Pengantar
Tulisan ini merupakan penggalan. Hasil penelitian yang utuh disajikan sebagai tesis. Tulisan ini mencoba memperlihatkan beberapa kelebihan transportasi online dan faktor-faktor terpenting pembentuk kelebihan tersebut. Jasa transpotasi online meruakan fenomena sosiologi ekonomi yang sangat menonjol. Jasa ini merupakan salah satu penanda utama dari apa yang dinamakan sebagai "The New Economy".
Pro-Kontra Transportasi Online di Dunia
Naik
daunnya perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa transportasi dengan
pemesanan memanfaatkan aplikasi bukanlah fenomena lokal semata.
Perusahaan-perusahaan start-up sejenis juga beroperasi di seluruh dunia dan
telah lebih dulu menikmati hasil inovasi bisnis yang berdampak luas terhadap perubahan
prilaku masyarakat dalam memanfaatkan layanan transportasi. Tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa dewasa ini pemanfaatan akan jasa transportasi berbasis
aplikasi telah menjadi tren gaya hidup masyarakat dunia. Namun, dibalik tren global
yang dihasilkan oleh revolusi transportasi ini kita juga menyaksikan adanya
resistensi, terutama dari para pelaku usaha lama yang telah mapan berkecimpung
di bisnis transportasi. Hingga saat ini, pro kontra yang mengiringi kehadiran
transportasi online terus terjadi di berbagai belahan dunia dan di berbagai
daerah di tanah air.
Banyak pihak
berpandangan bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan transportasi berbasis
aplikasi sesungguhnya merupakan hal yang positif, karena memberikan alternatif
pilihan yang lebih rasional kepada konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhan
mobilitasnya. Selain dari sudut pandang itu, dalam perspektif ekonomi, hadirnya
jasa transportasi online sukses menciptakan kompetisi di dunia usaha
transportasi itu sendiri. Dalam ilmu ekonomi disebutkan bahwa pasar ekonomi yang
kompetitif akan menghasilkan efisiensi. Efisiensi tersebut bisa saja tampil
dalam bentuk jasa transportasi yang lebih terjangkau atau dalam bentuk peningkatan layanan transportasi sebagai akibat langsung dari adanya persaingan.
Dalam skala yang lebih luas kehadiran perusahaan transportasi online dianggap
positif karena merupakan koreksi nyata terhadap struktur tatanan ekonomi
transportasi lama yang ditandai dengan inefisiensi, baik dalam hal biaya, waktu
dan layanan. Dalam jangka panjang, koreksi seperti ini diharapkan akan mengubah
koordinat situasi dalam ekonomi transportasi sehingga mendorong terciptanya
keseimbangan yang baru. Adapun luaran akhir yang diharapkan dari seluruh proses
ini ialah terciptanya jasa layanan transportasi yang semakin berkualitas di
masa yang akan datang. Pandangan seperti ini disampaikan oleh Sergiy Golovin,[1]
seorang peneliti dalam bidang transportasi online.
Selain dari
mereka yang berpandangan positif, banyak pihak juga berpandangan bahwa
keunggulan bisnis transportasi berbasis aplikasi lebih banyak disebabkan oleh
ketidaksamaan perlakuan pemerintah terhadap bisnis sejenis. Kelompok yang
menyuarakan hal ini umumnya dimotori oleh para pelaku usaha transportasi umum
yang sudah lama berkecimpung di bidang ini. Inti kritik yang disampaikan adalah
bahwa sementara mereka harus menuruti aturan yang ketat dalam industri
transportasi seperti perizinan, pajak, asuransi dan ketentuan lainnya, tetapi di
saat yang sama para pelaku bisnis transportasi berbasis aplikasi justru tidak
dikenai aturan yang mewajibkan hal yang sama. Bagi kalangan ini, dampak
langsung dari keharusan untuk menyelaraskan diri dengan aturan penyelenggaraan
bisnis transportasi adalah turunnya daya saing yang diindikasikan oleh turunnya
pendapatan dikarenakan konsumen beralih ke jasa transportasi online.[2]
Di titik ini kita bisa mengajukan satu dugaan bahwa tuntutan pengaturan yang
dilayangkan kepada pemerintah pada dasarnya diharapkan bisa merombak tata
produksi dan distribusi jasa transportasi sehingga daya saing mereka pada
akhirnya bisa kembali terkatrol.
Jika di
Indonesia kritik dan tuntutan para pelaku lama di industri transportasi
diekspresikan dan diwarnai dengan kekerasan fisik, maka di berbagai negara
seperti Jerman, Amerika Serikat, Tiongkok, Korea Selatan dan di berbagai negara
lainnya, tuntutan-tuntutan tersebut diekspresikan melalui unjuk rasa yang
intesif. Sebagai hasil dari tuntutan intensif tersebut, maka pemerintah di beberapa
negara seperti Jerman, Irlandia, Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan dan di
beberapa negara lainnya sempat mengeluarkan bann
atau pelarangan bagi operasional transportasi online,[3]
meskipun pada akhirnya pelarangan itu kembali dicabut atau dianulir sebagaimana
juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2015.
Permasalahan Pokok Kisruh Jasa Transportasi Online
Dari segi usaha dan pemanfataannya, banyak kalangan menilai bahwa jasa transportasi online tidaklah bermasalah. Pandangan seperti ini didukung oleh fakta yang menunjukkan tingginya tingkat pemanfaataan layanan usaha ini oleh masyarakat. Sebagai catatan, tingginya tingkat pemanfaatan jasa transportasi jalan online ini tidak hanya terjadi di tanah air namun juga hampir di seluruh dunia. Gugatan terhadap transportasi online sebenarnya lebih banyak muncul dari kompetitor usaha ini, yakni dari industri taksi (untuk level global) dan di Indonesia mungkin harus ditambah dengan penentangan spartan yang dilakukan para pengemudi ojek pangkalan terhadap operasional ojek online.
Pada umumnya,
permasalahan yang membayangi operasional transportasi online berkutat di seputar
gugatan terkait legalitas usahanya. Fenomena aksi penentangan ini sarat nuansa
hukum, dimana tuntutan yang paling banyak diajukan oleh kompetitor usaha
transportasi online adalah tuntutan kepada pemerintah untuk meregulasi jasa
transportasi online.[4]
Dari perspektif para pengusaha transportasi konvensional, motivasi yang mendorong dilayangkannya tuntutan tersebut cukup jelas, yakni keuntungan usaha mereka mengalami penurunan drastis sejak perusahaan-perusahaan transportasi online beroperasi. Sebagai contoh, dalam dua tahun terhitung sejak 2014, Metropolitan Transportation Agency mencatat bahwa penggunaan taksi konvensional di San Francisco –yang merupakan kota asal Uber– menurun sebanyak 65%.[5] Di Indonesia sendiri, dalih mengenai turunnya pendapatan usaha merupakan dalih yang paling sering digunakan para pengunjuk rasa dalam berbagai aksi demonstrasi menentang kehadiran moda transportasi online.[6]
Apabila kita amati secara lebih seksama, istilah “tuntutan untuk menelurkan regulasi” atas angkutan online sebetulnya merupakan bunyi tuntutan yang bersifat sangat umum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penelahaan khusus untuk mengungkap intensi yang tersirat di balik formulasi tuntutan yang sekilas terkesan bersifat sangat umum tersebut. Jika kita perhatikan secara kritis, logika “tuntutan regulasi” dibangun di atas sebuah premis mengenai penurunan penghasilan yang dialami para pelaku usaha transportasi konvensional terhitung sejak beroperasinya jasa angkutan online. Bagi kelompok ini, terjadinya penurunan penghasilan disebabkan oleh migrasi pelanggan yang beralih ke jasa angkutan online. Migrasi pelanggan dipicu oleh para pelaku usaha transportasi online yang menawarkan tarif jasa angkutan yang lebih rendah. Menurut para pelaku di jasa transportasi konvensional, harga jasa transportasi online yang lebih rendah disebabkan oleh ketidakterikatan mereka kepada berbagai kewajiban dalam peraturan penyelenggaraan transportasi umum yang berlaku. Konsekuensi logis dari bangunan logika seperti ini adalah dikarenakan para pelaku usaha transportasi online tidak terikat pada peraturan maka mereka mampu menciptakan harga layanan atau jasa angkutan yang lebih murah. Pertanyaannya adalah apakah klaim tersebut akurat?
Mencermati
bangunan logika di atas, menjadi logis untuk mengatakan bahwa pada dasarnya
sasaran dibalik rumusan “tuntutan regulasi” sebenarnya ditujukan untuk
menghasilkan konfigurasi harga atau tarif satuan jasa transportasi yang sama.
Keterikatan pada regulasi diandaikan akan membuat para pelaku usaha
transportasi online memiliki keharusan untuk menyesuaikan banyak hal dalam
menyelenggarakan usahanya, yang pada akhirnya akan berimbas terhadap
peningkatan satuan tarif atau harga jasa yang mereka tawarkan di pasar aktual.
Jika intensi di
balik “tuntutan regulasi” yang beredar luas tersebut memang demikian, maka
persoalan pro-kontra transportasi online yang begitu riuh dewasa ini pada
dasarnya bisa disebut sebagai upaya untuk menyeimbangkan kembali salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi bandul persaingan usaha di dunia transportasi
jalan di perkotaan. Adapun tujuan jangka panjang yang paling rasional dan
kompatibel dengan formasi logika “tuntutan regulasi” tersebut adalah untuk
menjaga eksistensi atau survivalitas usaha transportasi konvensional. Karena,
baik implisit maupun eksplisit, tuntutan pengaturan yang dilayangkan kepada
pemerintah tersebut sudah barang tentu diharapkan mampu merombak tata produksi
dan distribusi jasa transportasi online sehingga daya saing dari para pelaku
bisnis angkutan konvensional pada gilirannya bisa kembali terkatrol.
Berdasar uraian
tersebut di atas, penelitian ini sendiri mengajukan satu tesis bahwa dari sudut
pandang pelaku usaha transportasi konvensional, keberadaan jasa layanan
transportasi online merupakan ancaman nyata, bukan hanya terhadap kelangsungan
usaha mereka, namun lebih jauh lagi, yakni ancaman terhadap survivalitas usaha
mereka di masa yang akan datang. Istilah “survivalitas usaha” yang digunakan
disini merujuk pada persoalan hidup matinya suatu usaha.
Solusi bagi permasalahan ini tentunya tidaklah mudah. Pelarangan terhadap segala jenis operasi transportasi online berpotensi merugikan konsumen yang dengan kehadiran jasa transportasi online bisa menikmati tarif angkutan yang lebih murah dengan kualitas pelayanan yang relatif lebih baik (pemesanan yang lebih cepat misalnya). Selain dari sudut pandang konsumen, pelarangan juga tidak produktif dilihat dari perspektif ketenagakerjaan.[7] Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka diperlukan terobosan pemikiran dan terutama terobosan regulasi yang bisa menciptakan aturan main yang bisa diterima oleh semua pihak. Selain terobosan pemikiran, yang lebih penting dituntut juga adalah komitmen serius dari pemerintah untuk menangani persoalan ini, terutama dengan mengingat catatan kekerasan yang sangat tinggi yang mewarnai dinamika usaha transportasi di tanah air dewasa ini.[8] Sebagian pihak mungkin mengatakan bahwa kekerasan-kekerasan ini murni merupakan persoalan pidana dan sudah ada jalur hukumnya. Pandangan seperti itu memang benar, tetapi juga harus diingat bahwa akar dari persoalan ini adalah persaingan ekonomi yang sangat sensitif. Pendeknya, dalam hal ini pemerintah memiliki tugas untuk memastikan bahwa seluruh warganya bisa mencari nafkah dengan aman. Selanjutnya, pemerintah tidak saja dituntut untuk menghasilkan jalan keluar yang bersifat win-win solutions, namun juga harus berpandangan ke depan dengan mempertimbangkan bentuk masa depan transportasi yang bersesuaian dengan pergeseran atau perubahan prilaku yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian maka pengaturan baru akan juga berwawasan kedepan dan kompatibel dengan perubahan prilaku yang kini terjadi di masyarakat.
Mempertimbangkan skalanya, pengaturan terhadap transportasi jalan online memang sudah diperlukan. Hal itu merupakan alasan tambahan di luar dari tekanan tuntutan regulasi yang dilayangkan oleh para praktisi transportasi konvensional. Untuk bisa mengatur sesuatu dengan baik, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memahaminya. Memahami moda angkutan online dan kekhasannya jelas diperlukan sehingga pengaturan yang akan datang tidak lantas condong kepada tuntutan satu pihak saja, melainkan melayani kemaslahatan umum.
Memahami Kelebihan Jasa Transportasi Online
Memahami
kelebihan jasa transportasi online tidak mungkin dilakukan tanpa kemauan untuk
melihat dasar-dasar yang melandasi keberhasilannya. Secara umum dasar-dasar
keberhasilan tersebut terdiri dari tiga hal, antara lain: Pertama, persoalan di dalam bisnis transportasi konvensional; Kedua, kemajuan di bidang teknologi
informasi; dan Ketiga, perubahan
prilaku masyarakat yang dimotori oleh Generasi Millenial, yang menyebabkan
tingginya akseptabilitas masyarakat terhadap jasa transportasi ini. Penulis
sendiri berpendapat bahwa pemahaman akan dasar-dasar keberhasilan ini pada
gilirannya akan membuat kita memahami kerumitan pemerintah dalam upaya untuk
meregulasi bidang ini.
Pesatnya
pertumbuhan penduduk serta stagnannya infrastruktur transportasi merupakan persoalan
yang umumnya dihadapi oleh kota-kota besar di dunia. Namun justru faktor-faktor
inilah yang menjadi premis keberhasilan usaha angkutan jalan online. Studi di beberapa kota besar di dunia
seperti Dublin, Paris, Munich, dan Barcelona, menunjukkan bahwa stagnasi dan
lambannya pertumbuhan infrastruktur, dalam hal ini angkutan dan sarana
pendukung seperti jalan, memicu kenaikan tarif serta penurunan kualitas
pelayanan jasa transportasi.[9]
Kenaikan tarif umumnya disebabkan oleh meroketnya permintaaan akan jasa yang
tidak diimbangi oleh ketersediaan angkutan, sedangkan penurunan kualitas
layanan lebih banyak disebabkan oleh memanjangnya waktu yang dibutuhkan untuk
memperoleh jasa angkutan sebagai akibat langsung dari terbatasnya infrastruktur
jalan. Inilah persoalan-persoalan yang dalam kesehariannya harus dihadapi oleh
para praktisi di bisnis transportasi konvensional.
Merujuk
kesejarahannya, jasa angkutan online pertama kali muncul di Amerika Serikat
sekitar tahun 2010. Perusahaaan yang pertama kali memperkenalkan model jasa
transportasi online adalah Uber. Hingga saat ini Uber masih dianggap sebagai perusahaan
transportasi online yang paling menonjol di bidangnya dengan taksiran valuasi
usaha mencapai 17 milyar USD.[10]
Namun kehadiran Uber sebetulnya memiliki arti yang lebih besar dari itu, Uber
adalah perusahaan yang mengubah wajah transportasi perkotaaan di dunia. Lantas
apa sebenarnya yang menjadi kunci sukses Uber?
Pada
permulaannya Uber merupakan transportation
network company yang memanfaatkan izin para sopir taksi untuk menunjang
jasa ridesharing atau “jasa berbagi
tumpangan” yang diperkenalkannya. Pada perkembangannya, Uber tidak hanya
memanfaatkan kendaraan taksi dan para pengemudinya, namun juga meluncurkan
layanan transportasi yang melibatkan sopir-sopir di luar supir taksi berlisensi.[11]
Gagasan utama dibalik usaha Uber adalah untuk mengintegrasikan mobile application kedalam praktik dunia
usaha transportasi, dimana calon penumpang dapat terhubung langsung melalui mobile application dengan para sopir
yang menyediakan jasa angkutan berbayar. Pemesanan angkutan sendiri dilakukan
dengan cara mengirim pesan SMS atau dengan menggunakan aplikasi di smartphone. Uniknya,
pada masa awal kemunculannya ini, mobil-mobil yang digunakan termasuk dalam
kategori mobil mewah seperti BMW 7 Series dan Mercedes-Benz.[12]
Integrasi atau penyatuan mobile
aplication kedalam praktik transportasi merupakan inovasi terpenting yang
memicu munculnya berbagai inovasi usaha lainnya dalam ruang lingkup bisnis ini.
Integrasi ini memberikan kemudahan yang dicari konsumen. Dengan hanya menekan
tombol pada layar smartphone maka mereka bisa dengan segera mendapatkan layanan
transportasi. Arti penting dari integrasi ini adalah terciptanya konektivitas
yang secara efektif menyederhanakan hubungan permintaan-penawaran di dalam
pasar transportasi. Implikasi nyata dari integrasi mobile application kedalam praktik riil bisnis transportasi tidak
hanya berkisar pada terbangunnya konektivitas, namun lebih jauh dari itu
integrasi ini juga membantu menciptakan transparansi informasi yang melahirkan efisiensi
di dalam produksi jasa transportasi. Lantas bagaimana persisnya hal itu bisa
terjadi?
Sebagaimana luas
diketahui, perkembangan komersialisasi carsharing
atau ridesharing service yang
dipelopori Uber pada dasarnya tak bisa dilepaskan dari sumbangsih Google. Pada
tahun 2005, Google meluncurkan aplikasi pemetaan dan penjadwalan transit secara
online yang diberi nama Google Transit. Setahun kemudian atau pada tahun 2006,
Google mengintegrasikan layanan ini kedalam aplikasi Google Maps. Menjelang
akhir tahun 2006, lima perusahaan agensi transportasi di Amerika mengintegrasikan
data perjalanan yang mereka miliki ke dalam aplikasi Google Transit. Sebagai hasilnya,
aplikasi ini mampu memetakan perjalanan secara online serta sanggup melakukan
penjadwalan perjalanan secara real time yang mencakup lima kota besar di Amerika
Serikat, yaitu di Honolulu, Pittsburgh, Seattle, Tampa Eugene, dan Oregon. Perkembangan
berikutnya pada bidang ini terjadi pada bulan Juni 2008, dimana sebanyak 50 perusahaan
transportasi yang beroperasi di 50 kota di seluruh dunia memutuskan untuk mengintegrasikan
data perjalanan yang mereka miliki ke dalam aplikasi Google Transit. Sebagai
hasilnya pada awal tahun 2013, Google mengumumkan bahwa mereka berhasil menciptakan
data perjalanan online yang mengcover 500 kota di dunia dan bisa diakses serta
dimanfaatkan secara terbuka oleh siapapun (open
source transit data).[13] Tersedianya open source transit data pada praktiknya juga mencakup data real time lokasi kendaraan dan data
tentang jarak perjalanan. Lantas apa arti dari semua ini terhadap dunia
transportasi?
Dalam praktik
pemanfaatannya, open source transit data
secara sistematis memungkinkan terjadinya dua hal berikut, yakni (1) memungkinkan
dilakukannya pemetaan perjalanan secara online, dan (2) memungkinkan penjadwalan
perjalanan secara real time di setidaknya 500 kota di seluruh dunia.
Secara hipotetis,
ketersediaan data perjalanan yang bersifat open source akan mampu menciptakan
situasi informasi yang simetris, yang pada gilirannya akan menghasilkan
transparansi, dan pada akhirnya melahirkan efisiensi. Contoh praktisnya
misalkan ketika kostumer memiliki data perjalanan yang menyatakan bahwa dia
telah dilayani perusahaan transportasi untuk jarak 10 kilometer, maka harga
jasa yang harus dia bayar adalah sejumlah itu. Situasi ini sangat berbeda
dengan metode pentarifan taksi konvensional, dimana tidak ada data real time
perjalanan yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Dalam kasus seperti ini, tidak
adanya kesamaaan informasi dalam bentuk data perjalanan yang diketahui oleh
kedua belah pihak (data perjalanan yang transparan/sama/simetris), menjadi penyebab
terjadinya inefisiensi dalam jasa transportasi taksi konvensional. Sebagai
catatan, inefisiensi sejenis juga terjadi pada jenis angkutan ojek
konvensional, dimana umumnya pengojek menerapkan metode “penetapkan harga di
pangkalan”.
Tersedianya data
perjalanan yang bisa diakses secara luas pada dasarnya tidak akan berarti
apa-apa apabila sistem pendukungnya –dalam hal ini sistem networking– belum
terisntalasikan secara memadai. Sistem networking yang baru ini pada dasarnya
terdiri dari tiga struktur yang utama, yakni (1) jaringan internet, (2) perangkat
penunjang pemanfaatannya seperti smartphone, dan (3) pemanfaatannya yang luas
oleh manusia.
Pada tahun 2008
hingga 2009, atau tahun-tahun menjelang lahirnya Uber, pemanfaatan jaringan
internet berkecepatan tinggi serta penggunaan smartphone sudah lazim dilakukan
di Amerika Serikat. Bahkan jauh sebelumnya, data penelitian menunjukkan bahwa antara
tahun 2000 hingga 2002, presentasi orang dewasa di Amerika Serikat yang
menggunakan internet meningkat dari 46 persen ke 82 persen. Demikian pula
halnya dengan persentase kepemilikan telepon seluler yang meningkat dari 53
persen menjadi 88 persen. Akses warga Amerika kepada sistem internet
berkecepatan tinggi pun meningkat dari 5 persen menjadi 70 persen pada tahun
2012. Bahkan di tahun 2015 diketahui bahwa setengah dari warga negara Amerika
Serikat memiliki smartphone dimana 90 persen diantaranya dimanfaatkan untuk berinteraksi
di social media.[14]
Satu hal lagi
yang harus disinggung dalam hal ini adalah munculnya fenomena e-commerce sebagai kelanjutan evolutif
dari praktek ber-social media.
Interaksi sosial dalam balutan intenet dalam kenyataannya juga memungkinkan
orang untuk melakukan aktivitas ekonomi dalam cara-cara yang baru. Secara
statistik, terhitung sejak 2012, di Amerika Serikat saja aktivitas belanja
online–yang sebagian besarnya dilakukan dengan memanfaatkan smartphone—mengalami
peningkatan sebesar 80 persen per tahunnya.[15] Dalam
analisisnya, Dutzik memaknai angka-angka statistik ini dengan menyatakan bahwa
“Generasi Millenial tampaknya menyambut positif gagasan sharing economy, lebih terbuka untuk mencobanya, dan lebih
optimistis terkait masa depannya”.[16] Di
titik ini kita bisa menyebut bahwa antara tahun 2010 hingga 2015, praktik
e-commerce (yang ditunjang oleh semakin luasnya penggunaan smartphone serta
makin tingginya tingkat pemanfaataan jaringan internet berkecepatan tinggi)
sudah menjadi bagian dari praktik kehidupan sehari-hari yang lazim dilakukan di
seluruh dunia.
Bagi masyarakat
awam, implikasi-implikasi konkrit dari munculnya perkembangan-perkembangan ini
mungkin belum sepenuhnya bisa disadari, namun tidak demikian halnya bagi
seorang analis pasar yang profesional. Tren-tren seperti tren peningakatan penggunaan
smartphone, tren pemanfaatan internet, serta tren peningkatan aktivitas belanja
online (e-commerce) bisa jadi merupakan peluang bisnis yang sangat
menguntungkan, dan memang demikianlah adanya. Dalam hal ini, Uber sebagai
kelompok usaha baru, berhasil mengkreasikan produk layanan transportasi yang
didasari bacaan atas perubahan-perubahan prilaku sehari-hari dalam praktik
kehidupan masyarakat dunia—khususnya Generasi Milenial.
Sekedar untuk
mensistemasi temuan penelitian, pada dasarnya landasan utama dari jasa
transportasi online terdiri dari kombinasi antara luasnya penggunaan
smartphone, jaringan internet, dan e-commerce (yang merupakan dimensi ekonomi
dari praktik berjejaring sosial dengan berbasis pada pemanfaatan jaringan
internet). Kombinasi tersebut pada gilirannya berhasil menciptakan konektivitas
dan efisiensi yang mana merupakan hal sangat penting dalam praktik ekonomi. Dengan
kombinasi ini terjadi penyederhanaan pada rantai pasokan dan permintaan (demand
and supply chain) di bisnis transportasi. Sebagai contoh, generasi milenial berpandangan
bahwa menggunakan handphone merupakan alternatif yang memberi kemudahan kepada
mereka untuk menjalin koneksi dengan pihak-ihak yang mereka butuhkan, termasuk
misalnya ketika mereka membutuhkan jasa layanan pengangkutan. Bagi generasi ini
tindakan menunggu di pinggir jalan untuk terkoneksi dengan jasa layanan
transportasi mungkin sudah dianggap tidak efisien lagi. Sebelum adanya layanan
transportasi online, boleh jadi tindakan inilah yang dianggap paling efisien
untuk terkoneksi dengan layanan transportasi. Namun cara untuk terkoneksi
tersebut kini sudah dianggap sudah tidak efisien lagi. Apa yang ingin
digarisbawahi di titik ini adalah bahwa pemanfaatan transportasi online pada
dasarnya harus dilihat sebagai implikasi langsung dari perubahan gaya hidup
yang dirasakan telah memberi kemudahan-kemudahan tertentu, atau gaya hidup yang
dianggap lebih efisien.
Selain efisien dari
sudut pandang gaya hidup, efisiensi pun terjadi dalam sudut pandang ekonomi.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, open
source transit data atau “data
perjalanan yang bisa diakses oleh siapapun secara real time” memberikan efek
efisiensi yang sangat besar terhadap praktik jasa transportasi. Secara ekonomi,
kemampuan untuk menghitung secara akurat data jarak perjalanan yang
disumbangkan Google –data ini pada praktiknya dimanfaatkan oleh
aplikasi-aplikasi pemesanan transportasi– memicu terjadinya kesetaraan
informasi di dalam dunia transportasi. Siapapun, selama dia memiliki jaringan
internet dan alat untuk mengaksesnya, bisa memperoleh data perjalanan yang
telah terumuskan dengan level akurasi yang sangat baik. Keterbukaan informasi
ini membuat penentuan tarif layanan tranportasi menjadi lebih efisien atau
mendekati biaya produksi riilnya. Hal ini diakui banyak pihak menjadi salah
satu keunggulan usaha transportasi online.
Hal yang juga
perlu disinggung dalam rangka untuk memahami kelebihan moda transportasi online
adalah keunggulan layanan. Keunggulan layanan pada dasarnya juga tidak bisa
dilepaskan dari jaringan internet. Dalam aplikasi yang dirancang khusus oleh
Uber di periode awal kemunculan bisnis ini berisikan semacam kuisioner
elektronik yang berfungsi sebagai alat untuk mengevaluasi praktik layanan yang
secara sukarela bisa diisi oleh konsumen. Pada dasarnya model evaluasi ini
merupakan perluasan dari paradigma “berpusat pada kepuasaan pelanggan” (costumer centre paradigm) dalam ilmu
ekonomi pemasaran. Metode evaluasi itu pada dasarnya sederhana saja yakni dengan
menggunakan metode rating pengendara. Jika sang sopir di-rate tinggi oleh
pelanggan maka sopir tersebut dipastikan telah memberikan pelayanan yang prima,
sebaliknya jika rate-nya rendah, maka sang pengendara bisa saja diberhentikan
dari keanggotaannya dalam komunitas ridesharing Uber. Kenyamanan, waktu yang
dibutuhkan ketika mengakses layanan, harga, kebersihan, merupakan
indikator-indikator rating yang digunakan Uber. Mengingat Uber merupakan
pioneer di bidang ini, maka tidaklah mengherankan jika aplikasi-aplikasi
sejenis di seluruh dunia menerapkan standar yang relatif sama dalam
aplikasi-aplikasinya.
Makin
memasyarakatnya pemanfaatan internet, e-commerce, dan penggunaan smartphone
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan akseptabilitas bisnis transportasi
online. Perubahan prilaku –dalam hal ini sebut saja prilaku generasi milenial–
harus menjadi bahan pertimbangan para pembuat regulasi. Generasi ini mempunyai
cara-cara yang khas dalam kesehariannya dan dalam memenuhi kebutuhannya.
Merujuk pada transportasi online, adalah prilaku dari generasi ini yang pada
dasarnya berhasil menciptakan efisiensi dalam dunia transportasi di
perkotaan.
Oleh Iwa Inzagi
[1] Sergiy Golovin, The Economics of Uber, 2004, hal: 3
[2] Ibid., halaman: 3-4.
[3] Ibid., halaman: 2.
[4] Alan Hunter, The Regulatory
Battles Uber Faces in 2017, New York, Legal Analysistech, 2017, halaman:
27. Selain dari hasil analisis Hunter, kesimpulan ini ditarik dari penelitian
terhadap pemberitaan-pemberitaan di media nasional terkait aksi penentangan
transportasi online.
[5] Op. Cit, Sergiy Golovin, hal 3.
[6] Penelitian ini telah mengkompilasi alasan yang dipergunakan dalam
unjuk rasa menentang operasional transportasi jalan online. Seluruh data
diperoleh dari berita-berita yang memuat unjuk rasa menentang transportasi
online. Tren pada data yang terkumpul menunjukkan bahwa alasan turunnya
pendapatan usaha menjadi alasan utama yang paling sering muncul dalam
pemberitaan. Sungguh sayang pemberitaan-pemberitaan tersebut tidak dilengkapi
dengan data mengenai penurunan keuntungan yang bisa diandalkan.
[7] Meskipun pandangan seperti ini mungkin saja benar dan akurat, namun
kita juga bisa mengajukan pertanyaan mengenai apakah terciptanya lapangan
pekerjaan baru ini juga berdampak secara langsung terhadap timbulnya sejumlah
pengangguran baru? Karena kita semua tahu bahwa pada praktiknya apa yang
disebut dengan lapangan pekerjaan baru sebetulnya mungkin lebih merupakan
pergantian personalia dalam industri transportasi, dimana pengemudi lama yang
bernaung di bawah panji perusahaan transportasi konvensional secara tidak
langsung digantikan oleh para pengemudi baru yang bernaung di bawah payung
perusahaan yang baru. Pendapat ini bersifat hipotetik, dan oleh karenanya
memerlukan kajian lebih jauh
[8] Dalam beberapa pemberitaan, penelitian menemukan bahwa salah satu
retorika yang digunakan oleh para pelaku yang bergelut di bidang transportasi
perkotaan adalah retorika mengenai keamanan dalam berusaha. Lihat dalam
[9] Opcit, Golovin., hal: 7
[10] Eugene Suslo, History of Taxy
Industry, 2010, halaman: 4.
[11] Untuk menjadi supir taksi, di berbagai negara diatur secara ketat. Aturan
tersebut tidak saja ditujukan untuk melindungi konsumen namun juga berkaitan
dengan perlindungan terhadap sopir atau pengendara. Selain untuk perlindungan,
aturan ini pun terkait dengan UU tenaga kerja aktif, misalnya di Swedia.
Sebagai implikasinya, sopir dianggap sebagai profesi yang diakui negara.
Penghasilan para sopir pun akhirnya dikenai pajak penghasilan. Pajak atau
kontribusi warga dalam ekonomi nasional inilah yang kemudian menjadi landasan
negara dalam memberikan jaminan sosial dalam berbagai bentuk seperti jaminan
ketenagakerjaan, jaminan purna kerja. Lihat dalam Gosta-Esping Andersen, Why we need a new Welfare State, 2000.
[12] Eugene Suslo, History of Taxy Industry, 2010. Hal 4-8
[13] Mengenai hal ini selengkapnya bisa dibaca dalam: Tony Dutzik, Travis
Madsen, dan Phineas Baxandall, A New Way to Go: The Transportation Apps and
Vehicle-Sharing Tools that Are Giving More Americans the Freedom to Drive Less,
Frontier Group, USA, 2013, halaman 22.
[14] Tony Dutzik, Travis Madsen, dan Phineas Baxandall, A New
Way to Go: The Transportation Apps and Vehicle-Sharing Tools that Are Giving
More Americans the Freedom to Drive Less, Frontier Group, USA, 2013,
halaman 8-10.
[15] Ibid., halaman: 11-12.
[16] Ibid., hal:11. Catatan:
“Generasi Millenial” adalah generasi yang lahir antara tahun 1983-2000.
Generasi ini juga sering disebut dalam istilah “Generasi Y”.
No comments:
Post a Comment