Tantangan Politik Nasional 2014. Catatan Robertus Robet & Heru Lelono

Dr. Robertus Robet
Setelah lebih dari satu dasawarsa, politik kita menyuguhkan kehidupan berdemokrasi yang relatif makin kokoh. Bukti kekokohan demokrasi itu bisa kita lihat secara unik yakni justru dari adanya aneka kritik dan desakan terhadap demokrasi itu sendiri. Hanya demokrasi, yang mengijinkan kritik total terhadap kehidupan politik di dalamnya. Makin terbuka ia terhadap kritik, maka ia akan terlembaga secara kuat. Di sini, demokrasi bekerja secara paradoksal: semakin segala pihak mengkritik dan menghantam politik demokrasi kini sebagai kurang pas, kurang ideal maka sesungguhnya ia makin menikmati demokrasi. Ia mungkin kurang sadar bahwa ia hanya dapat memproduksi kritik bertubi-tubi karena ada sistem politik yang menjamin adanya kekuasaan
politik yang menghargai hak-hak dan kebebasan sipilnya.

Oleh karena itu, ada benarnya apabila seorang pemikir Perancis mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang ditandai dengan "ketakhadiran". Ketakhadiran dari apa? Ketakhadiran dari totalitas. Demokrasi mengundang dan terbuka terhadap siapa saja persis supaya dengan itu politik tidak dimonopoli dan ditotalisasi oleh "yang satu" saja. Oleh karenanya dengan itu, demokrasi mengundang keterlibatan, meminta partisipasi dan mensyaratkan inisiatif dari semua pihak: masyarakat politik, masyarakat sipil dan dunia ekonomi.

Selain karena gerakan reformasi, apabila ditinjau dalam sudut pandang pelembagaan politik, kekokohan sistem politik demokratis yang sekarang kita nikmati juga dipicu oleh beberapa kebijakan politik kontemporer. Yang utama adalah keberhasilan mengukuhkan supremasi sipil yang dimulai sedikit dari era Habibie, menguat di era Gus Dur dan terlembaga di era SBY. Yang kedua adalah keberhasilan pemerintah SBY menyelesaikan persoalan internal dalam tubuh Angkatan Darat, termasuk dengan penyelesaian konflik sosial di Ambon, Sulawesi, Kalimantan dan perdamaian di Aceh dan amandemen lonstitusi sebelumnya. Seluruh proses ini memberikan kemungkinan bagi kehidupan politik yang lebih bebas berlangsung dan hak-hak sipil lebih terjamin. Proses ini memberikan landasan dan modal yang besar bagi tumbunya kehidupan demokrasi dan kepolitikan sipil yang makin kuat serta kestabilan ekonomi dewasa ini. Ini yang saya kira, di antara berbagai kritik, salah satu sumbangan terbesar pemerintahan SBY untuk demokrasi.

Tantangan ke depan
Namun demikian, karena demokrasi adalah sistem yang senantiasa terbuka maka ia punya sifat rentan terhadap berbagai tantangan. Lepas dari berbagai proses pelembagaan demokrasi di atas, beberapa agenda penting masih akan menantang politik demokrasi di masa depan.

Tantangan pertama adalah menyangkut desain institusional kepolitikan kita. Sebagaimana kita ketahui, salah satu persoalan mencolok dalam satu dasawarsa ini adalah adanya ketegangan antara lembaga presiden dan legislatif. Ketegangan ini muncul sebagai hasil alamiah dari kombinasi yang tidak lazim antara paham presidensialisme di satu sisi dan multipartisme di sisi yang lain. Kombinasi ini menghasilkan ketegangan dan ganjalan untuk munculnya pemerintahan yang efektif dan politik yang berbiaya tinggi. Berhadapan dengan masalah itu, semua pihak nampaknya telah berniat dan sepakat untuk mengambil jalan memperkuat presidensialisme ketimbang banting setir ke arah parlementarisme. Untuk itu yang sedang dilakukan adalah dengan penyederhanaan partai melalui mekanisme ambang batas parlemen. Namun demikian, dengan ambang batas yang masih tetap rendah (sebesar 3,5 persen), tampaknya masih akan sulit dicapai penyederhanaan partai yang relatif kompatibel dengan kebutuhan pemerintahan efektif. Akibatnya -siapa pun presidennya nanti- di masa depan kita masih harus menghadapi ancaman kemandegan. Di titik inilah di masa depan kita tetap perlu pemikiran yang lebih matang, serius dan konsisten untuk memperbaiki sekaligus memantapkan desain institusional ketatanegaraan kita.

Kedua, persoalan lain yang juga sangat penting dan mewarnai kebangsaan kita adalah adanya ketegangan ideologis yang dipicu oleh ideologi transnasional baru dan konflik di Timur Tengah serta Afrika yang merembes ke dalam masyarakat kita. Ini nampak dari sejumlah kekerasan berbasis agama, munculnya intoleransi dan desakan supaya negara menggeser Pancasila ke arah yang lebih ekslusif dan Negara yang lebih agamis. Ketegangan ini masih akan terus muncul di masa depan. Oleh karena itu sikap yang lebih berani tegas dalam memosisikan Pancasila sebagai platform kehidupan kebangsaan kita perlu diperjelas di masa kini. Lebih jauh lagi, dalam kerangka itu, perkubuan politik di masa depan juga selayaknya mulai diarahkan sebisa untuk mungkin menempatkan visi Pancasila sebagai pijakan utama.

Ketiga, salah satu urusan dan tujuan terpenting dalam politik adalah sejauh mana politik bisa memperluas keadilan dan kesejahteraan. Hampir semua pihak memosisikan keadilan semata-mata sebagai isu, sehingga gagal meletakkan suatu dasar bagi penyusunan doktrin kesejahteraan yang komprehensif untuk Indonesia. Di masa depan, dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan nasional sesuai amanat kionstitusi, kita harus mengambil langkah dan inisiatif yang kuat untuk memulai menyusun suatu kebijakan sosial yang komprehensif dalam rangka menjabarkan visi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keempat, dunia sedang mengalami krisis besar, dunia juga sedang mengalami perubahan yang nyata tapi tidak jelas bentuk dan ke mana arahnya. Inilah varibel yang tidak dapat kita pastikan sebesar apa dampaknya bagi bangsa kita. Berhadapan dengan kenyataan itu, pemerintahan ke depan akan ditantang untuk mengambil sikap yang lebih strategis sekaligus terbuka. Strategis dalam arti kita mesti lebih serius dalam memobilisasi visi dan kekuatan-kekuatan kreatif di dalam negeri serta mengimplementasikannya secara nyata. Terbuka dalam arti kita mesti memanfaatkan semua cara yang mungkin untuk mecapai tujuan-tujuan nasional dan perbaikan-perbaikan kekurangan yang ada. Di titik ini inovasi dalam penemuan sumber-sumber enersi nonkarbon yang baru sekaligus penyelamatan lingkungan menjadi sangat penting untuk direalisasikan.

Politik 2014
Tahun 2014 memang masih dua tahun lagi. Namun hampir pasti partai politik atau secara khusus para politisi sejak hari ini sudah bersiap melakukan kegiatan politiknya untuk memperebutkan kekuasaan dalam Pemilu 2014. Wajar secara teori, namun sepantasnya tidak mengalahkan kepentingan yang lebih besar, adalah keberlangsungan pembangunan bangsa dan peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat. Keunikan sistim presidensial di dalam multipartai, mengamanatkan semua pihak untuk secara bersama ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan sebuah ajang pemilu. Secara ke tata politikan memang telah terbentuk Lembaga Pelaksana Pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum. Disisi lain, pengisian keanggotaan KPU dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPR sebagai perwakilan seluruh partai politik yang ada. Sedangkan pengangkatan dilakukan oleh pemerintah. Dari proses ini saja sudah jelas bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama terhadap proses pemilu. Apabila ada yang mengatakan tanggung jawab berada di pundak pemerintah yang sedang bertugas, tidak pula sepenuhnya salah. Hal itu disebabkan oleh kewajiban yang tidak bisa lepas dari aparat ketertiban dan keamanan yang notabene menjadi bagian struktur pemerintah. Namun semua mahfum bahwa pemerintah ini berisi dari sekumpulan partai politik pula. Oleh karenanya dilihat dari sisi pandang apa pun, keberhasilan pemilu yang berarti keberhasilan keberlanjutan pemerintahan dan kepemimpinan nasional harus menjadi tanggung jawab bersama. Karena menjadi tanggung jawab bersama, maka harus ada garis merah kepentingan bersama pula. Di sinilah tampak titik lemah yang bisa menjadi kendala bagi kehidupan politik Tanah Air saat ini. Di saat bangsa ini membutuhkan satunya kata untuk membangun masa depan, di saat yang sama para politisi dengan berbagai kendaraannya sibuk dengan kegiatan untuk kepentingannya masing-masing. Contoh konkrit bisa dilihat dari kejadian beberapa waktu yang lalu.

Saat pemerintah mengajukan usulan penyesuaian harga BBM dengan pertimbangan luas berjangka panjang, tetapi ditolak oleh wakil rakyat yang notabene wakil partai politik pula. Namun akhirnya jalan keluar akibat ditolaknya pertimbangan tersebut, harus dibebankan kembali kepada pemerintah. Sampai hari ini seolah apa pun jalan keluar persoalan tidak bisa disesuaikannya harga BBM yang digagas pemerintah, selalu mendapat tantangan kritik dari para politisi yang dulu ikut menolak. Hampir tidak ada pihak yang menolak penyesuaian, kemudian secara konkret memberikan solusi terbaik bagi penyelesaian masalah ini. Walau dalam keputusan DPR dengan berbagai persyaratan, pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM, masih ada wakil rakyat yang walk out, bahkan saat ini keputusan politik yang sah itupun masih dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi oleh pihak tertentu. Payung hukum telah diberikan kepada pemerintah, namun tidak ada satu pihak pun yang bisa menjamin apakah suhu politik dan sosial akan dengan tangan terbuka menerima, apabila datang saat pemerintah terpaksa harus menyesuaikan harga BBM, walau semata untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Rasanya pemerintah akan tetap berada dalam posisi sebagai musuh bersama bagi para politisi. Fakta kecenderungan ini harusnya menjadi perhatian dan faktor penting yang perlu dipikirkan bersama semua pihak. Demokrasi memang memberikan ruang dan peluang semua pihak memperjuangkan idealisme masing-masing. Namun demokrasi hanyalah sebuah pilihan bagi sebuah bangsa untuk mencapai masa depan bersama. Pilihan demokrasi bukan hanya untuk memberikan sekedar kebebasan, namun harus dijadikan pilihan bersama, dengan harapan seluruh rakyat mendapatkan kesempatan untuk saling ikut memberikan kontribusinya bagi bangsa. Bukan sebaliknya, demokrasi hanya dimaknai sebagai alat kebebasan memperjuangkan kepentingan sendiri, tanpa peduli kepentingan yang lebih besar, yaitu membangun masa depan bersama.

Kebebasan di dalam demokrasi yang tepat adalah, bebas memberikan pendapat dan solusi, dan bukan bebas melakukan apa saja tanpa menghormati kesepakatan aturan, hukum dan etika. Sekali lagi, selama masa-masa dua tahun terakhir ini, kepolitikan kita sudah pasti akan banyak diwarnai oleh isu rutin seputar kekuasaan 2014. Banyak politisi sudah mulai memikirkan apa yang paling baik dan apa yang paling menguntungkan bagi diri dan partai politiknya demi 2014. Namun demikian, hanya mereka yang bisa menyumbang bagi penyelesaian empat masalah besar di atas yang akan menjadi yang paling baik bagi Indonesia di masa depan. Merekalah yang sebenarnya dibutuhkan rakyat. Bukan mereka yang hari ini berteriak keras, namun setelah mendapatkan kekuasaan di tahun 2014, kemampuan dan kinerjanya ternyata lebih buruk dari hari ini. Siapakah mereka? Segeralah pertanyaan ini dijawab, karena sampai hari ini rakyat masih terus bertanya.

Dimuat di Jurnal Nasional | Rabu, 16 May 2012