Gencarnya kampanye LGBT di level internasional sudah memperlihatkan
hasilnya. Data CFR keluaran tahun 2017 menunjukkan bahwa legalisasi pernikahan
sejenis (same sex marriage) telah
disahkan di 27 negara, diantaranya termasuk Amerika Serikat, Kanada, Brazil,
Argentina, Belanda, Swedia, Israel dlsb. Kini pengaruh dari ‘kesuksesan’ gerakan
kampanye LGBT internasional bahkan sudah cukup jauh merasuk ke daerah-daerah di
Indonesia. Dari data yang disampaikan Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit, ada
sekitar 18 ribu pelaku LGBT di wilayah Sumbar (Padek/18/11/2018). Angka ini
terbilang cukup tinggi.
Istilah LGBT adalah akronim yang komposisinya terdiri dari Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender. Dewasa ini malah ada tambahan I (intersexual). Di periode sebelum
unifikasi simbolik ini, kelompok-kelompok seperti lesbian atau kaum gay hanya
bergerak secara sendiri-sendiri dengan dukungan sumberdaya yang terbatas. Oleh
karena itu, dilihat dari sudut pandang istilah, langkah unifikasi tersebut sebetulnya
bisa dilihat sebagai taktik efisiensi simbolik yang ditujukan untuk memperluas
basis dukungan bagi gerakan kampanye LGBT di skup internasional. Dengan
penyatuan unsur-unsur seperti lesbian, gay, biseksual dan transgender, maka basis
pendukung serta sumberdaya kampanye normalnya akan menjadi lebih besar.
Pertanyaan yang cukup penting diajukan pada saat ini adalah dengan cara
apa kita melawan kampanye LGBT yang sistematis tersebut? Setidaknya ada
beberapa argumen yang bisa dikemukakan untuk memperkukuh pertahanan dalam
rangka melawan penyebaran prilaku LGBT di masyarakat.
Argumen yang pertama adalah argumen di seputar dampak negatif prilaku
LGBT terhadap ketahanan nasional atau keamanan negara dalam jangka panjang.
Persoalan LGBT sangat berkaitan dengan perkara national security. Mengapa demikian? Prilaku LGBT adalah jenis
prilaku yang bertentangan dengan prinsip kelestarian hidup manusia. Pernikahan
sejenis dan prilaku homoseksual secara mendasar bertolak belakang dengan
prinsip prokreasi sebagai dasar dari kontinuitas kelangsungan hidup manusia.
Ringkasnya, pernikahan sejenis tidak akan menghasilkan keturunan. Pada titik
ini kita bisa membayangkan satu skenario mengenai semakin rendahnya tingkat
prosentase kelahiran di Indonesia. Seandainya prilaku LGBT terus meningkat, katakanlah
20 tahun terhitung sejak hari ini, maka dalam jangka panjang populasi penduduk
di Indonesia akan berkurang. Rendahnya populasi akan membuat negara berada
dalam situasi rentan terhadap invasi dari luar karena tingkat populasi penduduk
yang bisa menjalankan fungsi bela negara atau fungsi pertahanan juga semakin
sedikit. Di saat yang sama, generasi yang kini berada di usia produktif secara
alamiah pasti akan mengalami penuaan. Ditinjau dari perspektif ini, upaya
menangkal pengaruh gerakan LGBT sejatinya merupakan perwujudan sikap partiotik
atau manifestasi dari sikap kecintaan terhadap tanah air.
Argumen yang kedua, prilaku LGBT yang non prokreasi dalam jangka panjang
juga berpotensi mengancam ketahanan pangan nsional. Pada satu titik, rendahnya
tingkat kelahiran akan berdampak pada rendahnya prosentase tenaga kerja
produktif untuk mengelola lahan pertanian. Dalam skenario ini, berkurangnya
jumlah tenaga kerja di bidang pertanian secara linear akan berpengaruh terhadap
produktifitas pangan nasional. Mempertimbangkan hal ini, mereduksi jangkaun
gerakan LGBT dan persebaran prilakunya sebagun semakna dengan memperkukuh
kuda-kuda ketahanan pangan nasional.
Argumen ketiga adalah masa depan ketenagakerjaan. Penurunan populasi
penduduk pada gilirannya akan menciptakan krisis ketenagakerjaan. Dalam
skenario ini, akan banyak pekerjaan yang terpaksa harus diisi oleh
pekerja-pekerja dari luar disebabkan ketersediaan tenaga kerja di dalam negeri
menurun sebagai akibat langsung dari prilaku LGBT yang bersifat non prokreasi. Contoh
negara-negara yang mengalami krisis ketenagakerjaan akibat penurunan populasi
antara lain adalah Singapura dan negara-negara di Skandinavia. Penurunan
populasi penduduk usia produktif, entah itu karena penuaan alamiah atau akibat
kebijakan pengendalian penduduk, secara linear terbukti berdampak terhadap makin
menurunnya kemampuan negara dalam pembiayaan jaminan sosial (Esping-Andersen,
2002). Hal ini terjadi karena pada dasarnya pajak merupakan basis material
pembiayaan sistem welfare state. Logikanya,
pajak hanya bisa dikutip negara apabila banyak penduduk yang berada di usia produktif.
Dengan demikian, semakin sedikit jumlah tenaga kerja produktif maka akan semakin
sulit bagi negara dalam menghimpun dana masyarakat yang akan digunakan sebagai pembiayaan
program-program jaminan sosial.
Argumen yang keempat adalah argumen konstitusional. Indonesia adalah
negara hukum. Imperatif logis dari susunan argumen negara hukum adalah bahwa
seluruh aturan, termasuk kebijakan pemerintah, harus selaras dengan semangat
kebangsaan yang termaktub di dalam konstitusi. Konstitusi NKRI sejatinya
merupakan kontrak sosial yang kita sepakati sebagai aturan main interaksi
sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Prilaku LGBT jelas bertentangan dengan
sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Di luar empat argumen di
atas, ada juga argumen kesehatan. Argumen ini sudah banyak ditulis sehingga
tidak disinggung secara mendalam dalam tulisan ini.
Penyebaran prilaku LGBT tidak jarang memanfaatkan jalur-jalur kebudayaan
seperti film, musik dan bacaan. Hal ini harus kita lihat sebagai upaya untuk
menormalisasi prilaku LBGT sehingga tampak sebagai prilaku normal dan reasonable. Dengan demikian, selain
melalui kebijakan resmi, pemerintah juga perlu merumuskan strategi kebudayaan untuk
mencegah meluasnya prilaku LGBT di Indonesia.
Oleh U. Abdul Rozak
Pemerhati Masalah Sosial
*Artikel ini diterbitkan di Harian Padang Ekspres 21/11/2018