"Kita semua, entah itu sadar atau tidak, tengah berusaha menciptakan dunia yang kita idamkan" (Hakim Holmes)
Tentang latar belakang 'Negara Koma'
Untuk banyak alasan rasanya saat ini penting sekali menyatakan bahwa sebagai negara, Indonesia tidak sedang bergerak ke arah manapun. Hanya ada ritualisme menjemukan dalam penyelenggaraan kenegaraan. Kita melihat satu persatu dari harapan-harapan terdalam kita terhadap negara layu, entah mati muda atau tak mampu matang. Pendeknya kita tengah mengalami apa yang mungkin bisa kita namai disini sebagai: 'ketakbahagiaan dalam bernegara’.
Indikator riil untuk menjustifikasi pernyataan di atas misalnya bisa kita lihat dari tingginya angka kemiskinan di negara ini. Publikasi BPS terkait angka kemiskinan per Oktober 2009 menunjukkan sekurangnya masih ada sekitar 14,15 % atau ekuivalen dengan 32,53 juta warga negara Indonesia (WNI) yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Potret buram ini serta merta akan bertambah jauh lebih kusam lagi, terutama jika kita singkirkan standar poverty line versi BPS (Rp. 5.500/hari) dan menggesernya dengan menerapkan standar poverty line versi Bank Dunia (US$ 2/day). Disini kita akan mendapati akselerasi penambahan jumlah warga miskin Indonesia yang sangat mencengangkan, yakni meroket hingga menyentuh kisaran angka 42,24% atau ekuivalen dengan 97,59 juta jiwa warga miskin –dengan asumsi bahwa konfigurasi demografi Indonesia sama-sama mengalami tingkat pertumbuhan serupa dengan periode pertumbuhan penduduk antara 2000-2005.
Setali tiga uang dengan memprihatinkannya konfigurasi angka kemiskinan di atas, pada dasarnya kita juga bisa membela posisi tulisan ini dengan kembali membaca semacam kurva stagnasi kinerja negara dalam penanganan masalah ketenagakerjaan, khususnya pengangguran. Merujuk data BPS tentang perbandingan jumlah angkatan kerja di Indonesia selama kurun waktu 2004-2009, maka kita akan mendapati bahwa tidak ada satu pun langkah pemerintah yang berdampak secara signifikan terhadap terjadinya perubahan pada konfigurasi struktur unemployment di Indonesia. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa betapa pemerintah tidak mampu --bukan saja tidak mampu untuk menghadirkan kondisi tenaga kerja penuh (full employment) yang umumnya memang sangat sukar dipenuhi– melainkan juga telah gagal untuk sekedar merubah ‘angka statistiknya’. Tentu kita masih ingat ketika pemerintah dengan sengaja merekayasa statistik kemiskinan, yakni dengan cara merubah standard poverty line yang digunakan sebagai rujukan pengukuran. Pada saat itu tim ekonomi kabinet SBY benar-benar menjadi bulan-bulanan olok-olok dan benar-benar dipermalukan oleh karena "skandal statistik" ini.
Tabel 1. Perbandingan Jumlah Angkatan Kerja (2004-2009)
ANGKATAN KERJA (A.K)
| |||
Tahun
|
Jumlah A. K
|
Employ
|
Unemploy
|
2004
|
103 973 387
|
93 722 036
|
10 251 351
|
2005
|
105 857 653
|
93 958 387
|
11 899 266
|
2006
|
106 388 935
|
95 456 935
|
10 932 000
|
2007
|
109 941 359
|
99 930 217
|
10 011 142
|
2008
|
111 947 265
|
102 552 750
|
9 394 515
|
2009
|
113 744 408
|
9 258 964
|
9 258 964
|
Sumber: Survei tenaga kerja nasional (sakernas) [1] *satuan: orang
Dengan merefer langsung pada data perbandingan ini maka kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa kinerja pemerintah dalam hal penyediaan lapangan kerja adalah: benar-benar biasa-biasa saja. Persis inilah yg dimaksud kondisi koma itu, yakni, mati tidak, tapi hidup pun tidak bergerak; negara koma.
Dengan merefer langsung pada data perbandingan ini maka kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa kinerja pemerintah dalam hal penyediaan lapangan kerja adalah: benar-benar biasa-biasa saja. Persis inilah yg dimaksud kondisi koma itu, yakni, mati tidak, tapi hidup pun tidak bergerak; negara koma.
Metanarasi NkRI (Negara kesejahteraan Republik Indonesia)
Pemaknaan ‘obyektif tapi negatif’ akan fakta sosial-ekonomi di atas tentu saja bukanlah semacam ajakan untuk membubarkan negara yang lembam, menderita disorientasi, serta terlihat tengah kehilangan inspirasi ini. Tujuan mengetengahkan pemaknaan seperti ini lebih sebagai ajakan untuk menempuh semacam metanarasi baru yang sekaligus digunakan untuk menandai diintroduksinya visi kenegaraan baru yang akan kita sama-sama proyeksikan kedalam dan masih didalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disini, tak syak lagi kita sedang berbicara mengenai NKRI yang juga sekaligus Negara kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI), yakni dengan memproyeksikan welfare sebagai instrumen integrasi post-NKRI.
Namun, secara spesifik, di titik ini juga masih ada satu tanya yang terlupa dan cukup sah untuk diajukan, yakni: masih mungkinkah menempuh metanarasi semewah ini? Terutama sekali dengan mempertimbangkan situasi lembam dan stagnasi yang kita alami dan benar-benar kita rasakan sebagai struktur rasa kekecewaan paling menjengkelkan yang pernah kita alami terhadap negara. Untuk menjawab ini agaknya kita perlu memperhatikan bulir-bulir pikir filsuf romantik yang telah dengan jernih menyaripati dan memisahkan kelam negativitas keterpurukan ini dari terang positivitas esensialnya, yakni bahwasannya:“kelembaman sosial, dalam bentuknya yang paling sublim, adalah energi sekaligus legitimasi empiris yang memungkinkan ide serta praksis perubahan sosial digulirkan”.[2]
Retasan metanarasi dalam tulisan ini, sebagaimana juga disinggung sebelumnya, tak lain sepenuhnya mengacu pada apa yang dinamakan dengan cita-cita mengenai realisasi Negara kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI). NkRI dalam perspektif ini bisa dibayangkan sebagai sebuah negara yang kuat, berdaya, sekaligus budiman terhadap warganya. Juga sebagai sebuah negara yang mencurahkan kuasanya semata-mata untuk memenuhi –di atas semua itu– merupakan negara yang mampu secara sadar memikul beban tanggungjawab untuk berperan aktif sebagai institusi penjamin terpenuhinya hak-hak sosial-ekonomi-politik warga.
Dalam tataran ideologis, NkRI akan berupa sebuah negara yang menyadari peranannya sebagai pasok utama kesejahteraan warga (yang) beroperasi berdasarkan prinsip the granting of social rights. Penganugerahan hak-hak sosial-ekonomi itu sendiri lebih didasarkan pada membership atau keanggotaan politik seseorang di dalam NkRI alih-alih didasarkan pada kinerja maupun lokus kelas sosial warga sebagaimana selalu terlihat dalam praktek distribusi welfare NKRI kontemporer yang incremental, fragmentatif, dan pada gilirannya diskriminatif. Pemenuhan hak-hak sosial itu sendiri bersifat imperatif bagi NkRI dan inviolable atau tidak boleh dilanggar olehnya (baca: negara).
Dalam tataran ideologis, NkRI akan berupa sebuah negara yang menyadari peranannya sebagai pasok utama kesejahteraan warga (yang) beroperasi berdasarkan prinsip the granting of social rights. Penganugerahan hak-hak sosial-ekonomi itu sendiri lebih didasarkan pada membership atau keanggotaan politik seseorang di dalam NkRI alih-alih didasarkan pada kinerja maupun lokus kelas sosial warga sebagaimana selalu terlihat dalam praktek distribusi welfare NKRI kontemporer yang incremental, fragmentatif, dan pada gilirannya diskriminatif. Pemenuhan hak-hak sosial itu sendiri bersifat imperatif bagi NkRI dan inviolable atau tidak boleh dilanggar olehnya (baca: negara).
Konsisten dengan model logika seperti ini, negara dalam perspektif ini juga dibayangkan sebagai institusi yang berperan aktif dalam mengelola perekonomian. Sedikit lebih spesifik, ialah negara dengan kinerja ekonomi mengagumkan yang ditunjang performa kinerja sistem distribusi welfare/kesejahteraan yang tak kalah mengagumkannya. Reasoning karakter negara sedemikian terkait erat dengan kewajiban yang dia emban sebagai penjamin, pemenuh, serta pendistribusi hak-hak sosial eknomi warga, yang kelak muncul melalui berbagai skema paket kebijakan sosial komprehensif-universalis, terutama dalam kepentingannya sebagai penjamin ketersediaan kesempatan kerja penuh, pendidikan untuk semua, kebebasan, serta akselerasi tingkat kepuasan hidup.
Ringkasnya, berbanding terbalik dengan ekses ritualisme hari-hari kepolitikan NKRI belakangan ini, maka ‘ekses dari ritualisme’ keberadaan negara seperti dibayangkan di atas (baca: indonesian welfare state) ialah berkesinambungannya perkembangan tingkat kepuasan hidup warga, lain tidak.
Ringkasnya, berbanding terbalik dengan ekses ritualisme hari-hari kepolitikan NKRI belakangan ini, maka ‘ekses dari ritualisme’ keberadaan negara seperti dibayangkan di atas (baca: indonesian welfare state) ialah berkesinambungannya perkembangan tingkat kepuasan hidup warga, lain tidak.
Welfare sebagai Instrumen Integrasi Post-NKRI
Menjejak konstruksi kesejarahannya, NKRI kontemporer merupakan buah matang yang tumbuh dari keluh kesah setiap entitas yang secara etis-politis terikat dan memahami kepentingan untuk memiliki nation state building dengan kemerdekaan politik penuh dan otonom. Kepentingan yang disuling dari pahitnya pengalaman penjajahan ini kemudian dijadikan premis fundamental yang menopang kedirian NKRI sejauh ini. Tak hanya sampai disitu, pemahaman akan hal ini kemudian juga menghantarkan kita kepada semacam empati atas pensakralan sedemikian rupa pandangan kolektif tersebut kedalam konstitusi NKRI, yang dalam saat bersamaan juga berisikan kesadaran bahwa penanggalan premis fundamental ini akan sama artinya dengan keruntuhan narasi besar bertajuk NKRI. Dengan demikian, singkatnya, sifat sakral, daya jangkau dan daya pukau konstitusi kontemporer kita memang diperuntukkan demi merealisasi kemerdekaan politis NKRI dari kuasa asing. Melalui cara pandang seperti ini, rasanya NKRI memang telah menunaikan misinya: terbentuknya nation state building dengan kemerdekaan politik penuh dan otonom.
Namun, tentu saja kita juga memahami bahwa kemerdekaan politis tersebut bukanlah sesuatu yang final dari perjalanan NKRI, melainkan seyogianya kemudian diarahkan sebagai instrumen untuk mengaktualkan esensi dari ‘yang politik’ itu sendiri, yakni sebagai kerangka-sarana yang memungkinkan kemunculan segala hal ‘yang baik’ dan pengedepanan terhadap segala hal ‘yang umum’ dalam konteks kehidupan bernegara. Di titik ini, relevan kiranya mempertimbangkan welfare dalam kerangka narasi NkRI sebagai ‘yang-politis’ sekaligus instrumen integrasi post-NKRI.
Direktur LPW Citizens Institute &
Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
*Tulisan ini jg merupakan heading skripsi penulis yang diberi judul: "Pencarian Prasyarat Teoritis-Institusional Realisasi Negara kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI)"