Status Super Ego
Pembangunanisme
Sebelum saya memberikan konteks kedalam
tulisan ini, pertama-tama saya ingin memberikan sedikit alasan terkait motif
dibalik mengapa saya menuliskan hal ini, dan mengapa saya memilih mempublikasikan opini ini di blog pribadi. Bagian pertama ini hanya akan bercerita tentang motif. Mengenai konteks dari perdebatan
sebagaimana terlihat di dalam judul utama tulisan saya simpan di bagian kedua.
Jika anda sedang terburu-buru mencari 'polemik' yang saya maksudkan, maka
dengan rendah hati saya sarankan untuk langsung lompat ke bagian kedua dari
tulisan ini.
I
Sama seperti warga Indonesia biasa lainnya,
saya pun dihidupi motif serta harapan-harapan lugu yang sama, yaitu tertarik
oleh selarik cahaya hasrat untuk melibatkan diri kedalam diskursus kepolitikan
Indonesia terkini.
Saya kira, siapapun yang hidup dalam
bios politicos NKRI mewarisi beberapa kesamaan yang kurang lebih seragam. Yaitu
bahwa (1) kita memiliki kesan negatif pada negara; (2) memiliki perasaan
negatif pada pemerintah; (3) mengidap satu penyakit yang hadir bagai mimpi
buruk, jauh mengendap di kedalaman alam bawah sadar, dalam bentuk teror mental, yang berbisik tentang satu gagasan sederhana bahwa kita hidup di “negara-terbelakang”.
Sama sebagaimana warga negara biasa
lainnya, yang merubah dan dirubah oleh negeri ini, pada akhirnya saya pun hidup
dengan keresahan dan keinginan yang sama. Dalam satu ungkapan matematis saya + anda = kita. Kita adalah orang-orang Indonesia yang memuja kemajuan dan
kejayaan, lebih dari apapun. Saya akan mengajukan satu contoh sekedar
untuk memberikan sedikit kejelasan terhadap klaim yang kurang mengenakkan perasaan itu.
Begini:
Jika saya menemukan sesama yang sebangsa dengan saya, dan ia misalnya sedang berkompetisi di ajang Internasional, dan lantas memenangkannya, maka penyakit glorifikasi akan kejayaan itu tiba-tiba saja kambuh dan menguasai perasaan atau ego saya. Dengan menyaksikan itu, saya misalnya jadi bisa ikut merasakan, turut mengalami kesenangan, yang sifatnya sangat nyata dan sensoris saat pemain bulu tangis asal Indonesia ini mentahbiskan dirinya sebagai seorang juara di ajang All England. Saya juga misalnya merasakan exited dengan kenyataan bahwa Rio Haryanto berhasil menyejajarkan dirinya diantara para elit di ajang F1. Saya kira perasaan yang sama juga yang dialami para awak media ketika memberitakan seorang anak Indonesia berhasil memencet tuts-tuts piano di ajang Grammy Awards yang baru lalu. Kesemuanya itu mungkin saja merupakan symptom dari penyakit yang sama, yang saya disebut dengan “keterbelakangan-complex”.
Jika saya menemukan sesama yang sebangsa dengan saya, dan ia misalnya sedang berkompetisi di ajang Internasional, dan lantas memenangkannya, maka penyakit glorifikasi akan kejayaan itu tiba-tiba saja kambuh dan menguasai perasaan atau ego saya. Dengan menyaksikan itu, saya misalnya jadi bisa ikut merasakan, turut mengalami kesenangan, yang sifatnya sangat nyata dan sensoris saat pemain bulu tangis asal Indonesia ini mentahbiskan dirinya sebagai seorang juara di ajang All England. Saya juga misalnya merasakan exited dengan kenyataan bahwa Rio Haryanto berhasil menyejajarkan dirinya diantara para elit di ajang F1. Saya kira perasaan yang sama juga yang dialami para awak media ketika memberitakan seorang anak Indonesia berhasil memencet tuts-tuts piano di ajang Grammy Awards yang baru lalu. Kesemuanya itu mungkin saja merupakan symptom dari penyakit yang sama, yang saya disebut dengan “keterbelakangan-complex”.
Pasca tersadar dari semacam bius
kolektif itu maka saya pun mulai bertanya: zat adiktif apa sih yang sebenarnya sudah diinjeksikan kepada tubuh kita itu? Dengan rumusan yang lebih metaforis: mimpi buruk apa sih yang telah diproyeksikan ke alam bawah sadar kita? Apa sih isi pesan sederhana yang dibisikkan ke telinga kita pada saat kita tidur terlelap dalam buaian Ibu pertiwi?
Apabila kita menerima satu posisi bahwa
ego sebetulnya dihasilkan dari pengalaman sehari-hari (dari pengalaman baca, pengalamam
berdiskursus dlsb), maka pengalaman-pengalaman persepsional itu sebetulnya juga turut berkontribusi dalam menghasilkan
satu konfigurasi cara berpikir tertentu yang khas Indonesia. Terhadap itu maka pertanyaan yang mungkin sekali kita ajukan di titik ini adalah: diskursus-diskursus seperti apa
sih yang diedarkan di Indonesia selama ini?
Pertanyaan berikutnya adalah, jika diskursus itu memang sudah sepenuhnya difahami, maka kemanakah negara ini selanjutnya mau dibawa? Terutama setelah diskursus terkait problematisasi itu selesai diinjeksikan ke benak publik.
Pertanyaan yang terakhir yang cukup penting diajukan adalah sebetulnya bagaimana sih rupa dan bentuk-bentuk ide solutif yang kini sudah bersifat definitif sebagai jalan pemajuan Indonesia tersebut?
Pertanyaan berikutnya adalah, jika diskursus itu memang sudah sepenuhnya difahami, maka kemanakah negara ini selanjutnya mau dibawa? Terutama setelah diskursus terkait problematisasi itu selesai diinjeksikan ke benak publik.
Pertanyaan yang terakhir yang cukup penting diajukan adalah sebetulnya bagaimana sih rupa dan bentuk-bentuk ide solutif yang kini sudah bersifat definitif sebagai jalan pemajuan Indonesia tersebut?
II
Pasca seluruh proses yang lumayan berliku-liku itu, lalu munculah ilham di kepala saya. Meminjam istilah yang sering digunakan Profesor Tommy Awuy– Ilham itu bekerja seperti halnya tremendum. Yaitu satu glimps yang membuat seseorang jatuh kedalam keterpesonaan yang besar. Keadaan tremendum semacam itu misalnya kita jumpai saat secara kebetulan kita menemukan wanita yang sangat cantik, yang dengan kecantikannya itu membuat kita sejenak melupakan jenis-jenis kecantikan yang lainnya.
Tramendum atau Ilham ini pun bekerja dengan cara yang kurang lebih sama. Lalu kemudian tampil begitu jelas di kepala. Dan kita pun tercekat pada kesederhaan bentuk gagasannya. ketercengangan itu kira-kira kita ucapkan begini: "Ya, mengapa tidak!" yang seperti ungkapan "Wow cantik sekali dia!". Lalu jika saya masukkan kedalam konteks pembicaraan ini maka semuanya menjadi cukup masuk akal. Yang saya maksudkan dengan yang-sederhana itu sebenarnya adalah: “perasaan inferior” itu. Sebentuk perasaan imperior kolektif yang hampir mematikan kepercayaan diri kita semua. Perasaan yang sebetulnya telah meneror kita. Mimpi buruk yang kita benci. Dan pada titik tertentu "rasa ketidakpercayaan diri" ini hanya akan menavigasikan pikiran orang Indonesia ke satu titik saja: yaitu ke Pembangunan!
Ya, kenapa tidak? Hal itu logis dan wajar, dalam rumusan kausalitas seperti berikut ini:
Karena kita selalu didefinisikan dari luar sebagai “yang-terbelakang”, maka jalan keluarnya adalah “kita harus maju”. Dan karena kita “ingin maju” maka kita harus “bangkit” untuk “membangun” Indonesia.
Agaknya, dalam atmosfer perasaan semacam itulah kita akhirnya bisa menerima seluruh ‘normativitas kemajuan’, yang secara diskursif kita kenal dalam istilah “pembangunan” dalam disiplin pikir "pembangunanisme".
Karena kita selalu didefinisikan dari luar sebagai “yang-terbelakang”, maka jalan keluarnya adalah “kita harus maju”. Dan karena kita “ingin maju” maka kita harus “bangkit” untuk “membangun” Indonesia.
Agaknya, dalam atmosfer perasaan semacam itulah kita akhirnya bisa menerima seluruh ‘normativitas kemajuan’, yang secara diskursif kita kenal dalam istilah “pembangunan” dalam disiplin pikir "pembangunanisme".
III
Seperti anda perhatikan dari paparan di atas, di titik ini kita setidaknya akan menemukan adanya tiga layer yang masing-masingnya menjadi landasan mental dari ide-ide Pembangunanisme yang diedarkan didalam ruang diskursif Indonesia. Lapisan mental pertama adalah "rasa terbelakang". Lapisan mental kedua adalah "keinginan untuk maju". Sedangkan lapisan mental yang ketiga adalah “ini lho jalan kemajuan itu: "pembangunanisme".
Lantas mengapa semua itu harus mereka lakukan? Hal itu karena semua benih diskursus pembangunanisme hanya bisa tumbuh dengan wajar jika didasarkan kepada "keinginan untuk maju". Hasrat untuk maju juga harus sebangun dengan akutnya "perasaan terbelakang". Dan mungkin itu juga penyebabnya bahwa mayoritas kritik terhadap pembangunanisme mempertanyakan validitas asumsi-asumsinya, yaitu: "kenapa mesti membangun?", kenapa disebut negara-negara "dunia ketiga?", kenapa harus disebut dalam istilah negara-negara "miskin" dan "terbelakang"? dan seterusnya.
IV
Kini fantasi dari luar itu memang sudah kita klaim sebagai hasrat kita sendiri, yaitu super ego yang menandai satu corak perasaan kolektif manusia Indonesia yang menganggap “keterbelakangan” hanya bisa di atasi dengan "Pembangunan".
Namun, sebagaimana semua ego, status ego dari manusia Indonesia YANG MENGHASRATI PEMBNAGUNAN ini pun sebetulnya bersifat fantasmatik.[2] Kenapa? Karena ego mengenai bagaimana memajukan Indonesia yang kita terima adalah ego yang justru kita temukan di dalam suasana paksaan dan dominasi lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan kalimat lain juga, super ego pembangunanisme ini kita temukan bukan dalam terang kesadaran dan pilihan bebas, melainkan kita afirmasi di dalam suasana represi yang meneror mental dari kedalaman keterpukauan kita pada glorifikasi.
Saya kira itulah status genealogis dari fantasi-fantasi pemajuan ekonomi yang kini diterima sebagai bagian dari identitas Indonesia kontemporer, lengkap dengan super ego tentang cara bagaimana memajukannya, yakni dengan pembangunisme. Fenomena ini saya sebut dalam istilah “pembangunan complex”.
V
Dalam kaitannya dengan pemenuhan hasrat lugu
untuk maju itu, sangat disayangkan saya malah merasakan ke-enggan-an mempublikasikan
opini pribadi ini ke media mainstream —tentu saya mafhum bahwa frekuensi, surat
kabar, atau jaringan internet, pada dasarnya dimiliki secara bersama-sama dan seharusnya
tetap diperlakukan sebagai barang-barang publik, yang seyogianya bisa
dipergunakan untuk meraih tujuan-tujuan hidup di dalam rumah warga bernama NKRI. Lantas mengapa merasa enggan? Keengganan itu
lebih disebabkan karena posisi yang saya pilih sendiri berhadapan dengan posisi-posisi
media yang menurut saya kini dioperasikan dalam logika kerja kapitalisme
informasi, yang didasarnya bersembunyi hasrat dominasi yang kelam.
Jadi, jika saya mengirimkan tulisan saya ke media —tentu saja belum tentu dimuat juga, hehe— maka saya mungkin akan mencicipi hambarnya hipokrisi, karena persepsi saya terhadap media bertentangan dengan hasrat saya untuk terlibat secara ‘otentik’ di dalam tindakan yang oleh disebut Rawls sebagai “the duty of civility”.
Jadi, jika saya mengirimkan tulisan saya ke media —tentu saja belum tentu dimuat juga, hehe— maka saya mungkin akan mencicipi hambarnya hipokrisi, karena persepsi saya terhadap media bertentangan dengan hasrat saya untuk terlibat secara ‘otentik’ di dalam tindakan yang oleh disebut Rawls sebagai “the duty of civility”.
Oh, saya juga rasanya perlu menyinggung
sedikit mengenai duduk perkara dari logika kerja kapitalisasi informasi dan dominasi
selera oleh media ini. Saya kira memang perlu sedikit saya terangkan duduk
perkaranya, supaya tidak ada dusta diantara kita.
Pada praktiknya —sekali lagi dalam
pandangan saya yg sangat mungkin keliru— logika kerja media sudah seperti
terjebak kedalam perumpaan “senjata memakan tuannya”. Setiap hari media
menembakkan pelurunya, namun rupanya justru satu diantara peluru-peluru itu malah mengenai penembaknya. Sejak ia merasa tertembak, media mulai merasakan kehilangan kredibilitas, identitas dan raison d’etre-nya. Suatu saat nanti rasa kehilangan seperti itu akan sangat sulit ditanggungkan, karena kepercayaan adalah aset paling berharga dalam bisnis semacam ini.
Media akan kehilangan legitimasi sosial. Kehilangan yang akan sama artinya dengan hilangnya satu hal yang telah mengkonstitusi eksistensinya. Yaitu peranan media sebagai salah satu pilar dalam totalitas arsitektur bangunan masyarakat demokrasi modern.
Media, terutama sejak ia dikenai dan menerima pendefinisian sebagai pilar masyarakat modern menyandang beban tugas untuk menjalankan fungsi produksi, transmisi dan distribusi public reasons. Pendeknya, dengan melacurkan diri seperti ini maka secara esensial media sebetulnya sedang menyanyikan reliqui dari kematiannya sendiri.
Media akan kehilangan legitimasi sosial. Kehilangan yang akan sama artinya dengan hilangnya satu hal yang telah mengkonstitusi eksistensinya. Yaitu peranan media sebagai salah satu pilar dalam totalitas arsitektur bangunan masyarakat demokrasi modern.
Media, terutama sejak ia dikenai dan menerima pendefinisian sebagai pilar masyarakat modern menyandang beban tugas untuk menjalankan fungsi produksi, transmisi dan distribusi public reasons. Pendeknya, dengan melacurkan diri seperti ini maka secara esensial media sebetulnya sedang menyanyikan reliqui dari kematiannya sendiri.
VI
Saya juga sebetulnya kurang suka
memaknai situasi ini dengan sedemikian negatif. Namun apa boleh buat karena kenyataannya negara kita tidak sedang berada dalam proses transisi.
Bahkan, pasca gerakan Reformasi kita justru malah terlihat sedang kembali DIDORONG jatuh kedalam satu
proses kooptasi lebih lanjut dari kekuatan-kekuatan bermodal sangat besar yang memiliki jejaring lobi internasional, dengan efektifitas mencengangkan sekaligus
aneh —seaneh sebagaimana terjadi pada Amerika Serikat. Ringkasnya, ketidakpercayaan dan kekecewaan
yang begitu mendalam terhadap media pada gilirannya telah membuat saya memilih untuk mempublikasikan tulisan ini di blog pribadi.
Iwa Inzagi
[1] Fantasy
dalam tulisan ini merujuk pada satu konsep dalam Psikoanalisis Jacques Lacan. Konsep ‘fantasi’ yang sama
diartikan oleh Robertus Robet sebagai “apa yang The Others kehendaki untuk kita ingini”--sebuah
terjemahan yang saya terima dengan penuh rasa syukur. Dengan memperbantukan konsep fantasy, Lacan pada titik tertentu dalam
Psikoanalisanya, menempuh satu analisis yang diujungnya ia berikan kesimpulan
bahwa tak ada satu pun ego yang bersifat otentik.
[2] Ego
bersifat fantasmatik karena semua ego pada dasarnya telah tercemar oleh suplay
dari the others ( yang masuk melalui bahasa) pada saat kita berada dalam fase
cermin—dalam hal ini pada masa kita mempelajari diskursus kebangsaan di dalam
seluruh pengalaman hidup kita.