Pengantar
Tulisan ini
merupakan penggalan dari naskah tesis. Secara umum, intensi dari publikasi ini
merupakan satu bagian dari konfrontasi simbolik terhadap praktik inefisiensi
yang terjadi di dunia transportasi jalan darat perkotaan. Dalam bidang
keilmuan, tulisan ini bisa dimasukkan kedalam rumpun kajian Sosiologi Ekonomi, Perkotaan, Hukum dan Sosiologi Politik.
Konsep
“tarif atas dan tarif bawah” merupakan dua konsep kunci untuk memahami cara
penentuan tarif angkutan umum konvensional dalam hukum positif Indonesia.[1]
Selain itu ada juga konsep “tarif kelas ekonomi” dan “tarif kelas non ekonomi”.[2]
Konsep
tarif atas dan tarif bawah dibangun dari satu model penjelasan akademis. Keterangan
akademis tersebut selanjutnya diserap sebagai norma peraturan untuk meregulasi
tata cara pentarifan angkutan umum. Aturan tentang penentuan tarif ini misalnya
bisa dilihat di dalam Permen 108/2017.
Penetapan tarif angkutan umum dijelaskan
sebagai hasil penjumlahan antara komponen-komponen pembentuk tarif.[3]
Komponen utama pembentuk tarif ini disebut sebagai “biaya pokok”. Struktur
biaya pokok terdiri dari (1) biaya langsung dan (2) biaya tak langsung.[4]
Dalam konteks Indonesia, rumus tarif riil adalah biaya pokok ditambah 20 persen
atau dikurangi 20 persen dari biaya pokok. Penambahan 20 persen dari biaya
pokok disebut sebagai “tarif dasar batas atas”, sedangkan pengurangan 20 persen
dari biaya pokok disebut “tarif dasar batas bawah”.
Komponen
biaya langsung adalah komponen tarif yang merupakan biaya-biaya yang secara
langsung berkaitan dan mempengaruhi biaya produksi jasa transportasi.[5]
Istilah langsung disini sangat berkaitan dengan pembayaran. Misalnya biaya
untuk bahan bakar minyak (BBM) yang harus dibayarkan secara langsung di tempat
pembelian. Adapun komponen biaya tak langsung adalah biaya lain yang menunjang
proses produksi. Komponen biaya langsung antara lain adalah gaji awak angkutan
(sopir dan kernet), BBM, dan biaya-biaya yang harus langsung dibayar di
terminal. Adapun contoh biaya tak langsung antara lain misalnya biaya
pemeliharaan, biaya umum/kantor, dan pajak.
Tabel 1.
Komponen Pembentuk Tarif Angkutan Umum
Konvensional
|
|
|
|
Komponen
pembentuk harga yang termasuk biaya langsung adalah biaya operasional.
Sedangkan komponen biaya tak langsung yang turut membentuk tarif angkutan umum
adalah adalah biaya-biaya lain yang menunjang operasional.[6]
Biaya operasional kendaraan
didefinisikan sebagai biaya dari semua faktor yang terkait dengan pengoperasian
satu kendaraan pada kondisi normal untuk suatu tujuan tertentu. Perhitungan
atas biaya kegiatan produksi jasa angkutan ini sesuai dengan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. 687/ AJ.206 / DRJD/
2002.
Apabila kita lihat dari perspektif
biaya menurut fungsi pokok kegiatan, maka biaya pokok pembentuk tarif angkutan
umum konvensional antara lain sebagai berikut:
a) Biaya
produksi: biaya yang berhubungan dengan fungsi produksi atau kegiatan dalam
proses produksi.
b) Biaya
organisasi: semua biaya yang berhubungan dengan fungsi administrasi dan biaya
umum perusahaan.
c) Biaya
pemasaran: biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemasaran produksi jasa.
Berdasar
uraian di atas, cara penentuan tarif angkutan umum reguler/konvensional yang diberlakukan
di Indonesia bisa diringkaskan sebagai berikut:
1. Biaya
Pokok ditambah 20 % dari biaya pokok. Selanjutnya disebut “Tarif Batas Atas”.
2. Biaya
Pokok dikurangi 20 % dari biaya pokok. Selanjutnya disebut “Tarif Batas Bawah”.
Tentang rincian “biaya pokok”
selanjutnya bisa dilihat dalam bagian Lampiran Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor KM. 89 Tahun 2002 Tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formula
Perhitungan Biaya Pokok Angkutan Penumpang dengan Mobil Bus Umum Antar Kota
Kelas Ekonomi.
Metode
Penentuan Tarif Angkutan Umum Online
a.
Pengkategorian
Angkutan Online dalam Permenhub
Secara kategoris pemerintah
menggolongkan jenis usaha transportasi berbasis aplikasi kedalam istilah “Angkutan
Sewa Khusus”. Dalam Pasal 19 ayat (1) Permenhub 32/2017 disebutkan:
“Pasal
19
Angkutan Sewa Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, merupakan pelayanan angkutan dari
pintu ke pintu dengan pengemudi, wilayah operasinya dalam kawasan perkotaan,
dan pemesanan menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi.”
Sebagai catatan, formulasi yang
sama persis terkait karakteristik Angkutan Sewa Khusus juga tertera dalam Permenhub
108/2017, khususnya dalam pasal 26 ayat (1).
Pengistilahan “Angkutan Sewa Khusus”
secara mendasar merupakan implikasi langsung dari tekanan intensif yang
menuntut status legal terkait operasional angkutan online. Dengan kata lain,
melalui istilah inilah pemerintah melegalkan angkutan online dalam hukum
positif Indonesia. Hal ini dilakukan dengan cara membagi Angkutan Sewa –yang
tadinya hanya satu kategori—menjadi dua kategori, yakni (1) Angkutan Sewa Umum
dan (2) Angkutan Sewa Khusus.
Secara kronologis, istilah “Angkutan
Sewa Khusus” sendiri baru muncul di dalam Permenhub 26/2017 (lihat Pasal 17
ayat (2) huruf b. Istilah ini kemudian kembali muncul dalam peraturan pengganti
Permenhub 26/2017, persisnya pada Pasal 23 ayat (2) huruf b Permenhub 108/2017.
Perusahaan
Transportasi Online sebagai Content
Provider, Logika Mitra
& Implikasi Implikasinya
Pada masa awal kemunculannya,
perusahaan-perusahaan angkutan online merupakan perusahaan angkutan umum
sebagaimana lazimnya perusahaan angkutan umum lainnya. Namun kondisi ini
berubah setelah dilangsungkannya pertemuan terbatas antara Menteri Perhubungan
dengan para pengusaha angkutan online.[7]
Dalam pertemuan tersebut, Menteri Perhubungan memberikan dua pilihan kepada para
pengusaha angkutan jalan online berbasis aplikasi. Pilihan tersebut antara lain
(1) menjadi perusahaan angkutan umum, dan atau
hanya menjadi (2) perusahaan penyedia aplikasi untuk transportasi. Di
dalam rapat terbatas tersebut perusahaan-perusahaan angkutan online memilih
opsi yang kedua, yaitu hanya menjadi perusahaan penyedia aplikasi berbasis
teknologi informasi (content provider).[8]
Di kemudian hari, hasil rapat ini kemudian menjadi salah satu ketentuan di
dalam Permenhub 32/2017.
Sebagaimana tertera dalam
peraturannya, yang dimaksud dengan content
provider adalah perusahaan-perusahaan penyedia aplikasi untuk jasa
transportasi. Nama besar yang cukup familiar dalam bidang ini antara lain PT.
Gojek Indonesia dan Uber. Dalam Permenhub 26/2017 Pasal 51 ayat (1) disebutkan
bahwa sebagai content provider,
perusahaan aplikasi berbasis teknologi informasi diwajibkan untuk bekerjasama
dengan perusahaan angkutan umum yang telah berbadan hukum dalam penyelenggaran
jasa angkutan. Selanjutnya, pada Pasal 51 ayat (2) peraturan secara tegas
melarang perusahaan aplikasi bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum.[9]
Selanjutnya, pada bagian Ketentuan
Umum, Permenhub 108/2017 Angka 22 disebutkan bahwa “Perusahaan Aplikasi adalah
perusahaan yang menyediakan aplikasi berbasis teknologi informasi di bidang
transportasi”. Pada Pasal 65 Permenhub 108/2017 kembali ditegaskan bahwa
Perusahaan Aplikasi di bidang transportasi jalan darat dilarang bertindak sebagai
penyelenggara Angkutan umum.[10]
Lantas apa saja implikasi-implikasinya, terutama terhadap pembentukan tarif
angkutan online?
Implikasi-implikasi
logis-praktis akibat dari cara pengaturan ini antara lain adalah:
Ø Jasa
transportasi jalan online berbasis aplikasi untuk pertama kalinya dilegalkan,
dalam arti diperbolehkan beroperasi secara resmi di Indonesia.
Ø Jasa
Transportasi online disebut dalam Permenhub sebagai “Jasa Angkutan Orang dengan
Kendaraan bermotor Tidak dalam Trayek”.
Ø Jasa
Transportasi online dikategorisir sebagai jasa “Angkutan Sewa Khusus”.
Ø Perusahaan
transportasi online berbasis aplikasi yang tadinya merupakan perusahaan
angkutan umum kini bukan merupakan perusahaan angkutan umum. Perusahaan ini
kini hanya sebagai perusahaan penyedia aplikasi untuk transportasi.
Ø Sebagai
perusahaan penyedia aplikasi maka ia tidak memiliki kewajiban sebagaimana
kewajiban yang dimiliki perusahaan angkutan umum (Misalnya ia tidak terikat
untuk membuat garasi bagi kendaraan, memperbaiki kendaraan, uji kir, dlsb)
Ø Sebagai
perusahaan penyedia aplikasi maka ia tidak diperbolehkan merekrut pengendara.
Ø Sebagai perusahaan penyedia aplikasi ia harus
bermitra dengan para pengemudi angkutan orang tidak di dalam trayek. Pasca
pengesahan Permenhub 26/2017 dan Permenhub 108/2017, mitra yang dimaksud adalah
perusahaan angkutan umum berbadan hukum.
Ø Munculnya
istilah mitra dan implikasinya terhadap pembentukan tarif.
Ø Tarif
angkutan online lebih rendah dibanding dengan tarif angkutan umum konvensional.
Logika
Mitra
Pembahasan
di bawah ini akan mendiskusikan tentang siapa itu mitra yang dimaksud dalam
tulisan ini. Sebelum disahkannya Permenhub 26/2017 (yang kemudian diganti
dengan Permenhub 108/2017)
perusahaan-perusahaan aplikasi berbasis teknologi informasi untuk transportasi
antara lain bisa melakukan perekrutan, penentuan tarif, dan seterusnya. Istilah
perekrutan disini sangat berkaitan dengan rekrutmen pengemudi. Inilah yang yang
dalam tulisan ini dimaksud dengan “mitra”. Mitra adalah pengemudi perorangan
yang direkrut oleh perusahaan aplikasi untuk transportasi (misalnya oleh PT. Gojek Indonesia).
Berbeda dengan individu yang diatribusi kedalam istilah “karyawan” dalam suatu
perusahaan angkutan umum, “mitra" disini adalah
individu yang memiliki alat produksi. Ringkasnya “mitra” bukan “karyawan”.
Mitra merupakan individu-individu yang bekerjasama secara otonom dalam relasinya
dengan perusahaan aplikasi untuk transportasi jalan darat.
Menjadikan pengemudi sebagai mitra
kerja perusahaan penyedia aplikasi untuk transportasi sangat erat kaitannya
dengan logika usaha yang bertumpu pada konsep carsharing. Konsep carsharing
memungkinkan penggunaan dan perawatan kendaraan –sebagai alat produksi jasa
transportasi– dilakukan secara bersama-sama. Secara positif, cara berpikir
seperti ini memungkinkan terjadinya (1) pembagian kerja, (2) pembagian
keuntungan, dan (3) distribusi beban tanggungjawab (antara perusahaan
aplikasi dan mitranya).
Sebagai contoh, perusahaan aplikasi bekerja sebagai pemberi order yang menguhubungkan
permintaan dan penawaran melalui aplikasi, sedangkan mitra bekerja sebagai
penerima order dan memenuhi permintaan akan jasa. Contoh lain misalnya
perusahaan aplikasi tidak perlu memiliki alat produksi berupa kendaraan karena
kendaraan ini dimiliki, dipelihara, dan sepenuhnya merupakan tanggungjawab mitra.
Dengan demikian, maka pajak kendaraan, biaya perawatan, garasi tempat menyimpan
kendaraan, merupakan tanggungjawab mitra—dalam hal-hal tersebut suatu
perusahaan aplikasi sama sekali tidak bertanggungjawab. Cara usaha yang
kolaboratif seperti ini pada gilirannya berdampak pada tereduksinya satuan
tarif jasa angkutan.
Praksis carsharing secara dramatis berpengaruh sangat besar terhadap
pembentukan harga suatu jasa atau tarif amgkutan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena: (1) suatu perusahaan
transportasi tidak merasakan kebutuhan untuk memelihara alat-alat produksi dan
kelengkapannya (kendaraan, pajak kendaraan, garasi, biaya pemeliharaan
kendaraan). Pendeknya, dalam
hal ini biaya-biaya pembelian kendaraan, biaya
pajak,
dan biaya pemeliharaan, tidak
menjadi indeks pembentuk tarif; (2) mitra tidak
merasakan kebutuhan untuk mengeluarkan biaya-biaya seperti merawat server,
promosi, penggajian, karena hal itu merupakan beban tanggungjawab yang dipikul
oleh perusahaan aplikasi untuk transportasi. Dengan membagi beban sedemikian
rupa maka suatu satuan tarif jasa transportasi bisa tereduksi secara dramatis. Harus
diakui pendekatan “carsharing” inilah
yang telah berhasil menciptakan efisiensi di dalam penyelenggaraan jasa
transportasi jalan darat di perkotaan.
Praksis usaha yang bertumpu pada
cara berpikir seperti ini berlaku antara tahun 2015 hingga disahkannya
Permenhub 26/2017 yang diganti dengan Permenhub 108/2017. Kedua Permenhub ini
kembali kepada prinsip keras logika korporatisme
yang segalanya harus serba perusahaan (dalam
menyelenggarakan jasa
transportasi umum).
Cara Penentuan Tarif Angkutan Online
Cara Penentuan Tarif Angkutan Online
Dalam
membicarakan cara penentuan tarif angkutan online, mau tidak mau kita harus membaginya kedalam
dua periode. Periode pertama adalah periode ketika angkutan online pertama kali
beroperasi, yaitu sekitar tahun 2015. Periode kedua adalah pasca disahkannya
Permenhub 26/2017.
Pada
periode yang kedua, cara penentuan tarif angkutan online relatif sama dengan
apa yang dilakukan terhadap angkutan umum konvensional, yaitu dengan
menggunakan metode biaya pokok ditambah 20% atau dikurangi 20% dari biaya pokok.
Namun, yang menarik adalah melihat cara penentuan angkutan online pada periode
pertama, yakni di periode awal kemunculan angkutan online di Indonesia.
Pada
periode awal kemunculannya, harga satuan tarif angkutan online dilakukan oleh perusahaan
aplikasi. Komponen-komponen pembentuk harga satuan jasa ngkutan onlline antara
lain adalah:
- Biaya dasar: harga penjemputan
- Waktu: dari mulai sampai akhir
perjalanan
- Jarak: mil atau kilometer rute
- Harga lonjakan (jika ada)
- Tol dan biaya tambahan (jika ada)
Jika
kita cermati, di dalam komponen-komponen pembentuk harga tarif angkutan online
di atas, kita tidak menemukan adanya komponen
biaya sebagaimana komponen biaya pembentuk jasa angkutan umum—dalam
undang-undang komponen biaya ini disebut “biaya pokok”. Hal inilah yang sebenarnya
menjadi semacam “rahasia dapur” perusahaan aplikasi.
“Rahasia
dapur” sebagaimana dimaksud di atas
adalah distribusi beban melalui konsep carsharing.
Dengan distribusi beban antara perusahaan aplikasi dan mitra maka harga satuan harga
tarif jasa angkutan umum onlinee
direduksi. Contoh, jika perusahaan
angkutan umum konvensional harus membeli kendaraan, maka perusahaan
penyedia aplikasi untuk transportasi tidak perlu membelinya,
karena perusahaan ini bermitra
dengan pengendara yang
memiliki kendaraan secara pribadi. Secara
otomatis biaya pengadaan moda transportasi tersebut tidak menjadi biaya yang turut membentuk tarif. Satu contoh
lainnya adalah biaya perawatan kendaraan. Jika perusahaan transportasi
konvensional sendirian menanggung biaya perawatan, maka perusahaan aplikasi
tidak perlu menanggung biaya tersebut karena beban pembiayaan pemeliharaan alat
produksi tersebut merupakan beban pembiayaan yang harus ditanggung oleh mitra.
Dengan sendirinya beban ini tidak masuk sebagai komponen pembentuk harga. Sama
halnya dengan beban perawatan, perusahaan aplikasi pun tidak perlu membayar
pajak, karena pajak ditanggung oleh pemilik kendaraan atau mitra dari perusahaan penyedia aplikasi untuk
transportasi. Demikian halnya dengan garasi kendaraan, dalam hal ini mitra
menyimpan sendiri alat produksi transportasi tersebut di garasinya
masing-masing. Bayangkan jika perusahaan aplikasi harus menyediakan
lahan untuk garasi—mereka harus membeli lahan, membangun gedung, membayar biaya
kemananan dst.
Biaya-biaya pengadaan kendaraan,
perawatan kendaraan, pajak kendaraan, garasi untuk kendaraan pada gilirannya
tidak turut membentuk satuan tarif, dan pada gilirannya membuat harga satuan
tarif angkutan online bisa lebih rendah dari harga satuan tarif angkutan umum
konvensional.
Penerapan konsep carsharing/ridesharing inilah yang pada
masa awal beroperasinya angkutan online berhasil menciptakan tarif jasa
angkutan umum yang lebih murah dibandingkan dengan jasa angkutan umum
konvensional. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya distribusi peran,
tanggungjawab dan distibusi beban pembiayaan. Dalam logika korporatisme hal ini
tidak bisa dilakukan. Korporasi/perusahaan
menangggung seluruh beban
pembiayaan. Beban ini kemudian menjadi komponen pembentuk tarif, dan beban
tersebut kemudian dilihkan kepada
konsumen dalam bentuk tarif yang harus dibayar.
Hambatan-Hambatan
dalam Diskursus Pengaturan Transportasi Indonesia
Tatanan
Logika Korporatisme dalam Aturan Hukum Transportasi Jalan Darat Indonesia
Jika kita ajukan pertanyaan tentang
kenapa biaya satuan jasa lebih transportasi konvensional menjadi lebih mahal
dibandingkan dengan jasa transportasi online, maka secara hipotetik jawabannya adalah karena penyelenggaraan transportasi konvensional berbasis
kepada logika korporatisme. Lantas apa persisnya logika korporatisme tersebut?
Melalui UU 22/2009 tentang Angkutan
Jalan Darat, kita tahu bahwa peraturan transportasi lebih banyak memberi ruang
kepada perusahaan. Oleh karena itu maka ruang ekonomi transportasi sebenarnya
bersifat ekslusif. Hal ini terjadi lebih
karena undang-undang transportasi menganut cara berpikir “korporatis”. Dengan
menyebut korporatis, yang ingin dikatakan disini adalah bahwa untuk bisa
berkecimpung di dalam bisnis transportasi maka suatu usaha transportasi
tertentu terlebih dahulu harus memenuhi ketentuan perundang-udangan agar supaya
bisa diatribusi atau sah secara hukum sebagai perusahaan angkutan.
Di dalam undang-undang, semangat
korporatisme ini antara lain kentara didalam, misalnya ketika menyatakan: “...
mendorong jasa angkutan menjadi industri jasa angkutan” (lihat PP No. 74/2014 Pasal
112 Ayat 1 & 2 huruf a, b, c, d, e). Pertanyaannya: mengapa “jasa angkutan”
harus didorong menjadi “industri jasa angkutan”? Bukankah Indonesia menolak
paradigma ekonomi monopolistik yang memelihara eksklusifitas? Jika aturan
perundang-undangan mengimperatifkan “jasa transportasi” harus dikembangkan
menjadi “industri jasa transportasi”, lantas bagaimana kelangsungan para pelaku
usaha perorangan yang bukan korporasi? Bukankah imperatif PP 74/2014 untuk
mendorong jasa transportasi menjadi industri jasa transportasi berpotensi
membatasi peluang dari para pelaku usaha non korporasi untuk berpartisipasi dan
berkembang secara alamiah di dalam percaturan ekonomi transportasi? Bukankah
hal itu (secara potensial) akan menghambat perkembangan alamiah para praktisi transportasi
perorangan? Lebih jauh lagi: mungkinkah,
justru hal inilah yang selama ini menghambat perkembangan kualitatif dari jasa
transportasi di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dicarikan
jawabannya. Penelitian ini sendiri merekomendasikan dilakukannya satu penelitian
yang secara khusus membedah perkara
ini.
Di samping itu, eksklusifitas
ekonomi transportasi pun dilakukan dengan jalan mengkategorisasi jenis usaha
transportasi ke dalam tiga kategori (lihat PP No. 74/2014 Pasal 115 Ayat 1, 2, 3 dan lihat juga Pasal 112 Ayat 1
& 2 huruf a, b, c, d, e).[11]
Selain itu, eksklusifitas ekonomi transportasi ini pun dipastikan berlaku
melalui susunan logika “izin” (lihat PP No. 74/2014 Pasal 81 Ayat 1,2,3).[12]
Secara hipotetik, penelitian ini
menganggap bahwa tiga hal di atas merupakan penyebab yang membuat
penyelenggaraan jasa ekonomi transportasi Indonesia bersifat korporatis atau harus segala sesuatunya berbentuk perusahaan transportasi.
Celakanya, dalam praktik pengaturan kontemporer, tatanan logika korporatisme
ini dipaksakan untuk satu jenis operasional usaha transportasi yang pada
kenyataannya sudah bisa dilangsungkan secara lebih efiesien (karena dalam praktik
operasinya angkutan online tidak
terlebih dulu masuk ke dalam tatanan logika “korporatisme”) lihat Permenhub
108/2017.
Hal ini tentu saja bukan sepenuhnya
merupakan kesalahan korporasi yang bergerak di industri transportasi jalan
darat. Karena pada praktiknya perusahaan adalah subyek hukum, dan pada
gilirannya mempunyai keharusan untuk mengikuti
susunan logika korporatisme didalam aturan-aturan transportasi yang berlaku.
Kendati demikian, kita masih dimungkinkan untuk mematahkan argumen refutatif semacam itu.
Hal ini karena setiap luaran dari proses politik, dalam hal ini
legislasi—termasuk legislasi di bidang transportasi—secara mendasar selalu
merupakan hasil dari suatu proses aggregasi kepentingan yang didorong oleh
kelompok kepentingan kongkrit.
Kelompok inilah yang umumnya aktif mempengaruhi substansi dalam suatu rumusan
hukum positif tertentu. Oleh karena itu maka apabila aspek-aspek dalam UU
Transportasi Jalan Darat memiliki kecenderungan yang sedemikian akomodatif
terhadap “korporasi” atau “perusahaan”,
maka sudah barang tentu korporasi transportasilah yang patut diduga turut aktif
mempengaruhi tone peraturan
transportasi di Indonesia. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam rumusan
Permenhub 108/2017 di bawah ini:
“Pasal 36
“Untuk menyelenggarakan Angkutan Orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, Perusahaan Angkutan Umum wajib
memiliki izin penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Tidak dalam Trayek.
“Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenakan biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak atau dapat dikenakan
retribusi daerah.
Pasal 37
“Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1), harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berbentuk: badan usaha milik negara; badan usaha milik
daerah; perseroan terbatas; atau koperasi.”
Memperhatikan rumusan
Permen di atas, di titik ini secara retoris kita bisa mengajukan satu
pertanyaan: Sebenarnya aturan dunia transportasi Indonesia melayani siapa?
Bukankah dengan rumusan semacam ini menjadi tidak mungkin bagi kita untuk tidak
menafsirkan bahwa rumusan ini hanya melayani kepentingan korporasi jasa transportasi?
2. Penerapan Logika Carsharing dan Peranannya dalam
Mengfiesienkan Jasa Transportasi di Indonesia
Cara penyelenggaran jasa
transportasi dengan bertumpu pada formasi logika carsharing telah terbukti berhasil mengefisienkan bisnis
transportasi angkutan orang di Indonesia. Akan tetapi, inovasi yang terbukti
sukses merombak secara radikal dunia transportasi ini mendapat hambatan yang
cukup berarti dari segi peraturan, setidaknya untuk saat ini. Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 108/2017 tidak cukup jeli melihat cara kerja logika
carsharing dalam mengefiensienkan tarif angkutan umum. Sebagai akibatnya aturan transportasi jalan darat pada akhirnya harus kembali jatuh pada cara pengaturan transportasi lama yang serba
korporatis.
Sebagaimana diuraikan di bagian
sebelumnya dalam tulisan ini, beban yang seluruhnya harus ditanggung perusahaan
–korporatisme– pada gilirannya membuat harga jasa transportasi angkutan orang
menjadi tidak efiesien. Dengan logika korporatisme, seluruh biaya, termasuk
dalam hal ini “biaya
pokok” (biaya pembelian kendaraan,
garasi, perawatan, gaji karyawan, pajak dan biaya-biaya lainnya) semuanya harus ditanggung oleh korporasi atau perusahaan. Hal inilah yang menjadikan
satuan harga produksi suatu jasa menjadi tinggi. Yaitu karena seluruh beban
harus ditanggung perusahaan yang
kemudian dialihkan kepada konsumen. Akan tetapi, berbeda
dengan cara kerja logika korporatisme, kerangka
kerja
logika carsharing memungkinkan terjadinya distribusi biaya pokok satuan
pembentuk harga jasa transportasi. Distribusi biaya pokok yang dibagi diantara
pengusaha aplikasi dan mitra memungkinkan terjadinya distribusi besaran biaya
pokok yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan satuan harga jasa.
Penutup: Memadukan
Dua Cara Berpikir dalam Aturan Transportasi
Melalui uraian di atas, setidaknya kita
mendapati dua cara berpikir atau dua tesis yang berbeda dalam penyelenggaraan
transportasi umum di Indonesia, yaitu (1) Korporatisme dan (2) Carsharing. Bagi penulis, dua tesis di
atas sebetulnya bisa disintesakan. Sintesa tersebut kemudian diproyeksikan
untuk mengkonstitusi praktik penyelenggaraan jasa transportasi di Indonesia
yang hingga hari ini masih dideterminasi oleh satu cara berpikir saja—logika
korporatisme.
Secara empirik, faktor teknologi
informasi telah memberi perspektif baru tentang bagaimana mengefisienkan satu penyelenggaraan
jasa transportasi umum. Message-nya
adalah: kenyataannya penyelenggaran jasa transportasi umum bisa lebih efisien. Fakta ini tidak terbantahkan.
Lebih jauh lagi, fakta empirik
tersebut sesungguhnya bisa kita manfaatkan sebagai energi panas untuk melumerkan “kekentalan” tatanan logika korporatisme dalam peraturan transportasi di
Indonesia. Dengan kata lain, penyelenggaraan jasa transportasi umum tidak mesti
korporatis. Dengan kata lain lagi: praksis carsharing menunjukkan bahwa tidak
semua jenis penyelenggara jasa transportasi angkutan umum harus masuk terlebih
dahulu kedalam istilah “perusahaan”, sebab faktanya ada satu jenis
penyelenggaraan jasa transportasi yang lebih efisien dimana hal itu dilakukan
dengan jalan membagi peran, beban dan tanggungjawab atas pemanfaatan dan
perawatan alat produksi utama transportasi.
Di titik ini penelitian mengajukan
rumusan dialektis untuk menghasilkan aturan transportasi umum jalan darat di
Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan.
Tabel
2. Matriks Dialektika
Aturan Transportasi
Tesis lama
|
Logika
korporatisme dalam Peraturan Transportasi
|
Anti Tesis
|
Logika
Carsharing dalam praktik transportasi online
|
Sintesis
|
Logika
korporatisme + Logika Carsharing dalam Aturan transportasi Indonesia
|
Sudah
barang tentu, sintesis di atas hanya bisa diterapkan jika ada kemauan politik
untuk melakukan reformasi dalam tata aturan transportasi. Kenyataan bahwa
praksis carsharing (yang dibantu elemen
penerapan teknologi informasi di bidang transportasi) bagi penulis sudah
cukup sebagai dasar untuk melancarkan reformasi aturan transportasi jalan darat
di Indonesia. Dengan demikian maka tatanan logika korporatisme tidak mungkin
lagi dipertahankan sebagai satu-satunya cara berpikir yang mengkonstitusi hukum
positif atas transportasi jalan darat Indonesia.
Oleh Iwa Inzagi
[1] Lihat Permenhub 32/2016, Permenhub 22/2016, dan Permenhub
108/2017.
[2] Lihat PP 74/2014 Pasal 100 Ayat
(1) huruf a dan b.
[3] Burhanudin Ambar, Tarif Angkutan
Umum: Teori dan Praktek Pentarifan di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta:
(1986), hal: 23.
[4]Lihat Pasal 4 huruf (2) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 89
Tahun 2002 Tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formula Perhitungan Biaya
Pokok Angkutan Penumpang dengan Mobil Bus Umum Antar Kota Kelas Ekonomi.
[5] Op. Cit., Burhanuddin Ambar,
hal: 27.
[6] Lihat Pasal 4 huruf (2) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 89
Tahun 2002 Tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formula Perhitungan Biaya
Pokok Angkutan Penumpang dengan Mobil Bus Umum Antar Kota Kelas Ekonomi.
[7] Ilyas Istianur Praditya, “Uber dan Grab Diberi Waktu 2 Bulan untuk
Tentukan Nasibnya”, diakses pada 24 Mar 2016, 21:10 WIB https://www.liputan6.com/bisnis/read/2467322/uber-dan-grab-diberi-waktu-2-bulan-untuk-tentukan-nasibnya
[8] Aulia Bintang Pratama, “Kemenhub:
Uber dan Grabcar Pilih Jadi Penyedia Aplikasi”, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160323150758-185-119302/kemenhub-uber-dan-grabcar-pilih-jadi-penyedia-aplikasi,
diakses pada Rabu, 23/03/2016 15:14 WIB.
[9] Selengkapnya lihat Permenhub 26/2017 Pasal 51 Ayat (1) & (2).
[10] Selengkapnya lihat Permenhub 108/2017 Pasal 65 huruf a, b, c, d, e.
[11] Tiga kategori: 1) Perusahaan besar; (2) Perusahaan menengah; (3)
Perusahaan kecil.
[12] Implikasi logika “izin usaha” dalam Permenhub 108/2017 Pasal 38:
“Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Perusahaan
Angkutan Umum wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki paling
sedikit 5 (lima) kendaraan; memiliki/menguasai tempat penyimpanan kendaraan
yang mampu menampung sesuai dengan jumlah kendaraan yang dimiliki; dan
menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan (bengkel) yang dibuktikan dengan
dokumen kepemilikan atau perjanjian kerja sama dengan pihak lain.” Disini,
untuk bisa memperoleh izin yang memungkinkan usaha maka setiap pelaku usaha
transportasi umum harus terlebih dahulu memenuhi katagori-kategori sebagai
perusahaan angkutan umum. Persis inilah yang penulis jadikan contoh dari
bekerjanya tatanan logika korporatisme dalam aturan & praktik konkrit jasa
transportasi umum jalan darat di Indonesia.
No comments:
Post a Comment