FORMASI ENERGI NKRI MASA DEPAN

Populasi dunia bertumbuh sementara cadangan energi terus-menerus menipis. Selain faktor ini, tekanan energi datang dari kebutuhan pertumbuhan ekonomi, aktivitas industri, kerusakan lingkungan dan stabilitas keamanan dunia. Aggregat dari jalin berkelindaannya berbagai elemen ini memunculkan drama tekanan energi yang besar dan rumit di seantero dunia.
Di level lokal, kerumitan yang ditimbulkan tekanan energi misalnya kentara tatkala pemerintah berencana merekalibrasi proporsi anggaran subsidi BBM di tahun 2012. Upaya ini nyatanya jauh dari populer dan mengalami kegagalan pahit, namun dengan satu dan lain cara berhasil kembali memantik wacana yang tertunda tentang perlunya menyusun ulang formasi landasan energi NKRI masa depan.
Jika kita coba ringkaskan, kisaran perdebatan publik dalam pencarian solusi jangka panjang permasalahan energi mengerucut pada isu diversifikasi. Hal ini sepenuhnya bertumpu pada kenyataan bahwa kita tidak mungkin lagi mengandalkan sumber daya fosil sebagai satu-satunya landasan energi di masa mendatang. Di titik inilah kita berjumpa dengan kebutuhan untuk mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk landasan energi masa depan itu.

Secara garis besar, pencarian landasan energi ini akan merupakan kombinasi antara upaya mereduksi ketergantungan terhadap non-renewable energy dan usaha aktualisasi potensi produksi renewable energy. Hasil yang diharapkan adalah terproyeksikannya satu set komposisi mix energy yang reliabel.

Tulisan ini sendiri bekerja dalam satu keperluan, yaitu menemukan formasi energi NKRI masa depan, yang ditempuh melalui dua cara: (1) mengevaluasi kondisi energi terkini; dan (2) memproyeksikan komposisi pembentuk landasan energi masa depan tersebut.

KONDISI ENERGI INDONESIA
Per tahun 2010 populasi penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 1,48 persen, terhitung sejak tahun 2000. Dengan jumlah ini maka secara prosentatif Indonesia menempati 3,4 persen populasi dunia. Sementara itu, cadangan energi fosil yang dimiliki ditaksir kurang dari 3,4 persen dari total cadangan energi dunia. Elemen-elemen pembentuknya yaitu batu bara 0,58 persen, gas 1,7 persen, minyak 0,36 persen. Fakta ini membawa kita pada kesimpulan bahwa cadangan energi fosil Indonesia berada di bawah rata-rata cadangan dunia yang secara otomatis membuat kita lebih rentan terhadap jebakan ketergantungan impor energi. Catatan di tahun 2010 memberi tahu kita bahwa impor energi mencapai 18,9 persen dari total kebutuhan energi nasional. Secara prosentatif angka ini diproyeksikan akan terus mengalami peningkatam menjadi 35,7 persen di tahun 2030. Prosentasi sebesar ini setara 800 juta SBM.
Situasi ini tentu meresahkan. Keresahan ini pun turut diperburuk oleh fakta persaingan yang makin keras dalam hal pemanfaatan energi fosil di level global. Tingginya harga bahan bakar minyak menjadi indikator paling mutakhir yang menunjukkan ketimpangan di sisi supply dan di sisi demand. Dengan kalimat lain, kurva permintaan terhadap bahan bakar fosil terus menerus bertumbuh sementara kurva pasokan justru bergerak sebaliknya. Harga yang harus dibayar pun tidak hanya berkisar di seputar tekanan harga energi (lihat Chart.1), namun merembet kepada apa yang disebut environmental breakdown, yang antara lain muncul melalui fenomena pemanasan global dan rentetan akibat yang mengiringinya.

Tekanan harga minyak dunia terhadap APBN sebagaimana tertuang dalam Chart 1 tampak begitu mengganggu kuda-kuda neraca keuangan negara. Tren yang terlihat disana ialah fakta budgetting yang kerap kali mesti diperbaiki secara radikal, dalam arti melenceng demikian jauh dari perhitungan semula. Di titik ini pos-pos anggaran lain semacam pos perlindungan sosial terpaksa direkalibrasi/disunat. Pada gilirannya tekanan energi tidak hanya meningkatkan suhu global melainkan turut memanaskan suhu politik lokal.
Desakan untuk segera bergerak mencari landasan energi baru tampak makin menguat tatkala kita perhatikan komposisi energi aktual dan pemanfaatan finalnya (lihat Diagram 1). Saat ini bahan bakar minyak (BBM) mendominasi pemanfaatan energi final dengan prosentase tidak kurang dari 47,1 persen. Disusul Gas (21,0%), Listrik (14,2%), Batubara (12,7%), LPG (2,5%), dan Bahan Bakar Nabati (2,4%). Sementara itu, perkiraan total persediaan cadangan energi batubara nasional ditaksir hanya akan bertahan tidak lebih dari 82 tahun ke depan dan hanya 23 tahun saja untuk jenis BBM (lihat Tabel 1.0).[1] Data yang dirilis BPPT tahun 2012 bahkan menyebutkan bahwa cadangan minyak-terbukti hanya akan tersedia untuk 11 tahun mendatang.[2]

Pengetahuan ini memberi sinyalemen yang cukup jelas bahwa kita mesti berlomba dengan waktu untuk mencari cara dalam rangka menghindari kebangkrutan energi fosil yang tak terelakkan ini. Adapun agenda praktis yang muncul dari bacaan yang bersifat numerikal ini ialah bahwa kita mesti mengurangi ketergantungan terhadap non-renewable energy dan bersicepat mencari landasan energi baru yang bisa terus menerus diperbaharui.

Tabel 1. Persediaan Cadangan Energi Fosil Nasional
Energi Fosil
Sumber daya
Cadangan
Produksi
Rasio Cad/Prod (Tahun)
Minyak Bumi
56,6 miliar barel
8,2 miliar barel
357 juta barel
23
Gas Bumi
334,5 TSCF
170 TSCF
2,7 TSCF
63
Batubara
104,8 miliar ton
18,8 miliar ton
229, 2 miliar ton
82
Coal Bed Methane (CBM)
453 TSCF
-
-
-
Sumber: Blueprint PEN 2010-2005

Dilihat dari segi permintaan, per tahun 2009 porsi terbesar konsumsi energi dalam negeri diserap sektor industri dengan prosentase sebesar 41,49%. Diiikuti sektor transportasi (32,52%), sektor rumah tangga (16,26%), sektor komersial (4,49%), dan sektor lainnya sebesar 2,45%. Dengan beberapa asumsi perhitungan konsumsi energi yang dirilis BPPT tahun 2012,[3] proyeksi pertumbuhan konsumsi energi final diperkirakan tumbuh sebesar 4% di tahun 2014, dan diproyeksikan akan terus berkembang ke kisaran 5,3% hingga tahun 2030.
Sumber: Outlook Energi Indonesia 2012

Sebagaimana bisa kita lihat di dalam Chart 2, data historis konsumsi energi fosil dalam 10 tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Di tahun 2000 konsumsi energi mencapai 709 juta SBM, sepuluh tahun kemudian besaran konsumsi energi nasional meningkat menjadi 1017 juta SBM atau rata-rata mengalami kenaikan sebesar 3,09 persen per tahunnya. Mengingat ketersediaan cadangan energi fosil yang semakin menipis serta tren proyeksi pertumbuhan konsumsi energi yang cenderung mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun maka keperluan untuk menemukan komposisi new mix energy makin terlihat relevansinya.
Desakan ini secara praktis misalnya bisa langsung kita kaitkan dengan tren positif pertumbuhan PDB per kapita dalam 10 tahun terakhir. Di tahun 2000 PDB per kapita tercatat sebesar 6,78 juta dan pada 2009 meningkat menjadi 9,3 juta atau rata-rata mengalami kenaikan sebesar 3,6 juta rupiah per tahun. Tanpa ketersediaan energi, momentum peningkatan pendapatan perkapita akan sukar dipertahankan dan potensial menghadapi turbulensi bahkan peluruhan yang akan sangat sulit dipulihkan. Pada perspektif seperti ini level kesejahteraan sosial akan banyak bergantung pada mulusnya peralihan dari energi fosil ke jenis energi terbarukan.
Peralihan ini mensyaratkan perubahan paradigma dalam melihat peranan strategis energi terbarukan sejak hari ini. Dalam 10 tahun ke depan peranan renewable energy energi terbarukan harus dilihat tidak lagi sebagai energi alternatif, sedangkan peranan energi fosil harus mulai kita tempatkan sebagai elemen penyeimbang. Konsekuensinya, rancangan model proyeksi pertumbuhan konsumsi energi pertama-tama tidak lagi dibasiskan pada eksklusivitas asumsi pertumbuhan ekonomi, namun dirancang juga berdasarkan asumsi peningkatan kapasitas produksi energi terbarukan di dalam negeri. Alur pikir seperti ini akan menjadi kuda-kuda yang kuat bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.
Seandainya pun kita sukses melancarkan kerja besar diversifikasi energi dan menemukan komposisi mix energy yang reduktif terhadap energi fosil, rangkaian persoalan agaknya tidak akan berhenti di titik itu. Jika kita isolasi persoalan hanya di seputar krisis energi, maka jenis permasalahan yang akan muncul adalah bagaimana energi-energi baru itu bisa dimanfaatkan. Penyesuaian-penyesuaian harus dilakukan sebagaimana kita alami tatkala berusaha mengurangi ketergantungan sektor rumah tangga terhadap minyak tanah dan menggantinya dengan gas. Dari pengalaman itu kita diperhadapkan pada keperluan untuk membangun infrastruktur yang kompatibel dengan jenis energi baru, memperkenalkan model teknologi anyar yang digunakan, dan memperhatikan aspek aksesibilitas energi kepada pengguna. Pendeknya, kita juga akan dihadapkan pada kerja revolusi teknologi energi dalam skala yang sangat besar. Apa yang ingin disampaikan dari deskripsi singkat ini yaitu sementara kita memulai proyek diversifikasi energi yang lebih serius dan luas, kita pun akan berhadapan dengan perubahan-perubahan ekstrim dalam tata produksi, distribusi dan manners pemanfaatan energi baru tersebut. Daftar kebutuhan ini harus kentara dalam penyusunan silabus arsitektur energi masa depan NKRI.

DIVERSIFIKASI ENERGI 
Outlook di atas mungkin masih sangat kasar dan parsial. Meskipun begitu, sense of urgency kegentingan energi berada pada kondisi siaga satu dan perlu diketengahkan, terutama dalam keperluan untuk memperlihatkan kondisi aktual, problem-problem terbesarnya, dan yang terpenting untuk menemukan garis besar jalan keluarnya. Tulisan ini sendiri berpandangan bahwa garis besar solusinya terletak pada keputusan untuk menperluas proyek diversifikasi energi.
Langkah untuk merancang solusi energi yang reliabel sudah barang tentu memerlukan basis analisis yang didasarkan pada data yang valid serta pendekatan yang tepat. Pendekatan sederhana namun cukup akurat dalam konteks pemenuhan kebutuhan ini bisa dilakukan dengan jalan mencermati dimana lokus konsumsi energi final tersebut terkonsentrasi dan pada jenis energi apa konsumsi itu bergantung. Dari sini kita bisa mulai meraba-raba kemungkinan melancarkan diversifikasi energi yang langsung terarah pada kebutuhan untuk mengendurkan ketergantungan terhadap jenis energi yang saat ini menjadi penopang konsumsi energi final tersebut.
Untuk membantu mempermudah melihat persoalannya, di titik ini kita bisa mulai dengan mencermati dua chart berikut ini (Chart 3&4). Keduanya berguna terutama dalam menentukan dua hal: (1) mengenali titik-titik konsumsi energi final paling krusial dalam perkara energi Indonesia; dan (2) untuk menentukan kemana arah diversifikasi energi nasional.
Sumber: Outlook Energi Indonesia 2012

Sebagaimana terlihat secara jelas dalam Chart 3, lokus konsumsi energi final nasional terkonsentrasi pada tiga sektor, yaitu industri, rumah tangga dan transportasi. Porsi terbesar dari 1017 juta SBM yang digunakan pada tahun 2010 dikonsumsi oleh sektor industri, sebesar  398 juta SBM. Jenis energi yang digunakan sektor ini merupakan kombinasi dari gas, batubara, listrik, bahan bakar nabati dan minyak solar. Di urutan kedua adalah sektor rumah tangga, dengan konsumsi energi final sebesar 314 juta SBM. Sedikit berbeda dengan sektor industri, jenis energi yang dikonsumsi sektor rumah tangga terdiri dari kayu bakar, LPG, listrik dan minyak tanah. Di urutan ketiga adalah sektor transportasi, dengan besaran konsumsi energi final mencapai 241 juta SBM. Sektor ini menyerap sumber-sumber energi seperti bensin, solar, avtur, biodiesel dan minyak tanah.
Sumber: Outlook Energi Indonesia 2012

Sebagaimana terpampang secara jelas dalam chart 4, tidak kurang dari 70% dari total konsumsi energi final nasional tergantung pada jenis energi fosil, antara lain pada jenis energi yang bersumber dari BBM (bensin, minyak solar, minyak tanah, dan avtur), batubara, listrik, LPG, gas. Pada jenis energi primer inilah peradaban kita dilandaskan, yakni pada jenis energi yang tidak bisa diperbaharui, yang masa edarnya tinggal menghitung waktu. Segera, dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun ke depan jenis energi ini akan mengalami kelangkaan, menjelang kebangkrutan.
Skenario tersebut memang tidak terlalu menggembirakan dan bahkan akan berubah menjadi sangat suram saat lensa proyeksinya kita fokuskan pada sektor-sektor kehidupan riil. Segera setelah kilang-kilang minyak kekeringan maka jalanan berubah sepi karena kendaraan tak bisa digerakkkan, sektor transportasi lumpuh dan semua jenis pekerjaan yang terkait dengannya terpaksa mesti dihentikan. Saat tambang batubara berhenti beroperasi maka pembangkit-pembangkit listrik pun berhenti mengalirkan listrik. Imbasnya sektor industri, aktivitas pemerintahan, perdagangan dan rumah tangga kolaps. Di sisi lain, informasi pun tidak bisa sampai secepat saat ini. Efeknya kita kehilangan kecepatan untuk menilai situasi, mengantisipasi keadaan dan mengambil keputusan. Di sudut kehidupan lainnya, kualitas jasa kesehatan menurun mendekati jaman perdukunan. Mesin-mesin di pabrik-pabrik pengolah makanan tutup, kelangkaan pangan meraja lela. Pupuk untuk pertanian hilang dari pasaran dan produktifitas pertanian merosot. Kelaparan, pengangguran, inflasi, kriminalitas, adalah bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Pesawat terbang, jet tempur, mobil sport, kapal pesiar yang sekali waktu pernah muncul sebagai simbol kemajuan peradaban turun derajat dari barang super mewah menjadi sekedar rongsokan, kalah lamban dibanding burung unta atau kuda. Seluruh bangunan pengetahuan teknologi modern kehilangan kredibilitas karena tak lagi sanggup membantu meringankan beban kerja manusia. Seluruh sendi dari bangunan peradaban kita berada dalam tekanan, diambang kehancuran. Semua ini dipicu oleh satu hal: kebangkrutan energi fosil, yang merupakan subsistem dari totalitas sistem arsitektur peradaban modern.

Dari sekelumit bacaan kita terhadap kemungkinan terburuk atas jalinan ruwet yang saling kait-mengkait akibat kebangkrutan energi fosil, maka usaha menyusun langkah ekstensifikasi proyek diversifikasi energi rasanya tak terhindarkan dan tak ada alasan untuk menunda-nundanya lagi. Lebih jauh dari itu, di titik ini kita sekaligus dimungkinkan untuk memproyeksikan kira-kira kemana arah diversifikasi energi. Hemat kami, dalam jangka panjang, radikalisasi proyek diversifikasi energi perlu dipertimbangkan secara serius. Radikalisasi disini merujuk pada satu visi untuk menemukan satu komposisi renewable energy yang sepenuhnya sanggup membebaskan kita dari ketergantungan terhadap energi fosil.
Secara sederhana proyek diversifikasi energi adalah usaha jangka panjang yang digulirkan dalam keperluan untuk menghasilkan satu set komposisi energi terbarukan pengganti unrenewable energy. Target utamanya ialah zero dependence terhadap energi fosil. Namun tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan hanya dalam satu tarikan nafas. Oleh karenanya kita perlu mempertimbangkan tiga tahap proyek diversifikasi energi.
Stage pertama diversifikasi energi merupakan satu tahap yang diisi usaha untuk mereduksi ketergantungan terhadap energi fosil. Luaran yang diharapkan ialah mengendurnya beban ketergantungan terhadap energi fosil di tiga sektor yang  kini mendominasi konsumsi energi final nasional. Sedangkan indikator keberhasilannya yaitu berkurangnya beban ketergantungan sektor industri, transportasi dan rumahtangga terhadap energi fosil hingga 50 persen dalam skala konsumsi aktualnya. Komposisi ideal antara renewable dengan non-renewable energy di tahap ini berada dalam kisaran 50-50. Kisaran angka ini memang jauh lebih progressif dibanding target konsumsi energi terbarukan yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, yakni 17% pada tahun 2025. Namun perbincangan serius seputar peningkatan target ini tengah berlangsung. Secara umum diskursus konsumsi EBT mulai mengerucut pada angka 25% pada 2025 dan 37% di tahun 2050. Dengan asumsi kelangkaan energi fosil, khususnya minyak dalam 11 tahun ke depan, peluang radikalisasi target konsumsi energi terbarukan sangat terbuka untuk terkoreksi. Selain itu, target pemerintah di atas pada dasarnya masih disusun dalam kerangka paradigma EBT sebagai energi alternatif –sebagai energi penyeimbang– bukan sebagai energi primer yang akan melandasi totalitas aktivitas Indonesia di masa yang akan datang.

Di tahap ini juga berbagai kemungkinan yang diperlukan dalam usaha mereduksi ketergantungan terhadap energi fosil mesti dijajaki, yang terpenting diantaranya ialah penjajakan untuk membangun kerangka institusional yang solid. Secara spesifik, kerangka institusional yang dimaksud adalah usaha untuk menyediakan pilar politik, regulatif dan ekonomi yang akan menjadi fundamental arsitektur energi masa depan.
Berkaca pada kegagalan pahit usaha rekalibrasi besaran angka subsidi BBM beberapa waktu lalu, konsensus yang luas dalam perkara energi merupakan agenda yang perlu dikedepankan. Hal ini perlu ditempuh untuk mendapatkan konfigurasi kehendak politik yang merefleksikan tersedianya basis intelektual –tidak hanya di lapisan pengambil keputusan– melainkan juga di semua lapisan. Perkara energi merupakan perkara semua orang, menyangkut kemaslahatan semua pihak, dengan demikian merupakan perkara politik yang meniscayakan keterlibatan luas dari segenap masyarakat. Kesadaran intelektual untuk sama-sama menempuh jalan keluar dari pelik kebangkrutan energi perlu ditanamkan.
Metode untuk memenuhi keperluan mendiseminasi sense of urgency kebangkrutan energi tidak bisa hanya dibangun melalui metode sosialisasi as usual. Hal ini sebaiknya dilakukan dalam cakrawala tujuan yang lebih radikal, dengan melibatkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang luas. Dengan demikian maka metode yang lebih tepat ialah metode insepsi. Insepsi ialah satu kerja yang ditujukan tidak hanya untuk memperkenalkan gagasan, lebih dalam dari itu, insepsi dilakukan untuk menanamkan gagasan mengenai kebangkrutan energi fosil yang tak terhindarkan. Tertanamnya gagasan ini akan menghasilkan surplus energi politik yang diperlukan untuk menyusun regulasi yang komprehensif serta untuk menciptakan ruang fiskal yang leluasa bagi pembiayaan proyek diversifikasi energi. Dengan kalimat lain, will politic seperti ini akan menjadi leverage yang membuat sumber daya jauh lebih mudah digerakkan. Tersedianya kerangka institusional akan membuat ekstensifikasi proyek diversifikasi energi berlangsung lebih mulus, terarah dan bertujuan karena ditunjang keberadaan legitimasi politik yang kuat, dengan basis moneter yang lebih kuat lagi.
Adapun agenda aksi di tahap ini meliputi (1) meningkatkan produktivitas renewable energy, yang secara simultan diikuti (2) peningkatan frekuensi penggunaannya, yang dalam prosesnya inheren upaya (3) instalasi infrastruktur, baik infrastukur hulu untuk keperluan produksi renewable energy maupun infrastruktur hilir yang memungkinkan energi-energi baru ini terserap secara maksimal. Terakhir ialah upaya (4) sosialisasi, khususnya dalam keperluan mempromosikan manners baru pemanfaatan energi. Hampir seluruh tahap ini disii dengan aktivitas investasi untuk membangun kerangka arsitektur energi masa depan.

Stage kedua ekstensifikasi proyek diversifikasi energi akan merupakan upaya lanjutan untuk meningkatkan produktivitas energi terbarukan dengan tujuan mencapai titik ketergantungan nol terhadap energi fosil. Pada tahap ini transformasi besar-besaran terjadi, khususnya pelucutan equipment lama dan perluasan instalasi alat-alat baru penunjang aktivitas di sektor industri, rumah tangga, transportasi dan komersial. Pada tahap ini sektor transportasi akan sangat mengandalkan hasil produksi biofuel, sedangkan aktivitas di sektor industri dan rumah tangga akan ditopang pasokan energi listrik yang diperoleh dari kemajuan produksi listrik yang bersumber dari pemanfaatan sinar matahari, hidroelektrik, panas bumi, energi angin, dlsb. Kesuksesan tahap ini akan ditandai dengan terciptanya swasembada energi dalam negeri. 

Stage ketiga merupakan tahap dimana hasil produksi energi mulai diorientasikan sebagai komoditas dengan orientasi ekspor. Bermodal imaginasi, keberanian, pengetahuan, serta kemauan untuk bertindak semacam ini, pada dasarnya kita tengah berusaha mendorong Indonesia menjadi negara produktif, dengan spesialisasi produksi di bidang energi dan equipment penyerap energi terbarukan. Berbekal mentalitas seperti ini, pintu gerbang kebangkrutan energi fosil yang sudah menganga tidak kita masuki dalam keadaan kalut dan takut, namun justru dihayati lebih sebagai undangan resmi untuk mengemansipasi diri. Lantas energi-energi terbarukan apa saja yang mesti terus menerus ditingkatkan volume produksinya dalam jangka waktu 30 tahun ke depan?

ENERGI TERBARUKAN
Aktivitas produksi energi terbarukan pada dasarnya merupakan aktivitas untuk kembali melakukan konsolidasi dengan alam semesta. Hal ini akan berarti menetapkan patokan baru dan menetapkan pola relasi yang bersifat mutual interdependence dengan alam. Sejalan dengan kebutuhan itu maka intensitas riset-riset observatif yang berkualitas harus ditingkatkan. “Back to nature to gain more bright future” akan merupakan platform dasar proyek diversifikasi energi yang di dalamnya implisit hasrat untuk meraih komprehensi pengetahuan mengenai seluk beluk prilaku alam semesta.
Sejauh terkonfirmasi secara resmi oleh lembaga-lembaga yang telah melakukan riset energi yang panjang, diskursus energi terbarukan sejauh ini berhasil mengkompilasi sekitar delapan sumber energi terbarukan yang teknik produksinya berada dalam proses pengembangan. Sumber-sumber energi terbarukan tersebut antara lain: (1) bioenergy, (2) energi air (hydro power), (3) energi surya (solar energy), (4) energi panas bumi (geothermal energy), (5) energi angin (wind power), (5) energi ombak (wave energy), (6) energi tidal (tidal energy), (7) peat energi (peat energy), (8) energi panas laut (ocean thermal energy). Delapan energi terbarukan inilah yang mulai dari saat ini perlu didorong produksinya dan ditingkatkan pemanfaatannya.

BIOFUEL: ENERGI SEKTOR TRANSPORTASI

Memulai proyek ekstensifikasi energi yang terarah langsung pada tujuan menggantikan peran energi fosil bisa dimulai dengan kembali memperhatikan data historis mengenai volume konsumsi bahan bakar cair (BBC). Dari sini kita bisa memproyeksikan besaran produksi energi terbarukan yang dibutuhkan sebagai penggantinya.

Per tahun 2010, volume konsumsi bahan bakar cair mencapai 420 juta barel. Sektor transportasi mendominasi prosentase penggunaan BBC, dalam hal ini bersumber dari jenis BBM, sebesar 63% atau equivalen dengan 264,6 juta barel. Di urutan berikutnya berturut-turut ditempati sektor industri, rumah tangga, komersial dan sektor lainnya. Seperti juga disampaikan BPPT, peluang terbesar untuk mendapatkan pengganti BBC adalah dengan mengintensifkan produksi biofuel yang terdiri dari biodiesel dan bioethanol. Bahan baku biodiesel diperoleh dari esterifikasi minyak kelapa sawit, jarak dan kedelai, sedangkan hidrolisa dan fermentasi ubi kayu menghasilkan bioethanol. Raw material bioethanol atau ethanol bersumber dari tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, sagu, dan tetes.

Berdasarkan data produksi biofuel per tahun 2010, hingga saat ini Indonesia telah berhasil memproduksi 30 juta SBM (setara barel minyak) biofuel per tahunnya. Prestasi produksi seperti ini menandai makin tingginya daya penguasaan Indonesia atas teknologi produksi biofuel. Harga keekonomian biofuel sendiri diklaim sudah sanggup bersaing dengan harga BBM. Dari hasil studi Agus Sugiyono[4] kita mengetahui bahwa jika harga BBM mencapai lebih dari 60 USD/barel maka harga keekonomian biofuel akan sanggup bersaing di pasaran. Biaya produksi biodiesel per 100.000 ton/hari dengan raw material kelapa sawit setara Rp 4.240/liter, sedangkan biaya produksi bioethanol per 60 KL/hari dengan bahan baku ubi kayu ialah Rp 4.720/liter. Dengan mempertimbangkan tingginya harga keekonomian BBM di pasaran dunia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dan proyeksi kenaikan harganya hingga tahun 2030 (95-200 USD/barel), maka di titik ini kita sudah bisa mencoret kekhawatiran keekonomian untuk meningkatkan skala produksi biofuels dalam negeri.

Pemanfaatan biofuel dalam konteks Indonesia akan lebih baik diproyeksikan sebagai energi yang melandasi aktivitas sektor transportasi masa depan. Hal ini terutama didasarkan pada kenyataan bahwa biofuel dianggap sanggup mensubstitusi sebagian maupun keseluruhan penggunaan BBM tanpa memerlukan terlalu banyak penyesuaian pada infrastruktur kendaraan. Hambatan nyata dalam konteks perluasan pemanfataaan biofuel di sektor ini antara lain muncul dari konsensus terbatas yang berkembang diantara pelaku usaha industri energi. Direktorat Jenderal Migas –dengan memperhatikan masukan dari Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM), Gabungan Pengusaha Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan mempertimbangkan peraturan yang berlaku di World Wide Fuel Charter (WWFC)– mengusulkan pencampuran biodiesel hingga 5%, sedangkan Forum Biodiesel Indonesia (FBI) mengusulkan komposisi campuran yang lebih besar yaitu hingga 10%. Dengan terutama mempertimbangkan makin massifnya produksi flexible fuel vehicle (FFV) –mobil yang sanggup beroperasi dengan campuran bioethanol hingga 85% (BE85)– maka konsensus di atas agaknya perlu dikoreksi secara radikal. Sebagai gambaran, saat ini Amerika Serikat sudah meluncurkan kebijakan campuran ethanol hingga 20%. Kita pun pada dasarnya bisa bergerak sama cepatnya untuk soal ini, misalnya dengan melakukan peningkatan bea masuk bagi kendaraan berbahan bakar fosil, dan dalam saat yang sama menetapkan kebijakan bea masuk yang sangat rendah untuk jenis kendaraan FFV. Keputusan seperti ini akan berdampak luas, terutama karena akan memicu tingginya kebutuhan pada bioenergi. Secara hipotetik pangsa pasar bioenergi yang lebih luas akan tercipta.
Secara sosial ekonomi, peningkatan kebutuhan terhadap biofuels akan menjadi momentum tersendiri untuk melanjutkan pemerataan pembangunan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui produktivitas biofuel akan terutama bergantung pada perkembangan sektor agrikultur, dengan ini maka daerah pedesaan akan kembali menempati posisi sebagai zona ekonomi vital. Pada perspektif seperti ini proyek ekstensifikasi diversifikasi energi tidak hanya akan menjadi jalan keluar dari kebangkrutan energi fosil, namun sekaligus akan merupakan peluang besar untuk mengemansipasi ekonomi pedesaan.
Pemerintah memang harus memperhitungkan secermat mungkin segala segi serta implikasi dari peralihan ini terhadap pilar-pilar utama ekonomi politik lama, termasuk di dalamnya mengkalkulasi ancaman nyata dari peningkatan volume produksi biofuel terhadap biodiversity serta food security, namun mengayunkan langkah dalam koridor ini akan menghasilkan terbangunnya arsitektur masa depan yang akan menjadi landasan yang memberikan keuntungan jangka panjang yang lebih merata.

FORMASI ENERGI TERBARUKAN DI SEKTOR KELISTRIKAN

Mengikuti skenario MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), di tahun 2015 total konsumsi listrik dalam negeri diperkirakan akan mencapai 129,5 TWh. Konsumsi ini diproyeksikan akan tumbuh sebesar 11,2% per tahun, setara dengan 1233 TWh di tahun 2030. Dalam skenario ini konsumsi listrik akan didominasi sektor industri dengan prosentasi sebesar 43%, disusul sektor rumah tangga dan sektor komersial. Dari sisi produksi, pada tahun 2015 produksi listrik diproyeksikan sebesar 359 TWh dan 1415 TWh di tahun 2030.

Tabel 2. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Listrik Indonesia
Listrik
Skenario Dasar
Skenario MP3EI
2015
2030
2015
2030
Produksi
354,4 TWh
969 TWh
359,3 TWh
1415 TWh
Konsumsi
123,7 TWh
846 TWh
129,5 TWh
1233 TWh
  Sumber: Outlook Energi Indonesia 2012


Dalam rangka memenuhi proyeksi ini, kapasitas pembangkit listrik (PLN dan Non-PLN) mesti tumbuh 5 kali lipat, sekitar 10% per tahun, dengan target produksi sekitar 228 GW. Data per tahun 2010 menunjukkan bahwa total pembangkit listrik nasional menghasilkan sekitar 33,2 GW. Sumber-sumber energi pembangkit listrik yang berkontribusi antara lain batu bara (39%), gas (20%), BBM (12%), air (10%), geothermal (3%), dan biomassa (7%). Berdasar Skenario Dasar 2010, proyeksi energi pembangkitan pada tahun 2015 hingga tahun 2030 diperkirakan akan makin didominasi oleh batubara, yaitu sebesar 39-70% atau equivalen 1.100 juta SBM. Diikuti EBT sebesar 345 juta SBM (21,9%), gas 121 juta SBM (7,7%), BBM 5 juta SBM (0,31%). Dalam rangka menunjang proyeksi ini, estimasi biaya penguatan kapasitas infrastruktur pembangkit listrik berdasar skenario MP3EI mencapai 276 milyar USD. Bagian terbesar dari estimasi ini akan digunakan untuk menambah infrastruktur pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara, dengan prosentase 60% atau setara 165,6 milyar USD. Di titik ini bisa kita pastikan bahwa rencana energi kelistrikan dalam 20 tahun mendatang bersifat batubara-centris.
Dengan mengabaikan dominannya komposisi jenis energi fosil yang digunakan sebagai pembangkit listrik, seluruh perhitungan di atas menunjukkan keseimbangan dalam konteks produksi dan konsumsi listrik nasional, setidaknya untuk 20 tahun mendatang. Namun, di titik ini kita bisa ajukan satu pertanyaan penting: jika selama ini kita sanggup membangun fasilitas pembangkit listrik berbasis energi fosil –dan terlihat masih berencana untuk terus menerus mengembangkannya—bukankah logika pertanyaan ini bisa juga kita proyeksikan untuk memperluas basis pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan? Toh, dalam 50 ke depan, tren pemanfaatan pembangkit listrik yang bersumber pada batu bara ini pun menunjukkan tanda-tanda akan kita tinggalkan, dan diharapkan untuk segera ditinggalkan. Lantas mengapa tidak berkonsentrasi untuk memperluas basis energi kelistrikan yang akan kita gunakan melampaui kisaran 50 tahun mendatang? Mengingat kualitas lingkungan hidup yang terus memburuk akibat gas buang, bukankah sebuah keputusan yang absurd untuk terus menerus memperburuk keadaan dan apalagi untuk tinggal di dalamnya?
Kendala teknis yang sangat besar dalam cakrawala obsesi untuk menciptakan basis energi kelistrikan yang ramah lingkungan dan berkesinambungan meliputi tingkat penguasaan teknologi energi terbarukan yang masih rendah serta besaran investasi yang belum bisa diproyeksikan secara akurat. Kedua kendala di atas sebenarnya merupakan imbas dari absennya formulasi politik energi yang peka, baik terhadap aspek ekonomi maupun lingkungan hidup.  
Alam menawarkan banyak pilihan untuk produksi energi. Pertanyaan utama dalam kaitan dengan eksplorasi energi alam terletak pada bagaimana mengkonversi sinar matahari, angin, biomassa dan air menjadi listrik? Terkait sumber daya, Indonesia merupakan negara dengan kekayaan potensi energi alam yang berlimpah (lihat Tabel 3), yang justru terlihat berkekurangan ialah niat dan tindakan untuk melangkah lebih berani dalam koridor pembangunan energi bersih dan berkelanjutan.
Sebagaimana kita saksikan, dalam skenario MP3EI, khususnya untuk sektor produksi kelistrikan, pemerintah menjatuhkan pilihan untuk memaksimalkan penggunaan batu bara sebagai pembangkit listrik. Alur pikir seperti ini menghasilkan sifat tindakan yang memperlambat investasi ke arah terbangunnya fondasi elektrifikasi berbasis renewable energy. Sekilas strategi ini memang merupakan jalan paling realistis dalam rangka memenuhi target pertumbuhan ekonomi, namun bagaimana dengan target pelambatan kerusakan alam? Sejauh mana skema seperti ini sanggup bertahan terhadap tekanan Konvensi PBB tentang perubahan iklim? Lingkungan hidup adalah elemen paling konstituf dimana seluruh rancangan kebijakan hanya bisa berlaku karena keberadaannya. Dan jika dasar perhitungannya didominasi pertumbuhan ekonomi, tidakkah terpikirkan bahwa aset ekonomi yang sangat besar di kemudian hari itu harus luruh karena silaf memperhitungkan kesinambungan supporting system energinya? Pertanyaan seperti ini tidak hanya penting diajukan sebagai teguran, namun juga bermanfaat untuk menggalang munculnya sifat politik energi yang berprespektif masa depan alih-alih terkesan sebagai rencana bisnis perusahaan batubara semata. Politik energi seperti ini sangat krusial dalam konteks Indonesia, karena persis di titik ini pertumbuhan penguasaan dan aplikasi teknologi renewable energy membutuhkan intervensi negara.      

Tabel 3. Potensi Renewable Energy Indonesia
Jenis Energi
Cadangan Potensial
Cadangan Terekplorasi
Kapasitas Eksplorasi
Prosentasi
Air
75.000 MWe setara 845 juta SBM
6.855 Mwe
4125 MW
5,5
Geothermal
28.170 MWe setara 219 juta SBM
2.288 Mwe
1189 MW
4,3
Matahari
1.200 GWe
12,1 MW
0,007
Angin
9.290 MWe
1,4 MW
0,0065
Biomassa
49.810 MWe
445 MW
0,9
Peat
2.416 MTOE
0 MW
0
Arus Laut
2830 Gwe
0 GW
0
Tidal
240.000 Mwe
0 MW
0
Sumber: dari berbagai sumber

Berdasar data temuan hasil survei energi di berbagai negara yang dilakukan World Energy Council (WEC) tahun 2010, potensi energi air Indonesia ditaksir sebesar 2.150 TWr per tahunnya. Potensi sebesar itu menempatkan Indonesia di peringkat ketiga di kawasan Asia. Dari segi resources kita memiliki masa depan yang cerah untuk memecahkan persoalan energi elektrifikasi sektor rumah tangga, industri, komersial. Revitalisasi maupun pembangunan fasilitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) baru sebagaimana dilakukan di Asahan merupakan agenda krusial yang perlu digarap dan ditingkatkan.

Selain hidroelektrik, Indonesia juga bisa mulai menjajaki pemanfaatan energi sinar matahari. Dari segi sumber daya, secara keseluruhan wilayah Indonesia menerima radiasi matahari yang cukup tinggi rata-rata 12,38 MJ.m-2/hari. Hal ini dikarenakan posisi matahari yang cenderung tegak lurus terhadap ekuatorial.[5] Tantangan pemanfaatan sumber daya sinar matahari dalam konteks Indonesia tidak terletak pada bagaimana mengkonversi energi surya –mengingat perlengkapan konversi sinar matahari sudah demikian berkembang, baik untuk keperluan kelistrikan di sektor rumah tangga, pendinginan dan bahkan pemanasan yang diperlukan sektor industri. Tantangan tersebut lebih mendasar dan paradigmatik, yaitu maukah Indonesia melampaui tata cara pemanfaatan energi tradisional dan berinvestasi demi memperbesar peluang untuk memiliki basis yang memungkinkan terbangunnya formasi energi masa depan yang bersih dan berkesinambungan?
Alat-alat untuk mengkonversi radiasi sinar matahari sejauh ini masih terus menerus dikembangkan. Kolektor sinar photovoltaic (solar PV collector) bisa digunakan secara langsung sebagai konvertor penghasil listrik. Kolektor sinar matahari temperatur tinggi,  melalui siklus termodinamik, juga bisa dimanfaatkan sebagai penghasil listrik. Secara umum, konvertor radiasi sinar matahari terbagi tiga. Pertama ialah kolektor PV non-konsentrasi, biasa juga disebut dengan kolektor datar (flat plate collector) yang sanggup menghasilkan temperatur hingga 100 derajat celcius. Proyeksi aplikasinya bisa dimanfaatkan sebagai pendingin gedung di area perumahan, perkantoran serta pemanasan untuk industri. Kedua ialah kolektor konsentator temperatur menengah. Konsentator ini bisa menghasilkan temperatur antara 100-500 derajat celcius. Proyeksi aplikasinya untuk pemanasan, refrigasi maupun sebagai generator listrik sektor industri. Ketiga adalah jenis kolektor yang sanggup menghasilkan lebih dari 1000 derajat celcius. Kolektor radiasi sinar matahari sebesar ini merupakan kolektor dengan receiver yang terpusat. Keberadaannya bisa dimanfaatkan untuk sektor industri skala besar yang membutuhkan temperatur tinggi. Secara umum, pemanfaatan energi surya dapat dilakukan dengan mengembangkan kolektor datar dan konsentrator untuk mengumpulkan energi radiasi surya sedemikian sehingga energi termal yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara lebih praktis untuk berbagai proses.
Dari segi bahan baku, panel PV umumnya terbuat dari bahan yang solid, dengan demikian bersifat tahan lama. Saat ini bahan baku untuk panel-panel PV berasal dari crystalline dan polycristalline silicon solar cell. Per tahun 2010, harga eceran satuan panel PV berkisar antara 2 USD/W atau turun sekitar 28 USD/W dari kondisi 30 tahun lalu.[6] Dengan harga eceran panel PV yang semakin ekonomis di pasaran dunia, prospek untuk memiliki sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan terlihat semakin cerah.

Proyeksi aplikasi solar energy akan sangat membantu mengurangi ketergantungan sektor rumah tangga terhadap energi fosil, baik untuk penerangan, pendinginan, pemanasan, kelistrikan, dlsb. Aplikasi energi matahari pun akan sangat membantu upaya reduksi penggunaan energi fosil di sektor industri. Pernyataan ini terutama bertumpu pada kenyataaan bahwa sekitar 30-50% aktivitas industri memanfaatkan energi panas di bawah 250 derajat celcius, dimana akan dengan mudah bisa dipasok kolektor-kolektor PV bertemperatur rendah dan sedang.

Tabel 4.
Proyeksi Instalasi Panel PV dan Dampaknya Terhadap Pengurangan Pemakaian BBM

Tahun
Target Instalasi/
Tahun
(mwp)
Total target Instalasi
(mwp)
Jumlah
Unit
Rumah
(2 kwp/
Rumah)
Luas
Bangunan
Dengan
2 kwp/
mm
Produksi
Energi/
Tahun
(kwh)
Energi
Setara
Solar:
3 kwh/
1 liter
(liter
Solar)
Penghematan
Subsidi/
Tahun
Harga Solar
Rp 7500/
liter
2013
750
750
375.000
3.750.000
1.575.000.000
477.272.727
3,58
2014
1000
1750
875.000
8.750.000
3.675.000.000
1.113.636.364
8,35
2015
1000
2750
1.375.000
13.750.000
5.775.000.000
1.750.000.000
13,13
2016
1500
4250
2.125.000
21.250.000
8.925.000.000
2.704.545.455
20,28
2017
2000
6250
3.125.000
31.250.000
13.125.000.000
3.977.272.727
29,83
2018
2000
8250
4.125.000
41.250.000
17.325.000.000
5.250.000.000
39,38
2019
2000
10250
5.125.000
51.250.000
21.525.000.000
6.522.727.273
48,92
2020
2000
12250
6.125.000
61.250.000
25.725.000.000
7.795.454.545
58,47
 Sumber: Tumiran, 2012

Berdasarkan Tabel 4 di atas kita memiliki gambaran bahwa dengan memasang 750 mwp, maka sekitar 375.000 rumah masing-masing akan mendapatkan asupan energi matahari setara 2 kwp listrik/hari dalam satu tahun penuh. Total produksi listrik dengan besaran instalasi seperti ini akan mencapai 157, 5 milyar kwh/tahun. Jika 3 kwh listrik setara dengan 1 liter bahan bakar solar, maka penghematan energi fosil ini akan mencapai 477 juta liter per tahun. Dan jika harga solar Rp. 7.500/liter maka penghematan subsidi BBM akan mencapai Rp. 3,58 trilyun di tahun 2013 saja. Seiring dengan skenario penambahan kapasitas Panel PV pada Tabel 4, maka total penggunaan bahan bakar solar akan bisa ditekan hingga sekitar 7,8 milyar liter per tahun, sedangkan besaran beban subsidi BBM akan terdepresiasi senilai 58 trilyun per tahunnya. Melalui Tabel 4 kita bisa saksikan bahwa semakin besar investasi pemasangan panel PV maka semakin besar pula beban subsidi BBM yang terhapuskan.
Dengan mencermati konten Tabel 5 di bawah ini kita bisa melihat besaran pembiayaan investasi yang dibutuhkan. Per pemasangan panel PV dengan kapasitas 750.000 kwp dibutuhkan dana sekitar 18,75 triliun. Dana sebesar itu akan menerangi kurang lebih 375 ribu rumah. Pada Tabel 5 juga implisit strategi pendanaan investasi panel PV. Pembiayaan pemasangan panel PV bisa dilakukan dengan memotong besaran angka subsidi BBM secara gradual. Di setiap tahunnya anggaran subsidi ini bisa dipotong sekitar 20-25% dan diinvestasikan untuk peningkatan berkala jumlah  kolektor PV. Dengan taktik seperti ini, pada 2020 sedikitnya akan ada sekitar 6 juta rumah yang memanfaatkan energi matahari secara aman, mandiri dan berkelanjutan. Jalur ini juga memberikan nilai tambah terhadap lingkungan hidup, karena kadar CO2 tereduksikan secara besar-besaran di setiap tahunnya. Selain pemerintah, peranan swasta pun perlu didorong, mengingat peluang usaha dalam produksi elektrifikasi berbasis pemanfaatan radiasi sinar matahari masih sangat terbuka dan memiliki potensi yang sangat besar.

Tabel 5. Proyeksi Besaran Investasi Pemasangan Panel PV
Tahun
Jumlah
rumah
(masing-masing
2 kwp)
Install
capacity
kwp
Total
Investasi
Dengan
Rp 25juta/
kwp
(trilyun)
Total
investasi
dari tahun
ke tahun
(trilyun)
Solar
terhematkan
setara
energi
yang diproduksi
(liter)
2013
375.000
750.000
18,75
18,75
477.272.727
2014
875.000
1.750.000
25,00
43,75
1.113.636.364
2015
1.375.000
3.750.000
35,50
81,25
1.750.000.000
2016
2.125.000
4.500.000
37,50
118,75
2.704.545.455
2017
3.125.000
6.250.000
42,50
161,25
3.977.272.727
2018
4.125.000
8.250.000
50,00
201,25
5.250.000.000
2019
5.125.000
10.250.000
50,00
251,25
6.522.727.273
2020
6.125.000
12.250.000
50,00
301,25
7.795.454.545
   Sumber: Tumiran, 2012
Selain dari pemanfaatan radiasi sinar matahari, elektrifikasi di Indonesia juga bisa mengandalkan sumber energi yang bersumber dari lautan, antara lain energi arus laut, gelombang laut dan pasang surut laut. Potensi renewable energy berbasis kelautan diakui banyak pihak sangat besar. Persepsi seperti ini terutama mengacu pada aspek geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut mencapai kurang lebih 5,8 juta kilo meter persegi, terdiri dari 17.506 pulau, dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km. Dengan statistik geografis seperti ini maka ¾ wilayah Indonesia merupakan lautan.
Berdasar laporan hasil uji pengembangan perangkat Kobold (kapasitas 125 kw) di Indonesia, diprakarsai Badan Meteorologi dan Geosifisika (BMG) pada tahun 2004, diketahui bahwa kecepatan rata-rata arus laut Indonesia adalah 3 m/detik. Energi kinetik yang terkonversi dari kecepatan arus laut seperti ini menghasilkan hidroelektrik sebesar 4725 kwh/hari atau 1,7 juta kwh/tahun. Dari ujicoba tersebut disimpulkan bahwa setiap 1 meter persegi garis pantai rata-rata menghasilkan 35 kw listrik. Dengan demikian, jika 10% saja dari total garis pantai Indonesia berhasil dimanfaatkan maka energi listrik yang bisa diproduksi akan mencapai kisaran 283 GW. Fakta ujicoba ini secara jelas mengisyaratkan bahwa masa depan energi kelistrikan dalam negeri sangat cerah, namun hidroelektrik berbasis kelautan tak dikenal dalam kosakata strategi jangka panjang pengadaan energi Indonesia. Ringkasnya, deret daftar belanja energi kelistrikan pemerintah masih didominasi oleh batubara, gas, dan BBM.
Dari sisi teknologi, baik teknologi untuk menghasilkan energi kinetik dari arus laut, gelombang dan pasang surut laut sudah tersedia. Demikian juga halnya dengan teknologi ocean thermal energy conversion (OTEC) dan konversi energi dari perbedaan salinitas. Dengan beberapa ujicoba yang serius dan berkualitas, aplikasi teknologi hidroeketrik akan bisa dengan mudah dikuasai. Role model aplikasi teknologi inipun sudah ada. Kita bisa mencontoh Meksiko, Swedia, AS dan banyak negera lainnya. Persoalan Indonesia di bidang ini ialah minimnya kemauan untuk melangkah. Padahal, dari kemauan itu kita akan memiliki komposisi energi kelistrikan yang beragam dan sangat menguntungkan.
Secara ekonomi, dengan perantaraan proyek diversifikasi energi yang luas, kedudukan daerah pedesaan dan pesisir akan teremansipasi, sebab keduanya akan muncul atau dihitung sebagai zona ekonomi vital, yakni sebagai basis geografis produksi renewable energy. Proyek diversifikasi energi adalah leverage, yaitu titik ungkit untuk mengangkat kembali agenda pemerataan pembangunan yang sempat menemui jalan buntu. Pada pemaknaan yang paling sublim, proyek diversifikasi energi ialah proyek emansipatoris, yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial mengoreksi kesenjangan, dan secara lingkungan melegakan.

Selain dari laut, potensi renewable energy untuk kelistrikan datang dari panas bumi, angin, peat dan tidal. Eksplorasi panas bumi dan pemanfaatan energi angin sudah cukup familiar di Indonesia. Agenda penting untuk kedua sumber energi ini ialah revitalisasi dan investasi demi peningkatan kapasitas pembangkitan.


PENUTUP

Di masa depan, proyek-proyek energi tidak perlu sangat besar dan terpusat, sehingga distribusi energi listrik kadang justru lebih berat pada sisi distribusi. Aplikasi teknologi pemanfaatan energi panas bumi, energi angin, peat dan tidal membuka peluang desentralisasi elektrifikasi skala desa atau untuk menjangkau daerah-daerah pedalaman yang hingga saat ini belum tersaluri listrik.
Terakhir, mitos bahwa teknologi produksi renewable energy termasuk high-tech agaknya harus dibuang. Baik pemanfaatan energi air, matahari, laut, panas bumi, peat, tidal maupun angin, semuanya melibatkan pengetahuan mengenai bagaimana merubah energi gerak. Dengan kalimat lain, produksi energi terbarukan seluruhnya berpusat pada satu prinsip, yakni prinsip konversi kinetika/gerak. Pengenalan, pelatihan, kontinuitas pelatihan dan ujicoba aplikasi konversi kinetika adalah metode standar penguasaan teknologi produksi renewable energy.   
Iwa Inzagi [Peneliti pada Mata Air Foundation]


[1] Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025, (Jakarta: 2009), hal 31.
[2] BPPT, Outlook Energi Indonesia 2012: Pengembangan Energi Masa Depan dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Energi Nasional, Adhy Dharma Permana et.all (Ed), (Jakarta: BPPT Press, 2012), hal:15. 
[3] Asumsi-asumsi tersebut antara lain: 1) pertumbuhan PDB sebesar 7% hingga tahun 2030; 2) pertumbuhan penduduk sebesar 1,2%. Selengkapnya lihat: BPPT, Outlook Energi Indonesia 2011: Pengembangan Energi Masa Depan dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Energi Nasional, Adhy Dharma Permana et.all (Ed), (Jakarta: BPPT Press, 2011), hal:4-6.
[4] Agus Sugiyono, Pemanfaatan Biofuel Dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang, disampaikan pada Seminar Teknologi Untuk Negeri 2005, hal: 2 dan 9.
[5] Deni Septiadi dkk, “Proyeksi PotensI Energi Surya Sebagai Energi Terbarukan (Studi Wilayah Ambon dan Sekitarnya)”, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 10 No. 1 TAHUN 2009, hal: 26
[6] World Energy Council, 2010 Survey of Energy Resources, (London: World Energy Council, 2010), hal: 411.