Memperdalam Polemik dalam Debat Strategi Pemberatasan Kemiskinan I Bagian kedua dari tiga tulisan

Baiklah, seperti yang saya janjikan di tulisan sebelumnya, pada bagian kedua ini akan saya lampirkan konteks kedalam teks ini. Saya memiliki keyakinan bahwa anda sebetulnya sudah tahu akan konteks yang akan saya diskusikan di bawah ini.

Kritik Demokrat
Konteks dari tulisan ini adalah kerasnya pukulan terbaru yang diayunkan Genk Bogor terhadap satu kelompok yang hari ini tengah menguasai panggung kepolitikan nasional, sebut saja Genk Banteng, yang sebagian besarnya bermarkas di Menteng. Adalah media yang pertama-tama mengendus bau amis dari potensi ‘pertumpahan darah’ ini. Dan dengan mempertimbangkan hubungan panas dingin dua mantan presiden itu maka takkan mengherankan jika dalam waktu dekat tensi perdebatan ini akan menjadi lebih hangat.

Namun, sayang sekali hal itu tidak (belum) terjadi, padahal kita akan benar-benar bersatu seandainya debat ekonomi-politik ini dihayati dalam mentalitas ‘mempertemukan pemikiran-pemikiran kebangsaan’. Namun mari kita lupakan sejenak diskursus yang mulai mendingin itu. Mari kita kembali ke pokok tulisan untuk sekedar menghangatkannya kembali.


Selain terkenal ‘kritis’, sebagai partai politik, dengan kritik ini Demokrat juga bisa dibilang ‘nekat’. Kritis karena kritik bernuansa ekonomi politik yang baru-baru lalu diayunkan Demokrat memang memiliki dasar teoritis-praksis yang kuat. Pendirian ekonomi-politik itu setidaknya telah dipraktikkan dalam dua kali masa pemerintahan. Dibilang nekat karena kritik itu kelihatannya tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan kredibilitas pilihan ekonomi politik Jokowi sebagai kepala pemerintahan, melainkan sepertinya juga ingin sekalian menyasar ‘inkompetensi’ PDI-P sebagai partai pengusung. Dalam nada khas kaum monetaris, Demokrat mengatakan akan ada konsekuensi negatif jika praksis ide ‘pembangunan infrastruktur’ ini tetap dilaksanakan oleh administrasi Jokowi.

Semoga, pada saatnya, perbedaan ini kelak makin mengeras menjadi rivalitas, lengkap dengan pertengkaran argumentasi ekonomi politik yang semakin bermutu. Semoga saja, sebab saya termasuk orang yang percaya pada terbukanya kemungkinan itu. Saya percaya bahwa Indonesia masih dalam posisi in the making. Saya berharap suatu hari nanti Indonesia bisa lebih sempurna seumpama German Raya maupun Swedia. Namun tentu saja silahkan juga mencibir. Saya pribadi lebih suka berharap banyak alih-alih berada bersama para realis tengik yang pesimistik.

Pendirian Ekonomi Politik Rezim Jokowi
Sebagai awam yang menonton tingkah polah politisi hari ini, bagi saya Jokowi bolehlah dibilang bertolak belakang dalam segala hal dengan SBY yang merupakan pendahulunya. Satu-satunya hal yang mungkin merupakan persamaan diantara keduanya adalah fakta bahwa mereka pernah menduduki jabatan politis yang sama.

Dalam hal pendirian ekonomi-politik, rezim Jokowi memang telah membedakan diri dari pendirian SBY. Alih-alih meneruskan jalur pikir para monetaris yang memang gemar menumpuk cadangan devisa, Jokowi justru memilih menyuntikkan cadangan moneter itu untuk mendorong kerja besar pembangunan infrastruktur. Dengan istilah lain, melalui pilihan ini, Jokowi terkesan membanting setir dari arah pembangunan yang sebelumnya susah payah dirintis rezim SBY. Melalui keputusan politik terarah produktivitas ini, Jokowi bolehlah disebut telah berhasil meletakkan batu pertama bagi satu siklus revolusi ekonomi Indonesia.

Keynessian Paradigm + Bayang-Bayang Hitam Persoalan Hukum Masa Lalu   
Alih alih menempatkan modal investasi sebagai landasan pacu bagi pemberantasan kemiskinan, Jokowi justru terlihat lebih suka menggunakan ‘jalur darat’ melalui pembangunan infrastruktur yang akan menjadi leverage untuk memutar roda ekonomi sektor riil—sektor non moneter. Kita tahu jalur ini adalah jalur ekonomi-politik yang ditempuh para penganjur dalil-dalil Keynessian.

Keynessian paradigm adalah disiplin ekonpmi politik yang lebih mempercayai momentum putaran roda sektor riil sebagai penggilas kemiskinan. Dengan strategi ‘suntikan insentif moneter’, sektor rill diandaikan akan secara radikal menghasilkan energi yang memicu gairah kerja kaum miskin. Dalam jalur pikir inilah saya kira Jokowi akan menghadapi kemiskinan di sepanjang 5 tahun masa pemerintahannnya.

Meskipun begitu saya kira kita tetap harus menyisakan sedikit ruang untuk hal lain, hal lain yang mungkin tidak kurang pentingnya. Karena mungkin saja apa yang berkecamuk di kedalaman justru lebih menarik dibanding riak-riak yang nampak di halaman utama pemberitaan media. Sebab bisa saja kritik yang nekat itu hanya merupakan ekspresi antisipatif terhadap bayang-bayang konsekuensi hukum yang mungkin muncul seiring kunjungan intimidatif Jokowi ke Hambalang. Dengan menyatakan ini maka kita sebenarnya sedang mengantisipasi satu kemungkinan lain, yaitu adanya interseksi diantara (1) persoalan politik terkini dengan (2) kasus hukum masa lalu.

Anti-Kemiskinan vs Pro-pemiskinan
Ringkas cerita, dan demi kepeluan untuk mempersempit bidang pembahasan, oleh Demokrat pilihan kebijakan anti-poverty ala Jokowi dan PDI-P yang bertumpu pada stategi pembangunan infrastruktur dituduh akan secara radikal menyunat besaran anggaran pemberantasan kemiskinan. Tuduhan yang masuk akal dan logis. Namun, satu hal mulai tampak lebih jelas, yaitu bahwa kritik ini sebetulnya terlalu prematur. Harusnya kritik ini diayunkan setidaknya setelah pemerintahan ini tutup buku. Namun kita tahu tabiat tidak sabaran adalah tabiat para politisi Indonesia. Sebetulnya bukan hanya tabiat politisi sih.

Kemasukalan kritik itu antara lain terletak pada kemungkinan bahwa pada gilirannya distribusi fiskal (anggaran belanja untuk menunda kemiskinan) memang akan tersedot pada pembiayaan infrastruktur. Logis karena dalam jangka pendek kecenderungan fiscal policy seperti ini diandaikan akan berefek secara langsung terhadap usaha pemberantasan kemiskinan yang bersifat karitatif. Di titik ini apa yang dilakukan SBY sebetulnya bukan ‘pemberantasan’ melainkan ‘penundaan’ pemiskinan. Di sini juga kita bisa menyebut secara lebih meyakinkan bahwa SBY sebetulnya lebih pro-pemiskinan.

Politik Anggaran  
Apa yang sebetulnya terlanjur terucapkan tidak lebih dari taktik distribusi anggaran. Ringkasnya cuma sekedar diskursus dalam ‘distribusi fiskal’. Namun, tanpa memahami dasar-dasarnya tentu kita akan kehilangan seluruh konsekuensi logisnya. Lantas mengapa kita repot-repot turut meributkan hal ini? Tentu saja hal ini perlu dilakukan, terutama karena orang-orang ini sedang membicarakan sejumlah uang—uang dalam jumlah yang sangat banyak.  

Jokowi Sang Dukun Sunat
Kebijakan ekonomi politik seumpama alat vital, dimana anggaran adalah spermanya. Dengan kalimat lain, bagi Demokrat, Jokowi seumpama dukun sunat. Bagaimana tidak? Melalui kebijakan ekonomi-politiknya Jokowi seakan memotong lagi alat vital bagi program-program pro penundaan pemiskinan ala SBY. Di titik ini kita menjadi mafhum jika ada orang yang uring-uringan karena gagal horny. Kita mafhum, sebab dengan langkah kastratif itu maka kelangsungan pertumbuhan program-program rintisan SBY terancam berada dalam kondisi keguguran.

Dimensi Intelektual
Saya kira itulah konteks, intensionalitas serta bentuk-bentuk kasarnya. Sekarang mari saya spekulasikan landasan-landasan pikirnya sekedar untuk mencoba memahami, dan pada gilirannya untuk menentukan beda antara pengkritik (dan kritiknya) versus orang yang kini tengah dirundung kritik, yaitu Mr. Jokowi dan kubu Banteng yang berkandang di Menteng. Pembahasan ini akan juga sekalian menyasar normativitas dan adaptabilitas terpenting dari ekonomi politik anti-poverty ala Jokowi. 

Di masa SBY berkuasa, upaya pemberantasan kemiskinan, atau gerak politik anti situasi poverty terkesan selalu didorong oleh semangat karitatif. Dalam hal ini politik SBY senantiasa bekerja dalam jalur normativitas ekonomi-politik yang dianut kaum monetaris. Para monetaris adalah orang-orang yang secara intuitif lebih mempercayai aspek ketersediaan moneter sebagai landasan dari pemajuan ekonomi—guarantee of investment safety’s logic.

Tentu kita juga mengetahui bahwa di ujung pemerintahannya SBY ingin membantah semesta tuduhan tersebut, yang itu dilakukannya dengan jalan mengesahkan RUU BPJS. Inilah satu-satunya penanda yang ditinggalkan SBY kepada kita terkait bahwa ia sebetulnya memiliki satu imaginasi artifisial tentang negara sosial. Dengan mengesahkan RUU itu, sebagai pribadi SBY nampaknya ingin dikenang sebagai pemimpin yang meletakkan landasan bagi NKRI yang sekaligus sebagai negara sosial yang kokoh. Negara sosial yang diimajinasikan SBY kira-kira adalah sistem welfare state. Yaitu state social insurance yang mula-mula berkembang di Jerman dan kemudian memuncak di seantero kawasan Skandinavia.

Mengapa saya ucapkan ini dengan sedemikian sinis? Mengapa saya menjatuhkan pilihan pada jenis pemaknaan yang skeptis seperti itu? Bukankah sangat menyakitkan mengikuti cara berpikir semacam itu? Bukankah menambah musuh justru tindakan yang merugikan diri sendiri? Bukankah setiap percobaan untuk mengubah keadaan, yang dalam hal ini dilakukan dengan memberi makan perut orang miskin merupakan tindakan yang berisikan etika kemuliaan? Dan bukankah hal itu sudah sangat politik, dalam arti dimensi etiknya sudah bernafaskan semangat kepublikan, yang itu semua tak lain dan tak bukan adalah karakteristik esensial dari politik dalam disiplin pemikiran republikanisme? Bukankah republikanisme itulah yang dimaksudkan oleh para Founding Fathers kita? Yaitu bahwa normativitas satu penyelenggaraan pengorganisasian kekuasaan politik yang baik haruslah didasarkan pada semangat pemaslahatan umum.

Jika kita radikalisasi pertanyaannya, maka formulasi pertanyaan yang cukup logis untuk dihantamkan di titik ini adalah: Apakah sama sekali tidak ada politik dalam segala tindakan rezim SBY di sepanjang masa pemerintahannya? Pertanyaan terakhir itu merupakan pertanyaan yang sengaja saya tinggalkan untuk anda jawab sendiri. Sebab sejujurnya saya pun tidak memiliki jawaban pasti, dan itu juga penyebab mengapa saya mengambil tone pemaknaan yang begitu skeptis dengan pilihan komposisi partitur minor yang sinis.


Lantas apakah benar Jokowi berhaluan Marxis sebagaimana dituduhkan Fadli Dzon (Fadli Prasangka) Ulasan mengenai hal itu ada di bagian ketiga dari tulisan ini. 

iwa inzagi