Baiklah, seperti yang saya janjikan
di tulisan sebelumnya, pada bagian kedua ini akan saya lampirkan konteks
kedalam teks ini. Saya memiliki keyakinan bahwa anda sebetulnya sudah tahu akan
konteks yang akan saya diskusikan di bawah ini.
Kritik Demokrat
Konteks dari tulisan ini adalah
kerasnya pukulan terbaru yang diayunkan Genk Bogor terhadap satu kelompok yang
hari ini tengah menguasai panggung kepolitikan nasional, sebut saja Genk
Banteng, yang sebagian besarnya bermarkas di Menteng. Adalah media yang
pertama-tama mengendus bau amis dari potensi ‘pertumpahan darah’ ini. Dan
dengan mempertimbangkan hubungan panas dingin dua mantan presiden itu maka takkan
mengherankan jika dalam waktu dekat tensi perdebatan ini akan menjadi lebih
hangat.
Namun, sayang sekali hal itu tidak (belum) terjadi, padahal kita akan benar-benar bersatu seandainya debat ekonomi-politik ini dihayati dalam mentalitas ‘mempertemukan pemikiran-pemikiran kebangsaan’. Namun mari kita lupakan sejenak diskursus yang mulai mendingin itu. Mari kita kembali ke pokok tulisan untuk sekedar menghangatkannya kembali.
Namun, sayang sekali hal itu tidak (belum) terjadi, padahal kita akan benar-benar bersatu seandainya debat ekonomi-politik ini dihayati dalam mentalitas ‘mempertemukan pemikiran-pemikiran kebangsaan’. Namun mari kita lupakan sejenak diskursus yang mulai mendingin itu. Mari kita kembali ke pokok tulisan untuk sekedar menghangatkannya kembali.
Selain terkenal ‘kritis’, sebagai
partai politik, dengan kritik ini Demokrat juga bisa dibilang ‘nekat’. Kritis karena
kritik bernuansa ekonomi politik yang baru-baru lalu diayunkan Demokrat memang
memiliki dasar teoritis-praksis yang kuat. Pendirian ekonomi-politik itu
setidaknya telah dipraktikkan dalam dua kali masa pemerintahan. Dibilang nekat
karena kritik itu kelihatannya tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan
kredibilitas pilihan ekonomi politik Jokowi sebagai kepala pemerintahan,
melainkan sepertinya juga ingin sekalian menyasar ‘inkompetensi’ PDI-P sebagai
partai pengusung. Dalam nada khas kaum monetaris, Demokrat mengatakan akan ada
konsekuensi negatif jika praksis ide ‘pembangunan infrastruktur’ ini tetap dilaksanakan oleh administrasi Jokowi.
Semoga, pada saatnya, perbedaan ini kelak makin mengeras menjadi rivalitas, lengkap dengan pertengkaran argumentasi ekonomi politik yang semakin bermutu. Semoga saja, sebab saya termasuk orang yang percaya pada terbukanya kemungkinan itu. Saya percaya bahwa Indonesia masih dalam posisi in the making. Saya berharap suatu hari nanti Indonesia bisa lebih sempurna seumpama German Raya maupun Swedia. Namun tentu saja silahkan juga mencibir. Saya pribadi lebih suka berharap banyak alih-alih berada bersama para realis tengik yang pesimistik.
Semoga, pada saatnya, perbedaan ini kelak makin mengeras menjadi rivalitas, lengkap dengan pertengkaran argumentasi ekonomi politik yang semakin bermutu. Semoga saja, sebab saya termasuk orang yang percaya pada terbukanya kemungkinan itu. Saya percaya bahwa Indonesia masih dalam posisi in the making. Saya berharap suatu hari nanti Indonesia bisa lebih sempurna seumpama German Raya maupun Swedia. Namun tentu saja silahkan juga mencibir. Saya pribadi lebih suka berharap banyak alih-alih berada bersama para realis tengik yang pesimistik.
Pendirian Ekonomi Politik Rezim Jokowi
Sebagai awam yang menonton
tingkah polah politisi hari ini, bagi saya Jokowi bolehlah dibilang bertolak
belakang dalam segala hal dengan SBY yang merupakan pendahulunya. Satu-satunya hal yang mungkin
merupakan persamaan diantara keduanya adalah fakta bahwa mereka pernah
menduduki jabatan politis yang sama.
Dalam hal pendirian ekonomi-politik,
rezim Jokowi memang telah membedakan diri dari pendirian SBY. Alih-alih
meneruskan jalur pikir para monetaris yang memang gemar menumpuk cadangan
devisa, Jokowi justru memilih menyuntikkan cadangan moneter itu untuk mendorong
kerja besar pembangunan infrastruktur. Dengan istilah lain, melalui pilihan ini,
Jokowi terkesan membanting setir dari arah pembangunan yang sebelumnya susah payah dirintis
rezim SBY. Melalui keputusan politik terarah produktivitas ini, Jokowi bolehlah
disebut telah berhasil meletakkan batu pertama bagi satu siklus revolusi
ekonomi Indonesia.
Keynessian Paradigm + Bayang-Bayang Hitam Persoalan Hukum Masa Lalu
Alih alih menempatkan modal
investasi sebagai landasan pacu bagi pemberantasan kemiskinan, Jokowi justru terlihat
lebih suka menggunakan ‘jalur darat’ melalui pembangunan infrastruktur yang
akan menjadi leverage untuk memutar roda ekonomi sektor riil—sektor non moneter.
Kita tahu jalur ini adalah jalur ekonomi-politik yang ditempuh para penganjur
dalil-dalil Keynessian.
Keynessian paradigm adalah disiplin
ekonpmi politik yang lebih mempercayai momentum putaran roda sektor riil
sebagai penggilas kemiskinan. Dengan strategi ‘suntikan insentif moneter’, sektor
rill diandaikan akan secara radikal menghasilkan energi yang memicu gairah kerja
kaum miskin. Dalam jalur pikir inilah saya kira Jokowi akan menghadapi
kemiskinan di sepanjang 5 tahun masa pemerintahannnya.
Meskipun begitu saya kira kita
tetap harus menyisakan sedikit ruang untuk hal lain, hal lain yang mungkin
tidak kurang pentingnya. Karena mungkin saja apa yang berkecamuk di kedalaman justru
lebih menarik dibanding riak-riak yang nampak di halaman utama pemberitaan media. Sebab
bisa saja kritik yang nekat itu hanya merupakan ekspresi antisipatif terhadap
bayang-bayang konsekuensi hukum yang mungkin muncul seiring kunjungan
intimidatif Jokowi ke Hambalang. Dengan menyatakan ini maka kita sebenarnya
sedang mengantisipasi satu kemungkinan lain, yaitu adanya interseksi diantara (1)
persoalan politik terkini dengan (2) kasus hukum masa lalu.
Anti-Kemiskinan vs Pro-pemiskinan
Ringkas cerita, dan demi kepeluan
untuk mempersempit bidang pembahasan, oleh Demokrat pilihan kebijakan anti-poverty ala Jokowi dan PDI-P yang
bertumpu pada stategi pembangunan infrastruktur dituduh akan secara radikal
menyunat besaran anggaran pemberantasan kemiskinan. Tuduhan yang masuk akal dan
logis. Namun, satu hal mulai tampak lebih jelas, yaitu bahwa kritik ini
sebetulnya terlalu prematur. Harusnya kritik ini diayunkan setidaknya setelah
pemerintahan ini tutup buku. Namun kita tahu tabiat tidak sabaran adalah tabiat
para politisi Indonesia. Sebetulnya bukan hanya tabiat politisi sih.
Kemasukalan kritik itu antara lain terletak
pada kemungkinan bahwa pada gilirannya distribusi fiskal (anggaran belanja
untuk menunda kemiskinan) memang akan tersedot pada pembiayaan infrastruktur. Logis
karena dalam jangka pendek kecenderungan fiscal
policy seperti ini diandaikan akan berefek secara langsung terhadap usaha
pemberantasan kemiskinan yang bersifat karitatif. Di titik ini apa yang
dilakukan SBY sebetulnya bukan ‘pemberantasan’ melainkan ‘penundaan’ pemiskinan.
Di sini juga kita bisa menyebut secara lebih meyakinkan bahwa SBY sebetulnya lebih
pro-pemiskinan.
Politik Anggaran
Apa yang sebetulnya terlanjur terucapkan
tidak lebih dari taktik distribusi anggaran. Ringkasnya cuma sekedar diskursus dalam
‘distribusi fiskal’. Namun, tanpa memahami dasar-dasarnya tentu kita akan
kehilangan seluruh konsekuensi logisnya. Lantas mengapa kita repot-repot turut meributkan
hal ini? Tentu saja hal ini perlu dilakukan, terutama karena orang-orang ini sedang
membicarakan sejumlah uang—uang dalam jumlah yang sangat banyak.
Jokowi Sang Dukun Sunat
Kebijakan ekonomi politik seumpama
alat vital, dimana anggaran adalah spermanya. Dengan kalimat lain, bagi Demokrat,
Jokowi seumpama dukun sunat. Bagaimana tidak? Melalui kebijakan
ekonomi-politiknya Jokowi seakan memotong lagi alat vital bagi program-program
pro penundaan pemiskinan ala SBY. Di titik ini kita menjadi mafhum jika ada
orang yang uring-uringan karena gagal horny. Kita mafhum, sebab dengan langkah
kastratif itu maka kelangsungan pertumbuhan program-program rintisan SBY
terancam berada dalam kondisi keguguran.
Dimensi Intelektual
Saya kira itulah konteks, intensionalitas
serta bentuk-bentuk kasarnya. Sekarang mari saya spekulasikan landasan-landasan
pikirnya sekedar untuk mencoba memahami, dan pada gilirannya untuk menentukan
beda antara pengkritik (dan kritiknya) versus orang yang kini tengah dirundung
kritik, yaitu Mr. Jokowi dan kubu Banteng yang berkandang di Menteng.
Pembahasan ini akan juga sekalian menyasar normativitas dan adaptabilitas terpenting
dari ekonomi politik anti-poverty ala Jokowi.
Di masa SBY berkuasa, upaya
pemberantasan kemiskinan, atau gerak politik anti situasi poverty terkesan
selalu didorong oleh semangat karitatif. Dalam hal ini politik SBY senantiasa
bekerja dalam jalur normativitas ekonomi-politik yang dianut kaum monetaris. Para
monetaris adalah orang-orang yang secara intuitif lebih mempercayai aspek
ketersediaan moneter sebagai landasan dari pemajuan ekonomi—guarantee of investment safety’s logic.
Tentu kita juga mengetahui bahwa
di ujung pemerintahannya SBY ingin membantah semesta tuduhan tersebut, yang itu
dilakukannya dengan jalan mengesahkan RUU BPJS. Inilah satu-satunya penanda
yang ditinggalkan SBY kepada kita terkait bahwa ia sebetulnya memiliki satu
imaginasi artifisial tentang negara sosial. Dengan mengesahkan RUU itu, sebagai
pribadi SBY nampaknya ingin dikenang sebagai pemimpin yang meletakkan landasan
bagi NKRI yang sekaligus sebagai negara sosial yang kokoh. Negara sosial yang
diimajinasikan SBY kira-kira adalah sistem welfare
state. Yaitu state social insurance yang mula-mula berkembang di Jerman dan
kemudian memuncak di seantero kawasan Skandinavia.
Mengapa saya ucapkan ini dengan sedemikian
sinis? Mengapa saya menjatuhkan pilihan pada jenis pemaknaan yang skeptis
seperti itu? Bukankah sangat menyakitkan mengikuti cara berpikir semacam itu?
Bukankah menambah musuh justru tindakan yang merugikan diri sendiri? Bukankah
setiap percobaan untuk mengubah keadaan, yang dalam hal ini dilakukan dengan
memberi makan perut orang miskin merupakan tindakan yang berisikan etika kemuliaan?
Dan bukankah hal itu sudah sangat politik, dalam arti dimensi etiknya sudah bernafaskan semangat kepublikan, yang itu semua tak lain dan tak bukan adalah karakteristik esensial
dari politik dalam disiplin pemikiran republikanisme? Bukankah republikanisme itulah yang dimaksudkan
oleh para Founding Fathers kita? Yaitu bahwa normativitas satu penyelenggaraan pengorganisasian
kekuasaan politik yang baik haruslah didasarkan pada semangat pemaslahatan umum.
Jika kita radikalisasi
pertanyaannya, maka formulasi pertanyaan yang cukup logis untuk dihantamkan di
titik ini adalah: Apakah sama sekali tidak ada politik dalam segala tindakan
rezim SBY di sepanjang masa pemerintahannya? Pertanyaan terakhir itu merupakan
pertanyaan yang sengaja saya tinggalkan untuk anda jawab sendiri. Sebab
sejujurnya saya pun tidak memiliki jawaban pasti, dan itu juga penyebab mengapa
saya mengambil tone pemaknaan yang
begitu skeptis dengan pilihan komposisi partitur minor yang sinis.
Lantas apakah benar Jokowi berhaluan Marxis sebagaimana
dituduhkan Fadli Dzon (Fadli Prasangka) Ulasan mengenai hal itu ada di bagian
ketiga dari tulisan ini.
iwa inzagi