MELIHAT LEBIH "DEKAT" PROSES SOSIAL SEBAGAI MEDIUM PEMBELAJARAN

Bagian Kedua Hasil Riset Unggulan Bidang Ilmu (RUBI) Sosiologi | Universitas Negeri Jakarta (2011)
Oleh: Dr. Robertus Robet & Iwa Inzagi


Dewan Rakyat Lampung dan Pengalaman Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran


1. Pengantar
Salah satu cara untuk melihat bagaimana proses sosial berpengaruh sebagai proses pembelajaran adalah dengan menemukan pengalaman konkret komunitas yang tumbuh dan belajar dari pengalaman. Di titik ini penelitian ini bermaksud membuktikan pandangan bahwa struktur obyektif manusia berelasi secara dialektis dengan pengalaman subyektif manusia dan menghasilkan tindakan-tindakan yang memadai untuk mengubah habitusnya.

Pengalaman Dewan Rakyat Lampung berikut ini dipilih karena ia memberikan contoh sederhana bagaimana tindakan dan kesadaran muncul tidak pertama-tama melalui kesadaran yang secara langsung ditanamkan dalam kesadaran individual melainkan dibentuk di dalam struktur atau melalui proses sosial di mana individu hidup. Dengan demikian transformasi dan kemajuan diperoleh individu justru melalui bidang pengalaman dan tindakannya.

Penelitian lapangan ini memilih organisasi Dewan Rakyat Lampung karena ia adalah salah satu dari sedikit organsiasi berbasis warga yang masih terus bertahan dan mempertahankan modus partisipasi langsung dan dari bawah. Penelitian pada wilayah ini dilakukan selama dua bulan dengan mewawancarai tiga figur utama yakni dua orang mantan sekjen dan satu orang pendiri sekaligus kepala biro organisasinya. Selain wawancara dengan tiga tokoh kunci ini, penelitian ini juga membasiskan diri pada data-data yang dikumpulkan melalui diskusi-diskusi dan kelompok yang diselenggarakan oleh subyek penelitian.

2. Latar Belakang
Dewan Rakyat Lampung (DRL) adalah organisasi non pemerintah (Ornop) yang dibentuk tanggal 12 Agustus 1998 melalui kongres yang diprakarsai berbagai unsur masyarakat, meliputi kalangan aktivis, mahasiswa, pemuda, petani, buruh, nelayan, tunanetra, tokoh agama, organisasi profesi, serta unsur-unsur masyarakat lainnya.[1] Koalisi yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat ini umumnya terdiri dari kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindak-tanduk penguasa Orde Baru yang otoriter dan baru saja terguling pada masa itu.

Visi utama pendirian DRL adalah terbentuknya pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan rakyat. Itulah makna harfiah Dewan Rakyat Lampung; rakyat yang menentukan dan melaksanakan kebijakannya sendiri. Terkait garis besar tujuan pembentukannya, DRL bertujuan menjadi wadah perjuangan rakyat dalam menegakkan hak-hak ekonomi, politik, budaya secara demokratis dan berkeadilan serta mengupayakan pemerintahan yang berpihak kepada masyarakat dengan menitikberatkan kepada upaya pendidikan politik.[2]


“Posko itu ada 198. Dulu itu ada di Kabupaten Kota Bandar Lampung, Kota Madya, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah, Lampung Timur… Tanggamus, Lampung Barat. Sepuluh Kabupaten, 198 Posko. Data terakhir –waktu itu Gua pernah data tapi itu engga lengkap, kita memang kekurangan tenaga dan engga ada logistik yah– kita hanya sempet mencetak kartu anggota diakhir 1998 sampai sekarang –gua belum update– itu kita punya nggota itu 20.000 KK. Itu yang tercetak di kartu anggota. Waktu itu semua belum tercover, belum semunya terdata. Nah, kenapa waktu itu kita kasih kartu anggota? Karena kan jaman Orde Baru juga kan butuh simbol-simbol. Nah kita kasih itu juga untuk mempersatukan mereka; ketika mereka berjuang, ketika mereka bergerak, mereka punya identitas juga.”[3]
  
Pada masa awal pendiriannya DRL tercatat memiliki sekitar 20.000 kepala keluarga yang menjadi anggotanya, tersebar di 198 posko yang berbasis di desa-desa di 10 kabupaten pra pemekaran, antara lain: Kota Bandar Lampung,  Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Lampung Barat.
          
Secara organisasional, struktur organisasi DRL pusat terdiri dari Presidium, Pengurus Harian yang didukung 4 departemen, masing-masing: Departemen Advokasi, Mobilisasi, Pendidikan dan Informasi serta Departemen Dana Usaha. Sedangkan di level Posko Desa, struktur keorganisasiannya terdiri dari: Koordinator Posko yang membawahi Departemen Organisasi, Advokasi, Mobilisasi, Pendidikan dan Informasi, Dana Usaha dan Departemen Keamanan.[5]

“Jadi kalau di DRL itu disebutin struktur organisasinya ada presidium, dipimpin olek ketua presidium, yang mewakili dari dewan mahasiswa, dewan pemuda, dewan petani, dewan buruh. Di bawahnya ada pengurus harian. Pengurus harian itu dibagi dengan departemen-departemen. Departemen-departemennya adalah ada departemen organisasi, departemen mobilisasi… departemen pendidikan dan informasi… terus ada departemen dana usaha.. Nah, di bawahnya baru dibuat posko. Posko itu departemennya sama cuma nambah satu. Jadi ada Ketua Posko, Koordinator posko namanya… ada ketua departemen dana usaha, mobilisasi, pendidikan dan informasi, dan advokasi… Sama di atasnya juga ada 5. Nah, satu ini yang beda, di pengurus harian itu engga ada departemen keamanan..”[6]

Selain karena perubahan radikal situasi politik nasional pasca tergulingnya Soeharto serta segala konsekuensi yang mengiringinya, kelahiran DRL sendiri secara spesifik sejatinya merupakan intisari dari upaya urun rembuk terkait banyaknya pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat. Pangaduan-pengaduan tersebut rata-rata disampaikan kalangan petani dengan mayoritas isi pengaduan menyangkut masalah penggusuran tanah yang umum dilakukan di masa pemerintahan Orde Baru. Tercatat sekitar 180 pengaduan resmi disampaikan masyarakat melalui Posko-Posko Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung (Posko KMPPRL) yang sengaja dibentuk di berbagai kampus di Provinsi Lampung. Posko KMPPRL inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya DRL.[7]

“Pintu masuk terbentuknya organisasi ini adalah karena adanya problem masyarakat, karena ada masalah. Nah, masalah-masalah itulah yang menjadi pintu masuk kita. Karena kita mau masuk ngasih pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, karena masyarakatnya dalam tanda kutip engga ngerti maka kita kasih tau melalui cara-cara yang sederhana. Cara-cara sederhana itu adalah dia yang kena masalah… masalahnya apa? Masalahnya adalah: paling banyak atau sekitar 80 persen masalah itu adalah masalah petani, masalah tanah. Kasus tanah akibat dari kebijakan Orde Baru… Pintu masuk pembuatan DRL itu adalah lewat kasus. Ada sekitar 180 kasus pengaduan dari masyarakat. Di jaman dulu kami itu punya tempat nongkrong di LBH Bandar Lampung… Dulu kami buat namanya komite Mahasiswa Kampus, namanya keluarga mahasiwa (KM). Misalnya ada KM UNILA dan KM-KM lainnya yang terus gabung menjadi satu, namanya KMPPRL atau Komite Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung. Jadi setelah posko ini terbentuk ternyata kasus banyak sekali yang masuk ke kampus-kampus. Kami inventarisir, kami kumpulin semua yang bawa kasus itu. Yang paling banyak sekitar 80-90 persen itu adalah petani. Kita kumpulin, kita bahas bareng-bareng,  kita dorong, kita ajak sama-sama untuk menentukan pola perjuangan. Dari pembentukan ini… pada tanggal 12 dipersiapkanlah kongres dengan nama Kongres DRL. Nah Kongres DRL itu –sesuai dengan rapat-rapat sebelumnya— disepakati untuk pembuatan posko-posko secara besar-besaran di seluruh Lampung.”[8]

Segera setelah dilakukannya inventarisasi masalah dan pembahasan atas berbagai pengaduan masyarakat, pada tanggal 12 Agustus 1998 berbagai kalangan yang melibatkan diri di Posko KMPPRL berkongres di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung (LBH Bandar Lampung) dan pada akhirnya bersepakat membentuk Dewan Rakyat Lampung. Agenda pertama pasca terbentuknya DRL ialah perumuskan strategi perjuangan reclaiming tanah dan pembentukan posko-posko DRL yang berbasis di desa-desa.  [9]

3. Tindakan sebagai Medium Pembelajaran
Dari sekitar 180 pengaduan yang disampaikan masyarakat sebanyak 144 pengaduan atau tidak kurang dari 80 persen diantaranya menyangkut masalah-masalah penggusuran tanah oleh pemerintah. Atas kesepakatan bersama, DRL memutuskan untuk mengadakan unjuk rasa besar-besaran pada bulan Sepember 1998 di Kantor Gubernur Provinsi Lampung.

Tujuan dari demonstrasi besar-besaran tersebut adalah mendesak pemerintah membentuk Tim 13 yang diproyeksikan menjadi juru runding dari pihak masyarakat. Demontrasi pun dilaksanakan dan selama dua hari kantor Gubernur Lampung diduduki. Sebagai hasilnya Tim 13 pun akhinya terbentuk, dengan komposisi 8 orang dari pihak masyarakat dan 5 orang dari unsur pemerintah daerah (pemda).

“Pertama kali kita buat posko –dulu Gua masih mahasiswa dan merangkap menjadi Ketua Litbang LBH Bandar Lampung, Kepala Divisi Tanah– jadi ada deputi politik kedutaan Amerika itu datang ke LBH. Saat itu Gua berdua dengan Ketua LBH Bandar Lampung. Dia tanya: adakah di Lampung ini tanah-tanah Soeharto yang telah diambil alih oleh petani? Nah, kami berdua ini diam, yang kami tahu engga ada di Lampung. Tetapi yang kami tahu di TV di beberapa kasus di Jawa dan Jawa Barat itu diambil semua sama petani. Digarap lagi sama petani. Nah, dari situlah muncul pikiran Gua waktu itu: kenapa engga kita ambil alih aja tanah kaya begini? Bertahun-tahun kita advokasi kasus tanah, kerjaan kita cuman ngadu ke DPR, ngadu ke pemerintah, baik ke gubernur, ke Pemda, maupun ke Kabupaten; tugas-tugas kita hanya mediasi-mediasi dan dipertemukan aja. Tapi engga pernah tanah itu kembali ke masyarakat. Lalu Gua diskusi dengan temen-temen. Lalu kita bilang format berjuangnya harus kita rubah. Kalau dulu pola berjuangnya lewat perundingan sekarang kita balik: dulu kita yang minta berunding sekarang mereka yang harus minta berunding. Caranya gimana? Caranya dalah kita dudukin dulu, kita ambilin tanahnya, namanya reclaiming. Baru kita ajak berunding mereka. Jadi taktiknya berubah. Kenapa seperti itu? Karena situasi politiknya memungkinkan. Situasi politik yang paling memungkinkan itu.”[11]

Berkaca dari berbagai kegagalan gerakan masyarakat miskin yang pernah terjadi sebelumnya, DRL melakukan perubahan taktik perjuangan dengan rumusan strategi sebagai berikut: jika di masa lalu perundingan/mediasi dilakukan tanpa diiringi tindakan apapun, maka kali ini mediasi tetap dilakukan namun dalam saat yang sama diiringi gerak pendudukan atau reclaiming atas tanah oleh masyarakat yang sebelumnya diakuisisi Orde Baru, di saat yang sama masyarakat pun dilibatkan secara aktif untuk berpartisipasi dalam keseluruhan prosesnya. Pelibatan masyarakat ini dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan pemahaman mengenai pentingnya pengorganisasian dan pendidikan politik di dalam proses memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri secara mandiri dan berkelanjutan. [12]

Selain bertolak dari pengalaman kegagalan mediasi kasus-kasus tanah di masa lalu dan juga dengan mengingat daya dukung logistik Ornop yang relatif terbatas, upaya pelibatan masyarakat seperti ini pada gilirannya bernuansa strategis mengingat tanpa terlebih dahulu mempersiapkan masyarakat yang mengerti secara mendasar persoalan yang mereka hadapi dan terutama cara memperjuangkan kepentingannya, maka sulit mengharapkan adanya kesinambungan yang berarti dari gerakan ini dan dengan sendirinya akan berujung tanpa hasil seperti halnya terjadi di masa lalu. Untuk itu upaya pengorganisasian dan upaya pendidikan politik adalah hal krusial yang pertama-tama mesti dilaksanakan. Namun, melancarkan pendidikan politik formal dalam kondisi seperti ini pun bukannya tidak mengandung persoalan berarti.

Umum diketahui bahwa kondisi kesadaran politik sebagian besar golongan tani di masa itu pada umumnya betul-betul minim mengingat hampir selama 32 tahun rezim secara efektif berhasil menutup saluran-saluran politik dan memandulkan kreasi politik masyarakat melalui berbagai cara, mulai dari pelarangan berorganisasi, pembatasan partai politik, dan tidak jarang melalui penangkapan dan penculikan terhadap mereka yang berbeda haluan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Di tengah kondisi sedemikian satu dari sedikit jalan yang pada akhirnya dipilih DRL sebagai solusi dan strategi pendidikan politik masyarakat adalah dengan melakukan pendidikan politik di dalam proses reclaiming tanah, yakni melalui kasus yang menyangkut kepentingan dasar mereka sendiri. Dengan kata lain pendidikan politik masyarakat dilakukan melalui proses learning by doing, yakni dilakukan di saat mereka berusaha mengklaim kembali tanah yang pernah direbut dari mereka.[13]

“Secara ekonomi memang terpenuhi kebutuhan dasarnya kan? Tapi kalau kita kan bukan tujuan ekonomi tetapi secara politik pun dia bisa terpenuhi. Contoh sederhananya seperti yang tadi dimaksud adalah wacana berpikir mereka juga berubah. Kalau dulu mungkin menghadapi konflik itu adalah dengan fisik tetapi setelah mereka mempunyai organisasi karena mereka sudah mengerti cara berkumpul, paling tidak mereka tahu tata cara rapat, lebih sederhana lagi tahu tata cara berurutan misalnya berbicara, tata cara untuk –sederhana lagi– ngomong, jadi mereka secara sederhana mereka sudah bisa mengucap... Kenal kertas itu artinya mereka bisa baca. Baca itu apa? Oh, dia itu bermasalah karena kebijkaan tidak pernah berpihak pada dia. Apa kebijakannya? Oh hukum. Hukumnya apa? Perda atau undang undang? Undang-undang yang mana yang tidak berpihak? Oh ini. Dan mereka tahu tetapi tidak mengerti menjelaskan, tetapi ketika kita ngasi tahu dan menjelaskan karena kebijakan penggusuran tanah ini tidak mengikutsertakan masyarakat, undang-undangnya seperti ini, amanat Undang-Undang Dasar ‘45 seperti ini… Nah itu yang sederhana. Tapi ada lagi yang tidak sederhana, mungkin tidak percaya kalau dulu itu petani yang mendorong terbentuknya Pansus Kehutanan. Dulu secara intelektual engga berani dia, tapi setelah mereka berorganisasi mereka punya keberanian. Tapi yang di level bawahnya ini adalah mereka mempunyai kesadaran. Kesadarannya adalah kesadaran politik sebetulnya. Mereka sebetulnya engga mau lagi ada penindasan dan penghisapan itu. Mereka engga akan lihat kalau kasus ini berkaitan dengan presiden atau kebijakan internasional, krisis global gitu kan? Tapi paling engga di depan mata mereka ketika ada RT nyelewengin gakin gitu, raskin gitu, nah mereka sudah bisa memprotes itu, mereka tolak karena itu adalah penyelewengan kekuasaan secara politik.. paling engga mereka sudah bisa protes. Kalau dulu kan ga berani… kepala desa mau ngapa-ngapain mereka dulu engga berani. Tetapi sekarang kalau dia masuk posko DRL dia engga akan pernah berani melakukan pemotongan raskin, gakin… karena apa? Karena posko ini sudah terlatih keroyokan kalau bahasa kampungnya, amuk. Amuk itu kan budaya Melayu. Jadi kalau ada apa-apa ngeroyok rame-rame. Amuk ini kan keroyokan, tapi kita ubah. Kalau dulu kan kita tidak punya misi. Nah, karena ini dia punya posko, organisasi, jadi amuknya itu bukan karena emosi spontan, tapi karena ada tujuan, karena sebetulnya ini ada penipuan, ada penggelapan. Nah itu yang membedakannya. Jadi kalau dulu massa ini berkumpul , mengereyok sesuatu karena emosional, tetapi ini karena rasional, garis rasionalnya jelas yakni berpihak pada orang yang engga mampu, orang-orang miskin.”[14]             

Merujuk pada kutipan wawancara di atas, di titik ini DRL berhasil menciptakan pendidikan politik berbasis pada proses sosial keseharian dengan cara turut membantu masyarakat tani Lampung mengenali persoalan penghisapan ekonomi dan penindasan politik yang selama ini mereka hadapi, langsung di dalam kasus pengklaiman kembali tanah milik mereka. Dalam proses reclaiming tanah ini masyarakat diajak untuk memahami apa saja persoalan mendasar yang melatarbelakangi meluasnya kemiskinan yang mereka alami selama ini. Masyarakat diajak memahami arti penting kebijakan revolusi hijau yang membuat masyarakat termiskinkan secara struktural. Lebih jauh lagi, masyarakat diajak untuk memahami bagaimana memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka dengan cara-cara yang konstitusional dan politis, menjauhi cara-cara kekerasan yang merugikan legitimasi gerakan. Tak berhenti disitu, masyarakat pun diajak untuk secara mandiri mengorganisir serta membiayai secara swadaya gerakan memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, belajar memperluas isu dan mendapat pemberitaan yang luas, mengalang dukungan dan menggalang solidaritas diantara mereka sendiri, bernegosiasi dengan pemanggu kepentingan lain dan hal-hal lainnya. Singkatnya DRL berhasil menginisiasi pembelajaran politik masyarakat berbasis kepada pengalaman keseharian mereka sendiri dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan ekonomi-politiknya. Hasilnya, tidak kurang dari 113 ribu hektar tanah berhasil diklaim kembali hak guna kepemilikannya, dalam kurun waktu 1998-2002.

“Yang sudah direclaiming 113 sekian ribu hektar. Yang pertama kali di reclaiming oleh DRL itu adalah hutan kawasan industri kawasan register 40 di dua kabupaten (Lampung Selatan dan Lampung Timur) di 28 Desa jumlah lahan yang pertama kami dudukin itu pertama kali itu 1.500 hektar. Jamelina atau jati putih. Mereka gusur lalu mereka tanemin tanaman industri yang waktu itu dikuasain oleh Grup Dharmala HPH-nya, masyarakat masuk dengan DRL menguasai tanah itu. Itu pertama itu 1.500. Baru yang kedua, menguasai di Ujung Betung. Itu hutan Lindung. Di wilayah itu ada kecamatan, ada sekolahan, karena kepentingan Orde Baru ditanemin tanaman produksi kertas yang dijaman itu ada 10.000 sekian hektar. Berikutnya lagi di Register 34 kita kuasain lagi di daerah Bukit Kemuning Lampung Utara itu ada 300 sekain hektar dan itu akhirnya Perhutani nyerah dikasihin ke kita dan dilegalisir lalu dilepas sama mereka. Di Register 40 juga hampir 40 persen sudah di sertifikat karena sudah kita kuasain dari 1998 sampai sekarang… Karena ketika kita dudukin yang jumlahnya ratusan ribu hektar itu, itu bukan untuk kepentingan masyarakat petani thok, tapi juga untuk kepentingan fasilitas sosial. Disitu pasti kita buat untuk fasilitas sosial: rumah ibadah, jalan raya, untuk olahraga, sekolahan, pasar. Di setiap reclaiming kita sket untuk kita bagi: ini untuk perumahan, ini untuk peladangan, ini untuk lapangan olahraga, ini untuk kesehatan, ini untuk pendidikan… itu wajib hukumnya.”[15]

4. Reclaiming dan Tindakan  terhadap Dominasi Simbolik
Tiga daerah pertama yang berhasil direclaiming adalah Hutan Tanaman Industri di Register 40 yang berposisi di Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Selatan dengan luas areal reclaiming mencapai 150 hektar dengan melibatkan 28 desa/posko. Daerah reclaiming berikutnya adalah Hutan Lindung Ujung Betung dengan luas wilayah reclaiming mencapai kurang lebih 10.000 hektar. Daerah reclaiming yang ketiga adalah Register 34 di Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara dengan luas reclaiming mencapai kurang lebih 300 hektar. Keberhasilan ini kemudian menjalar ke sekitar 193 desa yang tersebar di 10 Kabupaten di Provinsi Lampung.

Keberhasilan Gerakan Reclaiming yang dilakukan DRL pada dasarnya merupakan keberhasilan gerakan rakyat dalam merebut kembali hak-hak mereka yang di ambil alih oleh pemerintah, pengusaha, kalangan militer dan pemda. Keberhasilan ini pun sejatinya tidak mungkin dilepaskan dari keberhasilan masyarakat dalam proses pengenalan terhadap problem pemiskinan yang mereka hadapi serta bagaimana mereka memecahkan problem ini secara bersama-sama. Dalam proses ini terlihat jelas kualitas masyarakat yang tadinya berada dalam kondisi nirpolitik berubah menjadi masyarakat yang surplus secara politik, intelek, terorganisir, terencana, dan dengan sukarela bahu membahu berusaha mengklaim kembali hak guna maupun hak kepemilikan tanah dari tangan pemerintah Orba dan kroni-kroninya.

Dalam gerakan inipun terlihat bagaimana pendidikan politik jauh lebih efektif dilakukan melalui metode learning by doing, yakni di dalam proses memecahkan kasus yang dihadapi bersama. Proses inipun bisa berlangsung sinambung karena dalam saat yang sama diikuti dengan upaya pendampingan dan pembelajaran politik, baik pembelajaran yang bersifat ideologis-normatif maupun pembelajaran politik yang lebih bersifat taktis. Ringkasnya, gerakan ini adalah salah satu contoh keberhasilan gerakan pendidikan politik berbasis proses sosial sekaligus contoh mengenai emansipasi politik-ekonomi otentik yang pernah ada di Indonesia.

Menilik pendefinisiannya, reclaiming dalam konteks gerakan Dewan Rakyat Lampung bisa diartikan sebagai sebuah tindakan perlawanan politik yang sistematis, dilakukan oleh masyarakat yang tertidas untuk memperoleh kembali hak kepemilikan dan hak guna atas tanah sebagai sumber penghidupannya.[16] Tujuan dari reclaiming ini sendiri adalah terciptanya kembali keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pemilikan kembali alat-alat produksi, dalam hal ini tanah. Lantas, bagaimana sesungguhnya gerakan reclaiming ini bisa menjadi basis bagi pembelajaran politik masyarakat? Untuk itu kita memerlukan diri untuk melihat ke dalam tiga tahapan gerakan reclaiming yang telah dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah tahapan Pra Reklaiming, Tahapan Pelaksanaan Reclaiming dan Tahapan Pasca Reklaiming.

4.a. Tahapan Pra Reclaiming
Tahapan pra reclaiming adalah tahapan-tahapan yang meliputi serangkaian tindakan yang saling terkait dimana tujuannya adalah untuk mempersiapkan sebuah gerakan reclaiming yang representatif.  Sebagaimana juga disinggung sebelumnya, gerakan reclaiming bertumpu pada berbagai pengaduan masyarakat terkait berbagai persoalan tanah yang dihadapainya. Oleh karena itu, pihak yang paling berkepentingan dengan keberhasilan gerakan ini adalah masyarakat itu sendiri. Sementara itu situasi intelektual dan daya kerja politik masyarakat pada masa itu bisa dinyatakan belum sepenuhnya representatif. Oleh karena itu mencapai situasi masyarakat yang representatif dan siap untuk menghadapi sekaligus mengantisipasi seluruh situasi yang mungkin terjadi menjadi bersifat mutlak pada akhirnya. Inilah fungsi strategis dari tahapan pra reclaiming, yakni untuk memperkenalkan, mempersiapkan sekaligus mengupayakan keterlibatan lebih jauh masyarakat dengan bertumpu pada upaya pendidikan terkait tata cara gerakan reclaiming yang sebaiknya dilaksanakan. Berikut beberapa rangkaian tahapan Pra Reclaiming yang sekiranya perlu diperhatikan:
                          
  1. Musyawarah kelompok 
Musyawarah kelompok adalah media pembelajaran pertama yang bertujuan untuk membantu meningkatkan pemahaman masyarakat terkait berbagai hal yang berkaitan dengan reclaiming. Pokok-pokok musyawarah biasanya berkutat di seputar perbincangan mengenai tujuan dasar dari gerakan reclaiming seperti misalnya:
                          
apakah benar ketimpangan dan pemiskinan bersumber dari tiadanya lahan di pihak tani? Atau: apakah mungkin gerakan reclaiming bisa berhasil dengan dukungan sumberdaya yang tersedia saat itu?

Tujuan dari memperbincangkan masalah-masalah mendasar seperti ini adalah dalam rangka membantu memperluas cakrawala berpikir anggota posko agar mampu memahami secara mandiri persoalan yang mereka hadapi sekaligus merupakan masa dimana mereka menemukan secara pribadi rantai yang mempersamakan satu pribadi dengan pribadi lainnya di dalam totalitas gerakan. Hasil dari penyatuan pikiran tersebut adalah makin tertanamnya pengetahuan terhadap nilai strategis dari gerakan ini. 

Selain membicarakan hal-hal fundamental sebagaimana tersirat di atas, sasaran yang ingin diperoleh dari tahapan ini adalah tergalangnya dukungan yang lebih luas atas gerakan. Bila tahap penyatuan pikiran dan penggalangan massa ini dianggap sudah memadai maka langkah berikutnya adalah menyusun langkah-langkah serta strategi perjuangan. Di tahap ini juga dibahas mengenai pembagian kerja, pembentukan posko dan struktur organisasinya, alur pertanggungjawaban, serta terjadwalnya pertemuan-pertemuan rutin.

Posko itu sendiri lebih merujuk kepada keberadaan kesepahaman bersama mengenai gerakan reclaiming. Posko lebih merupakan fenomena mental alih-alih fisik. Posko merepresentasikan adanya minat, pikiran dan kesamaan tindakan mengenai apa yang diperlukan dan dibutuhkan masyarakat untuk mengubah situasi sosial ekonomi politik yang tengah mereka hadapi. Adapun jika memang ada keperluan untuk melakukan pertemuan rutin, biasanya masyarakat mengadakannya di rumah-rumah anggota posko atau di tempat-tempat umum seperti rumah ibadah dan lain sebagainya. Posko-posko ini biasanya dinamai berdasarkan nama desa atau daerah tempat gerakan reclaiming akan dilaksanakan. Posko sendiri diresmikan oleh masyarakat yang turut disaksikan oleh perwakilan-perwakilan dari posko-posko lain yang telah berdiri sebelumnya serta dihadiri oleh pengurus pusat DRL yang sengaja hadir untuk melegitimasi keberadaannya. Segera setelah posko ini terbentuk masyarakat mulai secara teratur mengorganisir diri untuk membicarakan strategi serta langkah-langkah taktis gerakan reclaiming. Keberadaan posko ini sekaligus menandai keberadaan ikatan dan rantai persamaan yang menghubungkan satu posko dengan posko-posko di daerah lainnya. Hal yang diharapkan dari terbentuknya posko-posko ini adalah munculnya solidaritas dan bertambahnya dukungan terhadap gerakan reclaiming yang akan dilakukan oleh masyarakat setempat.

Selain berembuk dengan anggota masyarakat yang baru akan melakukan reclaiming, dalam tahap ini juga disediakan sesi dengar pendapat dan berbagi pengalaman dengan berbagai kelompok masyarakat lainnya yang sebelumnya pernah melakukan reclaiming. Tujuannnya tak lain adalah guna memperoleh gambaran mengenai bagaimana tahapan-tahapan reclaiming dilaksanakan. Sesi ini juga digunakan untuk menggalang solidaritas dan memperluas jaringan diantara korban-korban penggusuran lahan. Secara ringkas tahapan ini bisa kita sebut dengan tahapan pendidikan pengorganisasian gerakan dengan ciri menonjol yakni partisipasi penuh dari masyarakat.

  1. Pemetaan
Pasca pertemuan-pertemuan rutin dan setelah terbentuknya posko dan kepengurusannya, tahap selanjutnya adalah pemetaan potensi fisik dan sosial. Pemetaan potensi fisik meliputi pemetaan mengenai jumlah anggota posko reclaiming, penghitungan luas tanah yang akan direklaiming dan detailnya, pembagian tanah, juga pemetaan yang berkaitan dengan peruntukkan tanah. Adapun pemetaan sosial adalah suatu upaya untuk mengenali apa saja kendala-kendala serta sejumlah peluang yang mungkin dimanfaatkan secara sosial.

Pada tahapan ini masyarakat secara sadar diajak untuk belajar mengadministrasi sasaran reclaiming, menghitung jumlah anggota dan merencanakan pendistribusian aset-aset fisik, baik aset yang akan dibagikan kepada perorangan maupun aset-aset fisik yang akan digunakan secara bersama-sama. Perencanaan itu sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat dan ditetapkan melalui kesepakatan bersama. Dalam proses perencanaan pembagian lahan misalnya, pembagian didasarkan pada luas wilayah yang akan direclaiming dibagi dengan jumlah anggota yang turut berperan serta dalam proses reclaiming. Penentuan besarannya ditetapkan berdasar status kepengurusan posko dan jumlah keaktifan di dalam kegiatan-kegiatan posko. Pembagian tanah dilakukan dengan maksud untuk menghindari adanya keberatan-keberatan di kemudian hari mengingat tidak semua tanah memiliki kualitas yang sama (kondisi tanah yang subur/tidak subur, berupa rawa-rawa, berkondisi miring dan lain sebagainya). Semua tahapan ini dilakukan di dalam kelompok tanpa campur tangan dari pihak luar termasuk dari pengurus pusat DRL.

Demikian halnya dengan perencanaan pembagian lahan, perencanaan peruntukkan lahan pun dilaksanakan secara bersama-sama dengan pelibatan penuh dari semua anggota posko. Peruntukkan lahan umumnya dibagi kedalam 3 kelompok besar, yakni peruntukkan bagi lahan pertanian, perumahan dan peruntukkan lahan untuk fasilitas sosial yang antara lain meliputi pasar, rumah ibadah, jalan, sekolah, sarana olahraga, tanah kolektif dan puskesmas. Perencanaan peruntukkan lahan ini terbilang penting apalagi jika dikaitkan dengan strategi kebertahanan reclaiming tanah di kemudian hari. Dalam proses perencanaan peruntukkan lahan untuk areal perumahan misalnya, desain perumahan dengan sengaja ditata berdekatan dengan jarak terjauh mencapai 400 m. Desain seperti ini dimaksudkan agar masyarakat yang melakukan reclaiming bisa saling membantu satu sama lain takkala ada gangguan dari pihak lain. Contoh lainnya, jalan pun direncanakan  sedemikian rupa agar berada di depan rumah-rumah dan tidak berada dalam posisi membelakanginya. Oleh karena itu, akan tidak terlalu sulit mengenali daerah-daerah yang dulu merupakan daerah reclaiming di daerah Lampung, mengingat desain tata letak desanya memiliki kekhasan yang sedikit banyak banyak diakibatkan karena keserempakan dalam pembangunan infrastruktur fisiknya. Kekhasan ini sekaligus juga mencerminkan kekompakan dan keberadaan komunitas politik yang solid dan terorganisir dengan rapih. Pemetaan secara fisik diakhiri dengan kegiatan menggambarkan kondisi geografis dan infrastruktur di daerah tersebut serta inventarisasi terkait detail aset-aset yang berada di atasnya. 

Selain pemetaan secara fisik, pemetaan sosial pun memiliki makna yang tidak kalah pentingnya. Hal-hal yang dipetakan disini menyangkut berbagai kekuatan sosial politik yang berpotensi menjadi energi bagi gerakan maupun yang bersifat kontra terhadap gerakan. Pengukuran-pengukuran terkait potensi-potensi penunjang energi gerakan misalnya dilakukan dengan cara mengidentifikasi daerah-daerah terdekat yang juga menyelenggarakan gerakan reclaiming. Hasil pemetaan ini akan memudahkan reclaimer dalam melancarkan hubungan strategis dengan daerah-daerah yang secara geografis berdekatan dengannya. Dukungan moral dan logistik dari daerah terdekat terbukti banyak memberikan dampak positif atas gerakan-gerakan reclaiming di daerah Lampung. Pada saat dilaksanakannya reclaiming mereka biasanya memberi dukungan dalam bentuk menghadiri gerakan reclaiming dengan membawa ratusan anggotanya, sekedar untuk memberikan dukungan moral bahwa mereka mendukung gerakan yang tengah dilaksanakan.  
                              
Selain itu, pemetaaan secara sosial juga meliputi identifikasi atas berbagai dukungan yang bersumber dari kalangan non petani seperti dari kalangan pengacara, mahasiswa, wartawan, tokoh masyarakat dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya pemetaan potensi ancaman yang mungkin timbul dari kalangan pemerintah, militer dan pengusaha. Sasaran dari proses pemetaan ini tentu saja pertama-tama adalah memberikan nuansa pendidikan politik yang kalkulatif dan terukur melalui pengadminitrasian berbagai potensi-potensi, baik yang bersifat peluang maupun potensi yang mengancam kelangsungan gerakan. Di dalam proses ini, sekali lagi masyarakat secara kolektif terdidik dengan sendirinya untuk menjadi lebih intelektual dan politis dari sebelumnya.

  1. Mimbar Bebas
Pasca dilakukannya pemetaan, tahapan berikutnya adalah tahapan sosialisasi gerakan untuk cakupan yang lebih luas yang dilakukan melalui mimbar-mimbar bebas yang umumnya diisi orasi politik mengenai seluk beluk reclaiming. Duta-duta terbaik dari masyarakat angkat bicara di muka umum mengenai tujuan reclaiming, kepentingan reclaiming dan mengapa reclaiming bisa merubah situasi umum masyarakat. Tahapan ini secara singkat bisa disebut sebagai tahapan kampanye terbuka gerakan reclaiming yang melibatkan seluruh awak gerakan.

Dalam mimbar bebas ini masyarakat diajak untuk mendengarkan gagasan-gagasan terbaik dan terpilih terkait segi-segi terpenting dari reclaiming terhadap perubahan signifikan situasi masyarakat setempat. Orasi-orasi politik ini membantu mengingatkan anggota gerakan lainnya pada penderitaan yang mereka alami sehingga semangat untuk meneruskan gerakan terjaga dan makin membara. Selain dihadiri anggota, mimbar bebas juga dihadiri wartawan, pengacara, orang-orang dari elemen parpol, pemerintahan, mahasiswa serta elemen-elemen masyarakat lain yang sengaja diundang untuk turut membantu mendukung gerakan. Selain untuk mengkampanyekan gerakan reclaiming secara lebih luas, mimbar bebas juga sangat bermanfaat dalam rangka menjaga soliditas gerakan di level anggota, mengingat masing-masing anggota secara sukarela dipersilahkan untuk berorasi, menyatakan pendapat, menyampaikan keluhan, membakar semangat atau sekedar menyatakan dukungan akan gerakan reclaiming. Mimbar bebas ini biasanya diadakan di tempat-tempat umum seperti perempatan jalan, balai desa, di lapangan atau bahkan di halaman rumah anggota posko.

Dari ketiga rangkaian kegiatan pra reclaiming yang diuraikan di atas bisa disimpulkan bahwa masyarakat mendapatkan pembelajaran langsung mengenai bagaimana suatu pengorganisasian gerakan politik dilancarkan secara sistematis dan demokratis. Segenap aspek reclaiming dibicarakan secara bersama melalui media-media yang sengaja diciptakan untuk menumbuhkan gerakan hingga berkembang ke tahap yang memungkinkan untuk melancarkan aksi berikutnya. Dalam tahapan pra reclaiming masyarakat belajar bagaimana melakukan pengorganisasian politik dengan menciptakan organisasi bernama Posko yang berfungsi sebagai ruang publik tempat seluruh aspek dari gerakan direncanakan dan wadah dimana pembagian kerja diselenggarakan. Masa-masa pra reclaiming pada dasaranya adalah momen intelektual masyarakat yang menjadi media pembelajaran bagi terciptanya masyarakat yang sadar dan kritis terhadap apa yang menjadi persoalan kolektifnya serta wahana untuk memahami cara untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Melalui tahapan ini masyarakat belajar mengenai tata cara memperjuangkan kepentingan ekonomi politiknya secara mandiri, bergairah dan sistematis.    

4.b. Tahap Pelaksanaan Aksi Reclaiming
Berdasar pada sistematikanya, tahapan pelaksanaan reclaiming dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesiapan pada tahapan sebelumnya. Tahapan ini dimulai dengan aksi pemberian tapal batas wilayah reclaiming atau pematokan lahan yang akan direclaim yang dilakukan secara serentak serta disaksikan oleh pihak-pihak lain, dalam hal ini wartawan, pihak pemerintah, mahasiswa, maupun kawan-kawan yang berencana melakukan gerakan reclaiming maupun mereka yang telah terlebih dahulu berhasil melakukan gerakan reclaiming di tempat lain.
  
Umumnya kelompok masyarakat yang pernah sukses melaksanakan gerakan reclaiming diundang dan diwajibkan untuk datang guna menunjukkan dukungan dan solidaritasnya. Rata-rata datang dari desa-desa terdekat dengan mengerahkan seluruh anggota posko yang pernah terlibat di dalam gerakan. Selain datang dengan maksud memberikan dukungan dan solidaritas, kelompok masyarakat ini pun turut ambil bagian dalam memberikan saran dan pandangan terkait tahapan-tahapan yang pernah mereka lakukan dalam gerakan reclaiming yang pernah dilakukan sebelumnya. Fungsi lain dari kehadiran posko-posko lain ini adalah untuk menunjukkan bahwa gerakan reclaiming yang dilaksanakan memiliki basis dukungan yang luas sehingga diharapkan mampu menyurutkan upaya resistensi berarti dari pihak lain. 

Setelah aksi pematokan atas seluruh tanah yang akan direclaim, langkah selanjutnya adalah menduduki objek reclaiming. Proses ini berlangsung setelah terlebih dahulu dilakukan tertib pembagian tanah mengacu kepada dokumen pemetaan yang telah dilaksanakan pada tahap pra reclaiming. Sekedar sebagai catatan, proses pembagian tanah ini dilakukan melalui tata cara pengundian. Tujuannya adalah untuk menghindari kecemburuan sosial yang potensial muncul disebabkan tidak meratanya kondisi tanah.

Pendudukan ini dilakukan secara serentak dan massif. Pada tahap ini masyarakat mulai mendirikan bangunan rumah di atas tanah tersebut, menggarap lahan untuk kepentingan pertanian, mengganti tanaman yang ditanam oleh pihak lain, mendirikan bangunan untuk fasilitas umum, mempertahankan hutan desa dan menggarap pekerjaan-pekerjaan lainnya. Pasca pendirian bangunan rumah seluruh anggota reclaiming diwajibkan untuk meninggalinya. Tindakan ini memiliki beragam makna, salah satunya dalam rangka memberikan sinyal bahwa objek yang telah direclaim telah secara serius digarap dan didiami dan tidak begitu saja ditelantarkan. Tanah-tanah reclaiming ini juga tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atas dasar keputusan bersama.

Totalitas tahapan pelaksanaan reclaiming di atas umum diadaptasi menjadi pola reclaiming tanah di berbagai daerah di Lampung. Dengan kata lain, pola pelaksanaan reclaiming seperti ini adalah pola bersama yang dipelajari dan terus menerus disempurnakan dalam masa-masa gerakan reclaiming dilaksanakan, yakni sejak tahun 1998 hingga sekarang. 

4.c. Tahap Pasca Reclaiming
Masa pasca gerakan reclaiming adalah masa-masa dimana resistensi dari pihak luar mulai surut. Masa-masa ini lebih digunakan sebagai masa penataan objek reclaiming. Rata-rata posko-posko yang sebelumnya telah melakukan reclaiming berupaya mendiami serta menggarap lahan hingga produktif. Selain itu masyarakat juga berupaya terus menerus melancarkan upaya pengakuan hukum atas tanah dari pihak pemerintah melalui jalur hukum. Pengakuan hukum ini dilaksanakan melalui berbagai cara, mulai dari membayar pajak bumi dan bangunan hingga membawa perkara hak atas tanah ini ke pengadilan. Banyak diantara tanah yang telah direclaiming kemudian mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah dan banyak pula diantaranya telah menjadi desa-desa administratif. Tercatat sekitar 12 desa yang tadinya didirikan di daerah-daerah reclaiming kemudian menjadi desa yang diakui secara administratif dan dikepalai oleh orang-orang yang pernah terlibat dalam gerakan reclaiming. Meneruskan pembangunan fasilitas sosial juga menjadi kerja bersama dalam fase ini. Masyarakat secara swadaya bahu membahu membangun infrastruktur seperti jalan, pasar, rumah ibadah, pusat kesehatan, sekolah, sarana olah raga dan lain sebagainya.

5. Warga yang Aktif dan Fungsi Pembelajaran Politik
Di masa-masa awal gerakan reclaiming masyarakat secara umum mengidap ketakutan tertentu untuk memecahkan problem-problem kemiskinan yang menimpanya. Ketakutan dan sikap gugup yang dialami masyarakat bersumber dari berbagai hal, antara lain tiadanya kemampuan untuk mengenali hak-hak konstitusionalnya serta ketidaktahuan menganai cara memperjuangkan hak-haknya di satu sisi serta perlakuan refresif dari negara di sisi lainnya. Tetapi setelah rangkaian sukses yang ditorehkan melalui gerakan reclaiming, kepercayaan diri masyarakat dalam mengelola kepentingan-kepentingan kolektifnya bangkit dan secara swadaya mulai menterapkan berbagai strategi dan pendekatan yang dipelajari melalui gerakan reclaiming untuk memecahkan problem-problem kepublikan lainnya. Ketakuatan dan kegugupan dalam menyelesaikan problem-problem itu seakan menguap begitu saja diganti perasaan optimis dan penuh daya. Proses ini telah menunjukkan bahwa halangan-halangan struktural yang tampaknya sukar dan bebal dapat mereka tembus dan berakhir dengan kemenangan di pihak masyarakat. Tidak ada lagi buruh tani yang tidak memiliki lahan garapan dan tidak ada lagi uang sewa yang harus dikeluarkan untuk membayar sewa tanah untuk sekedar mendirikan bangunan rumah di atasnya. Lapangan pekerjaan pun terbuka karena setiap orang kini memiliki alat produksi pertanian paling vital, yakni tanah. Itulah indikator riil dari keberhasilan reclaiming secara ekonomi dan politik.

Indikator keberhasilan secara politik juga terlihat pada momen munculnya kemauan dan kemampuan masyarakat secara kolektif dalam mengorganisir gerakan reclaiming hingga mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama. Sistematisasi serta pengorganisasian politik adalah dua hal yang dipetik dari pengalaman pergerakan politik ini. Pengalaman itu pun memberikan pengaruh signifikan pada perubahan wacana berpikir masyarakat dalam memandang persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan-kepentingan kolektif mereka.

Selain itu, rangkaian kegiatan baru-baru ini juga berhasil menunjukkan kemajuan politik masyarakat secara signifikan yang terlihat pada momen Pilkada yang dilangsungkan di Kabupaten Lampung Selatan yang berakhir pada bulan Mei 2010. Sadar akan kepentingannya untuk menjaga berbagai aset yang telah direclaiming di masa lalu serta dilandasi kesadaran untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan melayani rakyat dan juga didasari dengan kesadaran akan makin maraknya prilaku-prilaku penyimpangan birokrasi yang selama ini seolah menjadi rutin dan biasa, masyarakat yang tergabung dalam Dewan Rakyat Lampung sepakat untuk menempatkan salah satu wakilnya dalam pemilihan bupati di wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Kesatuan masyarakat yang terorganisir melalui pengalaman perjuangan reclaiming tanah di masa lalu mulai mencetuskan ide untuk menempatkan salah satu wakilnya di pemerintahan melalui jalur independen.         

Sekali lagi secara swadaya masyarakat mengorganisir diri secara politik dan melakukan kampanye secara sukarela untuk mendukung calon yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka melakukan pengorganisasian kampanye dengan memanfaatkan jaringan Posko-Posko DRL yang telah lama mapan terbentuk. Masing-masing posko mendanai secara swadaya kampanye yang mereka lakukan. Pendanaan itu sendiri diambil dari penghasilan yang diperoleh dari pemanfaatan tanah kolektif yang sejak dulu sengaja didorong keberadaannya untuk keperluan-keperluan kolektif.   

Pembentukan tim sukses berbasis desa-desa pun dilakukan. Sebagai ilustrasi, jika di suatu desa terdapat 200 kepala keluarga yang menjadi anggota DRL maka setiap hari dipilih 5 orang untuk diutus berkeliling kampanye ke desa-desa lain dalam rangka mensosialisasikan calon bupati yang dicalonkannya. Seluruh logistik kampanye seperti alat peraga kampanye, sarana transfortasi untuk mobilisasi massa semuanya dibiayai oleh masyarakat.

Fenomena ini pada akhirnya merupakan anti tesis terhadap persoalan mahalnya biaya politik yang disebabkan politik uang dewasa ini. Dan dengan pengenalan akan kepentingannya sendiri serta berbekal keterampilan berpolitik yang diperoleh dari pengalaman gerakan reclaiming tanah, masyarakat yang tergabung dalam posko-posko DRL berhasil menciptakan atmosfir kegairahan politik yang bersifat sukarela, mandiri dan dilandasi semangat pengedepanan kepentingan bersama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, memiliki keberpihakan pada masyarakat dan demokratis.    

Kemajuan cara berpikir seperti ini dalam kasus Indonesia merupakan sebuah lompatan berarti di tengah berbagai kelemahan-kelemahan sistem politik yang ada. Hal ini juga menandakan bahwa pendidikan politik dengan berbasis kepada proses penanggulangan kasus-kasus yang bersentuhan langsung dengan kepentingan riil masyarakat bisa menjadi pintu masuk bagi kemunculan politik otentik yang merefleksikan kemunculan esensi politik yakni upaya bersama dan sungguh-sungguh dalam rangka mengupayakan pengedepanan kepentingan umum melalui cara-cara yang demokratis.

6. Penutup: Proses Sosial, Tindakan dan Pembelajaran
Pertama, pendidikan harus pertama-tama menempati dan membentuk suatu matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen;

Kedua, pendidikan juga harus membentuk bentuk-bentuk appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu.

Ketiga, pendidikan harus mengarahkan orang kepada tindakan action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu.

Keempat, ringkasnya pendidikan adalah cara untuk membentuk atau mengubah dari suatu habitus menjadi habitus yang baru.

Dalam penjelasan Bourdieu mengenai habitus, keberhasilan-keberhasilan proyek emansipasi ekonomi melalui gerakan politik yang dicapai masyarakat Lampung, sebagaimana tersaji pada paparan di atas, dibaca sebagai buah dari terciptanya habitus baru yang berhasil menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik sosial masyarakat. Dalam rumusan konvensionalnya, habitus adalah basis pijakan agen dalam berfikir, mempersepsi, mengapresiasi dan berpraktik di dalam arena sosial. Berpijak pada rumusan tersebut maka habitus yang baru ini secara empirik ditenggarai telah berhasil menstimulasi munculnya kebaruan yang membuat masyarakat yang tergabung dalam Dewan Rakyat Lampung memiliki matrik persepsi, skema apresiasi dan skema-skema tindakan yang mampu menggerakkan dan mengatur praktik sosialnya ke arah tindakan-tindakan politik emansipatif yang dilandasi visi kemakmuran bersama yang diterjemahkan kedalam simbol reclaiming tanah oleh dan untuk semesta rakyat (tanah sebagai sumber kemakmuran utama dalam struktur sosial khas masyarakat agraris).

Gerakan politik yang terorganisir, intelek, sistematis dan berlandaskan pada partisipasi aktif menjadi ciri gerakan reclaiming tanah yang dilakukan DRL. Keterlibatan masyarakat dalam karakteristik gerakan yang khas seperti ini telah serta merta memberi ruang pembelajaran yang membuat masyarakat partisipan mampu menemukan dan mentransformasikan rantai persamaan  yang kemudian mempertautkan aneka ragam aspirasi pribadi kedalam dan menjadi identitas kolektif dalam rangka memperjuangan apa yang dianggap sebagai hak politik, ekonomi dan hak-hak sosialnya. Mampu tampilnya masyarakat dalam bentuk progressif seperti ini dalam pemikiran Hannah Arendt hanya terjadi ketika masyarakat memiliki kebebasan politik yang keberadaannya ditandai dengan munculnya skema tindakan-tindakan politik yang titik orientasinya diarahkan di dalam horizon pengedepanan kepentingan umum. Dalam rumusan Arendt: “Kebebasan warga pada hakikatnya merupakan urusan privat, sementara kebebasan politik merupakan urusan publik, masalah keterlibatan dalam urusan-urusan publik”.[19]

Kualitas masyarakat yang muncul di dalam dan sebagai hasil dari proses perjuangan reclaiming tanah adalah kualitas masyarakat yang memiliki kemampuan untuk terlibat dalam urusan-urusan kepublikannya. Diperolehnya karakter politis dari masyarakat seperti ini kembali bisa dijelaskan melalui Arendt yang memahami masyarakat sebagai ruang publik yang mempertautkan beragam kepentingan dari manusia yang hidup mengitarinya, sehingga manusia bisa saling berbagi, saling memahami, mendengarkan dan mengerti satu sama lain. Dalam hal ini Arendt menawarkan dua terminologi kunci untuk memahami keberhasilan ini, yakni: ‘tindakan’ (praxis) dan ‘ucapan’ (lexis) yang baginya merupakan elemen-elemen yang mengkonstitusi kehidupan politik.[20] Jadi, dengan demikian maka keberhasilan pencapaian kualitas masyarakat seperti ini (DRL) harus dimengerti sebagai buah dari berhasil diaktifkannya ruang publik yang mampu memberikan wahana yang menjadi landasan untuk saling mendengar, dimengerti dan dipahami yang diantarai oleh tindakan dan wicara. Dalam gerakan reclaiming, aspek tindakan dan wicara selalu terlibat, pada rapat-rapat, pada orasi-orasi, pada momen penggalangan massa.  

Dari pengalaman DRL ini, menyangkut kaitannya dengan pembelajaran, beberapa hal dapat kita pastikan yakni, pertama, bahwa pembelajaran yang menghasilkan kesadaran politik dan habitus baru selaku komunitas warga yang aktif tidak pertama-tama diperoleh melalui modus pendidikan yang terstruktur secara obyektif dan terarah melainkan justru dimulai dari lingkungan sosial di mana mereka hidup. Pembelajaran mengenai hak, hukum aturan rapat, berorganisasi tidak didapat dari ‘sekolah’ atau sarana-sarana resmi melainkan melalui keterlibatan langsung.

Kedua, proses pembelajaran di dalam proses sosial ini berlangsung dengan bantuan skema-skema sosial tertentu seperti adanya daya dukung organisasi dan komunikasi. Dengan itu pembentukan suatu habitus  juga mensyaratkan konsistensi dari kerja skema-skema sosial ini.

Ketiga perubahan dalam habitus secara langsung mengena pada modus keberadaan dan taksonomi tubuh dari setiap anggota dalam komunitas yang mempercayainya. Ini yang membuat setiap gagasan bertahan dan setiap tindakan mendapatkan pendasarannya. Dengan kata lain habitus yang mengalami transformasi (dari warga yang pasif menuju warga yang aktif) menghasilkan juga kualitas intelektual dari warga.

Keempat, dalam perubahan habitus itu setiap orang juga mengalami perubahan dalam cara memandang proses sosial, ini merupakan respon yang terjadi setelah habitus baru kelihatan terbentuk. Setiap orang mulai memandang skema-skema sosial di luar dirinya sebagai berharga dan dapat diandalkan sebagai sumber pembelajaran. Di titik ini proses belajar kemudian menjadi lebih lestari dengan mengambil bidang yang luas.

Praktik Politik Otentik dan Proses Sosial Sebagai Basis Pendidikan
Ada banyak pelajaran yang bisa sama-sama kita petik dari peristiwa gerakan reclaiming tanah Dewan Rakyat Lampung. Dua dari sekian banyak ‘buah matang’ yang bisa petik dari peristiwa ini ialah (1) tentang praktik politik otentik dan (2) pengaruh praktik politik otentik tersebut terhadap dua hal: pertama terhadap struktur mental subyektif aktivis gerakan; dan kedua, pengaruhnya terhadap terbentuknya tatanan politik yang merefeksikan minat dan gairah yang kuat dalam memunculkan esensi dari yang-politik itu sendiri, yakni pengedepanan kepentingan umum.

Dua pikiran utama dari paragraf di atas sebenarnya bisa dieksplorasi lebih jauh. Eksplorasi pertama adalah tentang segi-segi praktik politik otentik dalam gerakan DRL sekaligus mengapa praktik itu bisa dikelompokkan kedalam praktik-praktik politik otentik, dan kedua, eksplorasi atas pengaruh politik dengan karakteristik sedemikian terhadap terbentuknya (1) struktur mental subyektif dan (2) terhadap terbentuknya struktur sosial obyektif yang baru. Pada yang pertama ekplorasi dilakukan dengan sepenuhnya merujuk pada pemikiran Hannah Arendt mengenai “kebebasan politik”. Pada yang kedua, eksplorasi akan kembali bertumpu kepada konsep “habitus” dari Pierre Bourdieu. Kedua elaborasi ini sepenuhnya diarahkan kedalam pencarian katagori-kategori empiris yang diproyeksikan untuk mempertahankan tesis mengenai proses sosial sebagai basis bagi pembelajaran/pendidikan.


Praktik Politik Otentik dalam Perspektif ‘Kebebasan Politik’ Hannah Arendt
Politik dalam cara tertentu dirumuskan Arendt sebagai “hidup di dalam polis”. Dalam pernyataan seperti ini inheren terselip suatu gagasan mengenai keberadaan ‘tindakan yang secara sengaja dipraktikkan’ di dalam polis, karena hidup –dalam ciri-cirinya yang paling mudah diobservasi– berarti bertindak.

Secara sistematik Arendt memulai penjelasannya mengenai ‘kebebasan politik’ dengan pertama-tama  menjelaskan apa itu manusia. Manusia baginya bisa dilihat di dalam terang tiga dimensi vita activa-nya, yaitu kerja, karya dan tindakan, dimana tindakan adalah hal yang disebutnya mengkonstitusi dan mengekspresikan dimensi politik manusia.[21] Tindakan berarti memulai dan memulai berarti melakukan pilihan-pilihan; pada momen inilah kebebasan mengada.[22] Antropologi filsafat ini lantas ditarik Arendt ke dalam antropologi politiknya, yakni manusia adalah mahluk politis, lebih sebagai resultan dari konstruksi tindakan bebasnya. Dengan demikian maka tindakan bebas manusia adalah politik, dan karena itu politik tidak bisa tidak mempersyaratkan kebebasan. Ringkasnya, politik tanpa kebebasan bukanlah politik.

Bagi Arendt, apa yang mengkonstitusi kehidupan politik manusia adalah ‘tindakan’ (praxis) dan ‘ucapan’ (lexis). Keduanya mengada secara bersama-sama (coeval) dan sama (coequal).[23] Sementara itu, tindakan baginya hanya bisa dimengerti sejauh hal ini terjadi terjadi di dalam masyarakat. Masyarakat sendiri dipahaminya sebagai ruang publik yang mempertautkan beragam kepentingan manusia yang hidup di dalamnya, sehingga memungkinkan manusia untuk bisa saling berbagi, saling memahami, mendengarkan dan dimengerti satu sama lain. Di titik ini, selain mempertegas keutamaan dari tindakan yang menghubungkan antara satu dengan yang lain, Arendt pada dasarnya sedang menunjukkan satu lagi kondisi kemungkinan bagi politik, yakni pluralitas manusia. Jadi, tindakan (bebas) yang disamaartikan dengan politik hanya bisa dimengerti keberadaannya di dalam pluralitas manusia, dan dari titik ini pula kita bisa mulai memasuki apa yang dimaksudnya dengan ‘kebebasan politik’.

Kebebasan politik dalam Arendt adalah praktik polis di Yunani kuno dimana warga secara bebas berkumpul dan berdebat dalam rangkaian pengambilan keputusan bersama. Kebebasan politik lebih bekerja dalam formula freedom to atau bebas untuk melakukan apapun dan menjadi apapun berdasarkan otonomi seseorang. Secara kontras Arendt lantas membedakan kebebasan politik dengan kebebasan personal. Kebebasan personal baginya justru lebih cenderung bekerja dalam rumusan freedom from atau bebas dari apapun dan siapa pun yang menjadi penghalang atas pemenuhan hasrat diri.[24]  Kebebasan politik, lebih jauh lagi, dinyatakan tidak serupa dengan kebebasan berkehendak (free will) serta sama sekali berbeda dengan terminologi independensi maupun kedaulatan (sovereignty) yang umum mendominasi pemahaman kita mengenai kebebasan. Bagi Arendt, jika kebebasan dipahami sebagai ketidaktergantungan maka hal ini sulit untuk bisa dimengerti, karena politik persis mengandaikan kesalingtergantungan. Dan oleh karena itu rumusan seperti ini pada akhirnya membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa kebebasan pun bisa akan berarti kebebasan dari politik, dan hal ini ditolak dengan tegas oleh Arendt yang memahami kebebasan dalam konsep antiknya, yakni kebebasan sebagai konsep politik. 

Kebebasan sebagai konsep politik tidak didasarkan pada pemahaman baku mengenai asal usul kesetaraan sebagai produk bawaan dari kelahiran manusia yang diciptakan sama dan setara, yang dengan demikian dia bersifat terberi begitu saja. Berbanding terbalik dengan pandangan ini, kebebasan politik justru merupakan sesuatu yang lahir dari konstruksi institusi artifisial manusia dan pada fungsinya menjadi atribut untuk mendapatkan kesetaraan sebagai warga di dalam polis. Dengan kata lain, dalam cara berpikir ini, baik kesetaraan maupun kebebasan adalah produk dan kualitas yang dicapai manusia sebagai hasil dari konstruksi institusi artifisialnya, yakni polis. Kategori kebebasan seperti ini, dalam hal ini, selalu dikaitkan dengan konsep warga yang dengan bebas memilih mengikatkan dirinya ke dalam polis dan bukan pada konsep ‘massa’ dalam pengertian kumpulan manusia yang tidak terikat ke dalam polis yang merupakan arena politik dimana kebebasan politik mengada. dalam upayanya untuk lebih memperjelas konsep kebebasan politik, Arendt lantas membedakan kebebasan jenis ini dengan sejumlah fenomena kebebasan lain. 

Kebebasan (freedom) tidak sama dengan pembebasan (liberation). Pembebasan hanyalah prasyarat bagi kebebasan, tetapi pembebasan tidak otomatis membawa kita pada kebebasan. Kebebasan (politik) juga tidak boleh dikacaukan dengan kebebasan warga (civil liberty) dan hak-hak. Kebebasan warga pada hakikatnya merupakan urusan privat, sementara kebebasan politik merupakan urusan publik, masalah keterlibatan dalam urusan-urusan publik. [25]

Mencermati kutipan di atas, kebebasan politik dengan demikian selalu tertuju pada fungsinya yakni pada fungsi tindakan yang dengan sadar diorientasikan di dalam kerangka pengedepanan urusan-urusan kepublikan melalui modus keterlibatan di dalam ruang publik/polis.

Dalam rumusan ini, dan dalam kepentingannya untuk memberi parameter-parameter terhadap apa yang disebut sebagai praktik politik otentik maka kita bisa mulai merumuskan beberapa hal. Pertama, praktik politik otentik, minimum adalah tentang hidup dengan baik di dalam polis. Dengan demikian maka bertindak di dalam polis harus diartikan sama dengan upaya untuk merawat polis itu sendiri sekaligus menjaga peluang lestarinya kehidupan yang-baik. Kedua, praktik politik otentik hanya akan mampu merekah jika didahului adanya keberadaan kebebasan politik —kebebasan untuk terlibat di dalam urusan-urusan publik. Ketiga, praktik politik otentik lahir dari konstruksi institusi artifisial manusia dan pada fungsinya menjadi atribut untuk mendapatkan kesetaraan sebagai warga di dalam polis. Dalam hal ini kesetaraan bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja melainkan resultan dari suatu tindakan yang disengaja. Dan keempat, praktik politik otentik mengada sebagai sebentuk komitmen kepada pengedepanan kepentingan-kepentingan umum, yang tercermin melalui tindakan-tindakan partisipatif-aktif di dalam polis, yang struktur tindakannya sama sekali jauh dari sifat destruktif melainkan melalui cara dan wicara (praxis-lexis).

Keempat rumusan di atas pada gilirannya bisa diproyeksikan untuk memberi tafsir teoritis terhadap gerakan reclaiming tanah yang dilakukan DRL. Secara ringkas keempatnya bisa dijelaskan dengan menyoroti beberapa momen yang terjadi selama gerakan ini berlangsung. Pertama pada terbentuknya apa yang disebut Arendt dengan ruang publik.

DRL dan posko-posko DRL sejatinya adalah polis/ruang publik tempat para petani dan warga pada umumnya berbincang membicarakan urusan-urusan kepublikannya. Dalam perjalanannya posko-posko ini menjadi media yang sangat efektif untuk bertukar informasi, menyatukan pandangan, mengaspirasikan diri dan saling dimengerti. Di dalam posko-posko ini diolah berbagai isu terkait dengan hal-hal yang diperlukan untuk melancarkan gerakan emansipasi ekonomi politik yang sistematik. Keberhasilan menciptakan ruang publik ini adalah salah satu momen yang menentukan keberlanjutan gerakan. Pada momen ini dan di dalam ruang publik inilah pada akhirnya masyarakat yang terlibat dalam gerakan mengalami pembelajaran yang membuatnya memahami aspek-aspek ideologis-taktis terkait dengan seluk beluk gerakan reclaiming. Inilah makna penting dari ruang publik DRL, ia digunakan sebagai medium pembelajaran atas berbagai tindakan yang menjadi kunci untuk membuka deadlock sistem sosial lama yang usang, otoriter dan memiskinkan. Dan inilah ciri dari gerakan politik otentik, dia menghasilkan kebaruan situasi dan mendorong munculnya kemampuan artikulatif sekaligus mengasah daya tafsir masyarakat atas situasi sebagai buah dari interaksinya di dalam polis/DRL.

Yang kedua adalah pada manifesnya kebebasan politik. Di dalam gerakan reclaiming idiom-idiom gerakan sebagaimana halnya unjuk rasa, konvoi, solidaritas, dukungan, orasi, strategi, rapat, aksi, reclaiming, penindasan politik, penghisapan ekonomi, undang-undang agraria, reformasi agraria, revolusi hijau, dewan rakyat lampung, dlsb, sejatinya adalah penanda-penanda yang terbentuk secara baru dalam horizon pikir petani yang pada saat itu berada dalam kondisi nirpolitik. Fase-fase gerakan reclaiming tanah dalam cara tertentu telah mampu memberi bobot dan keluasan sekaligus tapal batas terminologis (signifier) pada penanda-penanda tersebut. Dalam kontinum berikutnya penanda-penanda ini mulai membentuk tatanan simbolik baru, yang pada puncaknya bekerja mentransformasikan identitas kolektif lama dari mereka yang memilih bergabung di dalam gerakan reclaiming. Hasilnya, sistem penandaan baru ini mampu menandai lahirnya berbagai praktik politik yang merefleksikan keberadaan kebebasan politik, terutama pada momen dimana kalangan tani berhasil memilih untuk terlibat secara aktif mengelola urusan-urusan kepublikannya di sepanjang tahapan-tahapan gerakan reclaiming tanah. Inilah aspek lain yang membuat gerakan politik yang dirancang DRL bisa disebut sebagai gerakan politik otentik. Dan di dalam fenomena ini pula kita menemukan karakteristik masyarakat yang belajar secara langsung mengenai idiom-idiom –ideologis maupun praktis– yang berkaitan dengan keperluannya sebagai masyarakat yang tengah berusaha memahami dirinya di dalam horizon tatanan simbolik baru yang akan digunakannya sebagai perangkat intelektual yang mendasari praktik-praktik dalam mengemansipasi kondisinya ke arah yang lebih baik.  

Ketiga. Pasca terbentuknya tatanan simbolik baru yang bersifat transformatif di atas (yang bisa kita efisiensikan kedalam simbolik “gerakan reclaiming tanah DRL”) praktik-praktik politik otentik menjadi mampu mengada dalam arti terdefinisi dan terpersepsikan sebagai yang-sosial, dan sebagai konsekuensinya bentuk-bentuk empiris dari emansipasi atau penyetaraan diri muncul untuk pertama kalinya sebagai fenomena kolektif (misalnya dalam momen pembagian tanah yang membuat semua orang secara ekonomis setara, pada even mimbar bebas, pada pertemuan-pertemuan posko; pada momen-momen ini semua orang yang terlibat mengalami kesetaraan sebagai resultan dari tindakan politisnya). Fenomena ini seolah menjadi justifikasi empiris atas tesis filsafat politik Arendt yang menyebutkan bahwa raison d’etre politik adalah kebebasan dan bidang pengalamannya adalah tindakan. Dan persis di titik ini pula, lagi-lagi modus kejadian seperti ini menjadi padanan empiris atas tinjauan filosofis Hannah Arendt yang menjabarkan ‘kebebasan politik lahir sebagai hasil dari konstruksi institusi artifisial manusia dan pada fungsinya menjadi atribut untuk mendapatkan kesetaraan sebagai warga di dalam polis. Pada momen ini kita kembali menemukan aspek politik otentik dari gerakan reclaiming tanah DRL, yakni pada hadirnya kesetaraan sebagai fenomena kolektif yang merupakan buah matang yang dipetik dari tindakan politik yang meniscayakan kebebasan. Disini pula kita menemukan masyarakat yang belajar mengenai teknik mencapai kesetaraan kolektif, langsung di dalam dan melalui pengalaman kesehariannya sebagai aktivis gerakan.  

Keempat. Dalam beberapa momen lain, sebagaimana juga kita lihat pada penjabaran pada bagian pendahuluan, terdapat ciri-ciri yang menandakan keberadaan gairah dan hasrat yang begitu kuat dan mendalam dari gerakan ini terutama terhadap aspek pengedepanan kepentingan umum. Disini, sebagai contoh, kita bisa menyertakan momen pembentukan DRL yang diawali dengan terkumpul dan terinventarisasinya berbagai permasalahan sosial ekonomi politik warga Lampung yang terkuak begitu rupa pasca runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru. Segera setelah inventarisasi persoalan dilakukan maka tafsir akurat atas apa yang harus dilakukan menjadi mungkin untuk dilakukan. Disinilah untuk pertama kalinya minat mendalam terhadap pengedepanan kepentingan publik mengada, yakni tercapainya titik artikulasi ‘reclaiming tanah’ yang menjadi chain of equivalent yang mengikatkan setiap elemen kepada gerakan sekaligus ‘lem perekat’ yang menjamin kesetiaan voluntaristiknya –dan pada gilirannya diproyeksikan sebagai semacam ‘antidote’ atas permasalahan sosial politik ekonomi yang dialami masyarakat Lampung di penghujung tahun 1998. Minat mendalam ini pun pada perjalanannya mampu terjaga secara konsisten yang antara lain terkonfirmasi di dalam momen-momen pra maupun saat aksi reclaiming tanah dilakukan, yang antara lain meliputi diskusi kelompok, pengorganisasian, diversifikasi dan pembagian kerja dalam posko, pemetaan, pengukuran, pematokan, dan diakhiri dengan pembagian secara merata lahan-lahan yang berhasil di reclaim kepada awak gerakan sesuai blue print dan kesepakatan bersama. Di dalam momen ini kita melihat adanya minat dan komitmen yang demikian mendalam dari awak gerakan terhadap apa yang dalam Arendt disebut sebagai minat terhadap pengedepanan kepentingan umum yang menonjolkan aspek cara dan wicara dalam dimensi aksi, karena konsensus yang genuine sejatinya selalu merupakan refleksi dari kesadaran yang dicapai melalui proses argumentatif dan bukan dengan cara-cara represif sebagaimana dipraktikkan rezim otoriterian Orde Baru. Pada momen inilah gerakan politik DRL bisa dikategorikan ke dalam gerak politik otentik, dan pada momen ini pulalah kita menemukan preseden bahwa praktik politik otentik selalu senantiasa berisikan dimensi-dimensi edukasi yang menjadi bidang yang memberi ruang pembelajaran tentang esensi dari yang politik itu sendiri, yakni pengedepanan kepentingan bersama.

Beberapa tafsir atas momen-momen gerakan reclaiming di atas, dengan bertumpu pada penjelasan Arendt mengenai kebebasan politik, memang menandakan hadirnya apa yang kita sebut disini sebagai praktik politik otentik. Praktik politik otentik dengan demikian selalu berisikan segi-segi edukatif yang bersifat transformatif. Aspek-aspek politik otentik dalam Gerakan DRL pada akhirnya menghasilkan suatu horizon pembelajaran yang demikian kaya, tidak hanya sebagai kajian emansipasi politik yang spesifik, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas, yakni ke dalam pendidikan itu sendiri. Proses perjuangan politik ini merefleksikan pengalaman yang kaya mengenai bahwa proses sosial (proses perjuangan politik untuk mencapai kesetaraan ekonomi dalam bentuk reclaim atas alat-alat produksi utama masyarakat tani) sebenarnya telah berhasil menjadi medium yang sangat efektif terhadap terselenggaranya pembelajaran atas skema-skema tindakan yang bersifat transformatif dan mengarah kepada perwujudan the good society.  Di titik ini, pertanyaan yang masih tersisa untuk dijawab adalah: dalam cara seperti apa praktik politik otentik ini sekaligus bisa hadir sebagai medium pembelajaran warga? Pertanyaan ini sejatinya merupakan pertanyaan yang diturunkan dari pertanyaan utama penelitian, yakni bagaimana menjadikan proses sosial sekaligus sebagai basis bagi proses pembelajaran/pendidikan?  Oleh karena itu, mengenai bagaimana untuk menjawab hal ini –seperti juga dijanjikan di atas– akan sepenuhnya dijelaskan dengan menggunakan bantuan teorema dialektika agen-struktur dan konsep habitus dari Pierre Bourdieu.

Secara ringkas habitus dapat dirumuskan ke dalam tiga cara: (1) sebagai matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; (2) sebagai matrix of appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu; dan (3) sebagai matrix of action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu. Sebelum jauh masuk ke dalam konteks pembahasan, terlebih dahulu kiranya perlu disinggung mengenai peran sentral tindakan dalam teorema khas dari dialektika agen-struktur Pierre Bourdieu. Bourdieu menjelaskan bahwa apa yang menghubungkan antara habitus dengan struktur obyektif adalah tindakan/praktik. Ketika agen bertindak maka resultan dari tindakannya adalah terbentuknya struktur sosial obyektif yang secara resiprokal kembali menyediakan skema-skema yang dibutuhkan agen dalam melakukan praktik sosial. Struktur sosial obyektif ini pun kemudian memiliki sistem klasifikasi, tata aturan, sistem apresiasi, skema-skema persepsi yang menjadi semacam kode yang berfungsi mengendalikan praktik dari penghuni posisi-posisi obyektif di dalam ranah. Pada pemahaman seperti ini, habitus hanya akan bisa dijumpai di dalam praktik sementara struktur obyektif pun hanya bisa terbentuk melalui praktik. Inilah yang dimaksud dengan dialektika agen-struktur, dimana agen dan struktur berelasi secara tak terpisahkah, yang diantarai oleh praktik. Di titik ini pada dasarnya kita sedang berbicara mengenai ‘kesatuan aktor-struktur’ yang pada dasarnya ’tak terpisahkan’. Ketakterpisahan antara agen dan struktur yang dihubungkan oleh praktik pada gilirannya akan banyak membantu dalam menjelaskan mengapa praktik politik otentik DRL sukses sebagai proses sosial (politik) yang mampu tampil menjadi medium pendidikan/pembelajaran bagi warga.

Proses sosial yang bersifat mendidik.
Pada berbagai momen di dalam totalitas gerakan reclaiming tanah DRL kita menemukan bahwa praktik-praktik politik otentik mampu tampil memberikan suatu landasan pembelajaran yang memungkinkan tertransformasinya struktur mental subyektif partisan gerakan sekaligus juga transformasi yang terjadi pada level struktur sosial obyektifnya. Dalam Bourdieu sifat transformatif ini memang tak terhindarkan, atau dengan kata lain sifat perubahan ini melekat pada bidang-bidang yang mengalami perubahan dan secara resiprokal akan tampil kembali pada bidang lainnya. ‘Hukum’ dari modus imitasi ini pun pada gilirannya bersifat tak terhindarkan pada kasus DRL. Artinya, seluruh praktik yang terjadi akan kembali terefleksikan di dalam struktur mental subyktif sekaligus di dalam struktur sosial obyektifnya. Pada pemahaman inilah proses sosial yang terjadi selama gerakan reclaiming tanah menyajikan pembelajaran-pembelajaran mengenai skema-skema tindakan yang diarahkan ke dalam pencapaian the good society.     

Secara umum apa yang dipelajari dari proses sosial seperti ini bisa disistematisir sebagai berikut: 1) pembelajaran tentang matriks persepsi, 2) pembelajaran tentang matriks apresiasi, dan 3) pembelajaran tentang matriks praktik sosial. 

Pada pembelajaran pertama, praktik politik yang terselenggara dalam totalitas gerakan reclaiming tanah DRL memberikan wawasan pada level gagasan terutama mengenai terbentuknya skema-skema persepsi yang akan menjadi dasar pijakan anggota gerakan dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakangnya sebagai aktivis gerakan. Untuk contoh ini kita bisa merujuk pada lahirnya skema-skema praktik –media untuk melihat skema persepsi – yakni pada misalnya momen pengorganisasian yang merefleksikan keberadaan wawasan dan kesadaran akan pentingnya pengorganisasian untuk melaksanakan pembagian kerja yang sangat menunjang terhadap keberhasilan gerakan secara umum. Banyak sekali contoh yang bisa diketengahkan pada bidang ini. Poinnya disini adalah bahwasannya aktivis gerakan mengalami pengalaman pembelajaran di dalam proses sosial yang membuatnya memperoleh skema-skema persepsi baru yang membantunya dalam proses berpikir dan mempersepsikan sesuatu saat dirinya berada di dalam situasi yang sama.

Pada pembelajaran kedua, praktik politik ini memberi basis bagi pembelajaran yang memungkinkan kemunculan skema-skema apresiasi yang memandu agen dalam menentukan bagaimana seseorang sebaiknya mengapresiasi atau menilai sesuatu di dalam totalitas gerakan maupun di dalam ranah yang lain. Gerakan reclaiming pada momen tertentu menyajikan berbagai skema persepsi yang memberi preferensi pada agen untuk menentukan penilaian terhadap kualitas fenomena sosial, yang baik maupun yang buruk. Contohnya adalah penilaian-penilain kritis atas situasi-situasi obyektif yang ditimbulkan oleh berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang dalam titik tertentu justru berubah menjadi aspirasi fundamental yang mendasari modus resistensi politik dari gerakan yang dimotori oleh subyek-subyek yang secara sosial ekonomi kerap dikategorikan sebagai tak berdaya (powerless). Pembelajaran seperti ini memberi energi panas yang memantik terselenggaranya praktik gerakan politik yang otentik. Tanpa keberadaan skema-skema apresiasi sulit sekali membayangkan mengadanya suatu tindakan politik resisten, karena tanpa keberadaan skema-skema ini maka takkan ada pula apa yang dinamakan dengan kemampuan memberikan penilaian terhadap kualitas fenomena.

Pembelajaran ketiga, praktik politik atau proses sosial ini memberikan wawasan pendidikan yang memungkinkan kemunculan skema-skema tindakan terutama bagi mereka yang terlibat di dalam gerakan. Praktik-praktik politik otentik yang tersaji di dalam totalitas proses gerakan reclaiming adalah landscape yang penuh terisi dengan berbagai varian skema tindakan yang diperlukan agen untuk mengklaim kembali tanah yang merupakan alat produksi fundamental pada masyarakat bertipe agraris seperti ini. sebagai ilustrasi bisa dijabarkan pada bagian ini mengenai bagaimana skema-skema tindakan krusial dipelajari dalam diskusi-diskusi kelompok, pada acara pematokan, pengukuran, pemetaan, pengorganisasian aksi, surat menyurat, orasi politik, berhubungan dengan media, berunding dengan pihak penguasa dan pengusaha dan lain sebagainya. Bagi kalangan tani yang selama 32 tahun berada dalam kuasa rezim otoriter skema-skema tindakan ini bukan saja tidak terpikirkan melainkan lebih jauh dari itu bahkan mungkin tak pernah terimaginasikan. Tetapi dengan keikutsertaanya di dalam proses gerakan reclaiming tanah, mereka yang tadinya berada dalam kondisi nirpolitik berubah menjadi mereka-mereka yang memiliki daya, vitalitas, pengetahuan, keterampilan dan keberanian, pendeknya menjadi surplus secara politik. Inilah makna penting dari gerakan DRL, ia memberikan basis bagi pembelajaran yang kaya akan inovasi dan menawarkan kebaruan.       

 Daftar Pustaka

Ali Moertopo, Some Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization of 25 Years Development (jakarta, Yayasan Proklamasi CSIS, 1972).

Anthony Giddens, Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (California: University of California Press, 1986).

B. Herry-Priyono, Tata bahasa Uang’ dalam Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta, Penerbit Kompas Gramedia dan Yayasan Astra, 2005)  

Eddie Sius Riyadi, “Politik Sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt”, dalam Robertus Robet dan Ronny Agustinus (ed), Kembalinya Politik, (Jakarta: Margin Kiri, 2008).

Edward B. Taylor, Primitive Culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom, (New York: Gordon Press,1871).

Hannah Arendt, The Human Condition, second edition, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1998).

M. Sastrapratedja. Peranan Etika Pembangunan dalam Sastrapratedja dkk (ed), Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia).

Pang Lay Kim & H. W. Arndt, “Survey of Recent Development”, dalam Bulletin of Economic Studies No. 4/Juni.

Jerome Karabel dan A.H. Halsey (ed), Power and Ideology in Education (Oxford, Oxford University Press, 1977)

John Kenneth Galbraith, The Good Society The Human Agenda, (New York: Houghton-Mifflin Trade and Reference, 1996).

Michael Grenfell dan  David James, Bourdieu and Education (Bristol: Farmer Press, 1988).

Michele Foucaul, Power/Knowledge (Sussex, Harvester Press, 1980)

Peter Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, (USA: Penguin Books, 1979).

Pierre Bourdieu, Social Space and Symbolic Power, Sociological Theory, Vol 7/1, 1989.

Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, (California: Stanford University Press, 1980/1990).

Pierre Bourdieu and Loïc J. D. Wacquant, An Invitation to Reflexive Sociology, (Chicago: University Of Chicago Press, 1992).

Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Toward a Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity Press, 1990).

Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (London: Cambridge University Press, 1977).

P. G. Suroso, Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994)

Polanyi, Arensberg dan Pearson, Ekonomi Sebagai Proses Sosial dalam Hans-Dieter Evers, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988).

Terry Eagleton, The Idea of Culture, (Oxford, Blackwell Publisher, 2000).

Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology, (New York: Alfred A. Knopf, 1948).

Richard Jenkins, Pierre Bourdie (London, Routledge, 1992).

Richard Rorty, Philosophy in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984).

Stephen Grenville, “Monetary Policy and the Formal Financial Sectors”, dalam Booth and McCawley (editors) The Indonesian Economy During Soeharto Era, (Petaling Jaya: Oxford University Press, 1981b).

Syamdani, Kontrovesi Sejarah Di Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2001).

W. W. Rostow,  The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960).


[1] http://dewanrakyatlampung.com/?page_id=2, (Online), diakses tanggal 14 September 2010.
[2] http://dewanrakyatlampung.com/?page_id=15, (Online), diakses tanggal 14 September 2010.
[3] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun (40) pada tanggal 6 September 2010. Saudara Fenta adalah salah satu pendiri Dewan Rakyat Lampung dan juga menjadi informan kunci dalam riset ini. Peranannya demikian besar dalam proses Reclaiming tanah. Hingga sekarang masih aktif sebagai pengurus DRL.  
[4] Sumber: http://maps.google.com/
[5] Mengenai ini lihat dalam Press release resmi Dewan rakyat Lampung tanggal 16 Agustus 1998.
[6] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun, tanggal 12 September 2010.
[7] Laporan dan catatan LBH Bandar Lampung 1998.
[8] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun, tanggal 12 September 2010.           
[9] Wawancara dengan Saudara Agus selaku Sekjen pertama DRL 2010.
[10] Sumber: Dokumentasi Dewan Rakyat Lampung
[11] Wawancara dengan Saudara Fenta Peturun, tanggal 12 September 2010.
[12] Wawancara dengan Saudara Agus selaku sekjen Pertama DRL, 11 September 2010.
[13] Lihat kutipan wawancara pada catatan kaki nomor 5.
[14] Wawancara dengan Agus, tanggal 12 September 2010.
[15] Wawancara dengan Saudara Rustam, 18 Agustu 2010.
[16] Wawancara dengan saudara Rustam, 11 September 2010.
[18] Sumber: Koleksi Dewan Rakyat Lampung
[19] Eddie Sius Riyadi, “Politik Sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt”, dalam Robertus Robet dan Ronny Agustinus (ed), Kembalinya Politik, (Jakarta: Margin Kiri, 2008), hal: 26
[20] Hannah Arendt, The Human Condition, second edition (Chicago and London: University of Chicago Press, 1998), hal: 25-26.
[21] Ibid., hal: 22.
[22] Ibid., hal: 177
[23] Ibid., hal: 25-26.
[24] Eddie Sius Riyadi, “Politik Sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt”, dalam Robertus Robet dan Ronny Agustinus (ed), Kembalinya Politik, (Jakarta: Margin Kiri, 2008), hal: 21
[25] Loc. Cit., Eddie, hal: 26-27.