Pengkhianatan Industri Media [Catatan Pasca Pemilu 2014]


(I) Zaman keemasan kebebasan pers di Indonesia akan selalu berhutang budi pada kesuksesan Gerakan Reformasi 1998. Gerakan reformasi yang merupakan koreksi pada praktik kekuasaan Orde Baru yang etatis, sentralistis, dan penuh kerahasiaan itu rupa-rupanya sukses mengilhami kemunculan satu formasi semangat zaman yang baru. Semangat itu mucul dalam bentuk optimisme akan otonomi, keterbukaan dan kebebasan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya optimisme pada kehidupan pers.

Praktik kehidupan pers yang bebas secara mendasar akan sulit dilepaskan dari realitas aktual kehidupan sipil politik di dalam suatu komunitas politik. Dengan menyatakan itu maka kehidupan pers sebenarnya merupakan salah satu ukuran bagi kurang atau berlebihnya kesadaran suatu negara-bangsa akan pentingnya hak sipil politik.
I
Pada fungsinya, kebebasan dan kehidupan pers yang independen merupakan pan opticon yang terus menerus bekerja mengawasi gerak gerik penyelenggaran kekuasaan politik. Dengan itu diandaikan bahwa praktik kolusi, korupsi dan nepotisme dan segala modus pengelabuan publik bisa diawasi dan diantisipasi.

Dari perspektif demokrasi, kehidupan pers yang bebas merupakan pilar keempat demokrasi. Bersandar pada gagasan ini, kekuasaan politik diandaikan akan selalu bisa diorientasikan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umum (common good), atau bukan hanya kemaslahatan orang per orang, keluarga, elit, kroni dan korporasi (private good).

Praktik kehidupan pers yang bebas memberi peluang bagi terjadinya kondisi “simetric information’. Artinya pers bebas menjadi mekanisme untuk menjamin semua orang mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh informasi. Di titik itu kondisi kesamaan informasi diandaikan bisa dicapai. Dengan kesamaan informasi, check and balances atas kekuasaan politik dimungkinkan terjadi. Kesetaraan informasi membuka jalan bagi terciptanya kooperasi antara rakyat dan pemerintah, dan memungkinkan keduanya berada dalam relasi saling koreksi yang resiprokal. Kendati demikian kebebasan pers pun mengidap negativitas atau sisi gelapnya.

Negativitas dunia pers dewasa ini pertama-tama harus dilihat sebagai akibat dari berubahnya ranah kultural ini menjadi ranah ekonomi kapitalistik. Secara sosiologis, peran dunia pers saat ini tidak lagi bisa dilihat secara telanjang sebagai alat transmisi nilai-nilai kultural. Pers dewasa ini harus dilihat secara kritis, yaitu sebagai alat produksi utama dalam masyarakat informasi yang tengah mencari bentuknya. 

Saat ini, kehidupan pers, telah berhasil dirubah menjadi arena perebutan bermacam jenis kekuasaan (politik, ekonomi dlsb).  Salah satu pemicu perubahan itu adalah revolusi di bidang teknologi informasi. Revolusi IT membuat informasi bergerak lebih cepat. Pararel dengan proses itu maka pola produksi, distribusi dan konsumsi informasi --trias ekonomi informasi--turut berubah dalam cara yang sangat radikal. Sejak itu dunia pers kemudian berubah menjadi lahan subur bagi industri kapitalisme atas informasi.

Sebagai implikasinya, outcome dari seluruh proses dalam trias ekonomi informasi kini tidak lagi ditujukan untuk meraih ideal-ideal yang tercetus dalam gerakan reformasi. alih alih begitu, triad ini kini malah sudah sepenuhnya masuk kedalam logika pertukaran ekonomi yang lebih mementingkan kalkulasi untung rugi di atas segala-galanya. Dengan adagium “bad news is good news”, industri pers merubah tragedi menjadi komoditas—komodifikasi tragedi.

Sementara itu, dramaturgi di ruang publik pun diproduksi dan didramatisir supaya menarik perhatian, sehingga meningkatkan rating dan menghasilkan iklan. Melalui talk show, dugaan-dugaan dirubah sedemikian rupa menjadi kesimpulan. Televisi menjadi ruang sidang pengadilan—trial by press!

Di titik ini, pers yang bebas tidak lantas menghasilkan satu konfigurasi well inform society. Yang justru dihasilkan adalah sejenis 'suspicious society', yaitu masyarakat yg resah dan curigaan. Pers kini lebih mirip dengan medan Kuru. Yaitu medan perang tempat permusuhan terbuka para pemilik media. Berbagai sentimen politik yang bersifat hasutan ditransmisikan melalui institusi-institusi pers. Sebagai akibatnya demokrasi harus merelakan dirinya berubah menjadi mediakrasi; satu kondisi dimana pikiran publik dikendalikan hanya oleh satu atau dua media saja.

Sampai disini, sosok pemimpin politik lebih merupakan hasil simulacra, yaitu produk dari serangkaian operasi mediatik. Kredibilitas kepemimpinan politik lebih banyak dibangun dan tergantung dari seberapa sering ia direpetisi di televisi. Disini pemimpin politik adalah repetitive idols. Popularitasnya tidak lagi tergantung pada kerja politik konkrit namun lebih pada kemampuannya berinvestasi di televisi, media sosial, surat kabar atau majalah.  

Belakangan industri media menciptakan ekonomi rente yang mempermahal biaya berdemokrasi. Korban pemerasannya adalah siapapun yang kalap beriklan jor-joran. Pendeknya, kini industri pers menjadi semacam the invisible hand, yaitu mekanisme 'tangan tak terlihat' yang digunakan untuk meraih kekuasaan (kultural ekonomi politik sosial) di pasar demokrasi.
II
Positivitas maupun negativitas kebebasan pers adalah fakta sosial yang turut mendefinisikan apa itu Indonesia hari-hari ini. Di satu sisi kebebasan pers mendatangkan keuntungan, misalnya turut membentuk satu formasi masyarakat Indonesia yang informatif. Namun di sisi lainnya kebebasan pers pun mendatangkan kerugian. Adalah tugas dan kewajiban bagi kita semua untuk memaksimalkan keuntungan itu, sembari di saat yang sama berusaha meminimalisir kerugian dan memperbaiki kerusakan dalam pranata sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan di Indonesia.

Untuk keperluan itu agaknya kita perlu pelan-pelan mengunjungi kembali apa itu ide kebebasan pers. Hal ini mensyaratkan kemauan untuk menggeledah kembali keterangan-keterangan teoritik, historisitas sekaligus peristiwa-peristiwa penting yang membajak dan membelokkan agenda kebebasan pers. Dengan melakukan itu, kita akan melihat apa saja yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dari kehidupan pers yang bebas, serta merumuskan strategi untuk minimalisr kerugian-kerugiannya di masa depan.

IWA INZAGI 

twitter: @welfarista | www.mataair.or.id