Edisi Pemikiran Filsafat Politik Liberal | Jean-Jacques Rousseau

Generale Volante atau Kehendak Politik
iwa inzagi [peneliti pada perhimpunan pendidikan demokrasi]


“Rousseau's phrases, Liberty, Equality and Fraternity became the guiding spirit of French revolution and have been influencing political philosophy and political movements since then”. (Lord Morley)

Pengantar
Salah satu teknik deskriptif yang umum digunakan untuk memahami kompleks pemikiran Jean Jacques Rousseau (1712-1778) ialah dengan pertama-tama mendeteksi intensi yang melandasi teorisasinya. Di dalamnya termasuk mencermati ruh pemikiran yang menjadi jiwa zamannya. Kedua, yaitu masuk kedalam konsep-konsep kunci yang diajukannya. Ketiga, dengan memperhatikan kritik-kritik terpenting yang diajukan terhadap pemikirannya. Teknik serupa akan diterapkan dalam tulisan ini. Di bagian pertama kita akan mendiskusikan historycal background yang membentuk intensi dan melandasi teorisasi Rousseau terkait generale volante. Di bagian berikutnya kita akan mendiskusikan konsep-konsep terpenting yang diajukan dan membentuk pandangan politiknya. Pada bagian akhir, tulisan ini akan mendiskusikan dan melihat relevansi atau pengaruh teori politik Rousseau terhadap praktik kepolitikan modern, sekaligus kelemahan-kelemahannya.

Sketsa Historis dan Intensi Pemikiran Politik Rousseau
Menciptakan “satu tubuh kepolitikan” adalah intensi utama teori politik Rousseau. Itu dilakukannya dengan bertumpu pada ‘kuda-kuda’ yang terbilang unik pada masanya. Unik karena Rousseau mengajukan pikiran-pikirannya dengan cara melawan arus utama semangat Les Lumieres—semangat Zaman Pencerahan. Salah satu ucapannya yang begitu terkenal dan selalu dikutip saat membicarakan gagasan-gagasannya adalah: “Manusia dilahirkan bebas, dan dimana-mana terbelenggu”(Rousseau, 1712-1778/1994: 45). Apa maksudnya?
Maksud dari ungkapan itu erat terkait dengan valuasinya terhadap ekses dari optimisme berlebih para pemikir Zaman Pencerahan terhadap rasio. Berbeda dengan Kant di Jerman, yang demikian optimistik terhadap kekuatan rasio sebagai landasan bagi kemajuan kemanusiaan di masa depan, Rousseau justru berusaha meng-edit forma optimisme itu, dan menilainya sebagai semacam optimisme irrasional. Di titik ini, dalam pandangan Rousseau, kebudayaan justru adalah belenggu kemanusiaan. Lantas apa intensi yang terselip melalui provokasi filosofis semacam itu?
Secara umum, di masa itu culture serta bentuk-bentuk kebudayaannya dianggap merupakan implikasi langsung dari rasio. Dengan kalimat lain, rasio lah yang membentuk kebudayaan khas Zaman Pencerahan. Dalam Letter to d'Alembert on Theatre (1758) Rousseau menyatakan bahwa astronomi muncul dari takhyul, geometri dari ketamakan, seni kefasihan retorika dari ambisi, dan etika dari kesombongan. Bagi pendukung Pencerahan, rasio dan kemajuan teknis dipercaya akan berimplikasi secara positif terhadap pertumbuhan moral dan keluruhan manusia. Bagi Rousseau, kemajuan teknis yang dasarnya tak lain dari rasio tadi itu justru dituduh sebagai pemicu peluruhan moral yang mencemarkan kondisi asali manusia (state of nature) yang-baik. Persis di dalam pertikaian atas bentuk-bentuk kebudayaan serta implikasinya terhadap peluruhan moral dan keluhuran manusia itulah kritik Rousseau diayunkan dan pikiran-pikiran politiknya dibentangkan.

Generale Volante atau Kehendak Politik      
Generale volante (bahasa Prancis) atau general will (bahasa Inggris) ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kehendak umum”. Dalam tulisan ini, translasi klasik itu coba dipertajam dengan menyebutnya sebagai “kehendak politik”. Mengapa demikian? Jawaban terhadap pertanyaan itu akan diselipkan di dalam totalitas tubuh tulisan ini.
Pemikir semacam Matey misalnya menyebut konsep ‘general will' sebagai crux dari filsafat politik Rousseau, dan oleh karenanya ia berpandangan bahwa pemikirannya ini merupakan kontribusi terpenting Rousseau terhadap pemikiran politik. Senada dengan Matey, Sabine menyebut ‘general will’ Rousseau sebagai: “his most distinctive contribution to political thought.
Sebagai teori, general will mengambil posisi sebagai ‘pembela’ gagasan kedaulatan popular, kebebasan individual, dan kontrak sosial (consent) sebagai dasar dari otoritas politis dan kedaulatan negara. Jika diperhadapkan dengan lawan-lawannya, maka teori ini dimaksudkan sebagai refutasi atau sanggahan terhadap satu model penjelasan yang menyebutkan bahwa legitimasi kekuasaan politik adalah hak-hak bawaan. Dengan demikian maka teori ini jelas diayunkan Rousseau sebagai kontra argumen terhadap narasi yang diusung faksi konservatif yang terang-terangan mendukung kekuasaan monarki di masa itu.
Generale volante sebagai pikiran secara mendasar didirikan di atas satu postulat antropologi politik khas Rousseau, yaitu bahwa “men and women in civil society are virtuous that they are able to become citizens” (Levine, 1994: 180). Sedangkan rute pembentukan satu tubuh kepolitikan dalam Rousseau dijelaskan lebih sebagai patahan psikologis, yaitu momen suksesi dari amour de soi yang secara sosial tersisihkan oleh amour propre.

Had "the true founder of civil society" not succeeded in privately appropriating a piece of land, amour de soi might have survived indefinitely. But with the end of the original state of nature and the ensuing transformation of human beings' interests and dispositions, the demise of self-love became inevitable. Rousseau called its successor amour propre, rational egoism. Individuals moved by amour propre are essentially the idealized agents of nineteenth- and twentieth-century economic theories, the rational calculators emblematic of "the spirit of capitalism." Strictly speaking, one need not be a rational egoist in order to count as a rational agent. But the rational agents who enter into the social contract are moved by amour propre. (Levine, 1994: 49)

 Sebagaimana jelas tertera pada kutipan di atas, amour de soi difahami sebagai self love atau cinta diri. Inilah yang dimaksud dengan asumsi antropologi politik non-rasio sebagaimana disebutkan sebelumnya, yaitu pandangan mengenai siapa itu manusia yang utamanya dilihat dalam perspektif psikologis non-rasional. Pandangan ini secara antagonis bertentangan dengan semangat utama les lumieres yang lebih mempercayai rasio atau dimensi intelek manusia sebagai fundamental kemajuan. Sedangkan amour propre dijelaskan Rousseau sebagai rational egoism, yang bentuknya bisa dikenali dalam prilaku manusia yang senang atau gemar memiliki. Rational egoism inilah yang nantinya disebut Rousseau sebagai biang keladi munculnya situasi inequality di dalam civil society. Ringkasnya, amour propre adalah dasar dari the unjust political institution, atau sisi gelap yang ingin diterangi oleh Rousseau melalui pemikiran-pemikiran politiknya. Sukseskah Rousseau? Mari kita lihat.
Amour de soi –yang tak lain dari dorongan non-rasional di dalam diri manusia– dijelaskan Rousseau hanya berlaku di dalam posisi original. Pada Hobbes, ‘posisi original’ sebagaimana dimaksudkan Rousseau merujuk pada ‘state of nature’. Di dalam posisi originalnya, manusia diandaikan berada pada situasi dimana densiti populasi berbanding lurus dengan ketersediaan lahan–situasi ekuilibrium. Oleh karenanya, maka pada posisi asalinya ini manusia disebut belum mengenal konsep meum-tuum. Dengan demikian maka dalam Rousseau meum-tuum hanya dikenali di dalam forma kehidupan masyarakat sipil. Konsep meum-tuum –yang secara literal berarti ‘milikku’ dan ‘milikmu’– lebih jauh dirujuknya sebagai fundamental terbentuknya masyarakat sipil. Di titik ini, sekaligus bisa kita nyatakan bahwa apa yang menjadi epistimologi masyarakat sipil dalam Rousseau adalah “kepemilikan”. Meum-tuum terintensifikasi oleh amour propre, yang bentuknya tak lain dari kegemaran dalam memiliki. Klaim “milikku dan milikmu” inilah yang nantinya dituding Rousseau sebagai biang keladi situasi ketaksamaan sosial, yang pada titik tertentu membentuk apa yang ia sebut dengan the unjust political institution. Itu pula sebabnya dalam Rousseau amour propre sering merupakan kata ganti untuk merujuk apa yang olehnya disebut the unjust political institution.

“Unlike the prototypical "war of all against all" in the Leviathan, the original position of The Social Contract is not an eternal condition lurking beneath the fragile surface of political order. It is socially produced. The state of nature that the social contract ends is therefore not a description of human nature and the human condition per se. It is an account relativized to particular circumstances -specifically, to conditions that develop after the introduction of private property in land, the principal nonhuman productive asset in preindustrial economies” (Levine, 1994: 39).

Sebagaimana implisit pada kutipan di atas, Rousseau melihat aliansi antar individu di dalam civil society lebih sebagai implikasi dari diintroduksi satu pandangan mengenai kepemilikan (tanah). Kenapa tanah? Karena tanah merupakan basis yang menjadi sumber kemakmuran atau aset produktif dalam tata ekonomi pra-industri. Secara sosial, implikasi negatif dari ketaksamaan kepemilikan tanah memicu munculnya satu formasi masyarakat politik yang tak baik. Tidak baik disini merujuk pada ketaksamaan dalam kebebasan yang muncul karena doktrin natural rights yang melegalkan privilasi atas raja dan keluarga. Persis di titik inilah Rousseau menawarkan generale volante sebagai kerangka penalaran untuk mengembalikan fasilitas-fasilitas yang dinikmati manusia saat berada di dalam posisi asalinya ke dalam format kehidupan sipil.  Fasilitas-fasilitas itu antara lain “kebebasan”, yang manifes dalam kebebasan untuk memilih/menunjuk pemimpin politik (kedaulatan popular), kebebasan individual untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya, dan kebebasan untuk masuk kedalam political society dengan cara menjalin kontrak untuk membentuk masyarakat politik –kontrak sosial.

In the original state of nature, the size of the human population and the capacity of the land to support it were in equilibrium. It is not clear why Rousseau thought that population pressures develop as productivity increases. Perhaps he believed that agricultural production runs up against inexorable physical limits – a reasonable expectation, especially in a preindustrial age. In any case, it is plain that Rousseau did not believe that the primordial harmony of the original state of nature could be maintained with rising productivity. The more there was to distribute, the larger the number of individuals demanding a share. Scarcity therefore became increasingly important. Indeed, it came to shape individuals' interests and to transform their wills” (Bakunin, 1968).

Dari kutipan langsung di atas pada dasarnya kita bisa memetik satu poin penting mengenai aspek sosiologis-ekonomis kemunculan generale volante. Pada kutipan itu terlihat bahwa di dalam state of nature besaran populasi manusia equivalen dengan kapasitas tanah. Namun seiring dengan tekanan pertumbuhan penduduk maka tanah sebagai basis kemakmuran tidak lagi sanggup menyediakan landasan ekonomi yang mencukupi bagi semua orang. Dengan itu maka harmoni primordial di dalam state of nature hanya mungkin dipelihara jika terjadi peningkatan produktivitas. Dengan evolusi pertumbuhan populasi di satu pihak dan kondisi tanah yang statis di pihak lain, maka kelangkaan (scarcity) menjadi isu yang semakin urgen. Faktor sosiologis-ekonomis dari pertumbuhan populasi dan statisnya tanah inilah yang dibayangkan Rousseau sebagai faktor empiris yang mentransformasikan kehendak individual menjadi kehendak politik atau general will.  
Bagi Rousseau, baik pria maupun wanita pada dasarnya baik atau virtuos, dan oleh karenanya mereka fit dan proper menjadi anggota (citizen) dari suatu masyarakat politik. Pria dan wanita menjadi tidak baik lebih karena ia berada dalam sistem politik yang tidak baik (baca: sistem politik monarkis yang basis material utamanya adalah tanah). Begitulah argumen yang diajukan Rousseau. Oleh karena itu, maka usaha untuk mengembalikan ‘kebaikan manusia’ pun akhirnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem politik. Sederhananya, manusia bisa kembali baik jika mereka mampu menciptakan institusi politik yang juga baik. Di titik ini Rousseau mengajukan konsep generale volante sebagai prinsip dasar dari masyarakat politik yang baik itu.
Generale volante biasa diartikan sebagai kehendak umum. Kehendak umum pada dasarnya berarti kehendak politik. Validasi atas pandangan semacam ini utamanya merujuk pada asumsi-asumsi filsafat politik yang dianut liberalisme klasik, yaitu bahwa politik adalah kumpulan aspirasi individual untuk mengusahakan kebaikan bagi semua orang yang secara rasional dan sukarela menjatuhkan pilihan bergabung ke dalam masyarakat politik. Dalam Hobbes misalnya, masyarakat politik ada karena setiap orang merasakan ketakutan dan hendak menyudahi atmosfir ketakutan itu dengan cara bergabung ke dalam commonwealth. Di dalam commonwealth mereka lantas menunjuk seorang pemimpin politik (the Sovereign), yang tugas utamanya ialah memberi rasa aman dari rasa keterancaman yang konstan dialami di dalam state of nature. Senada dengan Hobbes, Rousseau pun menganut satu ortodoksi serupa, yaitu bahwa Commonwealth adalah arena paling tepat untuk mewujudkan kehendak politik/kehendak dari the multitude of men who unite in one body politics.
Bagi Rousseau, sebagaimana disimpulkan Levine: “virtue's domain is civil society; the proper arena for general will coordination is the state”. Pernyataan filosofis semacam ini secara ketat merujuk kepada pandangan Rousseau yang memang memiliki aspirasi untuk mengembalikan manusia ke dalam kebaikannya. Dan sebagaimana juga disinggung sebelumnya, kebaikan manusia pada Rousseau diandaikan bergantung pada baik tidaknya sistem politik yang menaunginya. Sedangkan sistem politik yang proper bagi kebaikan manusia itu adalah sistem politik yang dikoordinasikan oleh general will. Ringkasnya bukan sistem politik yang dikoordinasikan oleh hasrat raja atau hasrat gereja, yang memang secara terang-terangan melegitimasi kekuasaan politik raja. Melalui generale volante Rousseau seolah tengah ‘membelah tubuh raja dan tuhan’ yang diandaikan menyatu, dan memisahkannya untuk selama-lamanya. Dewasa ini, paham pemisahan tubuh tuhan dan raja populer dalam istilah sekularisme, yang artinya separasi doktrin agama dari doktrin yang menjadi fundamental eksistensi negara.
Dalam pemikiran Rousseau, general will diilustrasikan sebagai kumpulan kehendak individu-individu yang secara sukarela bergabung ke dalam Commonwealth. Dengan kalimat lain, general will adalah will dari Commonwealth. Persis inilah yang dimaksud dengan “satu tubuh kepolitikan” itu, yaitu kemenyatuan antara kehendak politik individual –yang dalam Rousseau– tak mungkin dipisahkan dari kehendak Commonwealth. Jika kita perhatikan secara agak mendalam, disini kita mendapati formula kerangka logika yang itu-itu juga, yakni kemenyatuan satu tubuh kepolitikan. Yang membedakannya adalah bahwa yang menyatu bukan lagi tubuh tuhan dan raja, melainkan unity of humanity—yang bersatu adalah individu manusia, yang kemudian membentuk institusi kekuasaan politik. Model seperti ini kelak disebut Rousseau sebagai popular sovereignty atau kedaulatan popular. Yang berdaulat adalah orang-orang, bukan lagi tuhan. Sedangkan yang ditunjuk sebagai semacam raja adalah orang terkuat dari di antara mereka sendiri. Dari sini kekuasaan sepenuhnya bersifat sekuler karena tuhan disingkirkan sebagai basis etis kekuasaan politik. Rousseau menulis:          
“Commonwealth is a collectivity of the individuals and General Will is the will of the Commonwealth, of which individual is a part and in the making of which individual will has participated. Thus while subject to the General Will individual remains free since he obeys none else but himself.”

Kombinasi kata “individuals remain free since he obeys none else but himself” sebagaimana tertera pada bagian akhir kutipan di atas pada dasarnya sukses meringkaskan satu pandangan yang firm dari Rousseau tentang sekulerisme, kedaulatan popular, kontrak sosial dan otonomi individu di dalam Commonwealth. Dengan kalimat itu Rousseau memang bermaksud membantah sistem kekuasaan politik monarki yang berpusat pada raja dan tuhan. Bagi Rousseau, dalam sistem politik monarki, individu terkekang semata karena kekuasaan dijelaskan sebagai agnasi atau sesuatu yang hanya bisa diturunkan berdasar trah darah biru dan ‘kedekatan’ tertentu dengan tuhan. Oleh sebab itu, berbanding terbalik dengan seluruh formasi logika kekuasaan lama dan mapan ini, bagi Rousseau kekuasaan politik yang baik adalah kekuasaan politik yang dibentuk berdasarkan persetujuan individu-individu. Dengan logika kekuasaan semacam ini maka individu akan tetap sebagai pribadi yang otonom dan bebas. Kenapa? Karena sumber utama legitimasi kekuasaan politik tidak lain adalah kumpulan kehendak individual sebagaimana termaktub dalam kontrak sosial. Itulah implikasi logis dari logika kedaulatan popular, yaitu bahwa kekuasaan politik harus diorientasikan pada segala aspek yang disetujui individu di dalam kontrak yang mereka jalin dan secara sukarela mereka setujui. Di titik ini tibalah kita pada satu segi penting lain dari pemikiran Rousseau, yaitu teorinya mengenai kontrak sosial.   
Memahami kompleks pemikiran “satu tubuh kepolitikan” Rousseau tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan pemahaman mengenai teori kontrak sosial-nya. Kontrak sosial, sebagaimana pada Hobbes dan Locke, secara mendasar berisikan kesepakatan atau perjanjian yang dijalin individu ketika mereka untuk pertama kalinya memasuki kehidupan politik. Kontrak sosial lah yang mengakhiri sifat laku hidup singly dan solely individu di dalam state of nature. Sejak itulah individu mengenal aliansi dan kooperasi, dan tidak lagi sendirian ketika mempertahankan dan meningkatkan apa yang diklaim sebagai milik pribadi.
Sebagaimana pada Hobbes, state of nature atau keadaan asali manusia pada Rousseau adalah kondisi dimana individu memiliki dan menikmati kebebasan. Jika apa yang menjadi motif aliansi individu ke dalam civil society dalam Hobbes adalah fear, maka pada Rousseau aliansi itu didorong oleh rational egoism yang bentuk kasarnya tampil dalam rupa kegemaran memiliki—amour propre. Dengan ungkapan lain, karena individu merasakan kebutuhan untuk melindungi dan meningkatkan volume atas apa-apa yang diklaimnya sebagai milik pribadi, yang hal itu dijelaskan tak mungkin dipenuhi di dalam forma kehidupan state of nature, maka individu-individu yang hidup menyendiri tanpa perlindungan ini mencari semacam suaka politik dengan cara membentuk Commonwealth, dan kemudian menunjuk orang terkuat sebagai pelindung properti pribadinya ini. Pendeknya menjalin kontrak sosial. Di titik ini kita juga sampai pada pemahaman mengapa suksesi dari state of nature ke civil society diterangkan Rousseau bukan sekedar momen patahan psikilogis per se, melainkan sekaligus sebagai momen diterimanya konsep hak milik pribadi, yaitu meum dan tuum.   
    Dengan rangkaian penjelasan terhadap konsep-konsep terpenting pembentuk kontruksi pemikiran generale volante di atas, maka di titik ini tibalah kita pada satu noktah dimana kita sudah dimungkinkan untuk mensistemasi apa itu generale will, baik kelebihan-kelebihannya maupun kritik-kritik yang dilontarkan terhadap pemikiran ini. Pertama, teori ini adalah teori yang  merupakan refutasi terhadap logika kekuasaan absolut dan sanggahan terhadap hak-hak natural yang menjadi doktrin resmi sifat kekuasaan elitis itu. Kedua, dengan teori ini Rousseau berhasil menyingkirkan pandangan lama yang menyebutkan bahwa kekuasaan bersifat agnasi atau diturunkan berdasar garis darah. Dengan bantahan semacam ini maka otoritas kekuasaan politik pada dasarnya bersumber kontrak atau persetujuan individu-individu. Ketiga, teori ini merupakan doktrin yang melandasi kedaulatan popular. Implikasi logika kedaulatan popular berarti kekuasaan politik harus dikoordinasikan oleh general will dan mesti diarahkan sepenuhnya kepada mereka yang telah secara sukarela menjalin kontrak politik. Pendeknya sifat kekuasaan politik tidak lagi boleh diorentasikan secara eksklusif kepada raja dan keluarganya. Serupa dengan aspirasi republikan, liberalisme pun menyatakan bahwa tujuan politik adalah mengupayakan common good atau bukan ditujukan untuk memapankan common of priviledge good. Keempat, karena kedaulatan popular tersebut, maka political leader atau the Sovereign adalah pemimpin yang dihasilkan dari konsensus dari setiap orang yang terlibat di dalam kontrak. Jika kita secara ketat merujuk Rousseau maka doktrin resmi negara sekuler adalah popular sovereignty. Kedaulatan popular ini sekaligus mengakhiri pola pelimpahan kekuasaan ala sistem monarki atau berdasar trah darah dengan embel-embel tuhan sebagai suplayer moralnya. Implikasi langsung dari logika kekuasaan politik semacam ini maka sovereignty kemudian berubah menjadi basis etis dari totalitas kerangka kerja logika kekuasaan politik demokratis. Pendeknya moralitas kekuasaan dalam negara adalah sovereignty, yang itu tak lain adalah general will atau kehendak politik, yang sepenuhnya diarahkan dan dikoordinasikan untuk mencapai kemaslahatan setiap orang yang terlibat di dalam Commonwealth. Kelima, doktrin individual freedom sebagaimana dirumuskan Hobbes maupun Locke nyatanya gagal menjadi basis kebebasan dan otonomi individu di dalam negara. Dalam Hobbes misalnya, individu dipaksa tunduk dan bersetia sepenuhnya pada negara. Kelemahan semacam inilah yang kemudian ditambal Rousseau dengan teori general wil, yaitu general will sebagai alat untuk menyatukan individual liberty dengan state sovereignty.          

Kritik dan terhadap Generale Volante
Kritik terhadap pemikiran Rousseau umumnya dimulai dari sanggahan terhadap  (1) asumsi dasar dari general will itu sendiri. Asumsi bahwa kehendak bersama itu bersifat mungkin dianggap sebagai pengandaian metafisis non-empiris. Dengan demikian maka kehendak bersama pada dasarnya bersifat tidak mungkin terealisasi. Dengan kalimat lain, asumsi semaca ini menyesatkan dan hanya menghadirkan ilusi akan totalitas. Padahal faktanya kita hidup dalam heterogenitas dan keanekaragaman yang sangat sukar didamaikan. Dengan demikian maka pikiran ini sukar dipraktikkan. Di level empirik, pikiran ini sering kali jatuh ke dalam totalitarianisme. Kritik berikutnya (2) bagi kalangan koservatif, general will adalah bulan-bulanan yang empuk. Bagi para konservatif, general will tidak mungkin bisa dijadikan basis etis dan moral politis. Kenapa? Karena –berbeda dengan pandangan Rousseau yang menyebut men and women are virtous, yang dengan demikian fit dan proper sebagai warga dari negara, juga fit dan proper dalam membangun satu kerangka etis kepolitikan– kalangan konservatif lebih mempercayai doktrin ketuhanan alih-alih percaya pada kebaikan dan kapasitas manusia dalam memikirkan yang terbaik bagi diri dan society. Kritik berikutnya (3) yaitu bahwa Rousseau gegabah ketika menyebutkan bahwa tidak akan ada konflik antara individual good dengan social will.  Faktanya, interes pribadi seringkali mengalahkan tujuan-tujuan sosial politik yang adiluhung. Berikutnya atau (4), general will adalah mitos atau tak lain dari ilusi akan kemenyeluruhan.

Daftar pustaka:
Jean Jacques Rousseau. (1999/ 1712-1778). “Letter to d'Alembert on Theatre” dalam Discourse on Political Economy and The Social Contract. Christopher Bett (trans & ed). (Oxford: Oxford University Press). 

Andrew Levine. 1993. The General Will: Rousseau, Marx, Communism.  (Cambridge University Press).

Jean Jacques Rousseau. 1712-1778/1994. Discourse on political economy and The social contract. translated with introduction and notes by Christopher Betts (trans. with introduction). (London: Oxford world's classics).

Christopher D.Wraight. 1712-1778/2008. Rousseau’s the social contrack: a reader’s guide. (London: Continuum International Publishing Group)