Bagian Kedua Hasil Riset Unggulan Bidang Ilmu (RUBI) Sosiologi | Universitas Negeri Jakarta (2011)
Daftar Pustaka
Oleh: Dr. Robertus Robet & Iwa Inzagi
Dewan Rakyat Lampung dan Pengalaman Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
Dewan Rakyat Lampung dan Pengalaman Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
1. Pengantar
Salah
satu cara untuk melihat bagaimana proses sosial berpengaruh sebagai proses
pembelajaran adalah dengan menemukan pengalaman konkret komunitas yang tumbuh
dan belajar dari pengalaman. Di titik ini penelitian ini bermaksud membuktikan
pandangan bahwa struktur obyektif manusia berelasi secara dialektis dengan
pengalaman subyektif manusia dan menghasilkan tindakan-tindakan yang memadai
untuk mengubah habitusnya.
Pengalaman
Dewan Rakyat Lampung berikut ini dipilih karena ia memberikan contoh sederhana
bagaimana tindakan dan kesadaran muncul tidak pertama-tama melalui kesadaran
yang secara langsung ditanamkan dalam kesadaran individual melainkan dibentuk
di dalam struktur
atau melalui proses sosial di mana individu hidup. Dengan demikian transformasi
dan kemajuan diperoleh individu justru melalui bidang pengalaman dan
tindakannya.
Penelitian
lapangan ini memilih organisasi Dewan Rakyat Lampung karena ia adalah salah
satu dari sedikit organsiasi berbasis warga yang masih terus bertahan dan
mempertahankan modus partisipasi langsung dan dari bawah. Penelitian pada
wilayah ini dilakukan selama dua bulan dengan mewawancarai tiga figur utama
yakni dua orang mantan sekjen dan satu orang pendiri sekaligus kepala biro
organisasinya. Selain wawancara dengan tiga tokoh kunci ini, penelitian ini
juga membasiskan diri pada data-data yang dikumpulkan melalui diskusi-diskusi
dan kelompok yang diselenggarakan oleh subyek penelitian.
2. Latar
Belakang
Dewan
Rakyat Lampung (DRL) adalah organisasi non pemerintah (Ornop) yang dibentuk
tanggal 12 Agustus 1998 melalui kongres yang diprakarsai berbagai unsur
masyarakat, meliputi kalangan aktivis, mahasiswa, pemuda, petani, buruh,
nelayan, tunanetra, tokoh agama, organisasi profesi, serta unsur-unsur
masyarakat lainnya.[1]
Koalisi yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat ini umumnya terdiri dari
kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindak-tanduk penguasa Orde Baru
yang otoriter dan baru saja terguling pada masa itu.
Visi
utama pendirian DRL adalah terbentuknya pemerintahan yang kekuasaannya berada
di tangan rakyat. Itulah makna harfiah Dewan Rakyat Lampung; rakyat yang
menentukan dan melaksanakan kebijakannya sendiri. Terkait garis besar tujuan
pembentukannya, DRL bertujuan menjadi wadah perjuangan rakyat dalam menegakkan
hak-hak ekonomi, politik, budaya secara demokratis dan berkeadilan serta
mengupayakan pemerintahan yang berpihak kepada masyarakat dengan
menitikberatkan kepada upaya pendidikan politik.[2]
“Posko itu ada 198. Dulu itu ada di
Kabupaten Kota Bandar Lampung, Kota Madya, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten
Lampung Utara, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah,
Lampung Timur… Tanggamus, Lampung Barat. Sepuluh Kabupaten, 198 Posko. Data
terakhir –waktu itu Gua pernah data tapi itu engga lengkap, kita memang
kekurangan tenaga dan engga ada logistik yah– kita hanya sempet mencetak kartu
anggota diakhir 1998 sampai sekarang –gua belum update– itu kita punya nggota itu 20.000 KK. Itu yang tercetak di
kartu anggota. Waktu itu semua belum tercover, belum semunya terdata. Nah, kenapa
waktu itu kita kasih kartu anggota? Karena kan jaman Orde Baru juga kan butuh
simbol-simbol. Nah kita kasih itu juga untuk mempersatukan mereka; ketika
mereka berjuang, ketika mereka bergerak, mereka punya identitas juga.”[3]
Pada
masa awal pendiriannya DRL tercatat memiliki sekitar 20.000 kepala keluarga
yang menjadi anggotanya, tersebar di 198 posko yang berbasis di desa-desa di 10
kabupaten pra pemekaran, antara lain: Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung
Utara, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Lampung Tengah,
Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Tanggamus, dan
Kabupaten Lampung Barat.
Secara
organisasional, struktur organisasi DRL pusat terdiri dari Presidium, Pengurus
Harian yang didukung 4 departemen, masing-masing: Departemen Advokasi,
Mobilisasi, Pendidikan dan Informasi serta Departemen Dana Usaha. Sedangkan di
level Posko Desa, struktur keorganisasiannya terdiri dari: Koordinator Posko
yang membawahi Departemen Organisasi, Advokasi, Mobilisasi, Pendidikan dan
Informasi, Dana Usaha dan Departemen Keamanan.[5]
“Jadi kalau di DRL itu disebutin struktur
organisasinya ada presidium, dipimpin olek ketua presidium, yang mewakili dari
dewan mahasiswa, dewan pemuda, dewan petani, dewan buruh. Di bawahnya ada
pengurus harian. Pengurus harian itu dibagi dengan departemen-departemen.
Departemen-departemennya adalah ada departemen organisasi, departemen
mobilisasi… departemen pendidikan dan informasi… terus ada departemen dana
usaha.. Nah, di bawahnya baru dibuat posko. Posko itu departemennya sama cuma
nambah satu. Jadi ada Ketua Posko, Koordinator posko namanya… ada ketua
departemen dana usaha, mobilisasi, pendidikan dan informasi, dan advokasi… Sama
di atasnya juga ada 5. Nah, satu ini yang beda, di pengurus harian itu engga
ada departemen keamanan..”[6]
Selain
karena perubahan radikal situasi politik nasional pasca tergulingnya Soeharto
serta segala konsekuensi yang mengiringinya, kelahiran DRL sendiri secara
spesifik sejatinya merupakan intisari dari upaya urun rembuk terkait banyaknya
pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat. Pangaduan-pengaduan tersebut
rata-rata disampaikan kalangan petani dengan mayoritas isi pengaduan menyangkut
masalah penggusuran tanah yang umum dilakukan di masa pemerintahan Orde Baru.
Tercatat sekitar 180 pengaduan resmi disampaikan masyarakat melalui Posko-Posko
Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung (Posko KMPPRL) yang sengaja
dibentuk di berbagai kampus di Provinsi Lampung. Posko KMPPRL inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya DRL.[7]
“Pintu masuk terbentuknya organisasi ini adalah
karena adanya problem masyarakat, karena ada masalah. Nah, masalah-masalah
itulah yang menjadi pintu masuk kita. Karena kita mau masuk ngasih pendidikan
kewarganegaraan, pendidikan politik, karena masyarakatnya dalam tanda kutip
engga ngerti maka kita kasih tau melalui cara-cara yang sederhana. Cara-cara
sederhana itu adalah dia yang kena masalah… masalahnya apa? Masalahnya adalah:
paling banyak atau sekitar 80 persen masalah itu adalah masalah petani, masalah
tanah. Kasus tanah akibat dari kebijakan Orde Baru… Pintu masuk pembuatan DRL
itu adalah lewat kasus. Ada sekitar 180 kasus pengaduan dari masyarakat. Di
jaman dulu kami itu punya tempat nongkrong di LBH Bandar Lampung… Dulu kami
buat namanya komite Mahasiswa Kampus, namanya keluarga mahasiwa (KM). Misalnya
ada KM UNILA dan KM-KM lainnya yang terus gabung menjadi satu, namanya KMPPRL
atau Komite Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung. Jadi setelah posko ini terbentuk
ternyata kasus banyak sekali yang masuk ke kampus-kampus. Kami inventarisir,
kami kumpulin semua yang bawa kasus itu. Yang paling banyak sekitar 80-90
persen itu adalah petani. Kita kumpulin, kita bahas bareng-bareng, kita dorong, kita ajak sama-sama untuk
menentukan pola perjuangan. Dari pembentukan ini… pada tanggal 12
dipersiapkanlah kongres dengan nama Kongres DRL. Nah Kongres DRL itu –sesuai
dengan rapat-rapat sebelumnya— disepakati untuk pembuatan posko-posko secara
besar-besaran di seluruh Lampung.”[8]
Segera
setelah dilakukannya inventarisasi masalah dan pembahasan atas berbagai
pengaduan masyarakat, pada tanggal 12 Agustus 1998 berbagai kalangan yang
melibatkan diri di Posko KMPPRL berkongres di Kantor Lembaga Bantuan Hukum
Bandar Lampung (LBH Bandar Lampung) dan pada akhirnya bersepakat membentuk
Dewan Rakyat Lampung. Agenda pertama pasca terbentuknya DRL ialah perumuskan
strategi perjuangan reclaiming tanah
dan pembentukan posko-posko DRL yang berbasis di desa-desa. [9]
3. Tindakan
sebagai Medium Pembelajaran
Dari
sekitar 180 pengaduan yang disampaikan masyarakat sebanyak 144 pengaduan atau
tidak kurang dari 80 persen diantaranya menyangkut masalah-masalah penggusuran
tanah oleh pemerintah. Atas kesepakatan bersama, DRL memutuskan untuk
mengadakan unjuk rasa besar-besaran pada bulan Sepember 1998 di Kantor Gubernur
Provinsi Lampung.
Tujuan
dari demonstrasi besar-besaran tersebut adalah mendesak pemerintah membentuk
Tim 13 yang diproyeksikan menjadi juru runding dari pihak masyarakat.
Demontrasi pun dilaksanakan dan selama dua hari kantor Gubernur Lampung
diduduki. Sebagai hasilnya Tim 13 pun akhinya terbentuk, dengan komposisi 8
orang dari pihak masyarakat dan 5 orang dari unsur pemerintah daerah (pemda).
“Pertama kali kita buat posko –dulu Gua masih mahasiswa
dan merangkap menjadi Ketua Litbang LBH Bandar Lampung, Kepala Divisi Tanah–
jadi ada deputi politik kedutaan Amerika itu datang ke LBH. Saat itu Gua berdua
dengan Ketua LBH Bandar Lampung. Dia tanya: adakah di Lampung ini tanah-tanah
Soeharto yang telah diambil alih oleh petani? Nah, kami berdua ini diam, yang
kami tahu engga ada di Lampung. Tetapi yang kami tahu di TV di beberapa kasus
di Jawa dan Jawa Barat itu diambil semua sama petani. Digarap lagi sama petani.
Nah, dari situlah muncul pikiran Gua waktu itu: kenapa engga kita ambil alih
aja tanah kaya begini? Bertahun-tahun kita advokasi kasus tanah, kerjaan kita
cuman ngadu ke DPR, ngadu ke pemerintah, baik ke gubernur, ke Pemda, maupun ke
Kabupaten; tugas-tugas kita hanya mediasi-mediasi dan dipertemukan aja. Tapi
engga pernah tanah itu kembali ke masyarakat. Lalu Gua diskusi dengan
temen-temen. Lalu kita bilang format berjuangnya harus kita rubah. Kalau dulu
pola berjuangnya lewat perundingan sekarang kita balik: dulu kita yang minta
berunding sekarang mereka yang harus minta berunding. Caranya gimana? Caranya
dalah kita dudukin dulu, kita ambilin tanahnya, namanya reclaiming. Baru kita ajak berunding mereka. Jadi taktiknya
berubah. Kenapa seperti itu? Karena situasi politiknya memungkinkan. Situasi
politik yang paling memungkinkan itu.”[11]
Berkaca
dari berbagai kegagalan gerakan masyarakat miskin yang pernah terjadi
sebelumnya, DRL melakukan perubahan taktik perjuangan dengan rumusan strategi
sebagai berikut: jika di masa lalu perundingan/mediasi dilakukan tanpa diiringi
tindakan apapun, maka kali ini mediasi tetap dilakukan namun dalam saat yang sama
diiringi gerak pendudukan atau reclaiming
atas tanah oleh masyarakat yang sebelumnya diakuisisi Orde Baru, di saat yang
sama masyarakat pun dilibatkan secara aktif untuk berpartisipasi dalam
keseluruhan prosesnya. Pelibatan masyarakat ini dimaksudkan agar masyarakat
mendapatkan pemahaman mengenai pentingnya pengorganisasian dan pendidikan
politik di dalam proses memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri
secara mandiri dan berkelanjutan. [12]
Selain
bertolak dari pengalaman kegagalan mediasi kasus-kasus tanah di masa lalu dan
juga dengan mengingat daya dukung logistik Ornop yang relatif terbatas, upaya
pelibatan masyarakat seperti ini pada gilirannya bernuansa strategis mengingat
tanpa terlebih dahulu mempersiapkan masyarakat yang mengerti secara mendasar
persoalan yang mereka hadapi dan terutama cara memperjuangkan kepentingannya,
maka sulit mengharapkan adanya kesinambungan yang berarti dari gerakan ini dan
dengan sendirinya akan berujung tanpa hasil seperti halnya terjadi di masa
lalu. Untuk itu upaya pengorganisasian dan upaya pendidikan politik adalah hal
krusial yang pertama-tama mesti dilaksanakan. Namun, melancarkan pendidikan
politik formal dalam kondisi seperti ini pun bukannya tidak mengandung
persoalan berarti.
Umum
diketahui bahwa kondisi kesadaran politik sebagian besar golongan tani di masa
itu pada umumnya betul-betul minim mengingat hampir selama 32 tahun rezim
secara efektif berhasil menutup saluran-saluran politik dan memandulkan kreasi
politik masyarakat melalui berbagai cara, mulai dari pelarangan berorganisasi,
pembatasan partai politik, dan tidak jarang melalui penangkapan dan penculikan
terhadap mereka yang berbeda haluan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Di
tengah kondisi sedemikian satu dari sedikit jalan yang pada akhirnya dipilih
DRL sebagai solusi dan strategi pendidikan politik masyarakat adalah dengan
melakukan pendidikan politik di dalam proses reclaiming tanah, yakni melalui kasus yang menyangkut kepentingan
dasar mereka sendiri. Dengan kata lain pendidikan politik masyarakat dilakukan
melalui proses learning by doing, yakni dilakukan di saat mereka berusaha
mengklaim kembali tanah yang pernah direbut dari mereka.[13]
“Secara ekonomi memang
terpenuhi kebutuhan dasarnya kan? Tapi kalau kita kan bukan tujuan ekonomi tetapi
secara politik pun dia bisa terpenuhi. Contoh sederhananya seperti yang tadi
dimaksud adalah wacana berpikir mereka juga berubah. Kalau dulu mungkin
menghadapi konflik itu adalah dengan fisik tetapi setelah mereka mempunyai
organisasi karena mereka sudah mengerti cara berkumpul, paling tidak mereka
tahu tata cara rapat, lebih sederhana lagi tahu tata cara berurutan misalnya
berbicara, tata cara untuk –sederhana lagi– ngomong, jadi mereka secara
sederhana mereka sudah bisa mengucap... Kenal kertas itu artinya mereka bisa
baca. Baca itu apa? Oh, dia itu bermasalah karena kebijkaan tidak pernah
berpihak pada dia. Apa kebijakannya? Oh hukum. Hukumnya apa? Perda atau undang
undang? Undang-undang yang mana yang tidak berpihak? Oh ini. Dan mereka tahu
tetapi tidak mengerti menjelaskan, tetapi ketika kita ngasi tahu dan
menjelaskan karena kebijakan penggusuran tanah ini tidak mengikutsertakan
masyarakat, undang-undangnya seperti ini, amanat Undang-Undang Dasar ‘45
seperti ini… Nah itu yang sederhana. Tapi ada lagi yang tidak sederhana,
mungkin tidak percaya kalau dulu itu petani yang mendorong terbentuknya Pansus
Kehutanan. Dulu secara intelektual engga berani dia, tapi setelah mereka
berorganisasi mereka punya keberanian. Tapi yang di level bawahnya ini adalah mereka
mempunyai kesadaran. Kesadarannya adalah kesadaran politik sebetulnya. Mereka
sebetulnya engga mau lagi ada penindasan dan penghisapan itu. Mereka engga akan
lihat kalau kasus ini berkaitan dengan presiden atau kebijakan internasional,
krisis global gitu kan? Tapi paling engga di depan mata mereka ketika ada RT
nyelewengin gakin gitu, raskin gitu, nah mereka sudah bisa memprotes itu,
mereka tolak karena itu adalah penyelewengan kekuasaan secara politik.. paling
engga mereka sudah bisa protes. Kalau dulu kan ga berani… kepala desa mau
ngapa-ngapain mereka dulu engga berani. Tetapi sekarang kalau dia masuk posko
DRL dia engga akan pernah berani melakukan pemotongan raskin, gakin… karena
apa? Karena posko ini sudah terlatih keroyokan kalau bahasa kampungnya, amuk.
Amuk itu kan budaya Melayu. Jadi kalau ada apa-apa ngeroyok rame-rame. Amuk ini
kan keroyokan, tapi kita ubah. Kalau dulu kan kita tidak punya misi. Nah,
karena ini dia punya posko, organisasi, jadi amuknya itu bukan karena emosi
spontan, tapi karena ada tujuan, karena sebetulnya ini ada penipuan, ada
penggelapan. Nah itu yang membedakannya. Jadi kalau dulu massa ini berkumpul ,
mengereyok sesuatu karena emosional, tetapi ini karena rasional, garis
rasionalnya jelas yakni berpihak pada orang yang engga mampu, orang-orang
miskin.”[14]
Merujuk
pada kutipan wawancara di atas, di titik ini DRL berhasil menciptakan
pendidikan politik berbasis pada proses sosial keseharian dengan cara turut
membantu masyarakat tani Lampung mengenali persoalan penghisapan ekonomi dan
penindasan politik yang selama ini mereka hadapi, langsung di dalam kasus
pengklaiman kembali tanah milik mereka. Dalam proses reclaiming tanah ini masyarakat diajak untuk memahami apa saja
persoalan mendasar yang melatarbelakangi meluasnya kemiskinan yang mereka alami
selama ini. Masyarakat diajak memahami arti penting kebijakan revolusi hijau
yang membuat masyarakat termiskinkan secara struktural. Lebih jauh lagi,
masyarakat diajak untuk memahami bagaimana memperjuangkan hak-hak konstitusional
mereka dengan cara-cara yang konstitusional dan politis, menjauhi cara-cara
kekerasan yang merugikan legitimasi gerakan. Tak berhenti disitu, masyarakat
pun diajak untuk secara mandiri mengorganisir serta membiayai secara swadaya
gerakan memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, belajar memperluas isu dan
mendapat pemberitaan yang luas, mengalang dukungan dan menggalang solidaritas
diantara mereka sendiri, bernegosiasi dengan pemanggu kepentingan lain dan
hal-hal lainnya. Singkatnya DRL berhasil menginisiasi pembelajaran politik
masyarakat berbasis kepada pengalaman keseharian mereka sendiri dalam
memperjuangkan kepentingan-kepentingan ekonomi-politiknya. Hasilnya, tidak kurang
dari 113 ribu hektar tanah berhasil diklaim kembali hak guna kepemilikannya,
dalam kurun waktu 1998-2002.
“Yang sudah direclaiming
113 sekian ribu hektar. Yang pertama kali di reclaiming oleh DRL itu adalah hutan kawasan industri kawasan
register 40 di dua kabupaten (Lampung Selatan dan Lampung Timur) di 28 Desa
jumlah lahan yang pertama kami dudukin itu pertama kali itu 1.500 hektar.
Jamelina atau jati putih. Mereka gusur lalu mereka tanemin tanaman industri
yang waktu itu dikuasain oleh Grup Dharmala HPH-nya, masyarakat masuk dengan
DRL menguasai tanah itu. Itu pertama itu 1.500. Baru yang kedua, menguasai di
Ujung Betung. Itu hutan Lindung. Di wilayah itu ada kecamatan, ada sekolahan,
karena kepentingan Orde Baru ditanemin tanaman produksi kertas yang dijaman itu
ada 10.000 sekian hektar. Berikutnya lagi di Register 34 kita kuasain lagi di
daerah Bukit Kemuning Lampung Utara itu ada 300 sekain hektar dan itu akhirnya
Perhutani nyerah dikasihin ke kita dan dilegalisir lalu dilepas sama mereka. Di
Register 40 juga hampir 40 persen sudah di sertifikat karena sudah kita kuasain
dari 1998 sampai sekarang… Karena ketika kita dudukin yang jumlahnya ratusan
ribu hektar itu, itu bukan untuk kepentingan masyarakat petani thok, tapi juga untuk kepentingan
fasilitas sosial. Disitu pasti kita buat untuk fasilitas sosial: rumah ibadah,
jalan raya, untuk olahraga, sekolahan, pasar. Di setiap reclaiming kita sket untuk kita bagi: ini untuk perumahan, ini
untuk peladangan, ini untuk lapangan olahraga, ini untuk kesehatan, ini untuk
pendidikan… itu wajib hukumnya.”[15]
4.
Reclaiming dan
Tindakan terhadap Dominasi Simbolik
Tiga
daerah pertama yang berhasil direclaiming
adalah Hutan Tanaman Industri di Register 40 yang berposisi di Kabupaten
Lampung Timur dan Lampung Selatan dengan luas areal reclaiming mencapai 150 hektar dengan melibatkan 28 desa/posko.
Daerah reclaiming berikutnya adalah
Hutan Lindung Ujung Betung dengan luas wilayah reclaiming mencapai kurang lebih 10.000 hektar. Daerah reclaiming yang ketiga adalah Register
34 di Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara dengan luas reclaiming mencapai kurang lebih 300 hektar. Keberhasilan ini
kemudian menjalar ke sekitar 193 desa yang tersebar di 10 Kabupaten di Provinsi
Lampung.
Keberhasilan
Gerakan Reclaiming yang dilakukan DRL
pada dasarnya merupakan keberhasilan gerakan rakyat dalam merebut kembali
hak-hak mereka yang di ambil alih oleh pemerintah, pengusaha, kalangan militer
dan pemda. Keberhasilan ini pun sejatinya tidak mungkin dilepaskan dari
keberhasilan masyarakat dalam proses pengenalan terhadap problem pemiskinan
yang mereka hadapi serta bagaimana mereka memecahkan problem ini secara
bersama-sama. Dalam proses ini terlihat jelas kualitas masyarakat yang tadinya
berada dalam kondisi nirpolitik berubah menjadi masyarakat yang surplus secara
politik, intelek, terorganisir, terencana, dan dengan sukarela bahu membahu
berusaha mengklaim kembali hak guna maupun hak kepemilikan tanah dari tangan
pemerintah Orba dan kroni-kroninya.
Dalam
gerakan inipun terlihat bagaimana pendidikan politik jauh lebih efektif
dilakukan melalui metode learning by
doing, yakni di dalam proses memecahkan kasus yang dihadapi bersama. Proses
inipun bisa berlangsung sinambung karena dalam saat yang sama diikuti dengan
upaya pendampingan dan pembelajaran politik, baik pembelajaran yang bersifat
ideologis-normatif maupun pembelajaran politik yang lebih bersifat taktis.
Ringkasnya, gerakan ini adalah salah satu contoh keberhasilan gerakan
pendidikan politik berbasis proses sosial sekaligus contoh mengenai emansipasi
politik-ekonomi otentik yang pernah ada di Indonesia.
Menilik
pendefinisiannya, reclaiming dalam
konteks gerakan Dewan Rakyat Lampung bisa diartikan sebagai sebuah tindakan
perlawanan politik yang sistematis, dilakukan oleh masyarakat yang tertidas
untuk memperoleh kembali hak kepemilikan dan hak guna atas tanah sebagai sumber
penghidupannya.[16]
Tujuan dari reclaiming ini sendiri
adalah terciptanya kembali keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pemilikan
kembali alat-alat produksi, dalam hal ini tanah. Lantas, bagaimana sesungguhnya
gerakan reclaiming ini bisa menjadi
basis bagi pembelajaran politik masyarakat? Untuk itu kita memerlukan diri
untuk melihat ke dalam tiga tahapan gerakan reclaiming
yang telah dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah tahapan Pra Reklaiming,
Tahapan Pelaksanaan Reclaiming dan Tahapan
Pasca Reklaiming.
4.a. Tahapan Pra
Reclaiming
Tahapan
pra reclaiming adalah tahapan-tahapan
yang meliputi serangkaian tindakan yang saling terkait dimana tujuannya adalah
untuk mempersiapkan sebuah gerakan reclaiming
yang representatif. Sebagaimana juga
disinggung sebelumnya, gerakan reclaiming
bertumpu pada berbagai pengaduan masyarakat terkait berbagai persoalan tanah
yang dihadapainya. Oleh karena itu, pihak yang paling berkepentingan dengan
keberhasilan gerakan ini adalah masyarakat itu sendiri. Sementara itu situasi
intelektual dan daya kerja politik masyarakat pada masa itu bisa dinyatakan
belum sepenuhnya representatif. Oleh karena itu mencapai situasi masyarakat
yang representatif dan siap untuk menghadapi sekaligus mengantisipasi seluruh situasi
yang mungkin terjadi menjadi bersifat mutlak pada akhirnya. Inilah fungsi
strategis dari tahapan pra reclaiming,
yakni untuk memperkenalkan, mempersiapkan sekaligus mengupayakan keterlibatan
lebih jauh masyarakat dengan bertumpu pada upaya pendidikan terkait tata cara
gerakan reclaiming yang sebaiknya
dilaksanakan. Berikut beberapa rangkaian tahapan Pra Reclaiming yang sekiranya perlu diperhatikan:
- Musyawarah kelompok
Musyawarah
kelompok adalah media pembelajaran pertama yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan pemahaman masyarakat terkait berbagai hal yang berkaitan dengan reclaiming. Pokok-pokok musyawarah
biasanya berkutat di seputar perbincangan mengenai tujuan dasar dari gerakan reclaiming seperti misalnya:
apakah
benar ketimpangan dan pemiskinan bersumber dari tiadanya lahan di pihak tani?
Atau: apakah mungkin gerakan reclaiming
bisa berhasil dengan dukungan sumberdaya yang tersedia saat itu?
Tujuan
dari memperbincangkan masalah-masalah mendasar seperti ini adalah dalam rangka
membantu memperluas cakrawala berpikir anggota posko agar mampu memahami secara
mandiri persoalan yang mereka hadapi sekaligus merupakan masa dimana mereka
menemukan secara pribadi rantai yang mempersamakan satu pribadi dengan pribadi
lainnya di dalam totalitas gerakan. Hasil dari penyatuan pikiran tersebut
adalah makin tertanamnya pengetahuan terhadap nilai strategis dari gerakan ini.
Selain
membicarakan hal-hal fundamental sebagaimana tersirat di atas, sasaran yang
ingin diperoleh dari tahapan ini adalah tergalangnya dukungan yang lebih luas
atas gerakan. Bila tahap penyatuan pikiran dan penggalangan massa ini dianggap
sudah memadai maka langkah berikutnya adalah menyusun langkah-langkah serta
strategi perjuangan. Di tahap ini juga dibahas mengenai pembagian kerja,
pembentukan posko dan struktur organisasinya, alur pertanggungjawaban, serta
terjadwalnya pertemuan-pertemuan rutin.
Posko
itu sendiri lebih merujuk kepada keberadaan kesepahaman bersama mengenai
gerakan reclaiming. Posko lebih
merupakan fenomena mental alih-alih fisik. Posko merepresentasikan adanya
minat, pikiran dan kesamaan tindakan mengenai apa yang diperlukan dan
dibutuhkan masyarakat untuk mengubah situasi sosial ekonomi politik yang tengah
mereka hadapi. Adapun jika memang ada keperluan untuk melakukan pertemuan
rutin, biasanya masyarakat mengadakannya di rumah-rumah anggota posko atau di
tempat-tempat umum seperti rumah ibadah dan lain sebagainya. Posko-posko ini
biasanya dinamai berdasarkan nama desa atau daerah tempat gerakan reclaiming akan dilaksanakan. Posko
sendiri diresmikan oleh masyarakat yang turut disaksikan oleh
perwakilan-perwakilan dari posko-posko lain yang telah berdiri sebelumnya serta
dihadiri oleh pengurus pusat DRL yang sengaja hadir untuk melegitimasi
keberadaannya. Segera setelah posko ini terbentuk masyarakat mulai secara
teratur mengorganisir diri untuk membicarakan strategi serta langkah-langkah
taktis gerakan reclaiming. Keberadaan
posko ini sekaligus menandai keberadaan ikatan dan rantai persamaan yang
menghubungkan satu posko dengan posko-posko di daerah lainnya. Hal yang
diharapkan dari terbentuknya posko-posko ini adalah munculnya solidaritas dan
bertambahnya dukungan terhadap gerakan reclaiming
yang akan dilakukan oleh masyarakat setempat.
Selain
berembuk dengan anggota masyarakat yang baru akan melakukan reclaiming, dalam tahap ini juga
disediakan sesi dengar pendapat dan berbagi pengalaman dengan berbagai kelompok
masyarakat lainnya yang sebelumnya pernah melakukan reclaiming. Tujuannnya tak lain adalah guna memperoleh gambaran
mengenai bagaimana tahapan-tahapan reclaiming
dilaksanakan. Sesi ini juga digunakan untuk menggalang solidaritas dan
memperluas jaringan diantara korban-korban penggusuran lahan. Secara ringkas
tahapan ini bisa kita sebut dengan tahapan pendidikan pengorganisasian gerakan
dengan ciri menonjol yakni partisipasi penuh dari masyarakat.
- Pemetaan
Pasca
pertemuan-pertemuan rutin dan setelah terbentuknya posko dan kepengurusannya,
tahap selanjutnya adalah pemetaan potensi fisik dan sosial. Pemetaan potensi
fisik meliputi pemetaan mengenai jumlah anggota posko reclaiming, penghitungan luas tanah yang akan direklaiming dan
detailnya, pembagian tanah, juga pemetaan yang berkaitan dengan peruntukkan
tanah. Adapun pemetaan sosial adalah suatu upaya untuk mengenali apa saja
kendala-kendala serta sejumlah peluang yang mungkin dimanfaatkan secara sosial.
Pada
tahapan ini masyarakat secara sadar diajak untuk belajar mengadministrasi
sasaran reclaiming, menghitung jumlah
anggota dan merencanakan pendistribusian aset-aset fisik, baik aset yang akan
dibagikan kepada perorangan maupun aset-aset fisik yang akan digunakan secara
bersama-sama. Perencanaan itu sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat dan
ditetapkan melalui kesepakatan bersama. Dalam proses perencanaan pembagian
lahan misalnya, pembagian didasarkan pada luas wilayah yang akan direclaiming dibagi dengan jumlah anggota
yang turut berperan serta dalam proses reclaiming.
Penentuan besarannya ditetapkan berdasar status kepengurusan posko dan jumlah
keaktifan di dalam kegiatan-kegiatan posko. Pembagian tanah dilakukan dengan
maksud untuk menghindari adanya keberatan-keberatan di kemudian hari mengingat
tidak semua tanah memiliki kualitas yang sama (kondisi tanah yang subur/tidak
subur, berupa rawa-rawa, berkondisi miring dan lain sebagainya). Semua tahapan
ini dilakukan di dalam kelompok tanpa campur tangan dari pihak luar termasuk
dari pengurus pusat DRL.
Demikian
halnya dengan perencanaan pembagian lahan, perencanaan peruntukkan lahan pun
dilaksanakan secara bersama-sama dengan pelibatan penuh dari semua anggota
posko. Peruntukkan lahan umumnya dibagi kedalam 3 kelompok besar, yakni
peruntukkan bagi lahan pertanian, perumahan dan peruntukkan lahan untuk
fasilitas sosial yang antara lain meliputi pasar, rumah ibadah, jalan, sekolah,
sarana olahraga, tanah kolektif dan puskesmas. Perencanaan peruntukkan lahan
ini terbilang penting apalagi jika dikaitkan dengan strategi kebertahanan reclaiming tanah di kemudian hari. Dalam
proses perencanaan peruntukkan lahan untuk areal perumahan misalnya, desain
perumahan dengan sengaja ditata berdekatan dengan jarak terjauh mencapai 400 m.
Desain seperti ini dimaksudkan agar masyarakat yang melakukan reclaiming bisa saling membantu satu
sama lain takkala ada gangguan dari pihak lain. Contoh lainnya, jalan pun
direncanakan sedemikian rupa agar berada
di depan rumah-rumah dan tidak berada dalam posisi membelakanginya. Oleh karena
itu, akan tidak terlalu sulit mengenali daerah-daerah yang dulu merupakan
daerah reclaiming di daerah Lampung,
mengingat desain tata letak desanya memiliki kekhasan yang sedikit banyak
banyak diakibatkan karena keserempakan dalam pembangunan infrastruktur
fisiknya. Kekhasan ini sekaligus juga mencerminkan kekompakan dan keberadaan
komunitas politik yang solid dan terorganisir dengan rapih. Pemetaan secara
fisik diakhiri dengan kegiatan menggambarkan kondisi geografis dan
infrastruktur di daerah tersebut serta inventarisasi terkait detail aset-aset
yang berada di atasnya.
Selain
pemetaan secara fisik, pemetaan sosial pun memiliki makna yang tidak kalah
pentingnya. Hal-hal yang dipetakan disini menyangkut berbagai kekuatan sosial
politik yang berpotensi menjadi energi bagi gerakan maupun yang bersifat kontra
terhadap gerakan. Pengukuran-pengukuran terkait potensi-potensi penunjang
energi gerakan misalnya dilakukan dengan cara mengidentifikasi daerah-daerah
terdekat yang juga menyelenggarakan gerakan reclaiming.
Hasil pemetaan ini akan memudahkan reclaimer dalam melancarkan hubungan
strategis dengan daerah-daerah yang secara geografis berdekatan dengannya.
Dukungan moral dan logistik dari daerah terdekat terbukti banyak memberikan
dampak positif atas gerakan-gerakan reclaiming
di daerah Lampung. Pada saat dilaksanakannya reclaiming mereka biasanya memberi dukungan dalam bentuk menghadiri
gerakan reclaiming dengan membawa
ratusan anggotanya, sekedar untuk memberikan dukungan moral bahwa mereka
mendukung gerakan yang tengah dilaksanakan.
Selain
itu, pemetaaan secara sosial juga meliputi identifikasi atas berbagai dukungan
yang bersumber dari kalangan non petani seperti dari kalangan pengacara,
mahasiswa, wartawan, tokoh masyarakat dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya
pemetaan potensi ancaman yang mungkin timbul dari kalangan pemerintah, militer
dan pengusaha. Sasaran dari proses pemetaan ini tentu saja pertama-tama adalah
memberikan nuansa pendidikan politik yang kalkulatif dan terukur melalui
pengadminitrasian berbagai potensi-potensi, baik yang bersifat peluang maupun
potensi yang mengancam kelangsungan gerakan. Di dalam proses ini, sekali lagi
masyarakat secara kolektif terdidik dengan sendirinya untuk menjadi lebih
intelektual dan politis dari sebelumnya.
- Mimbar Bebas
Pasca
dilakukannya pemetaan, tahapan berikutnya adalah tahapan sosialisasi gerakan
untuk cakupan yang lebih luas yang dilakukan melalui mimbar-mimbar bebas yang
umumnya diisi orasi politik mengenai seluk beluk reclaiming. Duta-duta terbaik dari masyarakat angkat bicara di muka
umum mengenai tujuan reclaiming,
kepentingan reclaiming dan mengapa reclaiming bisa merubah situasi umum
masyarakat. Tahapan ini secara singkat bisa disebut sebagai tahapan kampanye
terbuka gerakan reclaiming yang
melibatkan seluruh awak gerakan.
Dalam
mimbar bebas ini masyarakat diajak untuk mendengarkan gagasan-gagasan terbaik
dan terpilih terkait segi-segi terpenting dari reclaiming terhadap perubahan signifikan situasi masyarakat
setempat. Orasi-orasi politik ini membantu mengingatkan anggota gerakan lainnya
pada penderitaan yang mereka alami sehingga semangat untuk meneruskan gerakan
terjaga dan makin membara. Selain dihadiri anggota, mimbar bebas juga dihadiri
wartawan, pengacara, orang-orang dari elemen parpol, pemerintahan, mahasiswa
serta elemen-elemen masyarakat lain yang sengaja diundang untuk turut membantu
mendukung gerakan. Selain untuk mengkampanyekan gerakan reclaiming secara lebih luas, mimbar bebas juga sangat bermanfaat
dalam rangka menjaga soliditas gerakan di level anggota, mengingat
masing-masing anggota secara sukarela dipersilahkan untuk berorasi, menyatakan
pendapat, menyampaikan keluhan, membakar semangat atau sekedar menyatakan
dukungan akan gerakan reclaiming.
Mimbar bebas ini biasanya diadakan di tempat-tempat umum seperti perempatan
jalan, balai desa, di lapangan atau bahkan di halaman rumah anggota posko.
Dari
ketiga rangkaian kegiatan pra reclaiming
yang diuraikan di atas bisa disimpulkan bahwa masyarakat mendapatkan
pembelajaran langsung mengenai bagaimana suatu pengorganisasian gerakan politik
dilancarkan secara sistematis dan demokratis. Segenap aspek reclaiming dibicarakan secara bersama
melalui media-media yang sengaja diciptakan untuk menumbuhkan gerakan hingga
berkembang ke tahap yang memungkinkan untuk melancarkan aksi berikutnya. Dalam
tahapan pra reclaiming masyarakat
belajar bagaimana melakukan pengorganisasian politik dengan menciptakan
organisasi bernama Posko yang berfungsi sebagai ruang publik tempat seluruh
aspek dari gerakan direncanakan dan wadah dimana pembagian kerja
diselenggarakan. Masa-masa pra reclaiming
pada dasaranya adalah momen intelektual masyarakat yang menjadi media
pembelajaran bagi terciptanya masyarakat yang sadar dan kritis terhadap apa
yang menjadi persoalan kolektifnya serta wahana untuk memahami cara untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Melalui tahapan ini masyarakat
belajar mengenai tata cara memperjuangkan kepentingan ekonomi politiknya secara
mandiri, bergairah dan sistematis.
4.b. Tahap
Pelaksanaan Aksi Reclaiming
Berdasar
pada sistematikanya, tahapan pelaksanaan reclaiming
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesiapan pada tahapan sebelumnya. Tahapan
ini dimulai dengan aksi pemberian tapal batas wilayah reclaiming atau pematokan lahan yang akan direclaim yang dilakukan
secara serentak serta disaksikan oleh pihak-pihak lain, dalam hal ini wartawan,
pihak pemerintah, mahasiswa, maupun kawan-kawan yang berencana melakukan
gerakan reclaiming maupun mereka yang
telah terlebih dahulu berhasil melakukan gerakan reclaiming di tempat lain.
Umumnya
kelompok masyarakat yang pernah sukses melaksanakan gerakan reclaiming diundang dan diwajibkan untuk
datang guna menunjukkan dukungan dan solidaritasnya. Rata-rata datang dari
desa-desa terdekat dengan mengerahkan seluruh anggota posko yang pernah
terlibat di dalam gerakan. Selain datang dengan maksud memberikan dukungan dan
solidaritas, kelompok masyarakat ini pun turut ambil bagian dalam memberikan
saran dan pandangan terkait tahapan-tahapan yang pernah mereka lakukan dalam
gerakan reclaiming yang pernah
dilakukan sebelumnya. Fungsi lain dari kehadiran posko-posko lain ini adalah
untuk menunjukkan bahwa gerakan reclaiming
yang dilaksanakan memiliki basis dukungan yang luas sehingga diharapkan mampu
menyurutkan upaya resistensi berarti dari pihak lain.
Setelah
aksi pematokan atas seluruh tanah yang akan direclaim, langkah selanjutnya
adalah menduduki objek reclaiming.
Proses ini berlangsung setelah terlebih dahulu dilakukan tertib pembagian tanah
mengacu kepada dokumen pemetaan yang telah dilaksanakan pada tahap pra reclaiming. Sekedar sebagai catatan,
proses pembagian tanah ini dilakukan melalui tata cara pengundian. Tujuannya
adalah untuk menghindari kecemburuan sosial yang potensial muncul disebabkan
tidak meratanya kondisi tanah.
Pendudukan
ini dilakukan secara serentak dan massif. Pada tahap ini masyarakat mulai
mendirikan bangunan rumah di atas tanah tersebut, menggarap lahan untuk
kepentingan pertanian, mengganti tanaman yang ditanam oleh pihak lain, mendirikan
bangunan untuk fasilitas umum, mempertahankan hutan desa dan menggarap
pekerjaan-pekerjaan lainnya. Pasca pendirian bangunan rumah seluruh anggota reclaiming diwajibkan untuk
meninggalinya. Tindakan ini memiliki beragam makna, salah satunya dalam rangka
memberikan sinyal bahwa objek yang telah direclaim telah secara serius digarap
dan didiami dan tidak begitu saja ditelantarkan. Tanah-tanah reclaiming ini juga tidak diperkenankan
untuk diperjualbelikan atas dasar keputusan bersama.
Totalitas
tahapan pelaksanaan reclaiming di
atas umum diadaptasi menjadi pola reclaiming
tanah di berbagai daerah di Lampung. Dengan kata lain, pola pelaksanaan reclaiming seperti ini adalah pola
bersama yang dipelajari dan terus menerus disempurnakan dalam masa-masa gerakan
reclaiming dilaksanakan, yakni sejak
tahun 1998 hingga sekarang.
4.c. Tahap Pasca
Reclaiming
Masa
pasca gerakan reclaiming adalah
masa-masa dimana resistensi dari pihak luar mulai surut. Masa-masa ini lebih
digunakan sebagai masa penataan objek reclaiming.
Rata-rata posko-posko yang sebelumnya telah melakukan reclaiming berupaya mendiami serta menggarap lahan hingga
produktif. Selain itu masyarakat juga berupaya terus menerus melancarkan upaya
pengakuan hukum atas tanah dari pihak pemerintah melalui jalur hukum. Pengakuan
hukum ini dilaksanakan melalui berbagai cara, mulai dari membayar pajak bumi
dan bangunan hingga membawa perkara hak atas tanah ini ke pengadilan. Banyak
diantara tanah yang telah direclaiming
kemudian mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah dan banyak pula
diantaranya telah menjadi desa-desa administratif. Tercatat sekitar 12 desa
yang tadinya didirikan di daerah-daerah reclaiming
kemudian menjadi desa yang diakui secara administratif dan dikepalai oleh
orang-orang yang pernah terlibat dalam gerakan reclaiming. Meneruskan pembangunan fasilitas sosial juga menjadi
kerja bersama dalam fase ini. Masyarakat secara swadaya bahu membahu membangun
infrastruktur seperti jalan, pasar, rumah ibadah, pusat kesehatan, sekolah,
sarana olah raga dan lain sebagainya.
5. Warga yang
Aktif dan Fungsi Pembelajaran Politik
Di
masa-masa awal gerakan reclaiming masyarakat secara umum
mengidap ketakutan tertentu untuk memecahkan problem-problem kemiskinan yang
menimpanya. Ketakutan dan sikap gugup yang dialami masyarakat bersumber dari
berbagai hal, antara lain tiadanya kemampuan untuk mengenali hak-hak
konstitusionalnya serta ketidaktahuan menganai cara memperjuangkan hak-haknya
di satu sisi serta perlakuan refresif dari negara di sisi lainnya. Tetapi setelah
rangkaian sukses yang ditorehkan melalui gerakan reclaiming, kepercayaan diri masyarakat dalam mengelola
kepentingan-kepentingan kolektifnya bangkit dan secara swadaya mulai
menterapkan berbagai strategi dan pendekatan yang dipelajari melalui gerakan reclaiming untuk memecahkan
problem-problem kepublikan lainnya. Ketakuatan dan kegugupan dalam
menyelesaikan problem-problem itu seakan menguap begitu saja diganti perasaan
optimis dan penuh daya. Proses ini telah menunjukkan bahwa halangan-halangan
struktural yang tampaknya sukar dan bebal dapat mereka tembus dan berakhir
dengan kemenangan di pihak masyarakat. Tidak ada lagi buruh tani yang tidak
memiliki lahan garapan dan tidak ada lagi uang sewa yang harus dikeluarkan
untuk membayar sewa tanah untuk sekedar mendirikan bangunan rumah di atasnya.
Lapangan pekerjaan pun terbuka karena setiap orang kini memiliki alat produksi
pertanian paling vital, yakni tanah. Itulah indikator riil dari keberhasilan reclaiming secara ekonomi dan politik.
Indikator
keberhasilan secara politik juga terlihat pada momen munculnya kemauan dan
kemampuan masyarakat secara kolektif dalam mengorganisir gerakan reclaiming hingga mencapai tujuan-tujuan
yang telah disepakati bersama. Sistematisasi serta pengorganisasian politik
adalah dua hal yang dipetik dari pengalaman pergerakan politik ini. Pengalaman
itu pun memberikan pengaruh signifikan pada perubahan wacana berpikir
masyarakat dalam memandang persoalan-persoalan yang menyangkut
kepentingan-kepentingan kolektif mereka.
Selain
itu, rangkaian kegiatan baru-baru ini juga berhasil menunjukkan kemajuan
politik masyarakat secara signifikan yang terlihat pada momen Pilkada yang
dilangsungkan di Kabupaten Lampung Selatan yang berakhir pada bulan Mei 2010.
Sadar akan kepentingannya untuk menjaga berbagai aset yang telah direclaiming di masa lalu serta dilandasi
kesadaran untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan melayani rakyat dan
juga didasari dengan kesadaran akan makin maraknya prilaku-prilaku penyimpangan
birokrasi yang selama ini seolah menjadi rutin dan biasa, masyarakat yang
tergabung dalam Dewan Rakyat Lampung sepakat untuk menempatkan salah satu
wakilnya dalam pemilihan bupati di wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Kesatuan
masyarakat yang terorganisir melalui pengalaman perjuangan reclaiming tanah di masa lalu mulai mencetuskan ide untuk
menempatkan salah satu wakilnya di pemerintahan melalui jalur independen.
Sekali
lagi secara swadaya masyarakat mengorganisir diri secara politik dan melakukan
kampanye secara sukarela untuk mendukung calon yang berasal dari kalangan
mereka sendiri. Mereka melakukan pengorganisasian kampanye dengan memanfaatkan
jaringan Posko-Posko DRL yang telah lama mapan terbentuk. Masing-masing posko
mendanai secara swadaya kampanye yang mereka lakukan. Pendanaan itu sendiri
diambil dari penghasilan yang diperoleh dari pemanfaatan tanah kolektif yang
sejak dulu sengaja didorong keberadaannya untuk keperluan-keperluan
kolektif.
Pembentukan
tim sukses berbasis desa-desa pun dilakukan. Sebagai ilustrasi, jika di suatu
desa terdapat 200 kepala keluarga yang menjadi anggota DRL maka setiap hari
dipilih 5 orang untuk diutus berkeliling kampanye ke desa-desa lain dalam
rangka mensosialisasikan calon bupati yang dicalonkannya. Seluruh logistik kampanye
seperti alat peraga kampanye, sarana transfortasi untuk mobilisasi massa
semuanya dibiayai oleh masyarakat.
Fenomena
ini pada akhirnya merupakan anti tesis terhadap persoalan mahalnya biaya
politik yang disebabkan politik uang dewasa ini. Dan dengan pengenalan akan
kepentingannya sendiri serta berbekal keterampilan berpolitik yang diperoleh
dari pengalaman gerakan reclaiming
tanah, masyarakat yang tergabung dalam posko-posko DRL berhasil menciptakan
atmosfir kegairahan politik yang bersifat sukarela, mandiri dan dilandasi
semangat pengedepanan kepentingan bersama untuk menciptakan pemerintahan yang
bersih, memiliki keberpihakan pada masyarakat dan demokratis.
Kemajuan
cara berpikir seperti ini dalam kasus Indonesia merupakan sebuah lompatan berarti
di tengah berbagai kelemahan-kelemahan sistem politik yang ada. Hal ini juga
menandakan bahwa pendidikan politik dengan berbasis kepada proses penanggulangan
kasus-kasus yang bersentuhan langsung dengan kepentingan riil masyarakat bisa
menjadi pintu masuk bagi kemunculan politik otentik yang merefleksikan
kemunculan esensi politik yakni upaya bersama dan sungguh-sungguh dalam rangka
mengupayakan pengedepanan kepentingan umum melalui cara-cara yang demokratis.
6. Penutup:
Proses Sosial, Tindakan dan Pembelajaran
Pertama,
pendidikan harus pertama-tama menempati dan membentuk suatu matrix of perception atau basis pijakan
agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam
proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen;
Kedua,
pendidikan juga harus membentuk bentuk-bentuk appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan
bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu.
Ketiga,
pendidikan harus mengarahkan orang kepada tindakan action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi
dan menghasilkan praktik bagi individu.
Keempat,
ringkasnya pendidikan adalah cara untuk membentuk atau mengubah dari suatu
habitus menjadi habitus yang baru.
Dalam
penjelasan Bourdieu mengenai habitus, keberhasilan-keberhasilan proyek
emansipasi ekonomi melalui gerakan politik yang dicapai masyarakat Lampung,
sebagaimana tersaji pada paparan di atas, dibaca sebagai buah dari terciptanya
habitus baru yang berhasil menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik
sosial masyarakat. Dalam rumusan konvensionalnya, habitus adalah basis pijakan
agen dalam berfikir, mempersepsi, mengapresiasi dan berpraktik di dalam arena
sosial. Berpijak pada rumusan tersebut maka habitus yang baru ini secara
empirik ditenggarai telah berhasil menstimulasi munculnya kebaruan yang membuat
masyarakat yang tergabung dalam Dewan Rakyat Lampung memiliki matrik persepsi,
skema apresiasi dan skema-skema tindakan yang mampu menggerakkan dan mengatur
praktik sosialnya ke arah tindakan-tindakan politik emansipatif yang dilandasi
visi kemakmuran bersama yang diterjemahkan kedalam simbol reclaiming tanah oleh dan untuk semesta rakyat (tanah sebagai
sumber kemakmuran utama dalam struktur sosial khas masyarakat agraris).
Gerakan
politik yang terorganisir, intelek, sistematis dan berlandaskan pada
partisipasi aktif menjadi ciri gerakan reclaiming
tanah yang dilakukan DRL. Keterlibatan masyarakat dalam karakteristik gerakan
yang khas seperti ini telah serta merta memberi ruang pembelajaran yang membuat
masyarakat partisipan mampu menemukan dan mentransformasikan rantai
persamaan yang kemudian mempertautkan
aneka ragam aspirasi pribadi kedalam dan menjadi identitas kolektif dalam
rangka memperjuangan apa yang dianggap sebagai hak politik, ekonomi dan hak-hak
sosialnya. Mampu tampilnya masyarakat dalam bentuk progressif seperti ini dalam
pemikiran Hannah Arendt hanya terjadi ketika masyarakat memiliki kebebasan
politik yang keberadaannya ditandai dengan munculnya skema tindakan-tindakan
politik yang titik orientasinya diarahkan di dalam horizon pengedepanan
kepentingan umum. Dalam rumusan Arendt: “Kebebasan
warga pada hakikatnya merupakan urusan privat, sementara kebebasan politik
merupakan urusan publik, masalah keterlibatan dalam urusan-urusan publik”.[19]
Kualitas
masyarakat yang muncul di dalam dan sebagai hasil dari proses perjuangan reclaiming tanah adalah kualitas
masyarakat yang memiliki kemampuan untuk terlibat dalam urusan-urusan
kepublikannya. Diperolehnya karakter politis dari masyarakat seperti ini
kembali bisa dijelaskan melalui Arendt yang memahami masyarakat sebagai ruang
publik yang mempertautkan beragam kepentingan dari manusia yang hidup
mengitarinya, sehingga manusia bisa saling berbagi, saling memahami,
mendengarkan dan mengerti satu sama lain. Dalam hal ini Arendt menawarkan dua
terminologi kunci untuk memahami keberhasilan ini, yakni: ‘tindakan’ (praxis) dan ‘ucapan’ (lexis) yang baginya merupakan
elemen-elemen yang mengkonstitusi kehidupan politik.[20]
Jadi, dengan demikian maka keberhasilan pencapaian kualitas masyarakat seperti
ini (DRL) harus dimengerti sebagai buah dari berhasil diaktifkannya ruang
publik yang mampu memberikan wahana yang menjadi landasan untuk saling
mendengar, dimengerti dan dipahami yang diantarai oleh tindakan dan wicara.
Dalam gerakan reclaiming, aspek
tindakan dan wicara selalu terlibat, pada rapat-rapat, pada orasi-orasi, pada
momen penggalangan massa.
Dari
pengalaman DRL ini, menyangkut kaitannya dengan pembelajaran, beberapa hal
dapat kita pastikan yakni, pertama, bahwa pembelajaran yang menghasilkan
kesadaran politik dan habitus baru selaku komunitas warga yang aktif tidak
pertama-tama diperoleh melalui modus pendidikan yang terstruktur secara
obyektif dan terarah melainkan justru dimulai dari lingkungan sosial di mana
mereka hidup. Pembelajaran mengenai hak, hukum aturan rapat, berorganisasi
tidak didapat dari ‘sekolah’ atau sarana-sarana resmi melainkan melalui
keterlibatan langsung.
Kedua,
proses pembelajaran di dalam proses sosial ini berlangsung dengan bantuan
skema-skema sosial tertentu seperti adanya daya dukung organisasi dan
komunikasi. Dengan itu pembentukan suatu habitus juga mensyaratkan konsistensi dari kerja
skema-skema sosial ini.
Ketiga
perubahan dalam habitus secara langsung mengena pada modus keberadaan dan
taksonomi tubuh dari setiap anggota dalam komunitas yang mempercayainya. Ini
yang membuat setiap gagasan bertahan dan setiap tindakan mendapatkan
pendasarannya. Dengan kata lain habitus yang mengalami transformasi (dari warga
yang pasif menuju warga yang aktif) menghasilkan juga kualitas intelektual dari
warga.
Keempat,
dalam perubahan habitus itu setiap orang juga mengalami perubahan dalam cara
memandang proses sosial, ini merupakan respon yang terjadi setelah habitus baru
kelihatan terbentuk. Setiap orang mulai memandang skema-skema sosial di luar
dirinya sebagai berharga dan dapat diandalkan sebagai sumber pembelajaran. Di
titik ini proses belajar kemudian menjadi lebih lestari dengan mengambil bidang
yang luas.
Praktik Politik
Otentik dan Proses Sosial Sebagai Basis Pendidikan
Ada
banyak pelajaran yang bisa sama-sama kita petik dari peristiwa gerakan
reclaiming tanah Dewan Rakyat Lampung. Dua dari sekian banyak ‘buah matang’
yang bisa petik dari peristiwa ini ialah (1) tentang praktik politik otentik
dan (2) pengaruh praktik politik otentik tersebut terhadap dua hal: pertama terhadap struktur mental
subyektif aktivis gerakan; dan kedua,
pengaruhnya terhadap terbentuknya tatanan politik yang merefeksikan minat dan
gairah yang kuat dalam memunculkan esensi dari yang-politik itu sendiri, yakni
pengedepanan kepentingan umum.
Dua
pikiran utama dari paragraf di atas sebenarnya bisa dieksplorasi lebih jauh.
Eksplorasi pertama adalah tentang segi-segi praktik politik otentik dalam gerakan
DRL sekaligus mengapa praktik itu bisa dikelompokkan kedalam praktik-praktik
politik otentik, dan kedua, eksplorasi atas pengaruh politik dengan
karakteristik sedemikian terhadap terbentuknya (1) struktur mental subyektif
dan (2) terhadap terbentuknya struktur sosial obyektif yang baru. Pada yang
pertama ekplorasi dilakukan dengan sepenuhnya merujuk pada pemikiran Hannah
Arendt mengenai “kebebasan politik”. Pada yang kedua, eksplorasi akan kembali
bertumpu kepada konsep “habitus” dari Pierre Bourdieu. Kedua elaborasi ini
sepenuhnya diarahkan kedalam pencarian katagori-kategori empiris yang
diproyeksikan untuk mempertahankan tesis mengenai proses sosial sebagai basis
bagi pembelajaran/pendidikan.
Praktik Politik
Otentik dalam Perspektif ‘Kebebasan Politik’ Hannah Arendt
Politik
dalam cara tertentu dirumuskan Arendt sebagai “hidup di dalam polis”. Dalam pernyataan seperti ini
inheren terselip suatu gagasan mengenai keberadaan ‘tindakan yang secara
sengaja dipraktikkan’ di dalam polis, karena hidup –dalam ciri-cirinya yang
paling mudah diobservasi– berarti bertindak.
Secara
sistematik Arendt memulai penjelasannya mengenai ‘kebebasan politik’ dengan
pertama-tama menjelaskan apa itu
manusia. Manusia baginya bisa dilihat di dalam terang tiga dimensi vita activa-nya, yaitu kerja, karya dan
tindakan, dimana tindakan adalah hal yang disebutnya mengkonstitusi dan
mengekspresikan dimensi politik manusia.[21]
Tindakan berarti memulai dan memulai berarti melakukan pilihan-pilihan; pada
momen inilah kebebasan mengada.[22]
Antropologi filsafat ini lantas ditarik Arendt ke dalam antropologi politiknya,
yakni manusia adalah mahluk politis, lebih sebagai resultan dari konstruksi
tindakan bebasnya. Dengan demikian maka tindakan bebas manusia adalah politik,
dan karena itu politik tidak bisa tidak mempersyaratkan kebebasan. Ringkasnya,
politik tanpa kebebasan bukanlah politik.
Bagi
Arendt, apa yang mengkonstitusi kehidupan politik manusia adalah ‘tindakan’ (praxis) dan ‘ucapan’ (lexis). Keduanya mengada secara
bersama-sama (coeval) dan sama (coequal).[23]
Sementara itu, tindakan baginya hanya bisa dimengerti sejauh hal ini terjadi
terjadi di dalam masyarakat. Masyarakat sendiri dipahaminya sebagai ruang
publik yang mempertautkan beragam kepentingan manusia yang hidup di dalamnya,
sehingga memungkinkan manusia untuk bisa saling berbagi, saling memahami,
mendengarkan dan dimengerti satu sama lain. Di titik ini, selain mempertegas
keutamaan dari tindakan yang menghubungkan antara satu dengan yang lain, Arendt
pada dasarnya sedang menunjukkan satu lagi kondisi kemungkinan bagi politik,
yakni pluralitas manusia. Jadi, tindakan (bebas) yang disamaartikan dengan
politik hanya bisa dimengerti keberadaannya di dalam pluralitas manusia, dan
dari titik ini pula kita bisa mulai memasuki apa yang dimaksudnya dengan
‘kebebasan politik’.
Kebebasan
politik dalam Arendt adalah praktik polis
di Yunani kuno dimana warga secara bebas berkumpul dan berdebat dalam rangkaian
pengambilan keputusan bersama. Kebebasan politik lebih bekerja dalam formula freedom to atau bebas untuk melakukan apapun dan menjadi apapun berdasarkan otonomi seseorang. Secara kontras Arendt
lantas membedakan kebebasan politik dengan kebebasan personal. Kebebasan
personal baginya justru lebih cenderung bekerja dalam rumusan freedom from atau bebas dari apapun dan
siapa pun yang menjadi penghalang atas pemenuhan hasrat diri.[24] Kebebasan politik, lebih jauh lagi,
dinyatakan tidak serupa dengan kebebasan berkehendak (free will) serta sama sekali berbeda dengan terminologi independensi
maupun kedaulatan (sovereignty) yang
umum mendominasi pemahaman kita mengenai kebebasan. Bagi Arendt, jika kebebasan
dipahami sebagai ketidaktergantungan maka hal ini sulit untuk bisa dimengerti,
karena politik persis mengandaikan kesalingtergantungan. Dan oleh karena itu
rumusan seperti ini pada akhirnya membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa
kebebasan pun bisa akan berarti kebebasan dari politik, dan hal ini ditolak
dengan tegas oleh Arendt yang memahami kebebasan dalam konsep antiknya, yakni
kebebasan sebagai konsep politik.
Kebebasan
sebagai konsep politik tidak didasarkan pada pemahaman baku mengenai asal usul
kesetaraan sebagai produk bawaan dari kelahiran manusia yang diciptakan sama
dan setara, yang dengan demikian dia bersifat terberi begitu saja. Berbanding
terbalik dengan pandangan ini, kebebasan politik justru merupakan sesuatu yang
lahir dari konstruksi institusi artifisial manusia dan pada fungsinya menjadi
atribut untuk mendapatkan kesetaraan sebagai warga di dalam polis. Dengan kata lain, dalam cara
berpikir ini, baik kesetaraan maupun kebebasan adalah produk dan kualitas yang
dicapai manusia sebagai hasil dari konstruksi institusi artifisialnya, yakni polis. Kategori kebebasan seperti ini,
dalam hal ini, selalu dikaitkan dengan konsep warga yang dengan bebas memilih
mengikatkan dirinya ke dalam polis
dan bukan pada konsep ‘massa’ dalam pengertian kumpulan manusia yang tidak
terikat ke dalam polis yang merupakan
arena politik dimana kebebasan politik mengada. dalam upayanya untuk lebih memperjelas
konsep kebebasan politik, Arendt lantas membedakan kebebasan jenis ini dengan
sejumlah fenomena kebebasan lain.
Kebebasan (freedom)
tidak sama dengan pembebasan (liberation).
Pembebasan hanyalah prasyarat bagi kebebasan, tetapi pembebasan tidak otomatis
membawa kita pada kebebasan. Kebebasan (politik) juga tidak boleh dikacaukan
dengan kebebasan warga (civil liberty)
dan hak-hak. Kebebasan warga pada hakikatnya merupakan urusan privat, sementara
kebebasan politik merupakan urusan publik, masalah keterlibatan dalam
urusan-urusan publik. [25]
Mencermati
kutipan di atas, kebebasan politik dengan demikian selalu tertuju pada fungsinya yakni pada fungsi
tindakan yang dengan sadar diorientasikan di dalam kerangka pengedepanan
urusan-urusan kepublikan melalui modus keterlibatan di dalam ruang publik/polis.
Dalam
rumusan ini, dan dalam kepentingannya untuk memberi parameter-parameter
terhadap apa yang disebut sebagai praktik politik otentik maka kita bisa mulai
merumuskan beberapa hal. Pertama, praktik politik otentik, minimum adalah
tentang hidup dengan baik di dalam polis. Dengan demikian maka bertindak di
dalam polis harus diartikan sama dengan upaya untuk merawat polis itu sendiri
sekaligus menjaga peluang lestarinya kehidupan yang-baik. Kedua, praktik
politik otentik hanya akan mampu merekah jika didahului adanya keberadaan
kebebasan politik —kebebasan untuk terlibat di dalam urusan-urusan publik.
Ketiga, praktik politik otentik lahir dari konstruksi institusi artifisial
manusia dan pada fungsinya menjadi atribut untuk mendapatkan kesetaraan sebagai
warga di dalam polis. Dalam hal ini
kesetaraan bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja melainkan resultan dari
suatu tindakan yang disengaja. Dan
keempat, praktik politik otentik mengada sebagai sebentuk komitmen kepada
pengedepanan kepentingan-kepentingan umum, yang tercermin melalui
tindakan-tindakan partisipatif-aktif di dalam polis, yang struktur tindakannya sama sekali jauh dari sifat
destruktif melainkan melalui cara dan wicara (praxis-lexis).
Keempat
rumusan di atas pada gilirannya bisa diproyeksikan untuk memberi tafsir
teoritis terhadap gerakan reclaiming tanah yang dilakukan DRL. Secara ringkas
keempatnya bisa dijelaskan dengan menyoroti beberapa momen yang terjadi selama
gerakan ini berlangsung. Pertama pada terbentuknya apa yang disebut Arendt
dengan ruang publik.
DRL
dan posko-posko DRL sejatinya adalah polis/ruang publik tempat para petani dan
warga pada umumnya berbincang membicarakan urusan-urusan kepublikannya. Dalam
perjalanannya posko-posko ini menjadi media yang sangat efektif untuk bertukar
informasi, menyatukan pandangan, mengaspirasikan diri dan saling dimengerti. Di
dalam posko-posko ini diolah berbagai isu terkait dengan hal-hal yang
diperlukan untuk melancarkan gerakan emansipasi ekonomi politik yang
sistematik. Keberhasilan menciptakan ruang publik ini adalah salah satu momen
yang menentukan keberlanjutan gerakan. Pada momen ini dan di dalam ruang publik
inilah pada akhirnya masyarakat yang terlibat dalam gerakan mengalami pembelajaran
yang membuatnya memahami aspek-aspek ideologis-taktis terkait dengan seluk
beluk gerakan reclaiming. Inilah makna penting dari ruang publik DRL, ia
digunakan sebagai medium pembelajaran atas berbagai tindakan yang menjadi kunci
untuk membuka deadlock sistem sosial
lama yang usang, otoriter dan memiskinkan. Dan inilah ciri dari gerakan politik
otentik, dia menghasilkan kebaruan situasi dan mendorong munculnya kemampuan
artikulatif sekaligus mengasah daya tafsir masyarakat atas situasi sebagai buah
dari interaksinya di dalam polis/DRL.
Yang
kedua adalah pada manifesnya kebebasan politik. Di dalam gerakan reclaiming idiom-idiom gerakan
sebagaimana halnya unjuk rasa, konvoi, solidaritas, dukungan, orasi, strategi,
rapat, aksi, reclaiming, penindasan politik, penghisapan ekonomi, undang-undang
agraria, reformasi agraria, revolusi hijau, dewan rakyat lampung, dlsb,
sejatinya adalah penanda-penanda yang terbentuk secara baru dalam horizon pikir
petani yang pada saat itu berada dalam kondisi nirpolitik. Fase-fase gerakan
reclaiming tanah dalam cara tertentu telah mampu memberi bobot dan keluasan
sekaligus tapal batas terminologis (signifier)
pada penanda-penanda tersebut. Dalam kontinum berikutnya penanda-penanda ini
mulai membentuk tatanan simbolik baru, yang pada puncaknya bekerja
mentransformasikan identitas kolektif lama dari mereka yang memilih bergabung
di dalam gerakan reclaiming. Hasilnya, sistem penandaan baru ini mampu menandai
lahirnya berbagai praktik politik yang merefleksikan keberadaan kebebasan
politik, terutama pada momen dimana kalangan tani berhasil memilih untuk terlibat
secara aktif mengelola urusan-urusan kepublikannya di sepanjang
tahapan-tahapan gerakan reclaiming tanah. Inilah aspek lain yang membuat
gerakan politik yang dirancang DRL bisa disebut sebagai gerakan politik
otentik. Dan di dalam fenomena ini pula kita menemukan karakteristik masyarakat
yang belajar secara langsung mengenai idiom-idiom –ideologis maupun praktis–
yang berkaitan dengan keperluannya sebagai masyarakat yang tengah berusaha
memahami dirinya di dalam horizon tatanan simbolik baru yang akan digunakannya
sebagai perangkat intelektual yang mendasari praktik-praktik dalam
mengemansipasi kondisinya ke arah yang lebih baik.
Ketiga.
Pasca terbentuknya tatanan simbolik baru yang bersifat transformatif di atas
(yang bisa kita efisiensikan kedalam simbolik “gerakan reclaiming tanah DRL”)
praktik-praktik politik otentik menjadi mampu mengada dalam arti terdefinisi
dan terpersepsikan sebagai yang-sosial, dan sebagai konsekuensinya
bentuk-bentuk empiris dari emansipasi atau penyetaraan diri muncul untuk
pertama kalinya sebagai fenomena kolektif (misalnya dalam momen pembagian tanah
yang membuat semua orang secara ekonomis setara, pada even mimbar bebas, pada
pertemuan-pertemuan posko; pada momen-momen ini semua orang yang terlibat
mengalami kesetaraan sebagai resultan dari tindakan politisnya). Fenomena ini
seolah menjadi justifikasi empiris atas tesis filsafat politik Arendt yang
menyebutkan bahwa raison d’etre politik
adalah kebebasan dan bidang pengalamannya adalah tindakan. Dan persis di
titik ini pula, lagi-lagi modus kejadian seperti ini menjadi padanan empiris
atas tinjauan filosofis Hannah Arendt yang menjabarkan ‘kebebasan politik lahir
sebagai hasil dari konstruksi institusi artifisial manusia dan pada fungsinya
menjadi atribut untuk mendapatkan kesetaraan sebagai warga di dalam polis. Pada momen ini kita kembali
menemukan aspek politik otentik dari gerakan reclaiming tanah DRL, yakni pada
hadirnya kesetaraan sebagai fenomena kolektif yang merupakan buah matang yang
dipetik dari tindakan politik yang meniscayakan kebebasan. Disini pula kita
menemukan masyarakat yang belajar mengenai teknik mencapai kesetaraan kolektif,
langsung di dalam dan melalui pengalaman kesehariannya sebagai aktivis gerakan.
Keempat.
Dalam beberapa momen lain, sebagaimana juga kita lihat pada penjabaran pada
bagian pendahuluan, terdapat ciri-ciri yang menandakan keberadaan gairah dan
hasrat yang begitu kuat dan mendalam dari gerakan ini terutama terhadap aspek
pengedepanan kepentingan umum. Disini, sebagai contoh, kita bisa menyertakan
momen pembentukan DRL yang diawali dengan terkumpul dan terinventarisasinya
berbagai permasalahan sosial ekonomi politik warga Lampung yang terkuak begitu
rupa pasca runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru. Segera setelah inventarisasi
persoalan dilakukan maka tafsir akurat atas apa yang harus dilakukan menjadi
mungkin untuk dilakukan. Disinilah untuk pertama kalinya minat mendalam
terhadap pengedepanan kepentingan publik mengada, yakni tercapainya titik
artikulasi ‘reclaiming tanah’ yang menjadi chain
of equivalent yang mengikatkan setiap elemen kepada gerakan sekaligus ‘lem
perekat’ yang menjamin kesetiaan voluntaristiknya –dan pada gilirannya
diproyeksikan sebagai semacam ‘antidote’ atas permasalahan sosial politik
ekonomi yang dialami masyarakat Lampung di penghujung tahun 1998. Minat
mendalam ini pun pada perjalanannya mampu terjaga secara konsisten yang antara
lain terkonfirmasi di dalam momen-momen pra maupun saat aksi reclaiming tanah
dilakukan, yang antara lain meliputi diskusi kelompok, pengorganisasian,
diversifikasi dan pembagian kerja dalam posko, pemetaan, pengukuran, pematokan,
dan diakhiri dengan pembagian secara merata lahan-lahan yang berhasil di reclaim
kepada awak gerakan sesuai blue print
dan kesepakatan bersama. Di dalam momen ini kita melihat adanya minat dan
komitmen yang demikian mendalam dari awak gerakan terhadap apa yang dalam
Arendt disebut sebagai minat terhadap pengedepanan kepentingan umum yang
menonjolkan aspek cara dan wicara dalam dimensi aksi, karena konsensus yang genuine sejatinya selalu merupakan
refleksi dari kesadaran yang dicapai melalui proses argumentatif dan bukan
dengan cara-cara represif sebagaimana dipraktikkan rezim otoriterian Orde Baru.
Pada momen inilah gerakan politik DRL bisa dikategorikan ke dalam gerak politik
otentik, dan pada momen ini pulalah kita menemukan preseden bahwa praktik
politik otentik selalu senantiasa berisikan dimensi-dimensi edukasi yang
menjadi bidang yang memberi ruang pembelajaran tentang esensi dari yang politik
itu sendiri, yakni pengedepanan kepentingan bersama.
Beberapa
tafsir atas momen-momen gerakan reclaiming di atas, dengan bertumpu pada
penjelasan Arendt mengenai kebebasan politik, memang menandakan hadirnya apa
yang kita sebut disini sebagai praktik politik otentik. Praktik politik otentik
dengan demikian selalu berisikan segi-segi edukatif yang bersifat
transformatif. Aspek-aspek politik otentik dalam Gerakan DRL pada akhirnya
menghasilkan suatu horizon pembelajaran yang demikian kaya, tidak hanya sebagai
kajian emansipasi politik yang spesifik, melainkan juga dalam konteks yang
lebih luas, yakni ke dalam pendidikan itu sendiri. Proses perjuangan politik
ini merefleksikan pengalaman yang kaya mengenai bahwa proses sosial (proses
perjuangan politik untuk mencapai kesetaraan ekonomi dalam bentuk reclaim atas
alat-alat produksi utama masyarakat tani) sebenarnya telah berhasil menjadi
medium yang sangat efektif terhadap terselenggaranya pembelajaran atas
skema-skema tindakan yang bersifat transformatif dan mengarah kepada perwujudan
the good society. Di titik ini, pertanyaan yang masih tersisa
untuk dijawab adalah: dalam cara seperti apa praktik politik otentik ini
sekaligus bisa hadir sebagai medium pembelajaran warga? Pertanyaan ini
sejatinya merupakan pertanyaan yang diturunkan dari pertanyaan utama
penelitian, yakni bagaimana menjadikan proses sosial sekaligus sebagai basis
bagi proses pembelajaran/pendidikan?
Oleh karena itu, mengenai bagaimana untuk menjawab hal ini –seperti juga
dijanjikan di atas– akan sepenuhnya dijelaskan dengan menggunakan bantuan
teorema dialektika agen-struktur dan konsep habitus dari Pierre Bourdieu.
Secara
ringkas habitus dapat dirumuskan ke dalam tiga cara: (1) sebagai matrix of perception atau basis pijakan
agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam
proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; (2) sebagai matrix of appreciation atau habitus
menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau
menilai sesuatu; dan (3) sebagai matrix
of action atau habitus merupakan
basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu.
Sebelum jauh masuk ke dalam konteks pembahasan, terlebih dahulu kiranya perlu
disinggung mengenai peran sentral tindakan dalam teorema khas dari dialektika
agen-struktur Pierre Bourdieu. Bourdieu menjelaskan bahwa apa yang
menghubungkan antara habitus dengan struktur obyektif adalah tindakan/praktik.
Ketika agen bertindak maka
resultan dari tindakannya adalah terbentuknya struktur sosial obyektif yang
secara resiprokal kembali menyediakan skema-skema yang dibutuhkan agen dalam
melakukan praktik sosial. Struktur sosial obyektif ini pun kemudian memiliki
sistem klasifikasi, tata aturan, sistem apresiasi, skema-skema persepsi yang
menjadi semacam kode yang berfungsi mengendalikan praktik dari penghuni posisi-posisi obyektif di dalam ranah. Pada
pemahaman seperti ini, habitus hanya akan bisa dijumpai di dalam praktik
sementara struktur obyektif pun hanya bisa terbentuk melalui praktik. Inilah
yang dimaksud dengan dialektika agen-struktur, dimana agen dan struktur
berelasi secara tak terpisahkah, yang diantarai oleh praktik. Di titik ini pada
dasarnya kita sedang berbicara mengenai ‘kesatuan aktor-struktur’ yang pada dasarnya ’tak terpisahkan’. Ketakterpisahan
antara agen dan struktur yang dihubungkan oleh praktik pada gilirannya akan
banyak membantu dalam menjelaskan mengapa praktik politik otentik DRL sukses
sebagai proses sosial (politik) yang mampu tampil menjadi medium
pendidikan/pembelajaran bagi warga.
Proses sosial
yang bersifat mendidik.
Pada
berbagai momen di dalam totalitas gerakan reclaiming tanah DRL kita menemukan
bahwa praktik-praktik politik otentik mampu tampil memberikan suatu landasan
pembelajaran yang memungkinkan tertransformasinya struktur mental subyektif
partisan gerakan sekaligus juga transformasi yang terjadi pada level struktur
sosial obyektifnya. Dalam Bourdieu sifat transformatif ini memang tak
terhindarkan, atau dengan kata lain sifat perubahan ini melekat pada
bidang-bidang yang mengalami perubahan dan secara resiprokal akan tampil
kembali pada bidang lainnya. ‘Hukum’ dari modus imitasi ini pun pada gilirannya
bersifat tak terhindarkan pada kasus DRL. Artinya, seluruh praktik yang terjadi
akan kembali terefleksikan di dalam struktur mental subyktif sekaligus di dalam
struktur sosial obyektifnya. Pada pemahaman inilah proses sosial yang terjadi
selama gerakan reclaiming tanah menyajikan pembelajaran-pembelajaran mengenai
skema-skema tindakan yang diarahkan ke dalam pencapaian the good society.
Secara
umum apa yang dipelajari dari proses sosial seperti ini bisa disistematisir
sebagai berikut: 1) pembelajaran tentang matriks persepsi, 2) pembelajaran
tentang matriks apresiasi, dan 3) pembelajaran tentang matriks praktik
sosial.
Pada
pembelajaran pertama, praktik politik yang terselenggara dalam totalitas
gerakan reclaiming tanah DRL memberikan wawasan pada level gagasan terutama mengenai
terbentuknya skema-skema persepsi yang akan menjadi dasar pijakan anggota
gerakan dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak
dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakangnya sebagai
aktivis gerakan. Untuk contoh ini kita bisa merujuk pada lahirnya skema-skema
praktik –media untuk melihat skema persepsi – yakni pada misalnya momen
pengorganisasian yang merefleksikan keberadaan wawasan dan kesadaran akan
pentingnya pengorganisasian untuk melaksanakan pembagian kerja yang sangat
menunjang terhadap keberhasilan gerakan secara umum. Banyak sekali contoh yang
bisa diketengahkan pada bidang ini. Poinnya disini adalah bahwasannya aktivis
gerakan mengalami pengalaman pembelajaran di dalam proses sosial yang membuatnya
memperoleh skema-skema persepsi baru yang membantunya dalam proses berpikir dan
mempersepsikan sesuatu saat dirinya berada di dalam situasi yang sama.
Pada
pembelajaran kedua, praktik politik ini memberi basis bagi pembelajaran yang
memungkinkan kemunculan skema-skema apresiasi yang memandu agen dalam
menentukan bagaimana seseorang sebaiknya mengapresiasi atau menilai sesuatu di
dalam totalitas gerakan maupun di dalam ranah yang lain. Gerakan reclaiming
pada momen tertentu menyajikan berbagai skema persepsi yang memberi preferensi
pada agen untuk menentukan penilaian terhadap kualitas fenomena sosial, yang
baik maupun yang buruk. Contohnya adalah penilaian-penilain kritis atas
situasi-situasi obyektif yang ditimbulkan oleh berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah
Orde Baru yang dalam titik tertentu justru berubah menjadi aspirasi fundamental
yang mendasari modus resistensi politik dari gerakan yang dimotori oleh
subyek-subyek yang secara sosial ekonomi kerap dikategorikan sebagai tak
berdaya (powerless). Pembelajaran
seperti ini memberi energi panas yang memantik terselenggaranya praktik gerakan
politik yang otentik. Tanpa keberadaan skema-skema apresiasi sulit sekali
membayangkan mengadanya suatu tindakan politik resisten, karena tanpa
keberadaan skema-skema ini maka takkan ada pula apa yang dinamakan dengan
kemampuan memberikan penilaian terhadap kualitas fenomena.
Pembelajaran
ketiga, praktik politik atau proses sosial ini memberikan wawasan pendidikan
yang memungkinkan kemunculan skema-skema tindakan terutama bagi mereka yang
terlibat di dalam gerakan. Praktik-praktik politik otentik yang tersaji di
dalam totalitas proses gerakan reclaiming adalah landscape yang penuh terisi
dengan berbagai varian skema tindakan yang diperlukan agen untuk mengklaim kembali
tanah yang merupakan alat produksi fundamental pada masyarakat bertipe agraris
seperti ini. sebagai ilustrasi bisa dijabarkan pada bagian ini mengenai
bagaimana skema-skema tindakan krusial dipelajari dalam diskusi-diskusi
kelompok, pada acara pematokan, pengukuran, pemetaan, pengorganisasian aksi,
surat menyurat, orasi politik, berhubungan dengan media, berunding dengan pihak
penguasa dan pengusaha dan lain sebagainya. Bagi kalangan tani yang selama 32
tahun berada dalam kuasa rezim otoriter skema-skema tindakan ini bukan saja
tidak terpikirkan melainkan lebih jauh dari itu bahkan mungkin tak pernah
terimaginasikan. Tetapi dengan keikutsertaanya di dalam proses gerakan
reclaiming tanah, mereka yang tadinya berada dalam kondisi nirpolitik berubah
menjadi mereka-mereka yang memiliki daya, vitalitas, pengetahuan, keterampilan
dan keberanian, pendeknya menjadi surplus secara politik. Inilah makna penting
dari gerakan DRL, ia memberikan basis bagi pembelajaran yang kaya akan inovasi
dan menawarkan kebaruan.
Ali Moertopo, Some
Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization of 25 Years Development
(jakarta, Yayasan Proklamasi CSIS, 1972).
Anthony Giddens, Constitution
of Society: Outline of the Theory of Structuration (California: University
of California Press, 1986).
B. Herry-Priyono, Tata bahasa Uang’ dalam Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta,
Penerbit Kompas Gramedia dan Yayasan Astra, 2005)
Eddie
Sius Riyadi, “Politik Sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan
Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt”, dalam Robertus Robet dan Ronny
Agustinus (ed), Kembalinya Politik, (Jakarta:
Margin Kiri, 2008).
Edward B. Taylor, Primitive
Culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion,
art, and custom, (New York: Gordon Press,1871).
Hannah
Arendt, The Human Condition, second edition, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1998).
M. Sastrapratedja. Peranan
Etika Pembangunan dalam Sastrapratedja dkk (ed), Menguak Mitos-mitos
Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia).
Pang Lay Kim & H. W. Arndt, “Survey of Recent
Development”, dalam Bulletin of Economic
Studies No. 4/Juni.
Jerome Karabel dan A.H. Halsey (ed), Power and Ideology in Education (Oxford,
Oxford University Press, 1977)
John Kenneth Galbraith, The Good Society The Human Agenda, (New York: Houghton-Mifflin
Trade and Reference, 1996).
Michael Grenfell dan
David James, Bourdieu and
Education (Bristol: Farmer Press, 1988).
Michele Foucaul, Power/Knowledge
(Sussex, Harvester Press, 1980)
Peter Berger and
Thomas Luckmann,
The Social Construction of Reality, (USA: Penguin Books, 1979).
Pierre Bourdieu, Social
Space and Symbolic Power, Sociological
Theory, Vol 7/1, 1989.
Pierre Bourdieu, The
Logic of Practice, (California: Stanford University Press, 1980/1990).
Pierre Bourdieu and Loïc J. D. Wacquant, An Invitation to Reflexive Sociology,
(Chicago: University Of Chicago Press, 1992).
Pierre Bourdieu, In
Other Words: Essays Toward a Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity Press,
1990).
Pierre Bourdieu, Outline
of a Theory of Practice, (London: Cambridge University Press, 1977).
P. G. Suroso, Perekonomian
Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Polanyi, Arensberg dan Pearson, Ekonomi Sebagai Proses Sosial dalam Hans-Dieter Evers, Teori
Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern (Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1988).
Terry Eagleton, The
Idea of Culture, (Oxford, Blackwell Publisher, 2000).
Melville J. Herskovits,
Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology, (New York:
Alfred A. Knopf, 1948).
Richard Jenkins, Pierre
Bourdie (London, Routledge, 1992).
Richard Rorty, Philosophy
in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin Skinner
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984).
Stephen Grenville, “Monetary Policy and the Formal
Financial Sectors”, dalam Booth and McCawley (editors) The Indonesian Economy During Soeharto Era, (Petaling Jaya: Oxford
University Press, 1981b).
Syamdani, Kontrovesi
Sejarah Di Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2001).
W.
W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960).
[1] http://dewanrakyatlampung.com/?page_id=2,
(Online), diakses tanggal 14
September 2010.
[2] http://dewanrakyatlampung.com/?page_id=15,
(Online), diakses tanggal 14 September 2010.
[3] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun (40) pada tanggal 6 September
2010. Saudara Fenta adalah salah satu pendiri Dewan Rakyat Lampung dan juga
menjadi informan kunci dalam riset ini. Peranannya demikian besar dalam proses Reclaiming tanah. Hingga sekarang masih
aktif sebagai pengurus DRL.
[4] Sumber: http://maps.google.com/
[5] Mengenai ini lihat dalam Press release resmi Dewan rakyat Lampung
tanggal 16 Agustus 1998.
[6] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun, tanggal 12 September 2010.
[7] Laporan dan catatan LBH Bandar Lampung 1998.
[8] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun, tanggal 12 September 2010.
[9] Wawancara dengan Saudara Agus selaku Sekjen pertama DRL 2010.
[10] Sumber: Dokumentasi Dewan Rakyat Lampung
[11] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun, tanggal 12 September 2010.
[12] Wawancara dengan Saudara Agus selaku sekjen Pertama DRL, 11
September 2010.
[13] Lihat kutipan wawancara pada catatan kaki nomor 5.
[14] Wawancara dengan Agus, tanggal 12 September 2010.
[15] Wawancara dengan Saudara Rustam, 18 Agustu 2010.
[16] Wawancara dengan saudara Rustam, 11 September 2010.
[18] Sumber: Koleksi Dewan Rakyat Lampung
[19] Eddie Sius Riyadi,
“Politik Sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan
Politik Hannah Arendt”, dalam Robertus Robet dan Ronny Agustinus (ed), Kembalinya Politik, (Jakarta: Margin
Kiri, 2008), hal: 26
[20] Hannah Arendt, The Human Condition, second edition (Chicago and London: University of Chicago Press, 1998), hal: 25-26.
[21] Ibid., hal: 22.
[22] Ibid., hal: 177
[23] Ibid., hal: 25-26.
[24] Eddie
Sius Riyadi, “Politik Sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan
Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt”, dalam Robertus Robet dan Ronny
Agustinus (ed), Kembalinya Politik,
(Jakarta: Margin Kiri, 2008), hal: 21
[25] Loc. Cit., Eddie, hal:
26-27.