Edisi Pemikiran Filsafat Politik Liberal | Thomas Hobbes dan John Locke

Dari Laku Hidup Soliter ke Masyarakat Politik: Catatan tentang Dimensi Intelektual Negara Modern

Oleh Iwa Inzagi ~ Pelajar Filsafat

Politik kurang lebih bisa diartikan sebagai percobaan hidup di dalam kebersamaan. Dengan demikian, status politik adalah pilihan sadar. Adapun hidup didalam (masyarakat) politik secara mendasar bersifat niscaya atau tak terelakkan. Genealogi pandangan semacam ini bisa kita telusuri jauh kedalam pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).

Dalam Hobbes, pada mulanya politik adalah statement of fear, yaitu ungkapan penolakan individu terhadap ketakutan yang dirasakannya. Sedangkan masyarakat politik (commonwealth) adalah ekspresi institusional dari individu untuk terhindar dari terulangnya ketakutan-ketakutan traumatis yang pernah mereka alami di dalam state of nature

Dengan demikian, kehendak politik, yang di tahap terkemudian membentuk masyarakat politik, pertama-tama harus dibaca sebagai modus resistensi individu-individu demi untuk meloloskan diri dari horor laku hidup individualistik (yang traumatik) sebagaimana dialami di dalam forma kehidupan alamiahnya.

Bangunan dasar teori politik Hobbes sebenarnya terletak di dalam apa yang ia rumuskan sebagai “men mutual fear”. Disini Hobbes secara jelas menggarisbawahi peran sentral rasa takut yang diidap semua orang sebagai basis dari terbentuknya masyarakat politik. Fear sendiri didefinisikannya sebagai “any anticipation of future evil”. Dengan demikian, intensi terdalam dari pembentukan masyarakat politik ditujukan lebih sebagai mekanisme preventif untuk mencegah repetisi segala macam trauma yang dialami di dalam state of nature. Lantas apa itu state of nature dan mengapa pelampauan kondisi alamiah menuju masyarakat politik ini bersifat konstitutif lagi tak terelakkan dalam sistem pemikiran Thomas Hobbes?
State of nature adalah formasi kehidupan manusia yang murni. Lokusnya berada di luar civil society. State of nature adalah keadaan sebelum manusia mengikatkan dirinya kedalam Commonwealth. Sedikit berbeda dengan Locke, istilah state of nature dalam Hobbes secara spesifik merujuk pada keadaan dimana semua berperang melawan semua. Dalam situasi semacam ini, manusia bagi Hobbes adalah homo homini lupus—yaitu serigala bagi sesamanya.

Di dalam state of nature individu disebut memiliki hak untuk melakukan apapun terhadap yang lainnya. Alamlah yang memberikan individu segala macam hak untuk memiliki, menggunakan serta menikmati apapun yang ia inginkan. Ukuran hak (ius) di dalam state of nature adalah kepentingan diri (utilitas) (Hobbes, 1998: 28). Kepentingan diri inilah yang kelak membentuk pandangan mengenai siapa itu manusia dalam Hobbes, yaitu individu yang anti-sosial, rasional, pecinta diri sendiri, pencari kenikmatan, bebas dan otonom.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, karakteristik utama state of nature merupakan keadaaan dimana semua orang berperang melawan semua. Di dalam perang semacam ini semua pihak berhak melakukan apapun terhadap yang lainnya, termasuk merampas harta dan nyawa (Hobbes, 1998). Kondisi alamiah yang penuh horor dan teror bertolak belakang dengan sifat manusia yang selalu mencari kesenangan diri yang berarti penolakan terhadap segala hal yang menyakitkan. Suasana sosiologis di dalam state of nature inilah yang kemudian dijadikan Hobbes sebagai basis dari dua formula politiknya, yaitu: (1) politik sebagai ekspresi ketakutan semua orang–men mutual fear; dan (2) commonwealth atau pembentukan formasi masyarakat politik yang ditujukan sebagai mekanisme preventif agar di masa depan setiap orang bisa terhindar dari ketakutan-ketakutan yang dialami di masa lalu—any anticipation of future evil.

Kontrak atau perjanjian merupakan dasar dari terbentuknya masyarakat politik. Disini masyarakat politik lebih tepat diartikan sebagai satu set agreement atau kesepakatan. Kontrak di satu sisi merupakan refleksi dari eksistensi rasionalitas, di sisi lain merupakan ekspresi akan kebutuhan pemeliharaan diri (self preservation) atau passion. Seluruh dimensi dari bangunan pemikiran politik Hobbes pada dasarnya bisa ditarik dari konsep men mutual fear. Dengan kalimat lain, penjelasan teori kontraktriat pun tidak mungkin dilepaskan dari asumsi-asumsi fundamentalnya. Dalam hal ini Hobbes menulis: “we are driven by mutual fear to believe that we must emerge from such a state and seek allies; so that if we must have a war, it will not be a war against all men nor without aid” (Hobbes dalam Thornton, 2005: 134). Pada kutipan langsung di atas kita bisa melihat dimensi rasionalitas dan passion sekaligus. Kontrak didorong oleh ketakutan kolektif yang mengantarkan individu kedalam persekutuan. Bentuk formal dari persekutuan ialah commonwealth yang terjalin melalui perjanjian. Kontrak sendiri diposisikan sebagai dasar bagi bekerjanya mekanisme bantuan saat individu berhadapan dengan situasi perang. Dengan aliansi, individu keluar dari kesendiriaannya dan mendapatkan bantuan dari sekutunya saat harus berperang mempertahankan diri.

“In Leviathan the individual’s escape from the state of war consisted ‘partly in the passions, partly in his reason’. The ‘passions that incline men to peace are fear of death, desire of such things necessary to commodious living, and a hope by their industry to obtain them. And reason suggesteth convenient articles of peace, upon which men may be drawn to agreement’. Passions were the reason human beings created the commonwealth, and the laws of nature showed them how to achieve this aim.” (Thornton, 2005: 134-135).”

Selain kontrak, dalam pemikiran politik Hobbes terdapat dua aspek pararel yang duduk perkaranya terlebih dahulu perlu dijelaskan. Pertama commonwealth atau bentuk formal masyarakat politik, dan kedua sovereign, yaitu pemegang kedaulatan di dalam commonwealth. Kedua penjelasan ini akan sangat berguna dalam rangka merumuskan apa itu politik dan mengapa formasi masyarakat politik bersifat tak terhindarkan bagi individu dalam Hobbes.

Hobbes umumnya menggunakan istilah commonwealth sebagai kata ganti pemerintahan sipil (civil government). Versi generik dari commonwealth secara jelas didefinisikannya sebagai: “the multitude so united in one person is called a Commonwealth; in Latin, Civitas.” (Hobbes, 1651: 106). Dengan kalimat lain, commonwealth sejatinya merupakan kumpulan orang-orang biasa yang mempersatukan diri kedalam satu tubuh. Hobbes merinci enam alasan yang mendasari pandangannya mengenai mengapa orang-orang biasa ini pada akhirnya memutuskan secara sukarela untuk menyatu kedalam satu tubuh—commonwealth.

Pertama, manusia terus-menerus berada dalam situasi kompetisi untuk meraih kehormatan dan martabat. Konsekuensinya, secara konstan muncul iri hati, rasa benci yang berujung peperangan diantara mereka. Kedua, secara alamiah manusia cenderung membandingkan diri dengan sesamanya, maka ia akhirnya hanya menyukai dan mengejar yang paling baik untuk dirinya. Ketiga, manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan penalaran (the use of reason). Fasilitas ini membuat manusia kerap berpikir bahwa dirinyalah yang paling bijak dan pihak yang paling mampu memerintah. Perasaan seperti ini seringkali mengecoh dan membutakan seseorang sehingga akhirnya perang saudara terjadi. Keempat, manusia adalah mahluk bertutur. Kemampuan ini membuat manusia sanggup mengkomunikasikan gairah serta menginterpretasikan perasaan-perasaannya secara independen. Sisi negatifnya, kemampuan ini seringkali digunakan untuk memutar balik yang baik dengan yang buruk dan kerap digunakan untuk mempengaruhi yang lain. Efeknya ialah hancurnya kedamaian. Kelima, manusia adalah mahluk yang gemar membuat keonaran, terutama dalam keadaan tentram dan damai. Di titik ini ia cenderung memamerkan betapa bijak dirinya dan memperlihatkan keinginannya untuk mengontrol tindakan sang pemegang kedaulatan di dalam commonwealth. Keenam, berbeda dengan binatang (misalnya kawanan lebah yang menjalin kesepakatan secara alamiah dengan sesamanya sebagaimana disebut Aristoteles), Hobbes menyebut persatuan manusia hanya mungkin terselenggara melalui perjanjian. Perjanjian inilah yang kelak dijadikan dasar untuk mengarahkan tindakan semua orang ke arah yang menguntungkan semua pihak (Hobbes, 1651: 105).            

Bagi Hobbes, keenam karakter anti-sosial yang antara lain dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan bawaaannya membuat manusia sangat sukar untuk mempertahankan diri tanpa keberadaan satu kekuataan yang mampu mengatasi konflik kepentingan diantara mereka sendiri. Individu di dalam konteks kehidupan sosial selalu gagal dan selalu kembali jatuh kedalam situasi perang antara satu sama lain jika tetap dibiarkan bertindak berdasarkan penilaian serta selera pribadinya. Selain itu, tanpa persekutuan yang terjalin melalui kesepakatan, setiap individu akan berada dalam keadaan tanpa pertahanan dan perlindungan, baik pertahanan dari serangan musuh maupun perlindungan dari potensi cedera yang mungkin dilakukan oleh sesamanya. Oleh karena itu, penyatuan kedalam satu tubuh merupakan pilihan rasional dalam rangka memperoleh secara aman seluruh dimensi pemeliharaan diri yang terancam teror yang konstan di dalam state of nature. Selain itu, penyatuan ke dalam commonwealth juga difungsikan Hobbes sebagai instrumen untuk memelihara value-value hukum alam (law of nature) yang tak mungkin dicapai di dalam state of nature, yaitu keadilan, kesamaan, kerendahan hati, dan pengampunan.     

 “For the laws of nature, as justice, equity, modesty, mercy, and, in sum, doing to others as we would be done to, of themselves, without the terror of some power to cause them to be observed, are contrary to our natural passions, that carry us to partiality, pride, revenge, and the like. And covenants, without the sword, are but words and of no strength to secure a man at all.”(Hobbes, 1651: 103)

Kutipan langsung di atas paling tidak membuka peluang untuk menjelaskan dua hal. Pertama mengenai sifat utama commonwealth itu sendiri. Kedua, tentang instrumen pelengkap yang membuat commonwealth bekerja efektif sebagai instrumen penjaga ketertiban. Terbentuknya commonwealth menandai momen penundukkan gairah-gairah alamiah dalam diri individu. Karena tekanan ketakutan maka kontrak yang tidak lain adalah manifestasi penyerahan sukarela segala macam gairah individual sebenarnya merupakan proposal perlindungan terhadap gairah-gairah alamiah tadi. Dengan demikian, karakter yang menjadi sifat utama commonwealth atau pemerintahan sipil pertama-tama adalah fungsinya dalam menjamin keselamatan individu dari kecenderungan dominasi dan karakter invasionis yang inheren di dalam diri individu. Hobbes lebih jauh menyebut bahwa kontrak tanpa pedang adalah omong kosong. Oleh karena itu siapapun pemegang kedaulatan (sovereign) yang ditunjuk di dalam pemerintahan sipil harus mendominasi alat-alat kekerasan.

Rumusan Hobbes mengenai commonwealth sebagai kumpulan orang-orang biasa yang mempersatukan diri kedalam satu tubuh sebenarnya merupakan pintu masuk untuk menelisik silsilah status politik pemegang kedaulatan dalam pemerintahan sipil. The Sovereign atau pemegang kedaulatan politik ialah seseorang yang ditunjuk melalui kesepakatan sebagai penjaga keselamatan/kedaulatan individu-individu. Dalam rumusan verbatim Hobbes pemegang kedaulatan adalah: “he that carryeth this person is called sovereign, and said to have sovereign power; and every one besides, his subject” (Hobbes, 1651: 106).    

Hobbes lebih lanjut menerangkan dua causa prima yang menyebabkan seseorang memiliki kekuasaan sebagai pemegang kedaulatan. Causa pertama oleh karena kekuatan alamiah. Yaitu ketika misalnya seorang ayah memiliki anak dan menempatkan anak-anak mereka di bawah duli pengaturan dan penguasaannya. Posisi sebagai seorang ayah memungkinkannya untuk menghancurkan dan atau bahkan membunuh anak-anaknya ketika anak-anak itu menolak menuruti kehendaknya. Kekuasaan sebagai The Sovereign yang diperoleh secara alamiah juga bisa disebabkan penaklukan terhadap musuh, dimana pemegang kedaulatan memiliki kewenangan berdasar kehendaknya sendiri untuk menganugerahi kehidupan atau kematian kepada orang-orang yang ditaklukkannya. Kekuasaan yang diperoleh semacam ini disebut Hobbes sebagai commonwealth melalui akuisisi. Causa kedua ialah kekuasaan sebagai pemegang kedaulatan yang diperoleh berdasar kesepakatan sukarela diantara mereka sendiri dan atau berdasar kesepakatan melalui mekanisme perwakilan untuk mengangkat seseorang yang dijadikan sebagai pelindung para pembuat kesepakatan dari ancaman musuh. Bentuk kedaulatan yang kedua inilah yang kemudian disebut Hobbes sebagai commonwealth by institution atau a political commonwealth (Hobbes, 1651: 106).      

Penjelasan mengenai commonwealth dan pemegang kedaulatan pada akhirnya mengantarkan kita pada kemungkinan untuk merumuskan apa itu politik dalam Hobbes dan liberalisme pada umumnya. Pertama, politik adalah jalan keluar dari anarki individualisme yang terjadi di dalam state of nature. Kedua, politik adalah ekspresi men mutual fear. Dengan demikian politik harus dihitung sebagai aggregat dari ketakutan yang dirasakan bersama. Di tahap lebih jauh, ketakutan diletakkan Hobbes sebagai fondasi yang menyediakan kerangka individualisme di dalam yang-sosial. Di titik ini pengertian politik sebangun dengan hak, dalam arti logika hak pemeliharaan diri yang dibangun Hobbes sukses menjadi tameng konseptual yang melindungi individu dari invasi individu lainnya. Ketiga, dengan begitu maka politik adalah security, atau ia diposisikan untuk menjamin keselamatan diri, kebebasan, otonomi, dan hak milik individual. Keempat, politik adalah sovereignty, yang di dalamnya pemegang kedaulatan mesti mendominasi means of violence atau alat-alat kekerasan dalam keperluan untuk menjamin individual security. Kelima, politik adalah agreement, yaitu perjanjian yang berisi persetujuan-persetujuan individual untuk melayani segala dimensi pemeliharaan diri. Keenam, politik adalah persekutuan rasional. Persekutuan atau politik memberi akses yang membuka jalan bagi individu untuk keluar secara aman dari state of nature dan memasuki civil society atau commonwealth. Terakhir, sebagaimana umum disebut ketika mendefinisikan pandangan politik Hobbes, kekuasaan politik diposisikan sebagai instrumen pemelihara ketertiban dari konflik kepentingan. Pandangan politik semacam ini tidaklah mengherankan terutama jika kita memperhatikan detail suasana sosiologis yang melatarbelakangi teorisasi Hobbes, yaitu perang sipil di Inggris, terjadi antara tahun 1642 hingga 1646. 

Adapun masyarakat politik adalah formasi kehidupan individual yang berada di luar state of nature. Demarkasi yang menjadi pemisah antara state of nature dan formasi masyarakat sipil ditandai dengan dijalinnya kesepakatan/kontrak untuk membentuk commonwealth yang dikepalai seorang pemegang kedaulatan, yang bertugas sebagai penjamin keselamatan individual dan pemelihara ketertiban di dalam kerangka kemasyarakatan yang dibasiskan pada supremasi individualisme. Dalam formasi masyarakat semacam ini, Hobbes menyebut individu memiliki satu hak, yaitu hak pemeliharaan diri yang mesti dijaga dan dijamin oleh pemegang kedaulatan yang ditunjuk oleh mereka sendiri.

Pikiran Hobbes mengenai commonwealth atau masyarakat politik yang di dalamnya individu hanya dilengkapi oleh satu hak saja memang tampak serba kurang, terutama saat kita perbandingkan dengan penalaran terkini mengenai masyarakat politik/negara modern. Namun pemikiran inilah yang sebenarnya dijadikan dasar dari seluruh pemikiran politik liberal, yang di titik tertentu menjadi fondasi yang dikembangkan Locke untuk membentuk satu formasi penalaran mengenai pemerintahan sipil dengan dimensi hak individual yang lebih beragam, yang dengan demkian jauh lebih kokoh sebagai institusi politik penjaga keselamatan individu sekaligus institusi imparsial yang menjamin keleluasaan pencarian kepentingan-kepentingan pribadi, lepas dari campur tangan yang lain.    

Rute teoritik menuju masyarakat politik yang ditempuh Locke sebenarnya relatif serupa dengan jalur yang ditempuh Hobbes, yaitu dimulai dari state of nature menuju civil society. Yang membedakan keduanya terletak di dalam penjelasan terkait state of nature. Kondisi alamiah dalam Locke dijelaskan sebagai kondisi layaknya firdaus atau bukan state of war sebagaimana kita temukan dalam Hobbes. Dalam Second Treatise of Civil Government, Locke menyebut bahwa seluruh bangunan pemikiran politiknya akan lebih gampang dimengerti jika dimulai dengan mencermati penjelasannya mengenai apa itu state of nature.

State of nature dalam Locke antara lain ditandai dengan beberapa karakter berikut. Pertama, state of nature adalah a state of perfect freedom, atau kondisi dimana manusia menikmati kebebasan sempurna saat bertindak maupun ketika mengatur apa yang menjadi miliknya. Kebebasan disini merujuk kepada otonomi yang sepenuhnya lepas dari campur tangan yang lain. Kedua, state of nature adalah a state of equality. Kesetaraan disini secara ketat merujuk kepada kesamaan posisi dalam hal kekuasaan dan hukum. Locke berargumen bahwa semua manusia terlahir setara, dan karenanya memiliki kedudukan yang sama satu sama lain. Ketiga, karena semua orang berada dalam kondisi yang setara, maka implikasinya setiap orang memiliki tangung jawab untuk mencintai sesamanya. Dalam Locke, konsep tanggung jawab untuk mengasihi sesama merupakan dasar dari ide keadilan (justice) dan tindakan murah hati (charity). Keempat, meskipun state of nature dikarakterisir sebagai kondisi penuh kebebasan, namun kebebasan disini bukanlah semacam lisensi untuk menyakiti, merampas hak milik, maupun menginvasi yang lain. Kelima, state of nature ditandai dengan keberadaan hukum alam yang menjadi rujukan tindakan individu. Hukum alam inilah yang mengajarkan tentang kesetaraan, larangan menghancurkan diri sendiri, merenggut kebebasan, merampas harta, menyakiti, menciderai dan membunuh yang lain. Hukum alam juga mengajari bahwa siapapun yang melanggar larangan harus mendapatkan hukuman. Keenam, karena hukum alam berisikan ketentuan yang melarang seseorang untuk menginvasi hak orang lain, maka ia juga berisikan ketentuan yang mengatur kewenangan eksekusi atas pelanggaran ini. Di dalam state of nature kewenangan eksekusi disebut Locke terletak di tangan di setiap orang. Dengan kalimat lain, setiap orang memiliki hak eksekusi terhadap semua pihak yang melanggar hak-haknya. Persis pada penjelasan mengenai konsekuensi dari fragmentasi kewenangan eksekusi yang tersebar secara merata di setiap orang inilah Locke memasuki pemikiran mengenai masyarakat politik. (Locke, 2003: 101-106).

Bagi Locke, setiap pelanggaran terhadap hukum alam mesti diberikan hukuman sesuai tingkat pelanggarannya. Argumen seperti ini menggarisbawahi pentingnya keadilan dalam arti proporsionalitas pemberian hukuman. Proporsionalitas disebut Locke bisa tercapai jika seseorang mampu bersikap imparsial. Di titik ini sifat hukuman yang adil dan setimpal diandaikan bergantung kepada kemampuan untuk bersikap objektif. Dan persis disinilah problemnya, yaitu karena di dalam state of nature setiap orang memiliki kewenangan eksekusi maka ia otomatis akan menjadi pihak yang memberi hukuman terhadap pihak yang melanggar hak-haknya. Pada situasi semacam ini proporsionalitas hukuman akan gagal dihasilkan, sebab setiap orang dikacaukan oleh rasa cinta diri, dorongan balas dendam dlsb. Kelemahan-kelemahan manusiawi tersebut pada gilirannya akan menciptakan kebingungan, memicu situasi disorder yang akhirnya menciptakan persepsi kolektif bahwa hidup di dalam state of nature menjadi sangat sukar dipertahankan. Sebagai jalan keluarnya, Locke kemudian mengajukan konsep pemerintahan sipil (civil government).

Pemerintahan sipil dalam Locke disebut sebagai institusi untuk mengatasi catat dan ketidaknyamanan yang dialami di dalam state of nature. Dengan demikian peranan pemerintahan sipil pertama-tama ialah sebagai institusi imparsial yang memiliki kewenangan untuk menengahi konflik kepentingan individual dalam pemberian hukuman, menciptakan kepastian hukum, dan sebagai pemelihara ketertiban. Pendeknya sebagai penegak hukum alamiah yang mengajarkan kesetaraan, kesamaan, kebebasan dan satu set nilai mengenai supremasi hak-hak individual. Namun sebelum masuk lebih jauh kedalam pembahasan terkait karakteristik pemerintahan sipil, Locke secara umum menerangkan bahwa penyebab utama bersatunya individu ke dalam masyarakat politik ialah untuk mengatasi ketidaksempurnaan yang diakibatkan cara hidup menyendiri di dalam state of nature. Kekurangan ini membuat individu, dengan kehendak dan persetujuannya sendiri, memutuskan untuk bersekutu satu sama lain. Manifestasi persekutuan sukarela inilah yang dirujuk Locke sebagai masyarakat politik (politic societies). Di titik ini sedikit menjadi lebih jelas bahwa dasar dari terbentuknya masyarakat politik dan formasi pemerintahan sipil adalah personal will dan kontrak individual. Dengan demikian, sifat relasi individual didalam masyarakat politik dan pola relasi individu dengan pemerintahan sipil bersifat mutual interdependency—setara dan saling tergantung.    

 “... therefore to supply those defects and imperfections which are in us, as living singly and solely by ourselves, we are naturally induced to seek communion and fellowship with others. This was the cause of men’s uniting themselves at first in politic societies. But I moreover affirm, that all men are naturally in that state, and remain so, till by their own consents they make themselves members of some politic society” (Locke, 2003: 106).
Pemerintahan sipil dipimpin oleh satu orang yang memiliki kewenangan untuk memerintah banyak orang. Secara spesifik kualitas ini disebut Locke sebagai kekuasaan politik (political power). Kekuasaan politik memiliki beberapa dimensi, antara lain hak dalam membuat aturan hukum, termasuk menetapkan sanksi atas pelanggaran hukum, baik itu sanksi hukuman mati maupun jenis-jenis hukuman yang lebih ringan. Selain itu, kekuasaan politik berarti kekuasaan untuk meregulasi dan mengelola properti. Kekuasaan politik juga meliputi kewenangan untuk membentuk dan mempekerjakan aparat pemerintahan yang personalianya berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Peruntukkannya yaitu sebagai aparatus penegakan hukum dan atau untuk menjalankan fungsi pertahanan dari ancaman serangan lawan. Seluruh dimensi kekuasaan politik dalam Locke sepenuhnya ditujukan untuk memelihara kemaslahatan semua pihak yang tergabung di dalam commonwealth.  
 “Political power, then, I take to be a right of making laws with penalties of death, and consequently all less penalties, for the regulating and preserving of property, and of employing the force of the community, in the execution of such laws, and in the defence of the commonwealth from foreign injury; and all this only for the public good.” (Locke, 2003: 101)

Di titik ini kita sudah bisa mulai merumuskan apa itu masyarakat politik dan karakter-karakter utamanya. Pertama, premis fundamental masyarakat politik Locke adalah mengatasi cacat dan ketidaksempurnaan di dalam state of nature. Cacat tersebut utamanya kentara saat ada pihak yang melanggar hak-hak individual yang diatur di dalam hukum alam. Bagi Locke, idealnya semua bentuk pelanggaran terhadap hak-hak individual diberikan sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya, sebab semua pihak setara secara hukum dan memiliki hak alamiah yang tidak boleh dilanggar yang lain. Namun, karena state of nature juga didefinisikannya sebagai a state of perfect freedom yang membuat semua orang otonom saat berpikir dan bertindak, termasuk saat memberikan hukuman atas pelanggaran, maka isu keadilan atau proporsionalitas pemberian sanksi menjadi penting. Penting dalam arti tidak dapat dipenuhi melalui skema state of nature. Inilah cacat yang oleh Locke dijadikan dasar logika pelampauan dari kondisi alamiah menuju commonwealth.  Kedua, pengatasan terhadap ketidaksempurnaan tersebut diatasi individu dengan jalan menjalin persekutuan sukarela diantara mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat politik adalah manifestasi kontrak individual. Kontrak inilah yang menjadi basis legitimasi kekuasaan di dalam pemerintahan sipil. Dan dengan demikian pula maka sifat hubungan di dalam masyarakat politik bersifat egaliter sehingga kekuasaan yang ada didalamnya sepenuhnya ditujukan untuk menjalankan agenda-agenda yang disetujui individu di dalam kontrak. Wujud kontrak dalam konteks masyarakat politik kontemporer misalnya konstitusi. Ketiga, berbeda dengan cara hidup di dalam state of nature yang diandaikan sebagai a state of equality, didalam masyarakat politik terdapat seorang pemegang kekuasaan politik yang memiliki hak dan kewenangan untuk memerintah orang banyak. Kekuasaan politik di dalam pemerintahan sipil merujuk pada hak dan kekuasaan untuk membentuk aturan hukum, merumuskan sanksi pelanggaran, termasuk didalamnya kekuasaan untuk membentuk semacam birokrasi pemerintahan yang personalianya berasal dari anggota masyarakat politik itu sendiri. Birokrasi pemerintahan difungsikan sebagai aparatus penegakan hukum dan menjalankan fungsi pertahanan dari ancaman serangan lawan di luar commonwealth. Keempat, dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik di atas maka masyarakat politik dalam Locke –selangkah lebih maju dibandingkan formulasi commonwealth-nya Hobbes– adalah masyarakat hukum. Dengan kalimat lain, pemerintahan sipil di dalam masyarakat politik ditandai dengan supremasi hukum untuk melindungi hak individual (life, liberty) dan hak milik  (property right) melalui kekuasaan politik.


Daftar Pustaka
Thomas Hobbes of Malmesbury, Leviathan or the Matter, Forme, & Power of a Commonwealth Ecclesiasticall and Civill, (London, St. Pauls Church-yard, 1651).

Thomas Hobbes, On the Citizen, Richard Tuck & Michael Silverthorne (ed & trans), (UK: Cambridge University Press, 1998).

Helen Thornton, State of Nature or Eden? Thomas Hobbes and His Contemporaries on the Natural Condition of Human Beings, (New York: University of Rochester Press, 2005).

John Locke, Two Treatises of Government and A Letter Concerning Toleration,  Ian Shapiro (ed), (London: Yale University Press, 2003).

John Locke, Concerning Civil Government, Second Essay: An Essay Concerning the True Original Extent and End of Civil Government, William Popple (trans), (USA: The Pennsylvania State University, 1998).