![]() |
Il Maestro Rocky Gerung |
Tiga survei tentang elektabilitas calon presiden 2014 dua pekan
lalu. Tiga-tiganya datang dengan hasil berbeda. Kelirukah metodologinya? Atau
desain risetnya memang dirancang unutuk “memenangkan sang calon”.
Kurva lonceng adalah ideologi para surveyor. Dijamin standar
baku metodologi, kurva itu seharusnya tidak meliuk-liuk berlebihan.tapi sejak
politik diasuransikan pada statistik, liuk kurva itu akan sangat bergantung
pada premi para politikus.
Inilah kondisi politik hari ini: pertama,
opini publik menjadi identik dengan hasil survei. Kedua, popularitas seorang
tokoh hari ini tidak didebitkan pada cacat politiknya hari kemarin.
Dua kondisi inilah yang menerangkan patologi politik kita hari ini: demokrasi
tampak membengkak, tapi tidak tumbuh. Hiruk-pikuk debat publik sekadar
menghasilkan bising, bukan suara. Politik kita silau oleh sensasi, tapi buta
dalam substansi.
Pembengkakan tubuh politik itu akibat muatan kuantifikasi:
penggalangan, pencitraan, arogansi dan transaksi. Politik membengkak karena
kekuasaan ditimbun dalam ambisi kepentingan personal, bukan dalam niat keadilan
sosial. Perlombaan inilah yang menumbuhkan industri opini publik dan sejak
itulah politik menjadi urusan statistik.
Apakah sesungguhnya substansi politik? Demokrasi
adalah ruang opini publik. Kontestasi kepentingan diselenggarakan disitu. Tapi
ideal ini menghendaki prasyarat etik: seluruh latar belakang kepentingan harus
dipamerkan terbuka. Dengan cara itu, politik diproduksi. Itulah politik yang
otentik. Di
belakang proses ini, bekerja nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.
Nilai-nilai inilah yang kini hilang dari proposal riset publik, dengan akibat
juga tugas etis politik untuk memberdayakan“the unspeakable” yaitu mereka yang ada di pinggiran
kurva lonceng.
Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Palang otentik ini mungkin
terlalu tinggi untuk dilompati para perancang opini publik. Teori propaganda
memang mengajarkan bahwa lebih mudah menggiring “herd
mentality” menerobos
dibawah palang. Artinya manipulasi opini publik memang sesuai dengan kondisi
dasar psikologi massa: bergerombol tanpa ide, menunggu disuapi janji, lalu siap
diperintah. Psikologi ini adalah lahan investasi para demagog.
Dengan mengekspoitasi kedunguan publik, demokrasi masih dapat dipertanggungjawabkan
dengan argument: “itulah kehendak mayoritas”.
Memang demokrasi lebih sering dimanfaatkan oleh para demagog
dengan menurunkan standar etika politik. Disitu opini publik diperlakukan
sebagai komoditas dalam “industri demokrasi”,
dan dipasarkan melalui lembaga-lembaga survei. Filosofinya diperoleh dengan
cara pragmatis dari prinsip demokrasi itu sendiri: demi kebebasan kompetisi
politik, manipulasi opini publik harus diterima sebagai suatu bentuk upaya
persuasi. Sampai disitu politik masih menjadi urusan publik. Artinya, sejauh
manipulasi itu diedarkan di pasar informasi, ia terbuka untuk dipersaingkan.
Demokrasi tetap percaya publik selalu memiliki cukup rasionalitas untuk menapis
dan memilih.
Bila pasar informasi itu dikendalikan oleh kepentingan politik
yang sama, yang terjadi bukan sekadar manipulasi, tapi juga monopoli opini
publik. Dalam pasar semacam ini, prinsip “caveat emptor” -teliti
sebelum membeli- tidak
berfungsi. Karena informasi tidak lengkap, tidak ada kesempatan memilih harapan.
Demokrasi lalu menjadi sekadar ruang transaksi oligarki tempat tukar tambah
kepentingan segelintir orang.
Apalagi politik kita pahami dari sudut pandang etik, yaitu
tanggungjawab merawat kualitas demokrasi justru dibebankan kepada mereka yang
secara akademis lebih mampu berfikir lurus dan panjang. Pada merekalah tuntutan
atas kejujuran dan keadilan diharapkan: suatu etik “caveat
venditor” –bahwa penjual jasa tidak menjual
barang rongsokan. Agaknya, palang ini sudah lama roboh
diterobos tubuh-tubuh bengak.
***
OPINI publik adalah peralatan ekstraparlementer dengan
kekuatan supraparlementer. Ia mampu memelorotkan pamor seseorang pemimpin, tapi juga
dapat dipakai untuk menyembunyikan niat korup dari seseorang tokoh. Disinilah “kapital
media” beroperasi.
Manipulasi dan monopoli opini publik, menjadikan demokrasi
sekadar menjadi bagian dari industri media. Fungsi institusi demokrasi bahkan
dapat diambil alih oleh industri media: tekanan politik dapat dinegoisasikan
diruang redaksi, dan sebuah “talkshow” dapat berubah menjadi ruang
pengadilan.
Politik industri media ini jugalah yang menyebabkan demokrasi
kita sekadar membengkak, tapi tidak tumbuh. Dalam demokrasi, setiap suara
dihitung sama. Tapi arah suara publik dapat dimanipulasikan oleh indutri opini
publik karena informasi tidak terakses sama oleh publik. Distorsi inilah yang
menjadi ruang transaksi antara pembuat survei dan kepentingan pemesan. Sekali
lagi, argumentnya adalah prinsip kebebasan kompetisi politik.
Dalam kondisi seperti itu, hubungan antara demokrasi dan opini
publik menjadi tidak suci. Demokrasi memerlukan opini publik untuk mengetahui
peta perebutan sumber-sumber ekonomi-politik, tapi demokrasi sekaligus
dimanfaatkan sebagai ruang pembenaran ruang manipulasi. Paradoks inilah yang sedang kita alami.
Walau begitu, politik tidak boleh menjadi malas hanya karena
kondisi yang menjengkelkan itu. Analisis politik adalah satu soal. Tapi
kehendak politik harus melampaui apa yang faktual. Dengan sikap itu, kita
memerangi “ herd mentality” dalam politik kita hari-hari ini.
Radikalisasi ini kita perlukan untuk memastikan opini publik bukanlah
konsensus oligarki, parlementer, atau hasil olahan statistik. Opini
publik adalah hasil dari konfrontasi etik, antara kehendak perubahan dengan
kepentingan privat. Disitu
statistik hanyalah konfirmasi terhadap kehendak pembaruan.
***
POLITIK kita memang sangat terasa kuantitif: mobilisasi massa,
belanja iklan, black propaganda. Tidak tersisa lagi ruang ide dan debat
rasional. Politik sebagai percakapan keadilan diantara warga yang setara tidak
lagi berlangsung. Mobilisasi Cuma menyetarakan massa didepan panggung para
demagog. Dalam ruang kuantifikasi itu, warga negara sekadar dicacah sebagai
konsumen, bukan prodsen demokrasi. Ia hadir dalam kerumunan, bukan ruang
kewargaan. Ia sungguh-sungguh dinonaktifkan dari politik.
Sesungguhnya, demokrasi kita sedang kehilangan ide kesetaraan.
Kita memilih demokrasi karena kita pernah kekurangan kebebasan. Tapi kini ruang
demokrasi itu sepenuhnya dikuasai oleh blok oligarkis. Proses itu terjadi
karena politik telah diselenggarakan secara kuantitatif: yang dieksploitasi
adalah kepuasan tentang ada yang didepan mata, bukan tentang apa yang harus ada
sebagai hak.
Mengaktifkan etika publik adalah upaya radikal mengembalikan
politik warga. Politik kuantitatif-demagogis tidak hanya bertentangan dengan
cita-cita kemerdekaan, tapi juga merendahkan otonomi manusia. Ia
menyelenggarakan keadilan dan kesetaraan agar otonomi itu tidak dimusnahkan
oleh ambisi-ambisi kuantitatif: dari klaim keunggulan moral sampai keunggulan
kapital.
Etika politik bertujuan mencegah pembengkakan politik. Etika
politik menghendaki politik tumbuh dalam keadilan.
Survei politik masih akan berdatangan. Distorsi opini masih
terus diproduksi. Kurva lonceng masih akan meliuk-liuk. Tapi politik
tetaplah hak publik. Yang etik tidak mungkin diserahkan pada statistik.
Politik sejati tidak diukur berdasarkan probabilitas, melainkan determinitas
setiap subyek yeng menghendaki demokrasi tumbuh.
Ketika diminta mengomentari keruntuhan Imperium Romawi, Jeans
Jacques Rousseau menjawab singkat “Etika politik adalah lambung
demokrasi. Ia mencerna opini publik, lalu memisahkan mana opini bawaan, mana
opini olahan."
ROCKY GERUNG
Pengajar Filsafat Universitas Indonesia