Peluruhan Demokrasi di Partai Golkar

Cover Album Rage Against the Machine
Hasrat Partai Golkar (PG) untuk menjadi partai modern agaknya mendapat tantangan cukup berat baru-baru ini. Percepatan agenda Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnasus) dengan agenda tunggal pencapresan Aburizal Bakrie mengindikasikan kemunduran sangat serius di partai yang begitu dominan di masa Orba ini. Padahal, sejak memasuki era Reformasi –meskipun sempat dibayangi tuntutan pembubaran– Golkar dinilai cukup sukses melakukan penyesuaian diri dengan sistem demokrasi yang meniscayakan keterbukaan serta partisipasi penuh setiap orang dalam setiap
tahapan proses politik.


Momen-Momen Peluruhan Demokrasi di PG
Menjelang pemilihan presiden langsung pertama di Indonesia, PG secara mengejutkan berhasil membuka lembaran baru budaya kepartaian demokratis yang ditandai dengan diintroduksinya sistem rekruitmen kepemimpinan nasional dengan nama Konvensi. Saat itu sebanyak lima kandidat bersaing memperebutkan satu slot calon presiden yang akan diusung PG pada Pemilu 2004. Masing-masing adalah Akbar Tandjung, Wiranto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh. Calon-calon ini diserap dari berbagai kalangan, baik dari dalam maupun dari luar partai. Hasilnya, Wiranto yang merupakan calon dari luar partai keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 315 berbanding 227, menyisihkan Akbar Tandjung yang saat itu menjabat Ketua Umum Golkar. 

Memasuki tahun 2009, PG kembali pada mekanisme penjaringan capres dengan menggunakan metode Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Dari sudut pandang demokratisasi, langkah yang dikomandoi Jusuf Kalla ini jelas bisa disebut sebagai kemunduran sekaligus awal dari keruntuhan paradigma Golkar sebagaimana dicanangkan Akbar Tandjung saat memimpin Golkar keluar dari krisis kepercayaan pasca gerakan reformasi. Tidak berhenti di situ, selang tiga tahun setelahnya, peluruhan demokrasi kembali terjadi, kali ini di bawah arahan suksesor Kalla, Aburizal Bakrie, yang bersikeras mengganti metode Rapimnas menjadi Rapimnasus --yang belakangan ditentang keras arus bawah PG. 


Plus Minus Rapimnasus

Kelebihan metode Rapimnasus terletak pada sederhananya tata cara kandidasi calon presiden dari PG. Namun kesederhanaan metode ini sekaligus merupakan anomali demokrasi, karena Rapimnasus hanya melibatkan satu ‘kontestan’, yaitu Aburizal Bakrie seorang. Kekurangan yang mencolok ini sekaligus membatalkan kelebihan yang dikandungnya. Hal ini berbahaya untuk masa depan partai demokratis, karena cara seperti ini nyata-nyata didesain untuk menutup peluang bagi dimungkinkannya partisipasi dan kompetisi politik yang sehat. Multiplier effect dari situasi ini adalah menghilangnya kultur demokrasi di dalam partai, buruknya kualitas pendidikan politik, serta menyusutnya antusiasme kader dengan buntut defisit dukungan politik terhadap partai dalam jangka panjang. 

Tanda bahaya dari dipaksakannya metode ini sebenarnya sudah mulai mengemuka dan kasat bisa dilihat dari sejumlah aksi penolakan terhadap mekanisme Rapimnasus yang antara lain disuarakan Dewan Pertimbangan Partai dan DPD 2 yang merasa dilangkahi dan tidak dilibatkan secara patut dalam kompetisi demokrasi yang fair. Tuntutan kelompok ini cukup jelas yakni menolak mekanisme Rapimnasus. Belakangan faksi ini bahkan berani terang-terangan akan menggelar Munaslub dengan agenda pemakzulan Ketua Umum. Jika agenda ini terus menerus dipaksakan Ical dkk, tak tertutup kemungkinan akan muncul konflik keras yang potensial berujung pada makin ringkihnya kekuatan riil PG. Terutama setelah tergerus oleh mundurnya Surya Paloh yang kemudian mendirikan Partai Nasdem. Dari peristiwa ini saja kita bisa memperkirakan panjang kali lebar kerugian yang diderita PG akibat hilangnya konstituen, sumber daya, dan medium kampanye efektif semacam televisi yang melekat pada sosok Surya Paloh. 

Dari bacaan di atas sebenarnya potensi pukulan elektoral PG ke depan sudah bisa diidentifikasi sedari saat ini. Pukulan pertama sudah dan masih akan datang dari jaringan Golkar yang menyeberang ke Nasdem. Kedua, dari elit Golkar yang memiliki segudang pengalaman, pengaruh serta pendukung yang tidak sedikit. Ketiga, dari pihak yang sangat penting dalam proses elektoral, yakni DPD 2 yang nantinya akan berfungsi sebagai semacam pasukan infantri di medan perang pemilu 2014. Keempat, terkait dengan popularitas Aburizal sendiri yang coreng moreng oleh bercak lumpur Lapindo juga lantaran kasus tunggakan-tunggakan pajak perusahaannya 

Inventarisasi ragam kelemahan PG di atas seharusnya membuat Ical mau berkaca dari kegagalan pendahulunya di Golkar, yakni Soeharto. Sebagai diktator, Soeharto tidak kekurangan sumber daya politik, ekonomi, birokrasi, dan militer sebagai jaminan untuk memaksakan pilihan-pilihan politiknya tercapai. Namun seluruh surflus itu tetap tak mampu menunda kejatuhannya. Pesan bagi Ical agaknya cukup jelas, yaitu: jika dia peduli pada masa depan partai dan lebih jauh lagi pada masa depan demokrasi, maka pertama-tama dia perlu menaruh kepedulian pada institusionalisasi kompetisi politik yang demokratis. Jalan untuk memastikan itu hanya bisa dipenuhi dengan mendukung satu mekanisme kandidasi yang lebih mencerminkan imparsialitas dan dukungan luas dibanding sekedar mengandalkan metode Rapimnasus yang eksklusif dan parsial. Di samping mental siap menang, Ical juga mesti memiliki mental mau berkelahi, siap kalah dan merugi. 

Selain itu, dengan berkompromi dan mengupayakan mekanisme yang lebih demokratis, Ical pada dasarnya tengah mengukur elektabilitas dirinya di kalangannya sendiri. Jika melalui mekanisme inklusif dan imparsial dia kemudian berhasil keluar sebagai pemenang, maka hal itu sekaligus akan merupakan bonus dukungan moral tertinggi untuk meraih dukungan floating mass yang lebih luas. Di samping itu, potensi kemenangannya ini akan menunjukkan bahwa dia memang menguasai seni meraih kepemimpinan politik di era demokrasi alih-alih terkesan tengah mencoba memutar ulang skenario thriller dictatorship

Agenda Akbar Tandjung dan DPD 2 PG juga sedikit lebih jelas dalam perspektif ini, yakni mengintensifkan perlawanan terhadap metode Rapimnasus dalam kerangka mempertahankan formasi PG sebagai partai modern yang kompatibel dengan jamannya. Karena –dengan terutama merujuk kesuksesan Golkar pasca Reformasi– hanya dengan syarat itulah Golkar terbukti bisa bertahan. Tanpa perlawanan yang spartan, bukan hanya masa depan PG yang terancam, tetapi juga masa depan Indonesia sebagai teritorial demokrasi politik. Karena, suka atau tidak suka, fakta dalam kurun waktu 40 tahun terakhir menunjukkan bahwa tak satu pun kekuatan politik mumpuni menandingi pengaruh Golkar dalam kepolitikan Indonesia. Dengan kata lain, ini adalah momen yang pas bagi PG untuk kembali mencicil kerugian akibat kurangnya kebebasan yang menyebabkan keterbelakangan politik Indonesia dalam kurun 40 tahun terakhir. 

Di titik ini, terutama dengan mengingat pentingnya sumbangsih partai politik bagi proyek demokratisasi dan pendidikan politik di Indonesia, maka adalah penting untuk memapankan satu kultur kepolitikan yang lebih memungkinkan lahirnya pemimpin bangsa yang mampu menangkap dan mengartikulasi ulang suara dari zaman ini yang menempatkan kesetaraan, kebebasan dan partnership sebagai parameter-parameter kemajuan politiknya. 

Iwa Inzagi 
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)