Kita ‘telah’, ‘tengah’ dan selalu ‘akan’ berubah! Perubahan selalu merupakan jalan sekaligus tujuan dalam dirinya. Kondisi kita, dengan demikian, selalu berada di dalam keadaan ‘menjadi’; always in the making.
Serentetan kalimat pendek barusan adalah aksioma sosial yang sulit diungkit sifat kukuh kedudukannya. Oleh karena itu, akan kurang artinya menyelenggarakan diskursus publik di lokus persoalan seperti tadi. Kemungkinan mendiskusikan perubahan sosial kearah ‘kewargaan yang baik’ baru akan mungkin bermakna jika dikemukakan di dalam konteks: akan ‘kemana’ dan ‘kedalam’ apa kewargaan kita ‘akan berubah’? Pilihan itulah yang coba kami sampaikan melalui edisi pertama Bulletin Virtu dan juga di dalam seminar ini.
Membicarakan akan ‘kemana’ mungkin akan lebih mudah dimulai ‘darimana’. Dengan kata lain, pertanyaan terbuka yang mungkin dikemukakan disini adalah: Darimana semua ini bermula, dan sejak kapan? Bagaimana sifat perubahannya? Dan lantas, mungkinkah kita menduga kemana sebaiknya perubahan itu dinavigasikan, sembari sekaligus berupaya meraba konsekuensi sosial-ekonomi-politik dibalik pergeseran fundamental yang dihasilkan gerakan ini terhadap situasi kewargaan kontemporer kita.
Dalam kedirian kami, pada dasarnya kita masih mungkin menjawab rentetan pertanyaan tadi dengan pertama-tama memperhatikan dan untuk lalu menganalisa ‘momen patahan’ yang terjadi dalam sejarah kepolitikan kita, yakni kedalam dan didalam fenomena Gerakan Reformasi yang terjadi pada tahun 1998.
Gerakan Reformasi 1998 telah merombakkan secara total arsitektur sistem penanda kepolitikan dalam matriks kewargaan kita. Perubahan radikal dalam terang arti ‘rombakan sangat mendasar’ ini mewujud dalam rupa beralihnya seluruh sistem tatanan simbolik logika kekuasaan otoritarian Orde Baru kedalam kebaruan tatanan simbolik logika kekuasaan orde reformasi yang sifat legitimasinya semestinya demokratis.
Mari sedikit lebih agak kedalam lagi melihatnya. Begini: selalu ada ‘cacat bawaan’ dalam setiap upaya simbolisasi, tak terkecuali di dalam seluruh tatanan simbolik logika kuasa sistem pemerintahan otorirarian. Cacat bawaan ini kira-kira bisa dirumuskan kedalam formula berikut: ‘pemerintahan diselenggarakan oleh hanya sedikit orang’, dan oleh karena cacat bawaannya ini, maka ‘kinerja dan performa negara demikian bergantung pada ‘kinerja segelintir elit’. Jadi, jika kinerja elit buruk maka ambruklah kinerja negara dan apabila kinerja segelintir elit baik, maka baiklah kinerja/performa negara--dan kemudian kredit dengan serta merta akan mengalir ke rekening politik elit. Tapi nyatanya hal itu tidak terjadi, dan Gerakan Reformasi berhasil mengkonfirmasi dan bahkan mampu melampaui seluruh cacat bawaan yang diidap sistem penanda kekusaan orde baru yang sedang kita bicarakan ini.
Lantas, cacat simbolik apa yang berhasil dilampaui oleh gerakan ini? Mari kita lihat: berbanding terbalik dengan logika sistem politik otoritarian, ideal sistem politik pasca gerakan reformasi mengandaikan pemerintahan mestinya diselenggarakan secara demokratis, atau bisa juga kita ringkaskan kedalam formula: ‘mestinya pemerintahan diselenggarakan oleh banyak orang’. Lantas apa akibat yang timbul dari sifat peralihan fundamental ini? Konsekuensi terkemudian dari logika penandaan seperti ini, terutama terhadap kinerja negara, adalah bahwasannya, kini, kinerja/performa negara akan demikian bergantung pada baik-tidaknya kinerja individual warga. Karena kini, pemerintahan tidak lagi diselengarakan oleh ‘segelintir elit’ melainkan oleh ‘banyak orang’ yang terdiri dari satuan individu yang teratribusi penandaan politik sebagai ‘warga’ dari republik yang demokratis.
Dalam terang pikir tatanan penanadaan seperti ini maka ‘publik’ atau ‘warga’ baru mungkin absah sebagai faktor konstitutif dari tegaknya negara. Dan dalam logika seperti ini pula ucapan legendaris dari John F. Kennedy itu terasa kena: “Jangan tanyakan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu bisa berikan kepada negara”.
Namun disini pulalah letak soalnya. Dengan lain kata, mampukah ‘warga’ memikul tugas-tugas kewargaanya? Sanggupkah ‘warga’ mengenali kebaruan sistem penanda yang kini terlekatkan pada dirinya? --yang pada dasarnya merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari peralihan sistem identifikasi politik ini. Dan mampukah, untuk kesekian kalinya, manusia-manusia Indonesia ini menunaikan tugas yang muncul dari the reign of symbolic kekiniannya, yakni sebagai ‘warga’. Yakni untuk menemukan kebaruan situasi yang sama-sama kita imagikan sebagai keindahan pikiran mengenai keadilan, kesejahteraan, kebebasan, dan persaudaraan yang diselengarakan bersama-sama di dalam ruang publik bernama NKRI.
Persis di titik inilah agenda advokasi Lembaga Pemberdayaan Warga (LPW) Citizens Institute dilangsungkan, yakni demi melampaui dan untuk senantiasa berpenetrasi kedalam keutuhan penanda sebagai ‘warga’ yang terlihat masih centang perenang memikul tugas pasca peralihan sistem penanda kuasa Orba ke Era Reformasi yang mestinya demokratis dan bertumpu kepada warga sebagai subyek-subyek par excellent. Dengan cara itu kami memperkenalkan dan membuka diri. Salam Citizens!
Persis di titik inilah agenda advokasi Lembaga Pemberdayaan Warga (LPW) Citizens Institute dilangsungkan, yakni demi melampaui dan untuk senantiasa berpenetrasi kedalam keutuhan penanda sebagai ‘warga’ yang terlihat masih centang perenang memikul tugas pasca peralihan sistem penanda kuasa Orba ke Era Reformasi yang mestinya demokratis dan bertumpu kepada warga sebagai subyek-subyek par excellent. Dengan cara itu kami memperkenalkan dan membuka diri. Salam Citizens!
Direktur LPW Citizens Institute
No comments:
Post a Comment