Dari Laku Hidup Soliter ke Masyarakat Politik: Catatan tentang Dimensi Intelektual Negara Modern
Oleh Iwa Inzagi ~ Pelajar Filsafat
Oleh Iwa Inzagi ~ Pelajar Filsafat
Politik kurang lebih bisa
diartikan sebagai percobaan hidup di dalam kebersamaan. Dengan demikian, status
politik adalah pilihan sadar. Adapun hidup didalam (masyarakat) politik secara
mendasar bersifat niscaya atau tak terelakkan. Genealogi pandangan semacam ini
bisa kita telusuri jauh kedalam pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) dan John
Locke (1632-1704).
Dalam Hobbes, pada mulanya politik adalah statement of fear, yaitu ungkapan penolakan
individu terhadap ketakutan yang dirasakannya. Sedangkan masyarakat politik (commonwealth) adalah ekspresi institusional dari individu untuk terhindar dari
terulangnya ketakutan-ketakutan traumatis yang pernah mereka alami di dalam state
of nature.
Dengan demikian, kehendak politik, yang di tahap terkemudian membentuk masyarakat politik, pertama-tama harus dibaca sebagai modus resistensi individu-individu demi untuk meloloskan diri dari horor laku hidup individualistik (yang traumatik) sebagaimana dialami di dalam forma kehidupan alamiahnya.
Dengan demikian, kehendak politik, yang di tahap terkemudian membentuk masyarakat politik, pertama-tama harus dibaca sebagai modus resistensi individu-individu demi untuk meloloskan diri dari horor laku hidup individualistik (yang traumatik) sebagaimana dialami di dalam forma kehidupan alamiahnya.
Bangunan dasar teori politik Hobbes sebenarnya terletak di dalam apa yang ia rumuskan sebagai “men mutual fear”. Disini Hobbes secara jelas menggarisbawahi peran sentral rasa takut yang diidap semua orang sebagai basis dari terbentuknya masyarakat politik. Fear sendiri didefinisikannya sebagai “any anticipation of future evil”. Dengan demikian, intensi terdalam dari pembentukan masyarakat politik ditujukan lebih sebagai mekanisme preventif untuk mencegah repetisi segala macam trauma yang dialami di dalam state of nature. Lantas apa itu state of nature dan mengapa pelampauan kondisi alamiah menuju masyarakat politik ini bersifat konstitutif lagi tak terelakkan dalam sistem pemikiran Thomas Hobbes?
State
of nature adalah
formasi kehidupan manusia yang murni. Lokusnya berada di luar civil society. State of nature adalah keadaan
sebelum manusia mengikatkan dirinya kedalam Commonwealth. Sedikit berbeda
dengan Locke, istilah state of nature
dalam Hobbes secara spesifik merujuk pada keadaan dimana semua berperang melawan
semua. Dalam situasi semacam ini, manusia bagi Hobbes adalah homo homini lupus—yaitu serigala bagi
sesamanya.
Di dalam state of nature individu
disebut memiliki hak untuk melakukan apapun terhadap yang lainnya. Alamlah yang
memberikan individu segala macam hak untuk memiliki, menggunakan serta
menikmati apapun yang ia inginkan. Ukuran hak (ius) di dalam state of nature adalah kepentingan diri (utilitas) (Hobbes, 1998: 28).
Kepentingan diri inilah yang kelak membentuk pandangan mengenai siapa itu
manusia dalam Hobbes, yaitu individu yang anti-sosial, rasional, pecinta diri
sendiri, pencari kenikmatan, bebas dan otonom.
Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, karakteristik utama state of nature merupakan keadaaan dimana semua
orang berperang melawan semua. Di dalam perang semacam ini semua pihak berhak
melakukan apapun terhadap yang lainnya, termasuk merampas harta dan nyawa
(Hobbes, 1998). Kondisi alamiah yang penuh horor dan teror bertolak belakang
dengan sifat manusia yang selalu mencari kesenangan diri yang berarti penolakan
terhadap segala hal yang menyakitkan. Suasana sosiologis di dalam state of
nature inilah yang kemudian dijadikan Hobbes sebagai basis dari dua formula
politiknya, yaitu: (1) politik sebagai ekspresi ketakutan semua orang–men
mutual fear; dan (2) commonwealth atau pembentukan formasi masyarakat politik
yang ditujukan sebagai mekanisme preventif agar di masa depan setiap orang bisa
terhindar dari ketakutan-ketakutan yang dialami di masa lalu—any anticipation
of future evil.
Kontrak atau perjanjian merupakan
dasar dari terbentuknya masyarakat politik. Disini masyarakat politik lebih
tepat diartikan sebagai satu set agreement atau kesepakatan. Kontrak di satu
sisi merupakan refleksi dari eksistensi rasionalitas, di sisi lain merupakan ekspresi
akan kebutuhan pemeliharaan diri (self preservation) atau passion. Seluruh
dimensi dari bangunan pemikiran politik Hobbes pada dasarnya bisa ditarik dari
konsep men mutual fear. Dengan kalimat lain, penjelasan teori kontraktriat pun
tidak mungkin dilepaskan dari asumsi-asumsi fundamentalnya. Dalam hal ini
Hobbes menulis: “we are driven by mutual fear to believe that we must emerge
from such a state and seek allies; so that if we must have a war, it will not
be a war against all men nor without aid” (Hobbes dalam Thornton, 2005: 134).
Pada kutipan langsung di atas kita bisa melihat dimensi rasionalitas dan
passion sekaligus. Kontrak didorong oleh ketakutan kolektif yang mengantarkan
individu kedalam persekutuan. Bentuk formal dari persekutuan ialah commonwealth
yang terjalin melalui perjanjian. Kontrak sendiri diposisikan sebagai dasar
bagi bekerjanya mekanisme bantuan saat individu berhadapan dengan situasi
perang. Dengan aliansi, individu keluar dari kesendiriaannya dan mendapatkan
bantuan dari sekutunya saat harus berperang mempertahankan diri.
“In
Leviathan the individual’s escape from the state of war consisted ‘partly in
the passions, partly in his reason’. The ‘passions that incline men to peace
are fear of death, desire of such things necessary to commodious living, and a
hope by their industry to obtain them. And reason suggesteth convenient
articles of peace, upon which men may be drawn to agreement’. Passions were the
reason human beings created the commonwealth, and the laws of nature showed
them how to achieve this aim.” (Thornton, 2005: 134-135).”
Selain kontrak, dalam pemikiran
politik Hobbes terdapat dua aspek pararel yang duduk perkaranya terlebih dahulu
perlu dijelaskan. Pertama commonwealth atau bentuk formal masyarakat politik, dan
kedua sovereign, yaitu pemegang kedaulatan di dalam commonwealth. Kedua
penjelasan ini akan sangat berguna dalam rangka merumuskan apa itu politik dan
mengapa formasi masyarakat politik bersifat tak terhindarkan bagi individu
dalam Hobbes.
Hobbes umumnya menggunakan
istilah commonwealth sebagai kata ganti pemerintahan sipil (civil government).
Versi generik dari commonwealth secara jelas didefinisikannya sebagai: “the
multitude so united in one person is called a Commonwealth; in Latin, Civitas.”
(Hobbes, 1651: 106). Dengan kalimat lain, commonwealth sejatinya merupakan
kumpulan orang-orang biasa yang mempersatukan diri kedalam satu tubuh. Hobbes
merinci enam alasan yang mendasari pandangannya mengenai mengapa orang-orang
biasa ini pada akhirnya memutuskan secara sukarela untuk menyatu kedalam satu
tubuh—commonwealth.
Pertama, manusia terus-menerus
berada dalam situasi kompetisi untuk meraih kehormatan dan martabat.
Konsekuensinya, secara konstan muncul iri hati, rasa benci yang berujung
peperangan diantara mereka. Kedua, secara alamiah manusia cenderung
membandingkan diri dengan sesamanya, maka ia akhirnya hanya menyukai dan
mengejar yang paling baik untuk dirinya. Ketiga, manusia memiliki kemampuan
untuk menggunakan penalaran (the use of reason). Fasilitas ini membuat manusia
kerap berpikir bahwa dirinyalah yang paling bijak dan pihak yang paling mampu
memerintah. Perasaan seperti ini seringkali mengecoh dan membutakan seseorang
sehingga akhirnya perang saudara terjadi. Keempat, manusia adalah mahluk
bertutur. Kemampuan ini membuat manusia sanggup mengkomunikasikan gairah serta
menginterpretasikan perasaan-perasaannya secara independen. Sisi negatifnya,
kemampuan ini seringkali digunakan untuk memutar balik yang baik dengan yang
buruk dan kerap digunakan untuk mempengaruhi yang lain. Efeknya ialah hancurnya
kedamaian. Kelima, manusia adalah mahluk yang gemar membuat keonaran, terutama
dalam keadaan tentram dan damai. Di titik ini ia cenderung memamerkan betapa
bijak dirinya dan memperlihatkan keinginannya untuk mengontrol tindakan sang
pemegang kedaulatan di dalam commonwealth. Keenam, berbeda dengan binatang
(misalnya kawanan lebah yang menjalin kesepakatan secara alamiah dengan
sesamanya sebagaimana disebut Aristoteles), Hobbes menyebut persatuan manusia
hanya mungkin terselenggara melalui perjanjian. Perjanjian inilah yang kelak
dijadikan dasar untuk mengarahkan tindakan semua orang ke arah yang
menguntungkan semua pihak (Hobbes, 1651: 105).
Bagi Hobbes, keenam karakter anti-sosial
yang antara lain dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan bawaaannya membuat
manusia sangat sukar untuk mempertahankan diri tanpa keberadaan satu kekuataan
yang mampu mengatasi konflik kepentingan diantara mereka sendiri. Individu di
dalam konteks kehidupan sosial selalu gagal dan selalu kembali jatuh kedalam
situasi perang antara satu sama lain jika tetap dibiarkan bertindak berdasarkan
penilaian serta selera pribadinya. Selain itu, tanpa persekutuan yang terjalin
melalui kesepakatan, setiap individu akan berada dalam keadaan tanpa pertahanan
dan perlindungan, baik pertahanan dari serangan musuh maupun perlindungan dari
potensi cedera yang mungkin dilakukan oleh sesamanya. Oleh karena itu,
penyatuan kedalam satu tubuh merupakan pilihan rasional dalam rangka memperoleh
secara aman seluruh dimensi pemeliharaan diri yang terancam teror yang konstan
di dalam state of nature. Selain itu, penyatuan ke dalam commonwealth juga
difungsikan Hobbes sebagai instrumen untuk memelihara value-value hukum alam
(law of nature) yang tak mungkin dicapai di dalam state of nature, yaitu
keadilan, kesamaan, kerendahan hati, dan pengampunan.
“For the laws of nature, as justice, equity,
modesty, mercy, and, in sum, doing to others as we would be done to, of
themselves, without the terror of some power to cause them to be observed, are
contrary to our natural passions, that carry us to partiality, pride, revenge,
and the like. And covenants, without the sword, are but words and of no
strength to secure a man at all.”(Hobbes, 1651: 103)
Kutipan langsung di atas paling
tidak membuka peluang untuk menjelaskan dua hal. Pertama mengenai sifat utama
commonwealth itu sendiri. Kedua, tentang instrumen pelengkap yang membuat
commonwealth bekerja efektif sebagai instrumen penjaga ketertiban. Terbentuknya
commonwealth menandai momen penundukkan gairah-gairah alamiah dalam diri
individu. Karena tekanan ketakutan maka kontrak yang tidak lain adalah
manifestasi penyerahan sukarela segala macam gairah individual sebenarnya merupakan
proposal perlindungan terhadap gairah-gairah alamiah tadi. Dengan demikian,
karakter yang menjadi sifat utama commonwealth atau pemerintahan sipil
pertama-tama adalah fungsinya dalam menjamin keselamatan individu dari
kecenderungan dominasi dan karakter invasionis yang inheren di dalam diri
individu. Hobbes lebih jauh menyebut bahwa kontrak tanpa pedang adalah omong
kosong. Oleh karena itu siapapun pemegang kedaulatan (sovereign) yang ditunjuk
di dalam pemerintahan sipil harus mendominasi alat-alat kekerasan.
Rumusan Hobbes mengenai
commonwealth sebagai kumpulan orang-orang biasa yang mempersatukan diri kedalam
satu tubuh sebenarnya merupakan pintu masuk untuk menelisik silsilah status
politik pemegang kedaulatan dalam pemerintahan sipil. The Sovereign atau
pemegang kedaulatan politik ialah seseorang yang ditunjuk melalui kesepakatan
sebagai penjaga keselamatan/kedaulatan individu-individu. Dalam rumusan
verbatim Hobbes pemegang kedaulatan adalah: “he that carryeth this person is called sovereign, and said to have
sovereign power; and every one besides, his subject” (Hobbes, 1651:
106).
Hobbes lebih lanjut menerangkan
dua causa prima yang menyebabkan seseorang memiliki kekuasaan sebagai pemegang
kedaulatan. Causa pertama oleh karena kekuatan alamiah. Yaitu ketika misalnya
seorang ayah memiliki anak dan menempatkan anak-anak mereka di bawah duli
pengaturan dan penguasaannya. Posisi sebagai seorang ayah memungkinkannya untuk
menghancurkan dan atau bahkan membunuh anak-anaknya ketika anak-anak itu
menolak menuruti kehendaknya. Kekuasaan sebagai The Sovereign yang diperoleh
secara alamiah juga bisa disebabkan penaklukan terhadap musuh, dimana pemegang
kedaulatan memiliki kewenangan berdasar kehendaknya sendiri untuk menganugerahi
kehidupan atau kematian kepada orang-orang yang ditaklukkannya. Kekuasaan yang
diperoleh semacam ini disebut Hobbes sebagai commonwealth melalui akuisisi.
Causa kedua ialah kekuasaan sebagai pemegang kedaulatan yang diperoleh berdasar
kesepakatan sukarela diantara mereka sendiri dan atau berdasar kesepakatan
melalui mekanisme perwakilan untuk mengangkat seseorang yang dijadikan sebagai
pelindung para pembuat kesepakatan dari ancaman musuh. Bentuk kedaulatan yang
kedua inilah yang kemudian disebut Hobbes sebagai commonwealth by institution
atau a political commonwealth (Hobbes, 1651: 106).
Penjelasan mengenai commonwealth
dan pemegang kedaulatan pada akhirnya mengantarkan kita pada kemungkinan untuk
merumuskan apa itu politik dalam Hobbes dan liberalisme pada umumnya. Pertama,
politik adalah jalan keluar dari anarki individualisme yang terjadi di dalam
state of nature. Kedua, politik adalah ekspresi men mutual fear. Dengan
demikian politik harus dihitung sebagai aggregat dari ketakutan yang dirasakan
bersama. Di tahap lebih jauh, ketakutan diletakkan Hobbes sebagai fondasi yang
menyediakan kerangka individualisme di dalam yang-sosial. Di titik ini
pengertian politik sebangun dengan hak, dalam arti logika hak pemeliharaan diri
yang dibangun Hobbes sukses menjadi tameng konseptual yang melindungi individu
dari invasi individu lainnya. Ketiga, dengan begitu maka politik adalah
security, atau ia diposisikan untuk menjamin keselamatan diri, kebebasan,
otonomi, dan hak milik individual. Keempat, politik adalah sovereignty, yang di
dalamnya pemegang kedaulatan mesti mendominasi means of violence atau alat-alat
kekerasan dalam keperluan untuk menjamin individual security. Kelima, politik
adalah agreement, yaitu perjanjian yang berisi persetujuan-persetujuan
individual untuk melayani segala dimensi pemeliharaan diri. Keenam, politik
adalah persekutuan rasional. Persekutuan atau politik memberi akses yang
membuka jalan bagi individu untuk keluar secara aman dari state of nature dan
memasuki civil society atau commonwealth. Terakhir, sebagaimana umum disebut
ketika mendefinisikan pandangan politik Hobbes, kekuasaan politik diposisikan
sebagai instrumen pemelihara ketertiban dari konflik kepentingan. Pandangan
politik semacam ini tidaklah mengherankan terutama jika kita memperhatikan
detail suasana sosiologis yang melatarbelakangi teorisasi Hobbes, yaitu perang
sipil di Inggris, terjadi antara tahun 1642 hingga 1646.
Adapun masyarakat politik adalah
formasi kehidupan individual yang berada di luar state of nature. Demarkasi
yang menjadi pemisah antara state of nature dan formasi masyarakat sipil
ditandai dengan dijalinnya kesepakatan/kontrak untuk membentuk commonwealth
yang dikepalai seorang pemegang kedaulatan, yang bertugas sebagai penjamin
keselamatan individual dan pemelihara ketertiban di dalam kerangka
kemasyarakatan yang dibasiskan pada supremasi individualisme. Dalam formasi
masyarakat semacam ini, Hobbes menyebut individu memiliki satu hak, yaitu hak
pemeliharaan diri yang mesti dijaga dan dijamin oleh pemegang kedaulatan yang
ditunjuk oleh mereka sendiri.
Pikiran Hobbes mengenai
commonwealth atau masyarakat politik yang di dalamnya individu hanya dilengkapi
oleh satu hak saja memang tampak serba kurang, terutama saat kita perbandingkan
dengan penalaran terkini mengenai masyarakat politik/negara modern. Namun
pemikiran inilah yang sebenarnya dijadikan dasar dari seluruh pemikiran politik
liberal, yang di titik tertentu menjadi fondasi yang dikembangkan Locke untuk
membentuk satu formasi penalaran mengenai pemerintahan sipil dengan dimensi hak
individual yang lebih beragam, yang dengan demkian jauh lebih kokoh sebagai
institusi politik penjaga keselamatan individu sekaligus institusi imparsial
yang menjamin keleluasaan pencarian kepentingan-kepentingan pribadi, lepas dari
campur tangan yang lain.
Rute teoritik menuju masyarakat
politik yang ditempuh Locke sebenarnya relatif serupa dengan jalur yang
ditempuh Hobbes, yaitu dimulai dari state of nature menuju civil society. Yang
membedakan keduanya terletak di dalam penjelasan terkait state of nature.
Kondisi alamiah dalam Locke dijelaskan sebagai kondisi layaknya firdaus atau
bukan state of war sebagaimana kita temukan dalam Hobbes. Dalam Second Treatise
of Civil Government, Locke menyebut bahwa seluruh bangunan pemikiran politiknya
akan lebih gampang dimengerti jika dimulai dengan mencermati penjelasannya
mengenai apa itu state of nature.
State
of nature dalam
Locke antara lain ditandai dengan beberapa karakter berikut. Pertama, state of
nature adalah a state of perfect freedom, atau kondisi dimana manusia menikmati
kebebasan sempurna saat bertindak maupun ketika mengatur apa yang menjadi
miliknya. Kebebasan disini merujuk kepada otonomi yang sepenuhnya lepas dari
campur tangan yang lain. Kedua, state of nature adalah a state of equality.
Kesetaraan disini secara ketat merujuk kepada kesamaan posisi dalam hal
kekuasaan dan hukum. Locke berargumen bahwa semua manusia terlahir setara, dan
karenanya memiliki kedudukan yang sama satu sama lain. Ketiga, karena semua
orang berada dalam kondisi yang setara, maka implikasinya setiap orang memiliki
tangung jawab untuk mencintai sesamanya. Dalam Locke, konsep tanggung jawab
untuk mengasihi sesama merupakan dasar dari ide keadilan (justice) dan tindakan
murah hati (charity). Keempat, meskipun state of nature dikarakterisir sebagai
kondisi penuh kebebasan, namun kebebasan disini bukanlah semacam lisensi untuk
menyakiti, merampas hak milik, maupun menginvasi yang lain. Kelima, state of
nature ditandai dengan keberadaan hukum alam yang menjadi rujukan tindakan
individu. Hukum alam inilah yang mengajarkan tentang kesetaraan, larangan
menghancurkan diri sendiri, merenggut kebebasan, merampas harta, menyakiti,
menciderai dan membunuh yang lain. Hukum alam juga mengajari bahwa siapapun
yang melanggar larangan harus mendapatkan hukuman. Keenam, karena hukum alam
berisikan ketentuan yang melarang seseorang untuk menginvasi hak orang lain,
maka ia juga berisikan ketentuan yang mengatur kewenangan eksekusi atas
pelanggaran ini. Di dalam state of nature kewenangan eksekusi disebut Locke
terletak di tangan di setiap orang. Dengan kalimat lain, setiap orang memiliki
hak eksekusi terhadap semua pihak yang melanggar hak-haknya. Persis pada
penjelasan mengenai konsekuensi dari fragmentasi kewenangan eksekusi yang
tersebar secara merata di setiap orang inilah Locke memasuki pemikiran mengenai
masyarakat politik. (Locke, 2003: 101-106).
Bagi Locke, setiap pelanggaran
terhadap hukum alam mesti diberikan hukuman sesuai tingkat pelanggarannya.
Argumen seperti ini menggarisbawahi pentingnya keadilan dalam arti proporsionalitas
pemberian hukuman. Proporsionalitas disebut Locke bisa tercapai jika seseorang
mampu bersikap imparsial. Di titik ini sifat hukuman yang adil dan setimpal
diandaikan bergantung kepada kemampuan untuk bersikap objektif. Dan persis
disinilah problemnya, yaitu karena di dalam state of nature setiap orang
memiliki kewenangan eksekusi maka ia otomatis akan menjadi pihak yang memberi
hukuman terhadap pihak yang melanggar hak-haknya. Pada situasi semacam ini
proporsionalitas hukuman akan gagal dihasilkan, sebab setiap orang dikacaukan
oleh rasa cinta diri, dorongan balas dendam dlsb. Kelemahan-kelemahan manusiawi
tersebut pada gilirannya akan menciptakan kebingungan, memicu situasi disorder
yang akhirnya menciptakan persepsi kolektif bahwa hidup di dalam state of
nature menjadi sangat sukar dipertahankan. Sebagai jalan keluarnya, Locke
kemudian mengajukan konsep pemerintahan sipil (civil government).
Pemerintahan sipil dalam Locke disebut sebagai
institusi untuk mengatasi catat dan ketidaknyamanan yang dialami di dalam state
of nature. Dengan demikian peranan pemerintahan sipil pertama-tama ialah
sebagai institusi imparsial yang memiliki kewenangan untuk menengahi konflik
kepentingan individual dalam pemberian hukuman, menciptakan kepastian hukum,
dan sebagai pemelihara ketertiban. Pendeknya sebagai penegak hukum alamiah yang
mengajarkan kesetaraan, kesamaan, kebebasan dan satu set nilai mengenai
supremasi hak-hak individual. Namun sebelum masuk lebih jauh kedalam pembahasan
terkait karakteristik pemerintahan sipil, Locke secara umum menerangkan bahwa
penyebab utama bersatunya individu ke dalam masyarakat politik ialah untuk
mengatasi ketidaksempurnaan yang diakibatkan cara hidup menyendiri di dalam
state of nature. Kekurangan ini membuat individu, dengan kehendak dan
persetujuannya sendiri, memutuskan untuk bersekutu satu sama lain. Manifestasi
persekutuan sukarela inilah yang dirujuk Locke sebagai masyarakat politik
(politic societies). Di titik ini sedikit menjadi lebih jelas bahwa dasar dari
terbentuknya masyarakat politik dan formasi pemerintahan sipil adalah personal
will dan kontrak individual. Dengan demikian, sifat relasi individual didalam
masyarakat politik dan pola relasi individu dengan pemerintahan sipil bersifat
mutual interdependency—setara dan saling tergantung.
“... therefore to supply those defects and
imperfections which are in us, as living singly and solely by ourselves, we are
naturally induced to seek communion and fellowship with others. This was the
cause of men’s uniting themselves at first in politic societies. But I moreover
affirm, that all men are naturally in that state, and remain so, till by their
own consents they make themselves members of some politic society” (Locke,
2003: 106).
Pemerintahan sipil dipimpin oleh satu orang
yang memiliki kewenangan untuk memerintah banyak orang. Secara spesifik
kualitas ini disebut Locke sebagai kekuasaan politik (political power).
Kekuasaan politik memiliki beberapa dimensi, antara lain hak dalam membuat
aturan hukum, termasuk menetapkan sanksi atas pelanggaran hukum, baik itu
sanksi hukuman mati maupun jenis-jenis hukuman yang lebih ringan. Selain itu,
kekuasaan politik berarti kekuasaan untuk meregulasi dan mengelola properti.
Kekuasaan politik juga meliputi kewenangan untuk membentuk dan mempekerjakan aparat
pemerintahan yang personalianya berasal dari dalam masyarakat itu sendiri.
Peruntukkannya yaitu sebagai aparatus penegakan hukum dan atau untuk
menjalankan fungsi pertahanan dari ancaman serangan lawan. Seluruh dimensi
kekuasaan politik dalam Locke sepenuhnya ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan semua pihak yang tergabung di dalam commonwealth.
“Political power, then, I take to be a right
of making laws with penalties of death, and consequently all less penalties,
for the regulating and preserving of property, and of employing the force of
the community, in the execution of such laws, and in the defence of the
commonwealth from foreign injury; and all this only for the public good.”
(Locke, 2003: 101)
Di titik ini kita sudah bisa
mulai merumuskan apa itu masyarakat politik dan karakter-karakter utamanya.
Pertama, premis fundamental masyarakat politik Locke adalah mengatasi cacat dan
ketidaksempurnaan di dalam state of nature. Cacat tersebut utamanya kentara
saat ada pihak yang melanggar hak-hak individual yang diatur di dalam hukum
alam. Bagi Locke, idealnya semua bentuk pelanggaran terhadap hak-hak individual
diberikan sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya, sebab semua pihak setara
secara hukum dan memiliki hak alamiah yang tidak boleh dilanggar yang lain.
Namun, karena state of nature juga didefinisikannya sebagai a state of perfect
freedom yang membuat semua orang otonom saat berpikir dan bertindak, termasuk
saat memberikan hukuman atas pelanggaran, maka isu keadilan atau proporsionalitas
pemberian sanksi menjadi penting. Penting dalam arti tidak dapat dipenuhi
melalui skema state of nature. Inilah cacat yang oleh Locke dijadikan dasar
logika pelampauan dari kondisi alamiah menuju commonwealth. Kedua, pengatasan terhadap ketidaksempurnaan
tersebut diatasi individu dengan jalan menjalin persekutuan sukarela diantara
mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat politik adalah manifestasi kontrak
individual. Kontrak inilah yang menjadi basis legitimasi kekuasaan di dalam
pemerintahan sipil. Dan dengan demikian pula maka sifat hubungan di dalam
masyarakat politik bersifat egaliter sehingga kekuasaan yang ada didalamnya
sepenuhnya ditujukan untuk menjalankan agenda-agenda yang disetujui individu di
dalam kontrak. Wujud kontrak dalam konteks masyarakat politik kontemporer
misalnya konstitusi. Ketiga, berbeda dengan cara hidup di dalam state of nature
yang diandaikan sebagai a state of equality, didalam masyarakat politik
terdapat seorang pemegang kekuasaan politik yang memiliki hak dan kewenangan
untuk memerintah orang banyak. Kekuasaan politik di dalam pemerintahan sipil
merujuk pada hak dan kekuasaan untuk membentuk aturan hukum, merumuskan sanksi
pelanggaran, termasuk didalamnya kekuasaan untuk membentuk semacam birokrasi
pemerintahan yang personalianya berasal dari anggota masyarakat politik itu
sendiri. Birokrasi pemerintahan difungsikan sebagai aparatus penegakan hukum
dan menjalankan fungsi pertahanan dari ancaman serangan lawan di luar
commonwealth. Keempat, dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik di atas
maka masyarakat politik dalam Locke –selangkah lebih maju dibandingkan
formulasi commonwealth-nya Hobbes– adalah masyarakat hukum. Dengan kalimat
lain, pemerintahan sipil di dalam masyarakat politik ditandai dengan supremasi
hukum untuk melindungi hak individual (life, liberty) dan hak milik (property right) melalui kekuasaan politik.
Daftar
Pustaka
Thomas Hobbes of Malmesbury,
Leviathan or the Matter, Forme, & Power of a Commonwealth Ecclesiasticall
and Civill, (London, St. Pauls Church-yard, 1651).
Thomas Hobbes, On the Citizen,
Richard Tuck & Michael Silverthorne (ed & trans), (UK: Cambridge
University Press, 1998).
Helen Thornton, State of Nature
or Eden? Thomas Hobbes and His Contemporaries on the Natural Condition of Human
Beings, (New York: University of Rochester Press, 2005).
John Locke, Two Treatises of
Government and A Letter Concerning Toleration,
Ian Shapiro (ed), (London: Yale University Press, 2003).
John Locke, Concerning Civil
Government, Second Essay: An Essay Concerning the True Original Extent and End
of Civil Government, William Popple (trans), (USA: The Pennsylvania State
University, 1998).