Apa Benar "Perempuan" Itu Seorang Neolib?


Dr. Sri Mulyani Indrawati

Di sepotong sore yang mendung saya berbicara dengan seseorang. Pokok pembicaraan di sore itu kira-kira berkutat di seputar soal: Apakah Sri Mulyani Indrawati (SMI) seorang neolib? Benarkah nasib petani serta warga pada umumnya menjadi terbengkalaikan hanya gara-gara seorang 'perempuan' yang katanya berideologi ekonomi neolib itu? Namun bukankah kita menganut sistem presidensil? Atau tidakkah kita berpikir bahwa semua kisruh ini sebenarnya ulah monster lain? Bagaimana jika suatu hari nanti monster itu berkehendak untuk juga menghabisi kita? Mendung di sepotong sore itu pun akhirnya tak terbendung; hujan... dan hujan argumen pun hanya selangkah di depan kami yang tergesa.

Dengan lantang dan yakin orang itu berkata bahwa SMI adalah seorang neolib yang dengan sendirinya pro fundamentalisme pasar, berkarib dengan pengusaha, dan karenanya dia lantas menomorduakan nasib kebanyakan warga pada umumnya. Saya membantah stigma serupa itu, juga membantah seluruh rangkaian argumentasi yang mengemuka sebagai akibat tak terhindarkan dari cara berpikir seperti ini. 
Penting untuk membantahnya, pertama karena kita tahu bahwa sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensil, dan 'ideologi kabinet' adalah 'ideologi presiden'. Jadi agak aneh kalau senadainya seorang menteri memiliki  ideologi yang lain dari ideologi presidennya. Di titik ini saja kita sudah bisa melikuidasi tuduhan itu. Kedua, karena dengan mata telanjang pun kita masih bisa melihat kinerja monster lain yang senantiasa sekuat tenaga memperkeruh cuaca kepolitikan kita melalui media. Ketiga, dan ini yang paling meresahkan: bagaimana jika suatu hari nanti monster itu kebetulan juga berkehendak menghabisi kita melalui kekuatan politik, uang, dan media yang dia punya? 
Di atas semua alasan itu, bagi dan di dalam bacaan saya sebagai warga, SMI justru berhasil tampil merekah sebagai figur perempuan par excellent, yang dengan berani, terbuka, dan tanpa tedeng aling-aling menolak berkarib dengan pengusaha kotor, bahkan lebih dari itu, seorang diri SMI kukuh bertahan mencegah meluasnya endemi konflik kepentingan –penyakit yang umum ditemukan di wilayah kepolitikan kita– yang lagi-lagi melibatkan raksasa-raksasa yang bermanifes dalam diri penguasa dan satu-dua pengusaha sebagaimana lazim terjadi di masa Orba. Oligarki, dulu kita menamainya, namun kini justru rasanya lebih buruk lagi. Di titik ini, sebenarnya kita bisa --untuk kedua kalinya-- melikuidasi tudingan neolib itu. Dan di titik ini pula rasanya kita pantas untuk balik bertanya: apa benar 'perempuan' itu seorang neolib?


Neo-oligarki Orde Reformasi
Oligarki (Yunani: OligarkhĂ­a) adalah penanda yang digunakan untuk menandai sebentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh segelintir elit di masyarakat, dibedakan berdasarkan kekayaan, keluarga, atau militer. Di Indonesia, oligarki merupakan penanda yang merujuk pada sebentuk gejala konspirasi kolutif atau katakanlah semacam persekutuan gelap yang melibatkan si kuasa dan si kaya, yang menggejala sejak dekade 70-an. Persekutuan ini pun dalam perkembangan dan karena kecenderungan primordialnya yang eksklusif selalu menjurus pada tindakan redistributive combines atau tindakan dimana penguasa (yang memiliki kontrol atas negara) menyediakan fasilitasi berlebih dalam berbagai bentuk (termasuk melalui kebijakan publik) guna melicinkan aktivitas ekonomi sang pengusaha. Dalam pola hubungan seperti ini, umumnya sang pengusaha berupaya keras memelihara konspirasi kolutif ini dengan cara mengembalikan ‘kebaikan’ penguasa dalam bentuk pajak yang masuk ke kas negara dan juga ‘upeti’ yang masuk ke kantong-kantong pribadi. Gambaran itulah yang terjadi semasa Orba berjaya. Kini? Gejala itu berulang dan terjadi dalam cara yang lebih buruk lagi! Buruk karena: bahkan pajak saja ditunggak, 56 Trilyun besarnya! Lebih buruk lagi karena pemerintah yang katanya berkuasa justru menyembunyikan fakta bahwa pada dasarnya dia punya daya paksa untuk menagihkannya demi kepentingan warga. Kalau pajak saja ditunggak, bagaimana mungkin pemerintah mampu secara mandiri mengerahkan biaya untuk mendanai program-program pro-warga? Di titik ini, sebagai akibatnya, pemerintah akan terpaksa kembali berpaling pada skema lama pembiayaan pembangunan, yakni melalui utang luar negeri sebagaimana selalu terjadi sejauh ini. Inilah gejala neo-oligarki di Orde Reformasi dan pilihan skema pembiayaan pembangunan seperti inilah yang justru akan makin menggiring kita menjadi neolib --semata karena watak dari pilihan ini akan membuat negara menderita ketergantungan akut pada modal asing.

SMI: Figur yang Jujur & Tegas
Alih-alih ikut larut dalam pusaran dogma skema pembiayaan pembangunan ala teori pembangunan liberal (klasik maupun modern) yang umumnya bertumpu pada pinjaman luar, SMI secara visioner dan sistematik justru telah bertindak mendahului kita dalam upaya membuka situasi deadlock terkait skema pendanaan pembangunan di Indonesia, yakni dengan cara meningkatkan pendapatan negara melalui pajak –tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih. Di titik ini, gerak Reformasi di Dirjen Pajak menunjukkan sistematiknya SMI berpikir, sedang peristiwa pencekalan 14 eksekutif perusahaan batu bara adalah satu contoh mengenai sikap tegas tanpa pandang bulu sekaligus mencerminkan keberaniannya yang prima dalam menempuh resiko untuk tak berkarib dengan siapapun yang menolak visi kemandiriannya yang sophisticated dalam soal pembiayaan pembangunan negara. 
Sayang sekali kita terlambat bersicepat mempertahankan figur perempuan par excellent yang sangat kita butuhkan untuk mengurus ‘rumah tangga’ Indonesia ini. Salah satu yang membuat kita sangat terlambat lebih karena kecepatan media dalam merepetisi dan mendistribusikan pembenaran akan kepalsuan tuduhan ini.

Repetisi bukan Kebenaran 
Agaknya memang bukan olok-olok jika pada akhirnya kita kemudian menyimpulkan bahwa stigma neolib yang dialamatkan kepada SMI –sebagaimana dituduhkan di sore itu– adalah abuse of abstraction yang sukar dicarikan justifikasi empiriknya. Atau dengan kata lain, pembenaran akan kepalsuan tuduhan itu hanya muncul sebagai hasil dari repetisi (pengulangan pemberitaan media) yang lucunya secara kasat mata merupakan bidak yang dikerahkan pemiliknya demi mengulang nostalgia kolaborasi kolutif yang telah dengan susah payah kita lampaui melalui Gerakan Reformasi 1998. Dengan demikian maka status kebenaran stigma itu tak lebih dari sekedar realitas ilusif yang muncul sebagai hasil kerja simulakra media. Oleh karena itu, menyingkir atau tersingkirnya SMI dari peta kepolitikan Indonesia bukanlah gara-gara dia neolib atau sebangsanya, melainkan lebih karena kinerja monster lain yang sengaja bekerja dengan maksud meminggirkannya.

Iwa Inzagi
Direktur LPW Citizens Institute & Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)