MENJADIKAN PROSES SOSIAL SEBAGAI MEDIUM PEMBELAJARAN

Pencarian Prasyarat Teoritis-Taktis Guna Menjadikan Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran-bersama Pierre Bourdieu

Oleh:
Dr. Robertus Robet &
Iwa Inzagi (a.k.) U. Abdul Rozak R, S.Sos.
Universitas Negeri Jakarta 2011

1. Latar Belakang
Transformasi manusia dan masyarakat Indonesia adalah obsesi yang telah muncul semenjak zaman kemerdekaan dan bertahan hingga saat ini. Untuk mencapai tujuan itu, sejarah masyarakat Indonesia mencatat bahwa banyak pemerintahan mempertahankan konsep dan kebijakan yang meskipun beragam di tingkat akstentuasi namun secara paradigmatis sama, yakni dualisme antara pendidikan dan proses sosial. Semua kebijakan memandang transformasi masyarakat bisa dijalankan secara terpisah dengan transformasi manusianya.

Dualisme atau keterpisahan ini terefleksikan ke dalam praktik yang memisahkan tujuan transformasi itu ke dalam bidang-bidang yang berbeda-beda: transformasi manusia diarahkan pada institusi dan formalisasi pendidikan, sementara transformasi masyarakat dipusatkan pada kalau bukan politik-ideologi (era Soekarno), pada pembangunan ekonomi (era Soeharto). Pemisahan atau dualisme ini nampak dari pandangan yang telah menjadi konsensus dari semua pihak yakni bahwa –misalnya-: pembangunan ekonomi atau kemajuan ekonomi perlu diupayakan sehingga dengan itu bisa membiayai pendidikan atau meningkatkan taraf pendidikan. Pemisahan yang sama juga bisa ditemukan dalam gagasan mengenai politik yang mengambil posisi –misalnya– demokrasi hanya bisa matang dan produktif dalam masyarakat yang sangat terdidik. 

Pemisahan ini menimbulkan beberapa kesalahan besar: kesalahan pertama adalah dengan mengatakan bahwa transformasi masyarakat terpisah dengan pendidikan atau transformasi manusia, maka pemikiran ini menerima pandangan yang keliru bahwa seakan-akan proses ekonomi dan politik tidak memiliki akibat-akibat langsung maupun tak langsung terhadap pembentukan manusia/transformasi manusia. Atau yang kedua, dengan pemisahan itu, pendidikan atau transformasi manusia bisa dipikirkan sebagai resultan setelah sosial atau politik tertentu terlaksana.  Akibatnya –yang ketiga– pandangan ini menghasilkan suatu ide mekanis mengenai pendidikan manusia. Ia gagal melihat bahwa manusia bertindak dan berubah ‘di dalam proses’. Manusia tidak seperti mesin yang perubahan-perubahannya bisa dibayangkan terlaksana secara bertahap-mekanistis. Seperti mobil yang bisa dimatikan dulu baru kemudian jalan setelah menunggu jalan becek menjadi kering. Manusia adalah proses kehidupan, dan proses itu berlangsung selama manusia hidup. Dengan demikian selama proses-proses sosial berlangsung selama itu pula akibat-akibat langsung maupun tak langsungnya akan berpengaruh/dipengaruhi oleh manusia.

Dalam segi praktisnya, kesalahan itu kemudian muncul dalam ‘kecanggungan’ yang menunjukkan diskrepansi antara pandangan-pandangan ideal dalam pendidikan dengan mekanisasi dalam pendidikan. Di satu sisi pendidikan masih tersebut dalam nuansa abstrak normatifnya (luhur, mulia, kelanjutan bangsa, regenerasi budaya) akan tetapi di sisi yang lain, secara praktis ia tidak lebih dari produk atau teknik birokratisasi.

Pada tahap yang lebih luas muncul kebiasaan untuk memandang pendidikan sebagai bidang yang sangat terbatas, seksional dan terlokalisir bahkan terbirokratisasi pada satu segmen saja. Yakni bahwa pendidikan itu diurus oleh departemen a, dilaksanakan oleh gedung sekolah b dan dilaksanakan oleh guru c dengan kurikulum d. Sementara di sisi yang lain, bidang-bidang lain seperti ekonomi dan politik juga tidak dipandang sebagai bidang yang berefek ‘mendidik’. Politik, ekonomi dan dunia sosial lainnya dilepaskan dari fungsi edukatifnya. Pada akhirnya, kita hanya meletakkan tujuan transformasi manusia semata-mata pada buku pelajaran dan sekolah dan gagal memahami bahwa justru dunia sosial dan proses sosial di dalamnya diam-diam juga membentuk dan mengarahkan ke manusia itu pergi. Di sini, kita mengalami tiga kerugian besar; pertama dunia pendidikan menjadi sangat terbatas dan terspesialisasi secara birokratik. Kedua dunia sosial kita kehilangan dimensi edukatifnya, sementara edukasi dipisahkan dari kehidupan. Ketiga, dunia pendidikan dan pendidik diposisikan ke dalam bidang-bidang yang kalau bukan abstrak, psikologis maka teknis-instrumentalis. Pendidikan tidak dianggap sebagai bidang makro-strategis.

Salah satu isu yang bisa dijadikan bukti –yang meskipun sedikit bernuansa teknokratis– yang bisa diajukan untuk menunjukkan pemisahan dan dualisme ini adalah berlakunya pandangan serta kebijakan, misalnya, kebiasaan menetapkan bahwa semua ketua Bappenas dan Menkoekuin adalah pemangku jabatan ekonomi/menteri ekonomi atau orang yang mengerti ekonomi. Intinya semua jabatan-jabatan itu biasanya diberikan kepada ekonom atau insinyur yang menjadi ekonom. Kebiasaan semacam ini menunjukkan bahwa tujuan-tujuan pendidikan masih dipandang terpisah dari proses ekonomi. Dan bahwa ekonomilah yang mendikte ‘pembangunan pendidikan/transformasi manusia’. Padahal kalau diterima posisi normatif bahwa tujuan pembangunan adalah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ maka bukankah mestinya tujuan-tujuan dalam ekonomi yang mesti menyesuaikan dengan tujuan pendidikan?


1.a. Masalah Penelitian

Dengan mempertimbangkan persoalan di atas maka penelitian ini bermaksud memberikan jalan ke luar untuk mengatasi pemisahan antara dunia sosial dengan pendidikan melalui sebuah refleksi teoritis. Permasalahan utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, bagaimana mungkin menjadikan totalitas proses sosial sebagai medium atau basis utama bagi proses pembelajaran?  Kedua, jika memang  memungkinkan menjadikan totalitas proses sosial sebagai basis utama bagi proses pembelajaran, lantas apa saja prasyarat teoritis-taktis yang diperlukan guna mengimplementasikannya?

1.b. Metode Penelitian


Untuk menjawab permasahalan penelitian tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan strategi sebagai berikut: pertama mencari berbagai penjelasan teoritis yang paling memadai untuk menjelaskan kesatuan antara pendidikan dan proses sosial. Di titik ini bidang-bidang yang dipisahkan dengan pendidikan (ekonomi dan politik) akan disatukan dalam konsep proses sosial atau yang sosial. Dengan itu penelitian ini pada akhirnya juga mau menunjukkan bagaimana teori sosial dalam hal ini teori sosiologi dan politik normatif bisa sekaligus dijadikan teori pendidikan (integrasi atau dualitas teori). Kedua, rekonseptualisasi teori-teori tersebut dengan menjelaskan makna edukatifnya. Ketiga, memberikan contoh dan kemungkinan empirik bagaimana proses sosial bisa dijadikan medium belajar dan transformasi manusia.

Untuk itu, penelitian ini akan dilakukan dengan metode yang mengkombinasikan metode hermeneutis dalam bidang sosiologi pengetahuan dengan penelitian kualitatif lapangan. Hermeneutika yang digunakan di sini berbasis pada metode Richard Rorty mengenai ‘historical reconstructives’ terhadap teks-teks. Teks ditafsirkan untuk kemudian diproblematisasi dengan persoalan-persoalan di luar teks untuk kemudian dicari kesimpulan-kesimpulan.[1] Sementara untuk penelitian lapangan, penelitian dilakukan wawancara mendalam dan studi kepustakaan.

2.Dualisme dan Ekonomisasi Proses Sosial dan Pendidikan [2]


Masa-masa pasca kemerdekaan awal (1945-1969) merupakan masa-masa yang seringkali disebut sebagai masa-masa intabilitas politik. Masa ini ditandai dengan tujuh kali jatuh bangunnya kabinet dengan rerata 14 bulan per masa pemerintahan[3]. Meskipun demikian, di masa ini pun terdapat empat (4) dokumen perencanaan pembangunan. Masing-masing adalah: 1) Siasat Pembangunan Ekonomi, tahun 1947, diketuai oleh Muhammad Hatta. 2) Rencana Urgensi Perekonomian, tahun 1951. 3) Rencana Djuanda tahun 1955. 4) Pembangunan Nasional Semesta Berencana, tahun 1960-1969.

Prof. Mubyarto menyebut periode ini dengan sebutan yang tepat, tapi dalam intensi yang sinis. Menurutnya periode hingga tahun 1965 tidak ada pemikiran ekonomi karena ekonomi dibawah subordinasi politik. Dengan politik sebagai panglima maka ekonomi dianggap hilang. [4]
Pandangan Mubyarto ini pada dasarnya mengawali suatu penalaran baru dalam ekonomi yang kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru yakni penalaran mengenai ekonomi yang steril. Ekonomi yang mengabdi semata-mata untuk ekonomi. Dalam turunannya, inilah ekonomi kapitalis sejati –yang sebenarnya turut ditentang oleh pandangan Ekonomi Pancasila Mubyarto. 

Pandangan era Soekarno yang memposisikan ekonomi sebagai aparatus, pada dasarnya secara moral tepat. Karena dalam tujuan negara manapun, tujuan-tujuan ekonomi adalah tujuan dari negara. Pandangan Soekarno bahwa politik sebagai panglima di sini mesti ditafsirkan bahwa dunia ekonomi, industri dan bisnis harus tunduk pada regulasi dan politik negara. Yang jadi soal kemudian adalah sejauh mana derajat pengendalian negara itu dimungkinkan untuk mencapai ekonomi yang sehat dan kreatif? Kita tentu saja boleh berargumen bahwa ekonomi di bawah Soekarno tidak mampu mencapai keadilan, namun demikian di masa itu debat mengenai mazhab, ideologi dan proses ekonomi terjadi secara terbuka dan hidup.

Dengan posisi semacam itu maka jelaslah, bahwa di dalam era Soekarno, bukan ekonomi yang dianggap mampu mentransformasikan manusia melainkan dunia dan aktivitas politik. Khususnya lagi aktivitas politik kolektif. Lantas di mana tempat pendidikan dalam ketegangan ekonomi versus politik yang keras itu? Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan dalam era ini terkait era dengan tujuan-tujuan nasionalisme Indonesia. Pendidikan menjadi bagian inheren dari proyek nation and character buiding. Dengan kata lain pendidikan diintegrasikan dalam tujuan-tujuan kepolitikan dan tunduk di bawah tujuan kepolitikan. Dengan konsep ini, maka Soekarno memercayai bahwa dunia politik akan dengan sendirinya mentransformasi kesadaran dan kematangan individu. Ini yang menjadi dasar dan orientasi dari konsep Soekarno mengenai siapa itu manusia Indonesia.

Peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru sendiri merupakan salah satu ‘tikungan curam’ dalam kepolitikan kita yang ditandai dengan propaganda pemerintahan baru untuk menggantikan jargon “politik sebagai panglima” dengan “ekonomi sebagai panglima”. Jargon metaforik ini pada dasarnya merupakan efisiensi simbolik yang meringkaskan persepsi umum bahwa politik dinilai telah gagal dalam menterjemahkan amanat konstitusi 1945. Sebagai gantinya, pemerintahan Orde Baru mengusung proyek jangka panjang pembangunan ekonomi sebagai anti tesis sekaligus peta jalan baru untuk mengantarkan Indonesia ke dalam cita-cita konstitusionalnya. [5]

Penerimaan luas atas peralihan efisiensi simbolik ini dinilai cukup wajar mengingat indikator ekonomi-politik saat itu menunjukkan bahwa Indonesia yang merupakan negara baru memang belum mampu mencapai esensi kemerdekaannya yang paling subtil. Indikatornya bisa dilihat melalui data statistik berikut dimana kondisi ekonomi menjelang saat-saat pergantian kekuasaan memburuk yang ditandai dengan tingginya angka inflasi mencapai 732 persen antara tahun 1964-1965 dan masih bertahan pada kisaran 636 persen untuk tahun 1965-1966.[6] Beban hutang luar negeri pun begitu berat yakni berada pada angka 2.358 juta US$ yang membuat prospek pemulihan dan pembangunan ekonomi begitu suram.[7]

Di bidang politik, silih bergantinya sistem pemerintahan dan juga jatuh bangunnya pemerintahan menjadi indikator penting untuk melihat betapa tidak stabilnya situasi politik di masa ini. Ancaman keamanan dan disintegrasi pun datang dari dalam maupun luar negeri. Puncak dari ekspresi kekecewaan atas situasi ekonomi politik ini pada akhirnya berujung dengan pergantian pucuk pimpinan Indonesia pada bulan Maret 1967 dimana Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang sudah hampir ambruk. Hutang luar negeri yang besar, kondisi infrasrtuktur yang berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan ekspor sangat merosot (430 juta US$) dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak berfungsi lagi.[8]

Menghadapi kekacauan ekonomi seperti ini pemerintahan baru kemudian berkonsentrasi membenahi sektor ekonomi dan dalam saat yang sama mengupayakan stabilitas politik yang lebih kukuh dalam rangka memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dua poin terakhir pada gilirannya diketahui menjadi dua dari tiga pilar utama yang memutar poros trilogi pembangunan Indonesia (stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan).

Langkah-langkah strategis-taktis yang ditempuh pemerintahan baru ternyata berdampak efektif terhadap penyusutan hiper inflasi yang dialami masa-masa sebelumnya. Tercatat dalam kurun waktu empat tahun angka inflasi ini turun ke kisaran 112 persen di tahun 1967, turun lagi ke angka 85 persen pada tahun 1968, kemudian menyusut drastis lagi ke kisaran 10 persen pada tahun 1969 dan turun secara moderat ke angka 9 persen di tahun 1970. Prestasi berupa penyusutan angka-angka di atas pun berjalin berkelindaan dengan dicapainya berbagai kesepakatan moratorium utang luar negeri dalam bentuk penjadwalan ulang maupun pembebasan utang. Hal ini tentu saja menjadikan prospek pembangunan Indonesia perlahan terlihat lebih cerah. Kesuksesan langkah-langkah yang diambil pemerintahan baru inilah yang di kemudian hari menjadi justifikasi sekaligus legitimasi politik bagi pemerintahan Orde Baru untuk mempertegas visi pembangunan ekonominya di sepanjang 32 tahun masa kepemimpinannya. Dengan kepercayaan yang tinggi pada pertumbuhan ekonomi sebagai penyelamat krisis, kepercayaan bahwa transformasi manusia bisa dimulai melalui jalan ekonomi menjadi tak terhindarkan.

Setelah Soekarno jatuh, pikiran dan kritik Mubyarto menemukan jalan keluarnya. Sejak tahun 1969, terminologi “pembangunan ekonomi” merupakan terma yang secara konsisten dipilih pemerintah Orba. Sejak itu ekonomi ditempatkan sebagai titik artikulasi yang diharapkan dapat memberi pendasaran atas berbagai gerak penetrasi menuju the good society. Dengan kata lain, dalam konteks keIndonesiaan, terma “pembangunan ekonomi” tidak hanya dipercaya sebagai jalan menuju realisasi the good society, melainkan telah sedemikian rupa direifikasi dan dalam prakteknya lantas dipuja sebagai fundamental yang dipandang akan menopang tegaknya masyarakat yang-baik[9]. Di titik ini, tak syak lagi kita tengah dihadapkan dengan satu set disiplin pikir fundamentalsime pembangunan ekonomi yang menginginkan totalisasi ekonomi di setiap inci dan segi kehidupan sosial. 

Cara berpikir deterministik seperti ini pada gilirannya kemudian bisa juga dibaca sebagai upaya yang mencoba menawarkan sebentuk skenario bahwa masyarakat yang-baik pada akhirnya hanya akan lahir pasca kemakmuran ekonomi tercipta. Inilah lajur rasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan yang secara resmi dibentangkan semenjak tahun 1969[10]. Ringkasnya, dalam tatanan berpikir seperti ini, tindakan-tindakan yang diharapkan muncul adalah satu kerangka tindakan yang kecenderungan dan keberpihakannya berada dalam posisi mendukung status quo ide pembangunan ekonomi. 

Mapannya ide seperti ini, dengan demikian, telah membentuk satu satu skema pikir kolektif mengenai apa yang sebenarnya menjadi prioritas bersama terkait apa yang pertama-tama harus dilakukan, yakni: bagaimana menciptakan struktur sosial yang mampu memberi landasan bagi kelimpahan ekonomi –karena kelimpahan ekonomi adalah kontinum pertama yang dianggap akan mengantarkan negara pada kontinum-kontinum keberhasilan lainnya. Setelah keterangan seperti ini ‘diterima’ secara luas, maka sejak saat itu pula kita semua mulai meng-ekonomikan setiap segi dan sendi-sendi terpenting dari keindonesiaan kita. Hasilnya, dengan meminjam terminologi Bourdieu, struktur sosial objektif yang kita miliki saat ini telah dan sedang bersifat sedemikian ekonomistik.

2.a. Mimesis Struktur Mental Ekonomistik ke dalam Struktur Mental Subyektif

Jika struktur sosial objektif Indonesia telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik maka bagaimana sebenarnya kedalaman strukur mental kognitif warga secara individual? Memanfaatkan teorisasi Pierre Bourdieu mengenai ‘dialektika agen-struktur’ kita akan mendapati bahwa kedua ranah ini pada dasarnya bersifat saling melengkapi, meneguhkan dan reproduktif satu sama lain.

“The analysis of objective structures – those of different fields – is inseparable from the analysis of the genesis, within biological individuals, of mental structures which are to some extent the product of the incorporation of social structures; inseparable, too, from the analysis of these social structures themselves: the social space, and the groups that occupy it, are the product of historical struggles (in which agents participate in accordance with their position in the social space and with the mental structures through which they apprehend this space).” [11]

Melalui kutipan di atas kita diberi tahu bahwa analisis terkait struktur sosial objektif akan mengantarkan kita pada suatu simpulan bahwa terdapat kemenyatuan yang logis antara struktur sosial objektif dengan struktur mental individual yang terpresentasi melalui partisipasi. Apa yang terselip dibalik pernyataan barusan sebenarnya adalah bahwa struktur mental individual –yang isinya berupa skema-skema kognitif (habitus)– adalah produk yang merupakan hasil dari proses internalisasi struktur sosial objektif yang panjang dan di titik tertentu difungsikan agen sebagai semacam peta kognitif dalam memahami tata ruang sosial dimana dia hidup dan sekaligus untuk bertindak berdasarkan preferensi kognitif seperti ini.

Namun, Bourdieu tidak lantas berhenti disini dan melanjutkan dengan menyebutkan bahwa baik habitus maupun struktur sosial objektif pada dasarnya memadai dibaca sebagai produk gabungan dari perjuangan historis. Mempertegas hal ini, Bourdieu dalam Outline of a Theory and Practice mengatakan:

“In short, the habitus, the product of history, produces individual and collective practices, and hence history, in accordance with the schemes engendered by history. The system of dispositions - a past which survives in the present and tends to perpetuate itself into the future by making itself present in practices structured according to its principles, an internal law relaying the continuous exercise of the law of external necessities (irreducible to immediate conjunctural constraints) - is the principle of the continuity and regularity which objectivism discerns in the social world without being able to give them a rational basis.” [12]

Habitus atau skema-skema kognitif agen/warga, dalam terang teori Bourdieu ringkasnya merupakan produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif, dan karenanya seringkali sesuai dengan pola yang ditimbulkan sejarah. Inilah yang dimaksud Bourdieu sebagai struktur yang terstruktur (structured structure) atau struktur mental individual yang distrukturasi oleh struktur sosial objektif. Di sini, dengan langsung mengkontekskannya dengan struktur mental individual warga di masa Orba dan masa-masa setelahnya, maka struktur mental individual warga pada dasarnya memadai dibaca sebagai struktur yang dihidupi oleh struktur sosial objektif yang telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik.

Modus bolak-balik antara struktur obyektif dan struktur mental ini secara unik dapat dilihat dalam narasi politik Orde Baru mengenai Pembangunan di GBHN. Di dalam GBHN selalu dikatakan bahwa ‘pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya....’[13] Di sini bagi pembaca yang kurang teliti, akan dengan segera menganggap bahwa pembangunan Orde Baru dilaksanakan dengan mengedepankan manusia (baca: pendidikan). Tapi bagi pembaca yang kritis, dengan mudah dapat diketahui bahwa manusia dalam konstruksi politik Ode Baru ini sudah bukan lagi manusia dalam pengertian ‘humanitasnya’ yang otonom melainkan telah terlebih dahulu dideterminasi oleh ekonomi yakni ketika ia disebut dengan istilah ‘manusia pembangunan’. Di titik inilah pembangunan berubah menjadi apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai ‘otoritas paedagogik’.

Dalam konteks penggeseran pendidikan di bawah ekonomi-politik Orde Baru, proses yang dijelaskan oleh Bourdieu itu dapat secara lugas ditegaskan bahwa melalui politik pembangunan itu struktur mental individual pun dalam prakteknya telah dan sedang mengalami ekonomisasi. Di sini terjadi proses mimesis di mana identitas struktur terbentuk dalam identitas individu, sebagaimana struktur sosial objektif menghendakinya. Mimesis ini tergelar dalam diskursus mengenai ‘manusia pembangunan’. Di dalam konsep ini jelaslah bahwa tujuan-tujuan pendidikan diletakkan sebagai ‘abdi’ dari tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Melalui proses ini, tindakan sedikit banyak akan mereproduksi stuktur. Dengan kata lain, struktur obyektif dari ekonomi politik Orde Baru itu menjadi struktur mental kognitif dari individu di dalamnya. Dalam istilah Bourdieu, pembangunan dan ekonomisme menjadi doxa yang dicopy dalam kesadaran individu sebagai model.[14]

Dalam habitus ini, aspek interior seperti makna dan substansi dan normatifitas maupun institusi pendidikan pun mengalami perubahan. Dalam habitus yang dikendalikan oleh ekonomisasi, lembaga pendidikan pun berubah dari ‘lembaga’ atau ranah kebudayaan menjadi ranah ekonomi. Gejala perubahan ini secara teliti diperhatikan oleh Ruth MacVey yang menyajikan catatan mengenai gejala masuknya anak-anak kalangan militer dan birokrat kelas atas ke sekolah-sekolah bisnis semacam MBA ketimbang melanjutkan karir militer dan berkecimpung di birokrasi sebagai pegawai negeri. Regenerasi politik di sini sudah mulai dipandang hanya bisa dilakukan melalui regenerasi dalam pemilikan dan akses kepada ekonomi. Di titik ini pikiran bahwa ekonomi menentukan politik dan pendidikan dengan sendirinya sudah dipraktikkan sebagai habitus. Ini pula yang kemudian memicu pertumbuhan sekolah-sekolah bisni mulai era pertengahan tahun 1980-an di Indonesia dan pada akhirnya secara ironis, bisnis dan ekonomi membentuk pendidikan.[15]

Lalu apa implikasi dari kesatuan individu dan struktur obyektif pembangunan ekonomi ini? Apa implikasinya terhadap cita-cita realisasi ideal the good society? Apa yang terjadi dengan pandangan pendidikan dan pandangan tentang manusia apabila struktur tindakan-tindakan yang ada dengan sengaja diorientasikan dan dioperasikan semata-mata dalam modus logika tindakan ekonomistik seperti ini?  

2.b. Dominasi Ekonomi dan Hilangnya Pandangan Humanistis Pendidikan

Metafora Galbraith mengenai good society dengan tepat telah menjelaskan implikasi-implikasi paling nyata dari proses ekonomisasi pendidikan dan ekonomi bidang-bidang kehidupan yakni bahwa sejak itu: masyarakat yang baik didefinisikan dalam kerangka ekonomi. Bukan hanya itu, manusia yang baik juga pada kenyataannya (terlepas dari pendirian normatif yang disematkan di sekitar pendasaran legal mengenainya) didefinisikan dalam kerangka ekonomisasi.

Dengan pergeseran ini maka pendidikan pada kenyataanya tidak lagi dipandang sebagai ranah kebudayaan melainkan ranah ekonomi. Dengan itu, sebenarnya secara esensial kita harus menerima kenyataan mengenai ‘hilangnya pendidikan’ karena digantikan oleh ekonomi. Maksudnya adalah meskipun masih terdapat sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan akan tetapi institusi-institusi itu tidak lagi bekerja di bawah pranata dan logika kebudayaan melainkan pranata atau logika ekonomi

2.c. Hilangnya Dimensi Etis dalam Ekonomi dan Politik


Akan tetapi, secara ironis, invasi ekonomi dalam kebudayaan ini sendiri pada gilirannya juga telah merusak ekonomi sebagai pranata. Karena persis ketika seluruh dimensi kebudayaan dan humanitas di luar ekonomi ditelan dalam logikanya, maka ekonomi berjalan secara terpisah dengan tujuan-tujuan etisnya. Ekonomi menjadi mesin yang bekerja hanya bagi dirinya sendiri, sambil terus merusak pranata-pranata lain di sekitarnya.

Di titik ini, dengan karakter invasionis semacam itu maka ekonomi sendiri mengalami pendangkalan dari ekonomi sebagai praktik fundamental manusia dalam berhadapan atau pengelolaan relasi manusia dan alam menjadi ekonomi semata-mata sebagai techne kapitalisasi. Dalam istilah Karl Polanyi ekonomi bergeser dari proses sosial yang dasar menjadi ‘sekedar proses formal’.[16]

2.d. Terpisahnya Sosiologi dari Pendidikan


Salah satu implikasi langsung dari bekerjanya cara pandang yang memisahkan aktor dengan struktur adalah terpisahnya bidang-bidang ilmu dengan obyeknya. Dalam hal ini adalah ilmu sosial yang memang menjadi ranah bagi perkembangan pemikiran aktor-struktur ini, dalam hal ini yang utama adalah teori-teori sosiologi yang disebut Giddens sebagai penganjur ‘konsensus ortodoks’ yakni teori-teori yang mewarisi pandangan struktur fungsi Parsons. Konsensus ortodoks dalam teori sosiologi yang mengajukan pandangan dualitas menjadi perantara dari kebertubuhan teori yang memisahkan sosiologi dengan subyek yang dikajinya.

Salah satu akibat paling parah dari pemisahan antara struktur dengan aktor atau antara agen/subyek dengan proses sosial adalah terpisahnya teori dengan kebutuhan praktis. Salah satu contoh yang penting kita kemukakan di sini adalah dalam konsep ‘sosiologi pendidikan’. Istilah sosiologi pendidikan mengindikasikan terpisahnya teori sosiologi dengan pendidikan. Teori sosiologi pendidikan telah secara keliru mengikuti struktur logika teori-teori sosiologi lainnya misalnya ‘teori sosiologi keluarga’ yang mengetengahkan konseptualisasi bagaimana ‘keluarga dan persoalan-persoalannya muncul’ sebagai cermin dari relasi dan proses sosial di dalamnya. Dengan itu teori sosiologi hanya bisa menyajikan argumen-argumen relasional dengan basis sejarah dan kepentingan menyangkut kemunculan fenomena keluarga. Dalam sosiologi pendidikan logika semacam ini juga muncul dalam beragam paradigma, misalnya dalam pandangan Marxisme mengenai pendidikan yang melihat pendidikan sebagai output dari relasi-relasi ekonomi produksi dan politik kelas, sehingga dengan itu sosiologi pendidikan memposisikan diri sebagai teori sosiologi yang membahas pendidikan.[17]

Kami tidak ingin mengatakan bahwa teori sosiologi yang membahas pendidikan sebagai obyek di luar dirinya lebih jelek atau keliru. Yang mau saya upayakan di sini adalah, bagaimana kita mencari kemungkinan bagi teori sosiologi yang sekaligus adalah teori mengenai pendidikan atau teori sosiologi yang sekaligus menjelaskan apa itu pendidikan dan bagaimana pendidikan itu dilakukan.

3. Mencari Syarat-Syarat Teoritis Proses Sosial Sebagai Proses Pembelajaran
Bersama Pierre Bourdieu

Sebagaimana dijelaskan pada bagian di atas, penyebab pokok dari invasi ekonomi terhadap pendidikan adalah karena logika yang memisahkan pendidikan dari proses sosial. Pemisahan antara ekonomi-politik dari pendidikan. Pemisahan ini yang menjadi biang keladi dari menyempitnya makna pendidikan dan kebudayaan menjadi semacam techne, yang dilanjutkan dengan terbentuknya mekanisasi pendidikan, dan pada akhirnya berujung pada tergerusnya esensi pendidikan untuk diubahnya pendidikan menjadi ekonomi.

Dengan mengatakan bahwa dualisme (pemisahan) antara pendidikan dan proses sosial sebagai awal dari invasi ekonomi terhadap pendidikan, maka penelitian ini di satu segi mau mengatakan bahwa salah satu kunci utama untuk memahami bagaimana pemisahan ini terjadi hanya dapat diletakkan dalam kerangka bidang yang didefinisikan oleh Michel Foucault dengan istilah episteme. Yakni instalasi di mana pengetahun dikukuhkan dan dikonstruksi secara sosial di dalam masyarakat. Foucault mengatakan bahwa:

The episteme is the ‘apparatus’ which makes possible the separation, not of the true from the false, but of what may from what may not be characterised as scientific.[18]

Dalam konteks Indonesia, pemisahan dan dualisme antara pendidikan dengan proses sosial (ekonomi dan politik)  melalui  regenerasi dan perubahan kekuasaan politik dari satu rejim ke rejim yang lain. Akan tetapi ‘arena’ di mana perubahan ditanamkan dan dikelola adalah pikiran atau episteme. Bagian berikut ini bermaksud memberikan suatu pandangan alternatif dengan memusatkan diri pada eksplorasi pemikiran sosiologis Pierre Bourdieu.

3.a. Pendidikan adalah Kebudayaan

Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Silsilah pernyataan ini dapat ditelusuri dari pandangan bahwa terma culture atau kebudayaan berasal dari kata colere (bahasa: latin) yang memiliki arti “mencocok tanamkan” atau ’menempati’ (inhabit). Dengan demikian kebudayaan sedari awal telah dimaknai sebagai upaya manusia untuk ’menanamkan’ sesuatu dalam bidang pengalamannya.  Di titik ini culture memiliki nuansa praktik dan ide sekaligus. Dengan itu pula bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam arti yang paling esensial sekaligus juga adalah pendidikan, karena hanya pendidikanlah satu-satunya bidang yang memiliki kemampuan untuk menanamkan ideal yang dimaksud.[19]

Keterangan lebih jauh mengenai silsilah pernyataan di atas lebih lanjut bisa ditelusuri dengan merujuk pada E. B. Taylor. Bagi Taylor dimensi kebudayaan mencakup kompleks pengetahuan, pendidikan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan lainnya yang didapatkan manusia sebagai bagian dari keterlibatannya di dalam masyarakat.[20] Senada dengan Taylor namun dalam rumusan yang lebih taktis, Peter Berger menyebutkan bahwa kata kunci bagi kebudayaan adalah ’transmisi pengetahuan’, artinya kompleks pengetahuan yang ada pada satu generasi datang melalui jalur kebudayaan. Oleh karena itu maka kebudayaan adalah media yang digunakan generasi sebelumnya untuk menyampaikan pengetahuan-pengetahuan kepada generasi yang baru.[21] Lebih jauh lagi, Melville J. Herkovit dan Bronislaw Malinowski mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Keduanya juga menilai kebudayaan sebagai sesuatu yang bersifat superorganik karena kebudayaan direproduksi dan eksis secara terus menerus dari generasi ke generasi.[22] Dengan memanfaatkan ketiga pandangan ini, maka pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Ia pada dasarnya adalah cara atau praktik pembentukan diri (self) atau cara diri mengada melalui tindakan-tindakan yang dilangsungkan secara terus menerus di dalam masyarakat.

3.b. Habitus dan Peluang Mendefinisikan Pendidikan/Kebudayaan Sebagai Proses Sosial

Secara sederhana, Habitus adalah bidang di mana tindakan diproduksi. Menurut Bourdieu, di dalam Habitus terdiri dua unsur pokok yakni pengalaman dan pengajaran yang berkembang –jatuh bangun- terakumulasi dalam sejarah

“The habitus which, at every moment, structures new experiences in accordance with the structures produced by past experiences, which are modified by the new experiences within the limits defined by their power of selection, brings about a unique integration, dominated by the earliest experiences, of the experiences statistically common to members of the same class.”[23]

Untuk lebih memahami mengapa diri bisa terbentuk melalui tindakan maka ada baiknya untuk mengetengahkan terlebih dahulu makna tindakan dalam pemikiran Bourdieu. Di satu sisi tindakan disebutkannya mengantarai habitus dan kehidupan sosial obyektif, sedang di sisi lain habitus diciptakan melalui tindakan. Dengan demikian maka baik habitus, skema mental individual maupun struktur sosial obyektif secara generatif pada dasarnya adalah tindakan. Disini kita bisa rumuskan bahwa tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan diri.

“Practice always implies a cognitive operation, a practical operation of construction which sets to work, by reference to practical functions, system of classification (taxonomies) which organize perception and structure practice produced by the practice of successive generations, in conditions of existence of determinate type, these schemes of perception, appreciation, and action, which are acquired through practices and applied in their practical sense without acceding to explicit representation, the objective structures of which they are the product tend to reproduce themselves in practices. […]The coherence to be observed in all products of the aplication of the same habitus has no other basis than the coherence which generative principle constituting that habitus owe to the social structures. [...] The pratical operators which constitute the habitus and which function in their practical state in gesture or utterance reproduce in a transformed form, inserting them into the structure of a system of symbolic relations...”. [24]

Tindakan-tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat ini pada fungsinya diproyeksikan menjadi semacam kode-kode sosial yang diharapkan untuk direproduksi dari waktu ke waktu. Inilah yang dimaksud dengan dialektika dalam berkebudayaan, dimana suatu tindakan terjadi karena dipelihara melalui mekanisme pembelajaran atas suatu tindakan. Dalam rumusan seperti ini, maka pendidikan adalah medium bagi pembentukan diri yang mengada di dalam tindakan sosial yang dipelajari untuk kemudian ditampilkan lagi sebagai tindakan. Tindakan-tindakan dalam rumusan seperti ini umum kita sebut sebagai praktik sosial dan rumusan seperti ini juga sekaligus mengingatkan kita bahwa pada dasarnya pendidikan akan dengan sendirinya merujuk pada habitus.  

Dalam disiplin pemikiran Pierre Bourdieu, habitus secara generatif merupakan “a dialectic of internalization of externality and the externalization of internality” atau jika dilihat dari segi kausalitasnya habitus adalah hasil dari suatu proses internalisasi yang meliputi struktur persepsi, modus apresiasi, dan sistem-sistem klasifikasi tindakan kedalam diri seseorang, yang  kemudian tereksternalisasi ulang dalam bentuk tindakan, yang pada gilirannya menjadi elemen-elemen pembentuk struktur sosial obyektif. Habitus terinternalisasi secara relatif lama dan kadang terlupakan dari sisi prosesnya. Dengan begitu maka habitus melibatkan proses kesejarahan yang panjang dan mendarah-daging pada agen, terinternalisasi seakan alami, meresap, terdisposisi, dan menjadi bagian inheren dari agen. Habitus juga merupakan proses internalisasi yang sama sekali tidak menihilkan peran agen yang memiliki kemampuan ‘bernegosiasi’ dengan struktur.

Dengan istilah lain, agen yang menginternalisasi struktur tetap memiliki ruang-ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi yang dijadikan saringan sebelum agen benar-benar menerima dan mengimprovisasikannya kembali. Secara ringkas habitus menempati fungsi-fungsi sebagai: (a) matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; (b) appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu; dan (c) action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu.

“Thus the representations of agents vary with their position (and with the interest associated with it) and with their habitus, as a system of schemes of perception and appreciation of practices, cognitive and evaluative structures which are acquired through the lasting experience of a social position. Habitus is both a system of schemes of production of practices and a system of perception and appreciation of practices. And, in both of these dimension, its operation expresses the social position in which it was elaborated. Consequently, habitus produces practices and representations which are available for classification, which are objectively differentiated; however, they are immediately perceived as such only by those agents who possess the code, the classificatory schemes necessary to understand their social meaning.”[25]


Dengan begitu maka habitus bisa dirumuskan sebagai hamparan sistem skema-skema kognitif agen yang bermanifes di dalam tindakan. Dalam satu jalinan yang utuh tindakan-tindakan ini membentuk konfigurasi struktur sosial objektif dan melalui cara yang dialektis kemudian tampil kembali menyajikan varian sistem disposisi-disposisi yang mensuplay spesifikasi-spesifikasi preferensi kognitif ke dalam diri agen untuk bertindak secara tepat di berbagai ranah sosial yang berbeda-beda. Habitus dalam tampilan pemahaman seperti ini sebangun dan searti dengan fasilitas yang memberikan basis bagi agen untuk mempelajari skema-skema disposisi dalam kaitannya dengan kebutuhan agen untuk berkorespondensi dengan beragam situasi obyektif yang dihadapinya. Dan di dalam modus pemahaman ini pula habitus tampil sebagai efisiensi simbolik yang mewakili totalitas praktik sosial. Dengan kata lain, setiap praktik sosial kini bisa disebut sebagai habitus.  

Dari Bourdieu kita juga mendapat asupan perspektif untuk melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Di sini kita menemukan peranan penting dari habitus yang tampil sebagai regulator yang meregulasi praktik sosial dan dalam kadar tertentu memberi andil bagi munculnya kategori-kategori persepsi yang dibutuhkan agen dalam rangka berkorespondensi dengan realitas obyektifnya. Maka disini habitus sekaligus berarti sebagai semacam sarana yang menyediakan wawasan bagi terselenggaranya praktik-praktik sosial, karena sebagaimana Bourdieu nyatakan: habitus selalu berorientasi kepada fungsi praktis. 


”The theory of practice as practice insists, contrary to positivist materialism, that the objects of knowledge are constructed, not passively recorded, and, contrary to intellectualist idealism, that the principle of this construction is the system of structuted, structuring dispositions, the habitus, which is constituted in practice and is always oriented towards practical functions.”[26]

Satu hal lagi terkait dengan pembahasan mengenai habitus ini ialah kemampuannya untuk mentransposisi struktur-struktur sosial obyektif dari beragam ranah sosial ke dalam struktur mental subyektif tindakan dan pikiran agen. Di titik ini habitus secara serta merta berimplikasi terhadap prilaku agen dan pada gilirannya mempengaruhi prilaku sosial, serta mempengaruhi karakter dari suatu proses sosial itu sendiri. Sekali lagi, dengan mengulang pernyataan di atas: ... the habitus, which is constituted in practice and is always oriented towards practical functions.

Dengan kemampuan seperti ini habitus yang diartikan sama dengan praktik sosial seharusnya memiliki dimensi pendidikan yang secara dialektis akan mentransposisi struktur mental subyektif ke dalam struktur sosial obyektif, dan juga sebaliknya, sehingga keduanya menghasilkan konfigurasi proses sosial yang diisi dengan praktik sosial yang mendidik. Dengan istilah lain, proses sosial pun harusnya memiliki dimensi pendidikan yang memiliki daya dorong dalam merangsang kemunculan kategori-kategori persepsi di dalam diri agen yang sekaligus akan terpantulkan di dalam konfiguasi struktur sosial obyektifnya.  

Kemungkinan penerapan rumusan mengenai proses sosial berdimensi pendidikan ini secara teoritis bisa lebih dikukuhkan kedudukannya terutama dengan mencermati sifat atau karakter hubungan agen-struktur dalam teorisasi Bourdieu. Hubungan agen-struktur bersifat dialektis yang dijembatani oleh praktik. Agen bertindak dalam lingkungannya dan kemudian tindakan ini membentuk struktur sosial obyektif yang secara resiprokal kembali menyediakan skema-skema yang dibutuhkan agen dalam melakukan praktik sosial. Struktur sosial obyektif ini pun kemudian memiliki sistem klasifikasi, tata aturan, sistem apresasi, skema-skema persepsi yang menjadi semacam kode yang berfungsi mengendalikan praktik dari penghuni posisi-posisi obyektif di dalam ranah. Di titik ini, struktur ranah atau habitus sekaligus menyediakan strategi untuk digunakan penghuni posisi-posisi obyektif di dalam ranah dalam kepentingannya untuk berjuang di dalam ranah itu.

Ranah sendiri didefiniskan sebagai ruang kontestasi serta ruang dimana manuver dilancarkan dalam memperebutkan makna, sumber daya, pengakuan, keunggulan serta posisi-posisi yang menguntungkan. Dalam soal posisi pendidikan, melalui ini bisa dikatakan bahwa oleh karena sifat hubungan dialektis dan dinamis diantara aktor dan struktur maka kehadiran proses sosial berdimensi pendidikan menjadi sangat penting dan strategis. Segera setelah skema proses sosial memiliki dimensi pedagogis maka praktik-praktik sosial akan berimplikasi secara langsung dan memperbaharui dirinya secara otomatis. Proses sosial memiliki implikasi langsung terhadap terbentuknya struktur mental subyektif sekaligus terhadap struktur sosial obyektifnya.

3.c. Implikasi Habitus terhadap Pemahaman Dualisme Pendidikan dan Proses Sosial

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan beberapa hal penting untuk kita tarik dalam kebutuhan kita merumuskan pendidikan.

Pertama, Kesatuan struktur-aktor. Habitus adalah praktik kehidupan yang berlangsung sejalan dengan struktur sosial yang memproduksinya. Dari situ, tindakan atau praktik itu muncul sebagai kemampuan yang nampak alamiah dan berkembang dalam ranah atau lingkungan sosial tertentu. Dari sini –dengan memperhatikan dimensi historis mengenai bagaimana habitus itu terbentuk– maka di dalam habitus, tindakan dan lingkungan obyektif berelasi dalam satu kesatuan. Bukan individu yang menentukan atau menciptakan tindakan (sebagaimana dibayangkan Weber), juga bukan struktur yang menentukan individu sebagaimana dibayangkan Durkheim. Struktur dan individu berelasi dan saling membentuk serta meneguhkan di dalam praktik.

Di titik ini Bourdieu, sebagaimana Giddens, menegaskan bahwa obyektifitas hanya bisa diungkap dalam praktik individu. Dengan kata lain, Bourdieu memercayai bahwa terdapat sebuah ‘continual dialetic between objectivity and subjectivity’. Agen-agen sosial adalah tubuh yang terinkorporasikan tapi sekaligus juga yang memiliki skema umum yang dioperasikan dan dioreintasikan ke dalam tindakan sosial. Dengan demikian di sini, muncul apa yang disebut dalam sosiologi sebagai ‘situasi reflektif’ atau ‘reflektifitas’. Aktor atau agen-agen menentukan struktur tapi secara bersamaan dirinya juga dibentuk oleh struktur. Di sini (secara epistemik) tidak bisa dipisahkan lagi mana agen-agen dan mana struktur.[27] 

Kedua kesatuan aspirasi subyektif dan pengalaman obyektif. Dengan kesatuan itu, maka pendapat yang mengatakan bahwa struktur atau dunia sosial menentukan individu atau sebaliknya. Atau bahwa semata-mata ekonomi menentukan siapa manusia ataupun sebaliknya adalah pandangan yang absurd. Tidak pernah ada dalam realitas manusia hanya berposisi dalam satu arah saja terhadap realitas dan lingkungan yang melingkupinya. Di sini yang obyektif tidak dapat dipisahkan dengan yang subyektif. Keduanya hadir sebagai bidang pengalaman yang saling keluar masuk.

Ketiga, pembicaran habitus adalah pembicaran tentang sebuah bidang irisan antara struktur obyektif dan struktur mental subyektif. Dalam bentuknya yang paling konkret habitus menempati bidang kebertubuhan sosial yang memiliki tiga makna: Kesatu, habitus hanya ada selama ia ada ’di dalam kepala’ aktor (atau inhabit in body). Kedua, habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dengan lingkungan yang melingkupinya: cara bicara, cara bergerak cara merespon situasi. Ketiga, habitus juga berakar dalam taksonomi praktis perwujudan aneka kategori sensoris.[28]

Dengan memahami bahwa dialektika yang obyektif dan subyektif, juga bahwa ia berada dalam tindakan maka dari sini kita bisa merumuskan apa itu proses pembelajaran. Dengan pemikiran habitus ini maka pembelajaran atau lebih luasnya lagi pendidikan dapat dipahami sebagai praktik yang terdiri dari tiga hal utama:

Pertama, pendidikan harus pertama-tama menempati dan membentuk suatu matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen;

Kedua, pendidikan juga harus membentuk bentuk-bentuk appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu.

Ketiga, pendidikan harus mengarahkan orang kepada tindakan action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu.

Keempat, ringkasnya pendidikan adalah cara untuk membentuk atau mengubah dari suatu habitus menjadi habitus yang baru.

Kelima, pendidikan adalah bisa dimulai dari irisan yang obyektif dan yang subyektif. Pendidikan tidak hanya bisa diarahkan pembentukan subyektifitas tetapi bisa juga diarahkan pada dunia obyektifnya.

3.d. Proses Sosial dan Pendidikan dalam Kesetaraan


Sekolah atau arena tempat anak ditempa untuk memiliki skema-skema praktik kehidupan sosial sejatinya merupakan bagian dari proses sosial. Dengan demikian proses sosial adalah sekolah di mana ’gedung sekolah’ anak itu bertempat itu sendiri yang menjadi medium tempat dimana tindakan-tindakan atau praktik-praktik sosial diperkenalkan, diinternalisasi dan dilegitimasikan. Sama halnya dengan sekolah yang di dalamnya terdapat berbagai macam kelengkapan seperti halnya guru, tempat belajar, isi pengajaran, aturan, tujuan dan seterusnya, proses sosial pun –hanya saja dalam lanscape yang lebih kompleks– berlangsung dalam cara yang demikian dimana terdapat berbagai kelengkapan atau instrumen-instrumen yang digunakan untuk menunjang tujuan dari proses sosial itu sendiri.

Instrumen-instrumen proses sosial –dengan kembali memanfaatkan pemikiran Bourdieu– dapat dikenali dengan pertama-tama mengupas uraian Bourdieu mengenai ranah (field) dan modal (capital). Ranah dilihat sebagai sebuah arena pertarungan atau sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Kepentingan untuk menggunakan berbagai jenis modal ini adalah untuk melestarikan bahkan meningkatkan posisi sosial dari mereka yang terlibat berkompetisi di ranah tersebut. Di dalam sifat kompetisi seperti ini mereka yang menang dan diikuti adalah mereka yang memiliki keunggulan kapital.

A capital does not exist and function except in relation to a field. It confers a power over the field, over the materialized or embodied instruments of production or reproduction whose distribution constitutes the very structure of the field […] As a space of potential and active forces, the field is also a field of struggles aimed at preserving or transforming the configuration of these forces. Furthermore, the field as a structure of objective relations between positions of force undergirds and guides the strategies whereby the occupants of these positions seek, individually or collectively, to safeguard or improve their positions and to impose the principle of hierarchization most favorable to their own products. The strategies of agents depend on their position in the field, that is, in the distribution of the specific capital and on the perception that they have of the field depending on the point of view they take on the field as a view taken from a point in the field.”[29]


Disini kita bisa mulai merumuskan mengenai instrumen-instrumen dari proses sosial, yakni didalamnya terdapat pertarungan yang dengan demikian otomatis ada individu atau kelompok masyarakat yang berkompetisi, lantas ada pula tujuan dari pertarungan itu sendiri. Secara ringkas, mereka yang berada dalam posisi dominan dan memiliki kemampuan mempengaruhi adalah mereka yang memiliki keunggulan kapital sekaligus menjadi penentu tujuan dari proses sosial ini. Mencermati rumusan ini maka proses sosial sebagai sekolah universal (sekolah yang didalamnya melibatkan semua) tidak mungkin dibaca sebagai proses yang berdiri sendiri, melainkan didirikan berdasar keterlibatan individu maupun kelompok, juga ditentukan oleh mereka yang berada pada posisi dominan yang pada akhirnya mendominasi pengendalian tujuan dari proses sosial ini.

Jika kita terima penjelasan di atas dan mengharapkan adanya suatu proses sosial berdimensi pendidikan, maka syarat pertama yang dibutuhkan untuk merealisasikannya ialah dengan menentukan siapa yang memiliki potensi kuat untuk mengendalikan tujuan dari proses sosial ini. Dalam saat yang  sama aktor ini pun secara tradisional memiliki fungsi untuk menjadi inisiator yang diharapkan mampu membangkitkan praktik-praktik sosial bertendensi edukatif. Dengan kata lain aktor ini memang secara tradisional legitimate sebagai lokomotif yang seharusnya mampu membawa proses sosial ke arah yang lebih baik. Aktor sosial dengan kualifikasi seperti itu tidak lain adalah negara. Negara dengan keistimewaan ’bawaannya’ bisa memikul tugas sebagai produsen ’simbol-simbol’ yang menavigasikan tujuan dan menggiring warga ke dalam suatu proses sosial yang edukatif. Pemilihan negara sebagai guru ini pun tidak terlepas dari keunggulan negara sebagai pemilik berbagai jenis modal yang bisa dikerahkan untuk mendominasi dan mengendalikan tujuan dari proses sosial.

Dalam kepentingan seperti ini negara relevan sebagai salah satu pengisi posisi di dalam ranah. Di dalam Bourdieu pengisi posisi ranah bisa berasal dari aktor individual maupun lembaga dan masing-masing pengisi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungannya. Ranah atau lingkungan bersifat relasional alih-alih struktural, yang dengan demikian maka ranah adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif yang berada di dalamnya. Disini, jika penghuni posisi-posisi obyektif dikendalikan oleh struktur ranah maka struktur ranah itulah yang menentukan kecenderungan dari praktik sosial.

“In analytic term, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present or potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, ect.)”.[30]

Dalam konteks perubahan, maka logika di atas bisa kita proyeksikan sebagai berikut: jika kita menginginkan munculnya struktur ranah (yang) edukatif—yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan penghuni posisi obyektif supaya memiliki skema-skema praktik sosial yang bersifat edukatif— maka kita perlu memberikan porsi berlebih kepada dunia sosial (sebagai pemilik kapital superior) untuk menginisiasi praktik-praktik berdimensi pendidikan. Jika relasi dan tindakan-tindakan dalam dunia sosial memiliki dimensi kependidikan, maka tindakan ini lambat laun akan membentuk struktur ranah (habitus) yang serupa, yang memiliki kemampuan mengendalikan dan melegitimasi praktik-praktik sosial yang secara sosial juga dianggap sebagai sesuatu yang disukai dan dihormati (universally favourable) di dalam ranah tersebut. Dengan karakter proses sosial seperti ini maka struktur lingkungan akan mengkondisikan penghuni-penghini posisi obyektif tertentu dalam ranah untuk menyiapkan strategi yang akan digunakan dalam berjuang di dalam ranah. Atau dengan kata lain, segera setelah proses sosial bersifat edukatif dan –sejauh hal ini tetap dikehendaki– maka sejauh itu pula proses sosial akan memelihara dirinya (habitus dan ranahnya) tetap demikian.

4. Penutup: Sosiologi/Pendidikan dan Proses Sosial yang Mendidik

Dengan memperlihatkan persoalan-persoalan pokok akibat pemisahan aktor struktur serta pemisahan proses sosial (ekonomi produksi, politik) dengan pendidikan, penelitian ini telah menunjukkan bahwa pada akhirnya pendidikan menjadi hilang akibat invasi dari ekonomisasi kebudayaan/pendidikan. Proses ini juga secara paradoksal mengakibatkan dampak yang sama buruknya kepada bidang dan praktik ekonomi/politik sendiri kehilangan dimensi edukatifnya. Pemisahan yang diikuti determinasi proses sosial terhadap pendidikan menjadikan proses sosial gagal dimengerti sebagai arena potensial bagi bidang pembelajaran.

Namun demikian dari penelusuran dan refleksi teoritis terhadap pemikiran habitus Pierre Bourdieu, penelitian juga menemukan bahwa konsep habitus –sebuah konsep sosiologi kontemporer– bisa dijadikan sandaran untuk tidak hanya memahami kebersatuan proses sosial dengan proses belajar. Melalui konsep Bourdieu, kita bisa memahami bahwa proses sosial tidak dapat dipisahkan dari proses mental dalam subyek dengan demikian struktur obyektif tidak dapat dipahami secara terpisah dengan struktur subyektif. Akibatnya apa yang terjadi pada struktur bisa berlaku pada aktor demikian pula sebaliknya.

Pada tahap lanjut juga kita memahami bahwa dunia dan proses sosial di dalamnya merupakan mata air yang memproduksi tindakan-tindakan kita. Secara dialektis di dalam tindakan itu kita juga kemudian mereproduksi struktur. Dengan kata lain transformasi manusia tidak dapat semata-mata dilekatkan secara terbatas pada pikiran mengenai ‘subyek’ akan tetapi harus diperluas pada proses sosial di mana subyek itu berada. Artinya, mengenai bagaimana pendidikan dilaksanakan tidak dapat lagi dipikirkan sebagai suatu bidang yang terpisah yang menempati subyek ke dalam ruang yang terisolasi (pada sekolah semata-mata) karena pada dasarnya struktur atau proses sosial telah terlebih dahulu dan memiliki kekuatan yang lebih hebat dalam mendeterminasi siapa itu manusia. Dalam kerangka ini bahkan bisa dikatakan bahwa sekolah itu sendiri bukanlah bidang yang otonom melainkan bidang yang merupakan mata rantai saja dari proses sosial dan kesejarahannnya.

Dengan demikian, habitus adalah bidang yang menentukan seluruh orientasi tindakan dan transformasi subyek. Mendidik artinya adalah membentuk habitus. Dengan memahami mendidik sebagai mengubah atau mentransformasi habitus maka kita memahami bahwa mendidik bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menyediakan prasyarat-prasyarat struktural dalam medan proses sosial yang memungkinkan tujuan-tujuan dalam habitus itu dimungkinkan.

Lebih jauh lagi, dengan memahami mendidik sebagai mentransformasi habitus kita juga bisa mengarahkan bidang-bidang ‘di luar pendidikan’ sebagai ikut bertanggung jawab atau menentukan isi dan bentuk dari pendidikan.

Akhirnya dengan itu, sejauh kita bertujuan untuk membentuk masyarakat yang terdidik maka tidak dapat tidak diperlukan upaya untuk mentotalisasi seluruh bidang-bidang kehidupan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan. Artinya bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi, politik, hukum harus dipertanyakan dan diuji di bawah logika dan tujuan-tujuan pendidikan; sejauh mana ekonomi, politik dan hukum bisa menjadi medium pembelajaran.

Untuk mencapai taraf itu, melalui Bourdieu kita juga menemukan bahwa ada kode-kode sosial yang dapat digunakan untuk mendorong proses sosial menjadi medium pembelajaran. Di titik ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan yakni pertama, negara mesti diarahkan untuk menyediakan kode-kode yang bisa dipakai oleh dunia sosial kita sehingga proses sosial itu benar-benar menjadi edukatif. Salah satu hal yang mutlak mesti disediakan di sini adalah ‘akses dan kesetaraan dalam dunia simbolik kita’ dalam hal ini bahasa dan modus-modus asosiasi sosial yang memungkinkan orang belajar satu sama lain dan menghayati dunia sosialnya secara reflektif. Hal kedua yang juga penting untuk dilakukan adalah kita perlu memperluas makna pendidikan. Pendidikan harus dikembalikan tidak pertama-tama sebagai kebudayaan, tetapi lebih luas lagi sebagai proses sosial itu sendiri.

Pada akhirnya sejauh dalam kerangka menjawab pertanyaan mengenai pergeseran teori pendidikan, maka penelitian ini menemukan bahwa selain teori sosiologi mengenai pendidikan kita mulai bisa merekonstruksi teori sosiologi yang sekaligus teori pendidikan. Dari sosiologi yang mencoba memahami pendidikan sebagai obyek materialnya menjadi teori sosiologi yang menjadikan pendidikan sebagai tujuannya. Di titik inilah teori habitus Bourdieu bisa kita eksplorasi lebih jauh untuk menjadi teori yang menyediakan bagaimana pendidikan dilaksanakan.


(^_^) zizekian & robetian muda (^_^)
*hasil penelitian ini juga dipublikasikan di Jurnal Sosialita Vol. 9, No. 1 Juni 2011. Dipublikasikan dengan judul "Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran: Konseptualisasi Habitus untuk Sosiologi-Pedagogis.

[1]Richard Rorty, Philosophy in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984).
[2]Istilah dualisme di sini tidak berkaitan dengan dualisme sebagaimana yang dikemukakan oleh sejarawan ekonomi Boeke melainkan dualisme dalam Anthony Giddens yakni dualisme sebagai pandangan yang memisahkan aktor-struktur, lawan dari dualitas aktor-struktur.  Lihat dalam Anthony Giddens, Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (California: University of California Press, 1986).
[3]Syamdani, Kontrovesi Sejarah Di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal: 79.
[4]Meskipun demikian, di masa ini pun terdapat empat (4) dokumen perencanaan pembangunan. Masing-masing adalah: 1) Siasat Pembangunan Ekonomi, tahun 1947, diketuai oleh Muhammad Hatta. 2) Rencana Urgensi Perekonomian, tahun 1951. 3) Rencana Djuanda tahun 1955. 4) Pembangunan Nasional Semesta Berencana, tahun 1960-1969. Lebih jauh lagi, Mubyarto (1990) secara eksplisit menyatakan bahwa masa-masa antara tahun 1945-1969 merupakan masa-masa dimana pembangunan ekonomi berada dalam subordinasi pembangunan politik, populer dengan jargon “politik sebagai panglima.  Lihat P. G. Suroso, Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) hal: 4.
[5] Mengenai ini lihat dalam Ali Moertopo, Some Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization of 25 Years Development (Jakarta: Yayasan Proklamasi CSIS, 1972).
[6] Stephen Grenville, “Monetary Policy and the Formal Financial Sectors”, dalam Booth and McCawley (editors) The Indonesian Economy During Soeharto Era, (Petaling Jaya: Oxford University Press, 1981b), hal: 108.
[7] Pang Lay Kim & H. W. Arndt, “Survey of Recent Development”, dalam Bulletin of Economic Studies No. 4            /Juni/ 1996, hal: 5.  
[8] Loc. Cit., Pang Lay Kim, hal: 4.
[9]Mengikuti Galbraith, ideal the good society adalah “…the good society that is the achievable society. It accepts that some barriers to achievement are immobile, decisive, and thus must be accepted. But there are also goals that cannot be compromised. In the good society all of its citizens must have personal liberty, basic well-being, racial and ethnic equality, the opportunity for a rewarding life.” Lihat: John Kenneth Galbraith, The Good Society The Human Agenda, (New York: Houghton-Mifflin Trade and Reference, 1996) hal:4. Lihat juga Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 dinyatakan bahwa Proklamsi NKRI adalah untuk: “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..”.
[10]The idea spreads not merely that economic progress is possible, but that economic progress is a necessary condition for some other purpose, judged to be good: be it national dignity, private profit, the general welfare, or a better life for the children”. W. W. Rostow,  The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960), hal: 6. Kutipan ini adalah argumen kunci yang digunakan Rostow dalam rangka memberi pendasaran bagi jalur pembangunan ekonomi yang dianjurkannya untuk ditempuh oleh negara-negara dunia ketiga.  W.W. Rostow adalah salah satu teoritisi ekonomi pembangunan paling berpengaruh di Negara Dunia Ketiga. Hal ini terbukti dari adaptasi atas berbagai gagasannya di banyak negara berkembang di dekade 1960-an. Khusus untuk Indonesia, PJPT I & II (Pembangunan Jangka Panjang Tahap I dan II, yang merentang antara tahun 1969-1998) merupakan bukti dari demikian kuatnya pengaruh teorema pentahapan pembangunan ala Rostow terhadap format pembangunan Indonesia saat itu, bahkan hingga saat ini. Pentahapan pembangunan per lima tahunan secara langsung bisa diinterpretasi sebagai adaptasi atas gagasan Rostow yang tertuang dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang dipublikasi pada tahun 1960. Dalam buku ini Rostow memberikan semacam peta jalan bagi negara-negara dunia ketiga dalam proses penyejajaran diri dengan negara-negara maju. Rostow mengklaim bahwa negara-negara maju telah menempuh kemajuannya dengan mengikuti 5 tahapan linier yang dilaksanakan sejak abad ke-17.
[11] Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Toward a Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity Press, 1990), Hal:14.
[12] Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (London: Cambridge University Press, 1977), hal 82.
[13]GBHN sebagaimana dikutip dalam Sastrapratedja. Peranan Etika Pembangunan dalam Sastrapratedja dkk (ed), Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia), hal: Ix.
[14]Op.Cit., Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice.
[15] Mengenai ini lihat dalam B. Herry-Priyono, Tata bahasa Uang dalam Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia dan Yayasan Astra, 2005)  
[16] Lihat dalam Polanyi, Arensberg dan Pearson, “Ekonomi Sebagai Proses Sosial”, dalam Hans-Dieter Evers, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal: 107-137.
[17]Mengenai teori-teori Sosiologi Pendidikan yang saya maksud di sini adalah teori-teori sosiologi pendidikan yang bisa dipelajari dalam karya monumental Jerome Karabel dan A.H. Halsey (ed), Power and Ideology in Education, (Oxford: Oxford University Press, 1977).
[18]Michele Foucault, Power/Knowledge, (Sussex: Harvester Press, 1980), hal: 197
[19]Lihat dalam Terry Eagleton, The Idea of Culture, (Oxford: Blackwell Publisher, 2000), hal: 2.
[20]Edward B. Taylor, Primitive Culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom, (New York: Gordon Press,1871), hal: 1.
[21] Peter Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, (USA: Penguin Books, 1979), hal: 85-89.
[22] Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology, (New York: Alfred A. Knopf, 1948).
[23] Op. Cit., Pierre Bourideu, The Logic of Practice, hal: 60.
[24]Op. Cit.,Pierre Bourdieu, Outline of a theory of practice, hal: 97.
[25] Pierre Bourdieu, “Social Space and Symbolic Power”, Sociological Theory, Vol 7/1, 1989, hal: 19
[26]Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, (California: Stanford University Press, 1980/1990)hal: 52.
[27] Michael Grenfell dan  David James, Bourdieu and Education (Bristol: Farmer Press, 1988), hal:13 .
[28] Mengenai ini lihat dalam Richard Jenkins, Pierre Bourdie (London: Routledge, 1992).
[29] Op. Cit., Pierre Bourdieu and Loïc J. D. Wacquant, An Invitation to Reflexive Sociology, hal: 101.
[30]Op. Cit., Bourdieu and and Loïc J. D. Wacquant, An Invitation to Reflexive Sociology, hal: 96-97.