FILSAFAT KEMISKINAN

Kemiskinan adalah problem kemanusiaan. Oleh karena itu sifat usaha pengentasannya pun dituntut bisa tampil dalam wajah humanis. Mengapa? Pertanyaan pendek itu tentu saja membutuhkan keterangan akademis panjang lebar. Tentang isi keterangan itu sendiri bisa jadi bersifat filosofis, padat dengan muatan teoritis serta ketat berpatokan pada valuasi sosiologis.

Secara cepat-cepat umumnya kita selalu tergesa-gesa menempelkan berbagai keterangan mengenai kemiskinan tanpa kehendak untuk pelan-pelan menelusuri akar pikirannya. Sebagai eksesnya kita kerap mengalami disorientasi pada apa yang sebenarnya sedang kita tangani, yaitu kemajuan dan keutamaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu maka usaha pengenalan pada genus sekaligus rumpun morpologis dari kemiskinan secara mendasar harus juga sekalian menyasar pandangan-pandangan fundamental mengenai siapa itu manusianya. Merujuk keperluannya, pencarian akan hakikat manusia ini bertujuan menemukan komposisi peralatan paling memadai yang kompatibel dengan kecenderungan maupun dengan kebutuhan manusia dalam rangka meloloskan diri dari situasi kemiskinan. Peralatan tersebut ialah segala aspek instrumental non-manusiawi yang biasa disebut ‘sistem ekonomi politik’.

 I
Secara filosofis, rumpun penjelasan yang dari waktu ke waktu terlibat serius memperdebatkan identitas genetis dari kemiskinan pertama-tama datang dari liberalisme, yang melihat kemiskinan lebih sebagai persoalan individual. Sebagai sistem filsasat, liberalisme meyakini satu kebenaran yaitu bahwa dalam posisi asalinya manusia adalah pemilik kebebasan sempurna, otonom, penolak segala hal menyakitkan. Dengan antropologi filsafat semacam ini maka situasi kemiskinan atau a state of being poor ditolak sebab fasilitas untuk merasakan kesakitan dinyatakan sudah built in di dalam diri individu. Demikian posisi liberal. Sebagai implikasinya, kemiskinan –yang kini sudah bisa dijelaskan sebagai pemicu defisit kebahagiaan individual– dilihat sebagai external impuls yang mengancam keamanan rantai pasokan basic human needs orang per orang. Keterangan filosofis seperti ini kita dapatkan dari Thomas Hobbes dan John Locke. Dari Hobbes kita juga memetik satu pelajaran penting bahwa suplay energi resistensi terhadap situasi poverty diperoleh dari susunan logika hak pemeliharaan diri (right of self presevation). Dari Locke kita pun mendapatkan silogisme filosofis yang relatif serupa, yakni daya tolak pada kondisi kemiskinan pertama-tama datang dari, dan kemudian harus diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak individual. Hak individual ini selanjutnya ia sebut dalam istilah “property rights”, meliputi life, liberty dan estate. Dalam perkembangannya dua jenis hak pribadi ini menjadi fundamental filsafat ekonomi politik liberal, yaitu bahwa supremasi hak-hak individual mendahului segala teknik pengaturan sosial ekonomi politik. Dengan basis naratif seperti ini maka tak mengherankan jika segala upaya pengatasan terhadap situasi kemiskinan kerap dibebankan pada sistem ekonomi yang mengakomodir kompetisi kepentingan diri. Di level sistem politik, negara pun diminta menahan diri untuk tidak mencampuri urusan yang secara naratif terlanjur dianggap ‘terlalu pribadi’ ini.
 
Dari liberalisme kita memperoleh insight filosofis yang humanis dalam menangani persoalan kemiskinan. Yaitu dalam prosesnya usaha ini mesti memperlihatkan keberpihakannya pada kebebasan, menjunjung tinggi otonomi dan meletakkan perlawanan terhadap kemiskinan sebagai bagian integral dari hak individual. Melalui pembacaan kembali terhadap segi-segi humanis-emansipatif dari liberalisme kita juga makin memahami bahwa kebebasan, otonomi, dan kepentingan diri merupakan identitas intrinsik manusia. Dengan demikian maka sistem ekonomi-politik yang mengakomodir kecenderungan-kecenderungan itu bisa dipastikan turut menyumbang pada pemajuan dan pengutamaan manusia. Sampai di sini, pendekatan competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin supremasi hak-hak individual) masih relevan dan diperlukan, dari sisi manapun kita bermaksud melihatnya. 
 
Kendati demikian, liberalisme pun pada gilirannya mesti berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan naratifnya. Hal ini lebih tepat diartikan bahwa memang benar manusia membutuhkan kebebasan dan otonomi ketika berkompetisi memenuhi berbagai kepentingan diri, dan karenanya memerlukan afirmasi dari sistem politik serta fasilitasi secukupnya didalam sistem ekonomi yang mengakomodir pembawaan alamiahnya. Namun apakah hanya itu aggregat kuantitatif dari dimensi kualitatif manusia itu? Inilah pertanyaan terbesarnya. Sejauh yang kita perhatikan, value ‘kompetisi kepentingan diri’ yang terakomodir didalam competitive market economy justru dianggap biang keladi dari makin menjadinya keserakahan manusia. Keserakahan inilah yang kemudian dijelaskan sebagai faktor pencipta sifat hubungan non-manusiawi yang eksploitatif. Bahkan penemuan serta kemajuan teknologi pun disebut-sebut ikut larut memperdalam jurang kesenjangan ekonomi yang berakibat pada terbentuknya konfigurasi situasi ketidakadilan sosial. Artinya, dengan semata mengandalkan pendekatan sistem ekonomi yang mengakomodasi kompetisi kepentingan diri, plus dukungan dari sistem politik yang mendalilkan negara mesti berjarak, hak ‘setiap’ individu untuk terbebas dari situasi scarcity tidak lantas terpenuhi—bahkan dengan faktor kemajuan teknologi sekalipun. Situasi naratif ini pada akhirnya membawa filsafat pada perenungan mendalam untuk kembali mempertanyakan presisi dari bermacam pendekatan sistemik yang dasarnya normativitas supremasi hak individual tadi. 
 
Sejauh yang bisa kita ikuti, kritik akademis terhadap adaptability dari sistem pikir liberalisme pertama-tama datang dari sosialisme. Secara filosofis, kalangan sosialis memulai kritiknya dengan menyebut bahwa manusia memiliki dimensi kualitatif lain, yaitu bahwa secara sosial manusia tak mungkin terus menerus hidup secara solitary. Di sini, berbeda dengan liberalisme yang memandang individualisme sebagai ‘the highest truth’, maka sosialisme melihat kolektivitas didalam masyarakat manusia sebagai ‘axiomatic truth’. Dua titik berangkat mengenai siapa itu manusia yang saling berlainan (yang secara naratif terlanjur diceraikan ini) pada gilirannya turut membentuk suatu kontras ideal kemasyarakatan yang berbeda, dengan pendekatan sistem ekonomi politik yang juga saling berseberangan. Ideal kemasyarakat versi sosialisme itu ialah suatu konfigurasi masyarakat tanpa kelas, yang bertumpu pada prinsip kolektivitas, terarah perwujudan cita-cita keadilan sosial. Adapun sistem ekonomi-politik yang dipilih sebagai pendekatan ialah sistem ekonomi sosialis. Yaitu sistem ekonomi non-kapitalis yang bertumpu pada peran negara, yang merencanakan ekonomi secara terpusat.     
 
Pilihan pendekatan sistemik sebenarnya didasari oleh satu pandangan spesifik mengenai asal usul situasi kemiskinan dalam tradisi pikir marxisme klasik. Karl Marx meyakini bahwa alienasi merupakan sumber utama ketimpangan sosial dan kemiskinan. Lokasi alienasi berada didalam momen produksi, dimana para pekerja tereksklusi dari mode produksi dominan. Kondisi alienasi merujuk pada terkucil atau terasingnya seorang pekerja dari hasil kerjanya. Sebagai akibat dari keterasingan itu seluruh surplus value dari hasil kerja yang dihasilkan kelas pekerja mengalir ke kelas borjuis yang menguasai alat produksi. Dengan demikian penyebab utama alienasi, dan pada gilirannya kemiskinan, sebenarnya tersembunyi dalam konsepsi ‘hak milik pribadi’. Inilah yang dimaksud marxisme dengan structural roots of poverty, yaitu kemiskinan yang pertama-tama lebih banyak disebabkan struktur ekonomi dalam mode produksi historis tertentu. Sebagai jalan keluarnya, sosialis umumnya setuju dengan konsensus yang menganjurkan penghapusan institusi hak milik pribadi. Penghapusan hak milik pribadi diandaikan akan memungkinkan distribusi sumber daya berlangsung secara lebih merata, sehingga jurang ketimpangan sosial bisa dikikis, yang dengan itu agenda keadilan sosial dilanjutkan. Bertumpu pada bangunan naratif seperti itu maka kita bisa memahami alasan sosiologis dibalik mengapa kalangan sosialis pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada sistem ekonomi yang mengedepankan metode kepemilikan kolektif. Di ranah politik, kaum sosialis memposisikan negara sebagai perencana yang mengorganisir ekonomi secara terpusat.   
 
Dalam praktiknya, sistem ekonomi sosialisme mengalami kegagalan yang pahit. Ironisnya, sumber utama kegagalan itu disebut-sebut terletak pada kelebihan utamanya, yaitu metode central planning itu sendiri. Perencanaan terpusat ditujukan untuk menciptakan kesamaan dan mempersempit jurang ketimpangan sosial. Hal ini dilakukan dengan mendalilkan bahwa properti dan seluruh means of production harus dikuasai secara kolektif. Negara sendiri merupakan representasi resmi dari yang-kolektif ini. Namun, alih-alih tercipta keadilan sosial, yang justru terjadi adalah raibnya kebebasan individu, tirani, kediktatoran dan inefiensi. Di ranah ekonomi, perencanaan terpusat menyebabkan hilangnya sistem insentif yang dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi. Sebagai perbandingan, dalam sistem ekonomi kapitalistik, insentif memainkan peranan yang sangat besar. Insentif tersebut antara lain muncul dari sistem harga, untung-rugi dan hak kepemilikan pribadi. Harga pasar memberi informasi tentang kelangkaan relatif dan secara efisien mengkoordinasikan aktivitas ekonomi. Sistem untung-rugi membuat kompetisi terjadi, dan menghasilkan mekanisme disiplin yang mendorong efisiensi ekonomi. Sementara hak kepemilikan pribadi memberi insentif yang dibutuhkan agar ekonomi terus tumbuh. Sebaliknya, di bawah sistem ekonomi sosialisme, peranan insentif sepenuhnya diabaikan. Hilangnya berbagai insentif ini sebenarnya merupakan implikasi dari pandangan antropologis sosialisme yang menganut ordoksi bahwa manusia adalah mahluk kolektif. Dengan kalimat lain, fundamentalisme pada normativitas kolektif inilah yang secara naratif ‘membunuh’ individualisme dan seluruh sistem ekonomi politik yang berakar pada pandangan itu. Di titik ini, kritik mendalam terhadap kegagalan sistem ekonomi sosialisme mestilah dipusatkan pada fundamentalisme kolektivitas, atau kecenderungan sistem ini yang memberi perhatian terlalu besar pada kolektivitas sehingga menafikan seluruh pembawaan individualistik manusia. Pendeknya, sistem ini gagal mengakomodir nature atau kecenderungan alamiah dari manusia itu sendiri. Kendati demikian, ada satu hal yang nampak begitu jelas dari sosialisme, yaitu bahwa isu pemerataan dan keadilan sosial membutuhkan keterlibatan negara.
 
Di titik ini kita sudah menemukan, bahwa baik competitive market economy maupun sistem central planning pada dasarnya sama-sama berusaha melayani kecenderungan alamiah manusia. Sistem ekonomi kapitalistik memberi kemanusiaan peluang untuk bersaing di dalam kerangka kerja pasar ekonomi dalam usaha untuk keluar dari situasi kemiskinan. Sementara sistem ekonomi sosialistik hadir dengan skema perencanaan ekonomi yang terpusat, dengan tujuan penciptaan keadilan sosial. Namun, sebagaimana juga kita saksikan, competitive market economy membuat kemanusiaan jatuh pada persaingan individu yang menyebabkan kendurnya ikatan solidaritas sesama manusia, sementara central planning memang menguatkan solidaritas namun kehilangan berbagai insentif yang dibutuhkan ekonomi agar bisa bekerja menciptakan keadilan sosial.
 
Merespons situasi ini, sosial demokrasi menawarkan pendekatan baru dalam menangani kemiskinan. Berdasar sekuens waktunya sosial demokrasi pertama-tama merupakan respon kritis terhadap dua rumpun penjelasan sebelumnya. Di tahap berikutnya sosial demokrasi berusaha mengajukan jalan keluar yang bersifat eclectic. Dilakukan dengan menyandingkan dua kelebihan utama dari dua pendekatan paradigmatik yang nampak tak terdamaikan ini. Ringkasnya, sosial demokrasi mengakomodir competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin kebebasan individual) sembari dalam saat yang sama berusaha menunjukkan keutamaan ‘peran negara’ dalam menciptakan keadilan sosial dengan cara mengorganisir dan mengarahkan yang-ekonomi supaya berperan efektif sebagai pasok kesejahteraan bagi segenap warganya. Dalam praktiknya, sosial demokrasi sebagai sistem ekonomi politik bertumpu pada peranan pasar yang dibarengi dengan peranan aktif negara dalam meregulasi pasar dan dengan mempromosikan program-program welfare yang bersifat universal. Sosial demokrasi memahami pemberantasan kemiskinan tidak bisa hanya melibatkan pasar atau negara saja.
 
Dalam pandangan sosial demokrasi, utamanya dalam jalur pikiran Pierro Straffa (1926), kemiskinan memang merupakan perjuangan kelas, namun lokusnya sendiri terletak pada sirkulasi alih-alih didalam momen produksi. Pandangan Straffa ini sendiri sebenarnya dibangun dari model ekonomi politik David Ricardo, yang dikombinasikan dengan pandangan Marxist dan Neo-Klasik sekaligus[1] .
 
Disini Straffa meyakini bahwa teori ekploitasi buruh memang benar, namun ia juga memandang keliru asumsi neo-klasik yang mengandaikan tidak adanya koersi di dalam transaksi pasar. Di sisi lain, berbanding terbalik dengan Marx, ia berpandangan bahwa perjuangan kelas tidak terletak pada antagonisme di dalam momen produksi, melainkan pada proses distribusi. Dengan susunan argumen ini, apa yang sebenarnya dimaksud oleh Straffa adalah bahwa perjuangan kelas kini tidak lagi hanya bisa dilakukan didalam momen produksi, namun juga bisa diperluas ke ranah perjuangan politik dimana proses distribusi atas komoditi dimediasi. Implikasi terpenting dari cara pandang tersebut adalah tata produksi kapitalisme tidak perlu ditinggalkan sebab kemiskinan bisa dieliminasi melalui perjuangan di ranah politik.[2] Secara paradigmatik, sosial demokrasi berpandangan bahwa kemampuan kelas pekerja dalam meraih bagian yang fair dari total produksi sosial merupakan kunci yang menentukan peningkatan mutu kualitas hidupnya.
 
Selain Straffa, di jalur pikir ini ada beberapa pemikir lain, salah satunya Amrtya Sen. Sen secara umum mengajukan pikiran bahwa social entitlement merupakan metode untuk mereduksi kemiskinan.[3] Ia percaya bahwa pasar tidak dapat melakukan tugas untuk mendistribusikan kemakmuran sendirian. Oleh karena itu negara perlu turut serta mengambil peran. Hal ini terutama dibasiskan pada pandangannya bahwa didalam masyarakat modern negara bersifat terbuka bagi seluruh warga. Sebagai implikasinya, bagi Sen, tidak terlampau penting mendiskusikan kelas, yang lebih penting ialah membicarakan akses ke dalam negara itu sendiri. Dalam mereduksi kemiskinan, Sen berargumen bahwa tekanan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok yang secara formal tidak berada di dalam lingkup kekuasaan sangat menentukan keberhasilan agenda pengentasan kemiskinan. Di titik ini, sama halnya dengan kalangan sosial demokrat, Sen percaya bahwa struktur masyarakat modern yang telah sedemikian terbuka bisa dimanfaatkan untuk memitigasi dampak kemiskinan dengan cara menciptakan lebih banyak social entittlement untuk seluruh warga negara.  
II 
Mencermati tiga besar paradigma pengatasan kemiskinan di atas, disini kita sudah bisa menentukan bahwa baik negara maupun pasar memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Pada pokoknya keduanya diperlukan untuk memenuhi dua agenda berlainan yang berjalin berkelindaan dalam satu tujuan. Peran aktif negara dalam mengelola pasar ekonomi dan mengarahkannya untuk mencapai agenda keadilan sosial harus dilihat sebagai salah satu kunci kesuksesan. Sementara itu, sistem insentif yang dipromosikan oleh competitive market economy bisa terus menerus dioperasikan untuk menstimulasi pertumbuhan kapital yang dibutuhkan bagi pemerataan ekonomi.   
 
Dalam konteks Indonesia, usaha untuk memadukan dua pendekatan di atas pada dasarnya sudah dilakukan. Peran negara dalam memberantas kemiskinan kentara dalam usaha negara mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai program, baik yang bersifat memperkuat hak ekosob warga negara (social entittlement) maupun program-program yang secara khusus ditujukan untuk mendorong produktivitas.
 
Iwa Inzagi
[Peneliti Senior di Mata Air Foundation]


[1] David L. Harvey dan Michael Reed, “Paradigms of Poverty: a Critical Assessment of Contemporary Perspective”, dalam International Journal of Politics, Culture and Society, Volume 6, No 2, 1992, hal: 283.
[2] Pierro Straffa, Production of Commodities by Commodities: Prelude to a Critique of Economic Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 1960).
[3] Amartya Sen, Freedom and Famine, (The New York Review Book: 1990).
[4]Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (New York: Modern Library, 1776);  David Ricardo, On the Principles of Political: Economy and Taxation, (Cambridge: Cambridge University Press, 1917); Robet M. Solow, “Technical Change and the Aggregate Production Function”, dalam Review of Economics and Statistics, 1957.
[5] Simon Kuznets lebih dikenal dengan penemuannya tentang efek pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan (kurva U terbalik), dimana pada negara yang relatif miskin pertumbuhan ekonomi akan menambah disparitas antara orang kaya dan orang miskin, dan sebaliknya di negara maju, dalam Simon Kuznets, Modern Economic Growth,  (New Haven: Yale University Press, 1966).
[6] Okun’s Law (Arthur Okun) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan penangguran, dimana semakin tingkat pengangguran maka pertumbuhan ekonomi semakin rendah.