Renungan Gerungian

Yang kita miliki kini cuma Industri Demokrasi, bukan Demokrasi dalam normatifitasnya yang sublim. 

Produk yang diolah mesin demokrasi ini ialah bahan mentah aspirasi yang diproses dalam satu gerak rutin putaran roda gila yang menjemukan. 

Resultannya kita namai komoditas aspirasi. Semata biar mudah menyebutnya. 

Komodifikasi aspirasi sejatinya kotoran yang keluar dari lambung para oligark. Benda-benda busuk ini kita sebut saja konsensus oligarki. Artinya, aspirasi kini bukan pertama-tama disuling dari letih tatib tata cara prosesi artikulasi atas apa yang terpancar dari dasar diri, yaitu yang lama terendap, yang tersarikan, dan yang selebihnya terbuang karena sengaja diseleksi; yang-Etik sebutannya.  

Artikuasi aspirasi bukanlah buah mentah yang jatuh ke tanah tanpa pernah mengecap matang. Melainkan yang telah masak-masak dipikirkan. Yang matang di renungan. Yang kenyal karena alot diperdebatkan; yang begitu lama dididihkan dalam panci uji laboratorium kesabaran. Itulah aspirasi, yakni satu praktik translasi sarat arti, yang dikalimatisasi dan ditulis sebagai proposal perubahan sosial.  

Namun ujung kerinduan ini kelihatannya belum jua tampak di pelupuk mata. Tak kunjung terlihat daratan. Masih terlunta-lunta di samudera. Sama sekali belum menunjukkan gelagat bahwa perjalanan akan segera diakhiri dengan pesta sederhana, yaitu mendekap rapat kegembiraan bersama. 

Di tengah-tengah perjalanan tak berkesudahan ini, nyali, daya juang, juga kesetiaan, terasa makin meniscayakan kesungguhan. Bukan main menuntut kita terus menerus tunduk pada batu ujian kegigihan. Sementara itu, yang terasing terus menerus disakiti, yang diam terus-terusan dibungkam, yang tampak setia justru dikhianati --dan celakanya semua itu justru dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi. 

Sekali lagi, tanpa bermaksud menggurui, yang cuma kita miliki adalah industri demokrasi. Itulah medan persoalannya sekaligus peta untuk menunjuki harus kemana dan atau akan harus kembali kedalam apa.