Mengapa Demokratisasi Masih Pilihan dan Masih Perlu Kita Perdalam

Iwa Inzagi | Peneliti P2D

Memasuki demokrasi mengandung arti meninggalkan cara hidup lama dan memasuki yang baru. Mengayunkan langkah ke alam demokrasi berarti memasuki laku hidup di dalam masyarakat sipil. 
Dalam kesejarahannya, hidup di dalam masyarakat sipil atau masyarakat politik berarti hidup dengan pertama-tama melepaskan diri dan kemanusiaan dari seluruh tatanan logika teosentrisme. Di titik ini, maka memasuki demokrasi berarti memasuki alam pikir humanisme, yaitu suatu formasi penalaran yang menyatakan dirinya sebagai pihak pengusung agenda pengaktualan keutamaan dan kemajuan manusia. Tak syak lagi, dalam tujuannya, pikiran utama yang dibubuhkan dalam pernyataan barusan dimaksudkan untuk menggarisbawahi positivitas terpenting yang terkandung dalam pilihan ketika memutuskan hidup di dalam sistem kepolitikan demokratis.

Hidup di dalam sistem politik demokratis secara mendasar merupakan sebuah keputusan untuk hidup di dalam tata cara yang sepenuhnya bertumpu pada logika humanisme, yang dasarnya tak lain adalah antroposentrisme. Itu pula sebabnya maka demokrasi seringkali dituduh secara gampangan sebagai a-theis, atau laku kepolitikan tanpa terlampau banyak melibatkan tuhan. 
Kritik seperti itu memang akurat, hanya saja terlalu meremehkan himbauan kemanusiaan paling penting yang diusung kaum humanitarian. Dengan demikian, memang kritik semacam itu tepat namun tetap menyisakan retak, dalam arti mengidap cacat. Cacat karena, segala usaha untuk mengadu teisme dengan humanisme nyatanya abai terhadap fakta bahwa keduanya sama-sama membicarakan keutamaan dan memendam kerinduan akan kemajuan manusia dan kemanusiannya. Adapun perbedaan yang nampak sukar sekali didamaikan justru terletak bukan pada intensionalitasnya, melainkan lebih pada bagaimana cara terbaik (teknikalitas) pencapaiannya di dalam komunitas politik. Tentu saja tulisan ini tidak ditujukan untuk memperdalam luka yang disayatkan perbedaan yang bersifat teknikalitas ini. Namun historycal truth semacam ini perlu pertama-tama disebutkan, supaya jangan ada dusta diantara kita. 
II


Dalam karya berjudul The King’s Two Bodies, Ernst Kantorowicz merepetisi formula lama: “le roi ne meurt jamais (the king never dies) atau tubuh raja adalah tubuh yang takkan mati terbunuh. Dengan kalimat lain, sebagaimana ortodoksi doktrin tentang tuhan, metafor tubuh raja pun hidup kekal selamanya, abadi di dalam diri keturunan-keturunannya (Agamben, 1998: 92). 
Dalam kaitannya dengan keperluan tulisan ini, maka hal yang bisa kita petik dari formula klasik tersebut ialah mengenai fundamental legitimasi dalam sistem politik yang bertumpu pada formasi logika teosentrisme yang asertan mengamini kemenyatuan tubuh raja dan tuhan. Pada Kantorowicz, kemenyatuan ini disebut sebagai moralitas dari otoritas politik pada sistem non-demokratis. Oleh karena itu, maka sistem politik demokratis pertama-tama bisa diartikan sebagai sistem politik yang menolak –minimum mengisolir– pandangan mitis tersebut dari kehidupan politik/masyarakat sipil. Mengapa itu ditolak? Sebab dalam praktiknya pandangan ini bekerja membentuk, menstabilkan dan terus menerus mereproduksi satu model stratifikasi sosial-politik tertutup ala monarki dan sejenisnya. Hal ini sudah barang tentu berbanding terbalik dengan logika kerja kekuasaan politik demokratis yang pertama-tama mengandaikan dan kemudian mensyaratkan kesetaraan manusia. Kantorowicz sendiri ‘mengejek’ logika ‘the king’s two bodies’ ini sebagai the myth of the state, atau logika pembentuk mitos sovereignty di dalam teori negara modern.
Senada dengan Kantorowicz, namun dalam model pendekatan yang sangat istimewa dan jauh lebih radikal, Giorgio Agamben menyebut forma kehidupan dalam sistem non-demokratis sebagai forma kehidupan di dalam Zoe. Pendeknya, bagi Agamben, forma kehidupan non-demokratis serupa dengan bentuk kehidupan bare life atau keadaan dimana semua orang hidup sekedarnya, dalam arti telanjang tanpa sehelai pun kain perlindungan—naked life (Agamben, 1998). Jika kita libatkan John Locke, maka perlindungan disini berarti perlindungan melalui apa yang ia sebut sebagai proteksi terhadap life, liberty dan estate, yaitu right of property—yang dinikmati setiap manusia di dalam civil society. Dengan istilah lain, forma kehidupan di dalam Zoe adalah suatu bentuk kehidupan sebelum manusia berhasil diatribusi sebagai anggota/citizens dari suatu komunitas politik. 
Pada teori citizenship modern, citizens atau warga negara adalah mereka yang memiliki dan menikmati kedudukan setara di dalam komunitas politik (T. H. Marshall, 1950). Kedudukan setara itu utamanya manifes dilantarankan rekognisi atas hak dan kewajiban yang dilekatkan kepada setiap yang yang secara sukarela memutuskan bergabung kedalam komunitas politik atau Commowealth. Identitas politik sebagai warga dari negara inilah yang membuat seseorang bisa dikategorikan hidup di dalam apa yang disebut Agamben sebagai bios politicos—suatu forma kehidupan yang sama sekali berlainan dengan bentuk kehidupan di dalam Zoe
Di titik ini mulai sedikit menjadi lebih jelas mengapa demokrasi kemudian menjadi pilihan, yaitu (1) karena demokrasi menolak stratifikasi, yang dengan itu secara otomatis menolak partisi sosial di dalam komunitas politik; (2) karena demokrasi merupakan sistem sosial-kepolitikan yang di dalamnya supremasi hukum sipil diletakkan di atas segalanya. Hukum sipil itulah yang membuat life, liberty dan estate seorang warga negara terproteksi secara maksimum di dalam bios politicos. Supremasi hukum sipil itu pula lah yang membatalkan status homo sacer yang disandang seorang soliter penyendiri di dalam Zoe.
Di era dimana kita hidup saat ini, demokrasi disebut pemikir kontroversial semacam Francis Fukuyama sebagai the end of history (1992). Dengan ungkapan itu Fukuyama bermaksud mengatakan bahwa sejarah sistem politik telah berakhir, dengan demokrasi keluar sebagai kampiunnya. Pandangan semacam ini memang arogan, namun aspek positif dari arogansi tersebut sukses memantik kembali kebutuhan untuk merefleksikan –minimum mempertanyakan– apa benar sejarah pertumbuhan sistem politik itu telah berhenti pada demokrasi? Di titik itu Fukuyama berhasil memprovokasi suatu perenungan baru mengenai: apa benar demokrasi adalah suatu pilihan yang tepat? Apa benar demokrasi sebagai sistem politik masih tetap akan kita butuhkan untuk jangka waktu yang panjang setelah hari ini? Terutama di tengah pesta individualisme yang buas dan festival kebebasan yang intens menempatkan semangat brotherhood of mankind berada dalam tekanan yang masif. Lalu dengan cara apa dan bagaimana pandangan sejenis sebagaimana dianut Fukuyama itu bisa dibela dengan benar –yaitu dibela tanpa perlu mengorbankan pentingnya kooperasi antar pihak-pihak yang sebenarnya sama-sama bermaksud memperjuangkan kemajuan dan keutamaan manusia—melalui dan di dalam demokrasi?
Menjawab pertanyaan itu memang bukanlah perkara sepele. Paling kurang kita perlu terlebih dahulu menengok beberapa perkara yang membuat sistem politik demokrasi tetap bisa dianggap sebagai pilihan paling atraktif untuk saat ini dan ke depan. Atractiveness di sini dalam arti tetap fungsional dan kompatibel dengan situasi yang terus menerus berderap dan berubah. Pada pikiran semacam ini, maka jika demokrasi tetap mau kita tempatkan sebagai pilihan dalam arti ditempatkan sebagai fundamental, maka dia mesti memiliki kelayakan untuk bisa diaplikasikan pada bermacam konfigurasi situasi yang dihasilkan oleh perubahan tadi. Oleh karena itu, maka di titik ini, pertama kita perlu menyebutkan apa saja perkara mendasar dari sistem politik demokrasi yang aplikatif atau bisa terus menerus diterapkan pada perubahan maha cepat yang terjadi di level realitas. Kedua, apa saja bentuk-bentuk atau gejala-gejala yang mengindikasikan terjadinya perubahan-perubahan itu? Persis pada dua keperluan semacam ini beberapa spekulasi pikiran berikut dituliskan.


III
Pertama terkait situasinya. Hal itu mesti dilihat dalam kategori ekonomi. Alasannya sangat Marxian, yaitu bahwa segala macam perubahan merupakan implikasi dari pergeseran yang terjadi di base structure, yaitu ekonomi. Sebagaimana sama-sama kita ketahui, dalam Marxisme Ortodoks, base dilihat sebagai pihak yang mendeterminasi super structure. Dengan kalimat lain: ekonomi lah yang menentukan bidang-bidang semacam politik dan lain sebagainya.
Dari sisi ekonomi, masyarakat dunia jauh-jauh hari telah bertransformasi dari tata produksi ekonomi agraris ke tata ekonomi industrial. Tak berhenti di situ, masyarakat dunia terus bertumbuh dan sampai pada satu era yang secara samar-samar disebut Peter Drucker sebagai post-industrial society, yang oleh Alvin Toffler diterjemahkan secara lebih operasional sebagai ‘abad informasi’. Anthony Giddens menunjuk pertumbuhan pengetahuan serta kemajuan teknologi lah yang memungkinkan gelombang ketiga itu meluluhlantakkan sendi-sendi terpenting dari arsitektur tata produksi masyarakat industri. Pada Giddens, kemajuan teknologi yang dasarnya tak lain dari science itu diafirmasi sebagai elemen terpenting yang memungkinkan globalisasi. Globalisasi dalam pemahamannya adalah “the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occuring many miles away and vice versa” (Giddens, 1990: 64). 
Faktanya, revolusi di bidang teknologi informasi, persenjataan dan transportasi membuat dunia ‘mengkerut’, mengecil, makin accessible serta semakin terbuka. Imbasnya, sama halnya dengan yang terjadi terhadap modal, mobilitas tenaga kerja pun makin mobile. Barang dan jasa makin mudah dipasarkan. Dunia adalah pasar terbuka bagi kelas penumpuk harta, yaitu yang oleh Karl Marx disebut sebagai kelas kapitalis. Mobilitas barang dan jasa pun dari hari ke hari makin identik dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara serta kemajuan-kemajuan lain yang terpantik –langsung maupun tak langsung– oleh kelimpahan material akibat globalisasi yang tadi. Di titik ini maka kebebasan –yang tak lain dari salah satu doktrin paling mendasar dari demokrasi– tampil sebagai prasyarat logis-praktis guna memungkinkan pergaulan dalam arti pertukaran barang dan jasa yang sangat ekonomistik itu. Dan oleh karena positivitas sekaligus ekses negatif dari kebebasan itu, maka tiba-tiba isu keadilan global pun mencuat menjadi perkara yang merepresentasikan kepentingan semua pihak—isu universal. Hal ini antara lain dipicu oleh karena narasi keadilan global justru diisi dengan realitas ketimpangan yang antara lain diakibatkan kesejangan dalam kepemilikan pengetahuan, ketimpangan dalam penguasaan teknologi, serta gap dalam hal modalitas dan seterusnya. Terhadap situasi yang masih kita raba duduk perkaranya ini, maka bagaimana sistem politik demokrasi bisa dikontekstualisasi kembali?
Pertama. Sebagai pikiran, demokrasi bersitumpu pada doktrin-doktrin liberalisme klasik. Demokrasi mengusung otonomi individual, yang dengan demikian maka ia meniscayakan adanya kebebasan. Makna kebebasan disini adalah kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya. Di titik ini bahkan kita perlu mempertimbangkan untuk menambahkan berbagai interpretasi atas kebebasan yang jauh lebih empiris alih-alih tautologis-mitis sebagaimana dikhutbahkan oleh liberalisme dan penerusnya. Mengapa demikian? Karena inkorporasi pemaknaan-pemaknaan atas kebebasan dari berbagai perspektif itu akan bermanfaat saat diproyeksikan pada bidang-bidang kehidupan praktis seperti ekonomi, politik, sosial, budaya dan seterusnya.
Kedua, karena demokrasi mengandaikan dan menempatkan partisipasi, yang artinya keterlibatan semua pihak dalam segala aktivitas dunia sebagai sarana bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Doktrin partisipasi, terutama dengan mempertimbangkan konteks kekinian, telah bertumbuh menjadi status quo dengan status inviolable atau tak boleh dilanggar. Inviolabilitas partisipasi bersifat tak terhindarkan dan konstitutif karena ia diandaikan akan berdampak secara langsung terhadap kemajuan pada bidang-bidang yang kehidupan yang lebih praktis sifatnya. Doktrin partisipasi harus dilibatkan karena semua keputusan –dalam tertib logika kekuasaan demokratis– idealnya mencerminkan kehendak semua pihak. 
Doktrin partisipasi pada dasarnya merupakan kerangka pengambilan keputusan yang memungkinkan berbagai kepentingan terakomodir di dalam setiap pengambilan keputusan politik. Di titik ini maka makna keputusan politik adalah keputusan yang mencerminkan usaha bersama untuk meraih kemasalahatan umum (common good), dan karena itu maka keputusan politik meniscayakan partisipasi/keterlibatan dari setiap pihak yang berkepentingan di dalam komunitas politik.
Partisipasi penting, inviolable dan bersifat tak terhindarkan. Itulah posisinya. Hal ini akan terasa relevansinya terutama apabila kita perhatikan gelala-gejala kekinian yang mensyaratkan willingness untuk terlibat, baik itu kesukarelaan untuk terlibat di bidang ekonomi, misalnya dalam usaha memberantas kemiskinan, kelangkaan pangan, ancaman kelaparan dlsb. Juga partisipasi dalam isu lingkungan, iklim global, krisis energi, budaya (pertukaran pengetahuan, teknologi dlsb). Keterlibatan juga diperlukan pada bidang kehidupan politik, misalnya kooperasi diplomatik dalam menjaga kedamaian global. Pun keterlibatan di bidang sosial, contohnya keterlibatan dalam bidang keamanan guna memberantas terorisme dan segala jenis kekerasan non-humanis—kekerasan yang menyakitkan, dan karenanya begitu dibenci kemanusiaan.
Dari tinjauan singkat atas dua nomativitas terpenting dari demokrasi itu, maka demokrasi sebagai ideologi yang mendasari sistem politik demokratis, dan demokrasi sebagai logika yang mengendalikan sepak terjang rezim demokratis, memang terlihat sebagai pilihan paling atraktif untuk saat ini. Namun tentu saja demokrasi bercacat dalam arti tetap menyisakan paradoks di dalamnya, paradoks yang bahkan belum sepenuhnya bisa diterangkan secara memadai saat ini.
Salah satu paradox paling kentara adalah fenomena disequilibrium yang terjadi karena tingginya pertumbuhan kebutuhan atau demand akan value-value demokrasi—yang berbanding terbalik dengan rendahnya pasokan dalam bentuk tindakan/gerakan yang berorientasi pada demokratisasi an sich. Disequilibrium atau ketidakseimbangan ini, sekali lagi, mesti diletakkan dan kemudian diterangkan dalam kerangka situasi yang sudah sangat ekono-mistik. Di bawah ini akan sedikit disinggung mengenai konteks dan ketegangan global yang ditimbulkannya.
Doktrin kebebasan memungkinkan keterbukaan, hal itu membuat suasana persaingan dalam pencarian sumber daya berlangsung lebih buas dari sebelumnya. Arab Spring adalah contoh paling aktual dalam konteks ini, yang antara lain dipicu oleh krisis energi fosil di level global, dimana negara-negara maju –sebut saja negara-negara industri maju– merupakan pihak yang paling merasakan kehilangan dalam arti yang paling merasakan kehausan dari makin mengeringnya mata air energi ini.
Energi fosil dibutuhkan oleh negara-negara maju untuk terus menerus memutar putaran roda gila mesin-mesin industri boros energi di dalam negerinya. Putaran itu utamanya dibutuhkan untuk memacu putaran penuh roda perekonomian yang memang secara langsung berkorelasi dengan naik atau melorotnya pertumbuhan ekonomi. Tak syak lagi di titik ini kita sedang membicarakan pertumbuhan ekonomi sebagai basis dari dukungan politik di negara-negara industri. Persis disinilah kita menyaksikan kesalingterhubungan antara (1) kelangkaan energi dan (2) krisis  ekonomi serta implikasi langsungnya terhadap peluruhan dukungan politik di negara-negara maju yang umumnya menginstall doktrin demokrasi ke dalam seluruh jaringan sistem ekonomi-sosial-politiknya. Contoh untuk hal ini bisa dilihat dalam fenomena beralihnya bandul dukungan politik dari Partai Republik ke Partai Demokrat di Amerika Serikat. Peluruhan ekonomi tahun 2008 itulah yang umum dianggap sebagai biang keroknya. Ringkasnya, spesifik pada bidang ini, elektablitas politik di negara-negara maju bergantung pada kemampuan pemegang kekuasaan dalam menjaga irama pertumbuhan ekonomi, sedang rekayasa atas kecepatan tempo dari irama pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa dilakukan jika pasokan energi bisa dipastikan. Persoalan yang sangat ekono-mistik ini, yang kadang disamarkan oleh kelambu politik global dan lobi-lobi internasional.
Secara sosiologis, Arab Spring adalah contoh bahwa tanpa keseragaman value, dalam hal ini value kebebasan yang berguna untuk berbagi sumber daya energi, maka konflik antara negara industrializer vs negara late industrializer meletus tak keru-keruan. Tanpa value kebebasan yang homogen, negara industrializer umumnya harus berhadapan dengan kesulitan ketika berusaha mengakses energi fosil yang cadangan terbesarnya berada di daerah-daerah zazirah Arab yang di-cap konservatif dan Amerika Latin di stigma kiri. 
Dengan demikian, maka demokratisasi berubah dari usaha yang sepenuhnya melibatkan wicara bernuansa dialogis menjadi usaha yang cenderung pedantis, yang tak jarang melibatkan metode kekerasan dengan pendekatan militeristik. Usaha ini kita sebut saja sebagai upaya mendesakkan, memaksakan normativitas demokrasi ke negara-negara non-demokratis. Usaha ini kita sebut saja sebagai terorism within democracy. Lantas mengapa hal ini terjadi? Secara sederhana, hal ini terjadi karena ada himpitan tekanan demand yang makin hari makin terasa berat. Pemenuhan atas demand itu menjadi penting sebab didalamnya terselip kepentingan ekonomi serta kepentingan politik elektoral khas negara-negara maju yang menerapkan sistem direct democracy. Sistem direct democracy adalah sistem yang memungkinkan konfigurasi rezim politik bisa dievaluasi melalui metode pemilu rutin. Bagi saya, persis disitulah fundamental persoalannya.  
Agenda demokratisasi di seantero dunia, yang didalamnya telah ditunggangi kepentingan ekonomi-politik negara-negara maju, pada gilirannya menjadi noktah hitam sekaligus membentuk struktur paradoksal tersendiri dalam usaha universalisasi demokrasi. Tindakan streotipe –atau katakanlah hipokrisi, supaya terasa lebih pedas– umumnya sering ditujukan sebagai ejekan kepada usaha demokratisasi yang disponsori oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu loyalnya. Dengan demikian maka Amerika Serikat dan sekutunya merupakan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab untuk membantah tuduhan semacam ini, baik tuduhan yang dilontarkan oleh pihak-pihak non-demokratis maupun dari gerakan demokrasi itu sendiri.
Sebagai penutup–dan ini sepenuhnya bernuansa sosiologis karena inheren pandangan Emile Durkheim didalamnya– konflik umumnya lahir dari ketidaksimetrisan value. Ketakseragaman ini pada faktanya merupakan the real obstacles yang nyata di depan mata memblok bermacam kepentingan negara maju kepada energi murah. Di titik ini persoalan kebebasan untuk mengakses energi jelas merupakan persoalan krusial. Krusial dalam arti memicu bermacam ketegangan global. Krusial karena menghadirkan apa yang oleh Hobbes disebut sebagai men mutual fear atau kemencekaman yang dirasakan secara universal. Dan men mutual fear itu sepenuhnya hanya akan bisa dimengerti jika kita telusuri dan perhatikan paradoks yang merupakan ampas dari sistem direct democracy yang diterapkan di negara maju, yang berjalin berkelindaan dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi yang menjadi basis dari elektabilitas politik. Di titik ini kita perlu mensterilkan gerakan demokratisasi dari keserakahan, yaitu keserakahan ekonomi negara-negara kapitalis pusat.
Demokrasi bisa menjadi pilihan jika gerakan demokratisasi atau gerakan untuk menyebarkan value-value demokrasi berjalan dengan mengedepankan cara-cara deliberatif, dengan goal yang jelas, yaitu diarahkan bagi makin tumbuhnya kebebasan dalam berbagai bidang serta semakin tingginya frekuensi partisipasi di berbagai arena, baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dengan ter-install-nya democratic values tersebut maka kooperasi humanitas akan dimungkinkan tumbuh serta menghadirkan beragam benefit serta bermacam keuntungan lain yang berlimpah ruah. Dari kooperasi humanitas itulah kita berharap gerakan demokratisasi mampu menghadirkan social justice minimum menyamarkan ratapan yang sekian lama terpendam di kedalaman sanubari kemanusiaan.
Sosial justice artinya situasi nir kelaparan, nir bahaya, nir fear, nir dominasi, nir diskriminasi. Social justice adalah gerak yang diarahkan untuk meng-ameliorasi universal insecurity. Social justice adalah situasi yang secara samar-samar bisa kita rumuskan sebagai the existence of universal well being. Akhirnya, semoga harapan-harapan itu bukanlah pucuk harapan yang naif, bukan pula setangkai harapan yang lantas layu sebelum benar-benar merekah.

Bahan Bacaan:
Francis Fukuyama. 1992. The End of History and The Last Man.
Giorgio Agamben. 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life.
Peter Drucker. Post-Industial Society. 1993.
Anthony Giddens. 1990. In The Consequences of Modernity.  
John Locke. Two Treatise of Civil Government.
Thomas Hobbes. De Cive.
T. H. Marshall. Citizenship And Social Class. 1950.
Karl Marx. The Capital.

Erns Kantorowicz. The King’s Two Bodies.