasan Senayan”,
2008, Kompas 21 Oktober.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Loc. Cit., Robertus
Robet, (2008), hal: 235
[2] Op. Cit., Gosta
Esping-Andersen, hal: 3.
[3] Op. Cit., Gosta
Esping-Andersen hal: 23.
[4] Dr. Arief Budiman,
Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995),
hal:17.
[5] Ibid., Dr. Arief
Budiman., hal: 41.
[6] Ibid., Dr. Arief
Budiman., hal: 41-42.
[7] Ibid., Dr. Arief
Budiman., hal: 45.
[8] Ibid., Dr. Arief
Budiman., hal: 46-47.
[9] Ibid., Dr. Arief
Budiman., hal: 46.
[10] Ibid., Dr. Arief
Budiman., hal: 47-48.
[11]“The idea spreads not merely that economic
progress is possible, but that economic progress is a necessary condition for
some other purpose, judged to be good: be it national dignity, private profit,
the general welfare, or a better life for the children”. W. W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A
Non-Communist Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960), hal: 6.
Kutipan ini adalah argumen kunci yang digunakan Rostow dalam rangka memberi
pendasaran bagi jalur pembangunan ekonomi yang dianjurkannya untuk ditempuh
oleh negara-negara dunia ketiga. W.W. Rostow adalah salah satu teoritisi
ekonomi pembangunan paling berpengaruh di Negara Dunia Ketiga. Hal ini terbukti
dari adaptasi atas berbagai gagasannya di banyak negara berkembang di dekade
1960-an. Khusus untuk Indonesia, PJPT I & II (Pembangunan Jangka Panjang
Tahap I dan II, yang merentang antara tahun 1969-1998) merupakan bukti dari
demikian kuatnya pengaruh teorema pentahapan pembangunan ala Rostow yang
diadaptasi dalam format pembangunan Indonesia saat itu, bahkan hingga saat ini.
Pentahapan pembangunan per lima tahunan secara langsung bisa diinterpretasi
sebagai adaptasi atas gagasan Rostow yang tertuang dalam bukunya yang berjudul
The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang dipublikasi pada
tahun 1960. Dalam buku ini Rostow memberikan semacam peta jalan bagi
negara-negara dunia ketiga dalam proses penyejajaran diri dengan negara-negara
maju. Rostow mengklaim bahwa negara-negara maju telah menempuh kemajuannya
dengan mengikuti 5 tahapan linier yang dilaksanakan sejak abad ke-17.
[12] Maurice Duverger,
Sosiologi Politik, Penj. Daniel Dhakidae, Ed. 1, Cet.6, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal 33-53.