Seri Tulisan tentang Angkutan Online I Mempermurah Jasa Transportasi Jalan Perkotaan dengan Melumerkan Kekentalan Logika Korporatisme dalam Aturan Transportasi Indonesia


Pengantar
Tulisan ini merupakan penggalan dari naskah tesis. Secara umum, intensi dari publikasi ini merupakan satu bagian dari konfrontasi simbolik terhadap praktik inefisiensi yang terjadi di dunia transportasi jalan darat perkotaan. Dalam bidang keilmuan, tulisan ini bisa dimasukkan kedalam rumpun kajian Sosiologi Ekonomi, Perkotaan, Hukum dan Sosiologi Politik.

Sejarah Transportasi Online & Faktor-Faktor Pembentuk Tarif Jasa Angkutan Online



Pengantar 
Tulisan ini merupakan penggalan. Hasil penelitian yang utuh disajikan sebagai tesis. Tulisan ini mencoba memperlihatkan beberapa kelebihan transportasi online dan faktor-faktor terpenting pembentuk kelebihan tersebut. Jasa transpotasi online meruakan fenomena sosiologi ekonomi yang sangat menonjol. Jasa ini merupakan salah satu penanda utama dari apa yang dinamakan sebagai "The New Economy".

Prilaku LGBT dan Akibatnya Terhadap Keamanan Nasional

Gencarnya kampanye LGBT di level internasional sudah memperlihatkan hasilnya. Data CFR keluaran tahun 2017 menunjukkan bahwa legalisasi pernikahan sejenis (same sex marriage) telah disahkan di 27 negara, diantaranya termasuk Amerika Serikat, Kanada, Brazil, Argentina, Belanda, Swedia, Israel dlsb. Kini pengaruh dari ‘kesuksesan’ gerakan kampanye LGBT internasional bahkan sudah cukup jauh merasuk ke daerah-daerah di Indonesia. Dari data yang disampaikan Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit, ada sekitar 18 ribu pelaku LGBT di wilayah Sumbar (Padek/18/11/2018). Angka ini terbilang cukup tinggi.

Rocky Gerung: "Hoax"

"Hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan dst…" Itu inti cuitan saya beberapa hari lalu. Dan, dari satu kalimat itu, kontroversi masih berlanjut sampai hari ini.

Apakah saya pro berita bohong? Bukan itu soalnya. Yang saya persoalkan adalah sikap reaktif pemerintah terhadap "maraknya" adu bohong di media massa. Padahal pemerintah sendiri tak memiliki sistem evaluasi opini publik.

Truth will remain Truth

Kebenaran adalah kebenaran, meski hanya tersisa satu orang saja yang mempertahankannya.

Dan hanya ada satu jalan bagi kemenangan kebenaran, yaitu persatuan dari para penggenggam hujan.

The Journey of Mental Revolution

      Nikola Tesla (1856 – 1943) was an inventor, physicist, and futurist 

In the competition to win the sympathy of the people in the recent presidential election, the issue of the “mental revolution” made a somewhat surprising resurgence.

The history of concept of mental revolution can be traced back to the first President of the Republic of Indonesia, Sukarno.  Mental revolution d intimately tied in with one of his famous basic concepts of the state, Trisakti.  More precisely, the concept was introduced in Sukarno’s state speech at the ceremony proclaiming Indonesia’s independence on 17 August 1962.

In the speech, the first President of Indonesia contended that Indonesia must pass through the stages of revolution again. That, even after emerging victorious in the struggle of the physical revolution, the mental, socioeconomic, and cultural revolutions had yet to be won.  Thus the mental revolution would be that the challenge that the Indonesian people would face in changing their way of thinking and adopting new forms of thought.

Memperdalam Polemik dalam Debat Strategi Pemberatasan Kemiskinan I Bagian kedua dari tiga tulisan

Baiklah, seperti yang saya janjikan di tulisan sebelumnya, pada bagian kedua ini akan saya lampirkan konteks kedalam teks ini. Saya memiliki keyakinan bahwa anda sebetulnya sudah tahu akan konteks yang akan saya diskusikan di bawah ini.

Kritik Demokrat
Konteks dari tulisan ini adalah kerasnya pukulan terbaru yang diayunkan Genk Bogor terhadap satu kelompok yang hari ini tengah menguasai panggung kepolitikan nasional, sebut saja Genk Banteng, yang sebagian besarnya bermarkas di Menteng. Adalah media yang pertama-tama mengendus bau amis dari potensi ‘pertumpahan darah’ ini. Dan dengan mempertimbangkan hubungan panas dingin dua mantan presiden itu maka takkan mengherankan jika dalam waktu dekat tensi perdebatan ini akan menjadi lebih hangat.

Namun, sayang sekali hal itu tidak (belum) terjadi, padahal kita akan benar-benar bersatu seandainya debat ekonomi-politik ini dihayati dalam mentalitas ‘mempertemukan pemikiran-pemikiran kebangsaan’. Namun mari kita lupakan sejenak diskursus yang mulai mendingin itu. Mari kita kembali ke pokok tulisan untuk sekedar menghangatkannya kembali.

On Zionism

Sepatah Kata Pengantar
Sengaja saya postingkan salah satu transkrip dari Benjamin Freedman ini. Dia dikenal sebagai seorang ‘pengkhianat’ bagi bangsa Israel. Seluruh informasi yang disajikannya memang masuk akal, namun efek teror mental yang dihasilkannya juga tak kalah besarnya. Namun, tulisan ini cukup penting, hanya saja kita harus bijak memahaminya.

Sengaja saya tidak menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia. Pertama, karena tidak ada waktu, Kedua, dan alasan ini adalah yang terutama, supaya anda memahami keindahan dalam bahasa aslinya. Akhir kata, selamat membaca.

Kapitalisme Adalah Candu Itu Sendiri

Cover buku Slavoj Zizek
Prelude
"Luka hanya bisa disembuhkan melalui lembing yang menikamnya"

- Kutipan di atas pernah diselipkan Slavoj Zizek dalam bukunya yang berjudul "The sublime Object of Ideology".

Buku ini kelak membuat Zizek dijuluki sebagai Elvis Presley-nya para filsuf. Semacam Rock Star dalam bios politicos pemikiran modern. Namun, entah siapa yang mempunyai kepentingan dibalik penyematan julukan, yang somehow, begitu mendebarkan itu.

***
Interlude

I
Dulu sekali, jauh di masa lalu, saya pernah merasakan tramendum. Yaitu keterpesonaan impresionistik yang tiba-tiba menghunjam semesta persepsi sebagai akibat dari aktivitas membaca jalinan metafor filosofis di atas.

Memperdalam Polemik dalam Debat Strategi Pemberantasan Kemiskinan | Bagian pertama dari tiga tulisan

Status Super Ego Pembangunanisme

Sebelum saya memberikan konteks kedalam tulisan ini, pertama-tama saya ingin memberikan sedikit alasan terkait motif dibalik mengapa saya menuliskan hal ini, dan mengapa saya memilih mempublikasikan opini ini di blog pribadi. Bagian pertama ini hanya akan bercerita tentang motif. Mengenai konteks dari perdebatan sebagaimana terlihat di dalam judul utama tulisan saya simpan di bagian kedua. Jika anda sedang terburu-buru mencari 'polemik' yang saya maksudkan, maka dengan rendah hati saya sarankan untuk langsung lompat ke bagian kedua dari tulisan ini.

FORMASI ENERGI NKRI MASA DEPAN

Populasi dunia bertumbuh sementara cadangan energi terus-menerus menipis. Selain faktor ini, tekanan energi datang dari kebutuhan pertumbuhan ekonomi, aktivitas industri, kerusakan lingkungan dan stabilitas keamanan dunia. Aggregat dari jalin berkelindaannya berbagai elemen ini memunculkan drama tekanan energi yang besar dan rumit di seantero dunia.
Di level lokal, kerumitan yang ditimbulkan tekanan energi misalnya kentara tatkala pemerintah berencana merekalibrasi proporsi anggaran subsidi BBM di tahun 2012. Upaya ini nyatanya jauh dari populer dan mengalami kegagalan pahit, namun dengan satu dan lain cara berhasil kembali memantik wacana yang tertunda tentang perlunya menyusun ulang formasi landasan energi NKRI masa depan.
Jika kita coba ringkaskan, kisaran perdebatan publik dalam pencarian solusi jangka panjang permasalahan energi mengerucut pada isu diversifikasi. Hal ini sepenuhnya bertumpu pada kenyataan bahwa kita tidak mungkin lagi mengandalkan sumber daya fosil sebagai satu-satunya landasan energi di masa mendatang. Di titik inilah kita berjumpa dengan kebutuhan untuk mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk landasan energi masa depan itu.

Secara garis besar, pencarian landasan energi ini akan merupakan kombinasi antara upaya mereduksi ketergantungan terhadap non-renewable energy dan usaha aktualisasi potensi produksi renewable energy. Hasil yang diharapkan adalah terproyeksikannya satu set komposisi mix energy yang reliabel.

Tulisan ini sendiri bekerja dalam satu keperluan, yaitu menemukan formasi energi NKRI masa depan, yang ditempuh melalui dua cara: (1) mengevaluasi kondisi energi terkini; dan (2) memproyeksikan komposisi pembentuk landasan energi masa depan tersebut.

FILSAFAT KEMISKINAN

Kemiskinan adalah problem kemanusiaan. Oleh karena itu sifat usaha pengentasannya pun dituntut bisa tampil dalam wajah humanis. Mengapa? Pertanyaan pendek itu tentu saja membutuhkan keterangan akademis panjang lebar. Tentang isi keterangan itu sendiri bisa jadi bersifat filosofis, padat dengan muatan teoritis serta ketat berpatokan pada valuasi sosiologis.

Secara cepat-cepat umumnya kita selalu tergesa-gesa menempelkan berbagai keterangan mengenai kemiskinan tanpa kehendak untuk pelan-pelan menelusuri akar pikirannya. Sebagai eksesnya kita kerap mengalami disorientasi pada apa yang sebenarnya sedang kita tangani, yaitu kemajuan dan keutamaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu maka usaha pengenalan pada genus sekaligus rumpun morpologis dari kemiskinan secara mendasar harus juga sekalian menyasar pandangan-pandangan fundamental mengenai siapa itu manusianya. Merujuk keperluannya, pencarian akan hakikat manusia ini bertujuan menemukan komposisi peralatan paling memadai yang kompatibel dengan kecenderungan maupun dengan kebutuhan manusia dalam rangka meloloskan diri dari situasi kemiskinan. Peralatan tersebut ialah segala aspek instrumental non-manusiawi yang biasa disebut ‘sistem ekonomi politik’.

Pengkhianatan Industri Media [Catatan Pasca Pemilu 2014]


(I) Zaman keemasan kebebasan pers di Indonesia akan selalu berhutang budi pada kesuksesan Gerakan Reformasi 1998. Gerakan reformasi yang merupakan koreksi pada praktik kekuasaan Orde Baru yang etatis, sentralistis, dan penuh kerahasiaan itu rupa-rupanya sukses mengilhami kemunculan satu formasi semangat zaman yang baru. Semangat itu mucul dalam bentuk optimisme akan otonomi, keterbukaan dan kebebasan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya optimisme pada kehidupan pers.

Praktik kehidupan pers yang bebas secara mendasar akan sulit dilepaskan dari realitas aktual kehidupan sipil politik di dalam suatu komunitas politik. Dengan menyatakan itu maka kehidupan pers sebenarnya merupakan salah satu ukuran bagi kurang atau berlebihnya kesadaran suatu negara-bangsa akan pentingnya hak sipil politik.

Mengapa Demokratisasi Masih Pilihan dan Masih Perlu Kita Perdalam

Iwa Inzagi | Peneliti P2D

Memasuki demokrasi mengandung arti meninggalkan cara hidup lama dan memasuki yang baru. Mengayunkan langkah ke alam demokrasi berarti memasuki laku hidup di dalam masyarakat sipil. 
Dalam kesejarahannya, hidup di dalam masyarakat sipil atau masyarakat politik berarti hidup dengan pertama-tama melepaskan diri dan kemanusiaan dari seluruh tatanan logika teosentrisme. Di titik ini, maka memasuki demokrasi berarti memasuki alam pikir humanisme, yaitu suatu formasi penalaran yang menyatakan dirinya sebagai pihak pengusung agenda pengaktualan keutamaan dan kemajuan manusia. Tak syak lagi, dalam tujuannya, pikiran utama yang dibubuhkan dalam pernyataan barusan dimaksudkan untuk menggarisbawahi positivitas terpenting yang terkandung dalam pilihan ketika memutuskan hidup di dalam sistem kepolitikan demokratis.

Edisi Pemikiran Filsafat Politik Liberal | Jean-Jacques Rousseau

Generale Volante atau Kehendak Politik
iwa inzagi [peneliti pada perhimpunan pendidikan demokrasi]


“Rousseau's phrases, Liberty, Equality and Fraternity became the guiding spirit of French revolution and have been influencing political philosophy and political movements since then”. (Lord Morley)

Pengantar
Salah satu teknik deskriptif yang umum digunakan untuk memahami kompleks pemikiran Jean Jacques Rousseau (1712-1778) ialah dengan pertama-tama mendeteksi intensi yang melandasi teorisasinya. Di dalamnya termasuk mencermati ruh pemikiran yang menjadi jiwa zamannya. Kedua, yaitu masuk kedalam konsep-konsep kunci yang diajukannya. Ketiga, dengan memperhatikan kritik-kritik terpenting yang diajukan terhadap pemikirannya. Teknik serupa akan diterapkan dalam tulisan ini. Di bagian pertama kita akan mendiskusikan historycal background yang membentuk intensi dan melandasi teorisasi Rousseau terkait generale volante. Di bagian berikutnya kita akan mendiskusikan konsep-konsep terpenting yang diajukan dan membentuk pandangan politiknya. Pada bagian akhir, tulisan ini akan mendiskusikan dan melihat relevansi atau pengaruh teori politik Rousseau terhadap praktik kepolitikan modern, sekaligus kelemahan-kelemahannya.

Edisi Pemikiran Filsafat Politik Liberal | Thomas Hobbes dan John Locke

Dari Laku Hidup Soliter ke Masyarakat Politik: Catatan tentang Dimensi Intelektual Negara Modern

Oleh Iwa Inzagi ~ Pelajar Filsafat

Politik kurang lebih bisa diartikan sebagai percobaan hidup di dalam kebersamaan. Dengan demikian, status politik adalah pilihan sadar. Adapun hidup didalam (masyarakat) politik secara mendasar bersifat niscaya atau tak terelakkan. Genealogi pandangan semacam ini bisa kita telusuri jauh kedalam pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).

Dalam Hobbes, pada mulanya politik adalah statement of fear, yaitu ungkapan penolakan individu terhadap ketakutan yang dirasakannya. Sedangkan masyarakat politik (commonwealth) adalah ekspresi institusional dari individu untuk terhindar dari terulangnya ketakutan-ketakutan traumatis yang pernah mereka alami di dalam state of nature

Dengan demikian, kehendak politik, yang di tahap terkemudian membentuk masyarakat politik, pertama-tama harus dibaca sebagai modus resistensi individu-individu demi untuk meloloskan diri dari horor laku hidup individualistik (yang traumatik) sebagaimana dialami di dalam forma kehidupan alamiahnya.

GESTALT PROBLEM dan MISSRECOGNITION | Logika Demistifikasi Tatanan Simbolik NKRI (2)

Gestalt Problem adalah satu konsep yang diajukan Lacan ketika berusaha menjelaskan satu problem identifikasi ego/diri yang dialami bayi (infant) saat berusia sekitar 18 bulan-an. Bagi Lacan, di usia inilah bayi meninggalkan fase pre-oedipal dan mulai memasuki fase cermin atau fase dimana bayi untuk pertama kalinya memasuki dan kemudian “berhasil” mengenali dirinya (I) dalam dunia simbolik/dunia bahasa. Ringkasnya, inilah fase pertama saat bayi mengenali ego/dirinya, dan persis di di dalam peristiwa inilah problem gestalt itu muncul.

TIGA REGISTRASI LACAN | Logika Demistifikasi Simbolik NKRI (1)

Tulisan ini pada dasarnya adalah bagian kecil dari segala upaya untuk membuka sekaligus melampaui deadlock dalam sistem simbolik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke arah tata penanda baru Negara kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI). Pertanyaaan mengenai ‘mengapa perlu dilampaui’ sedikitnya sudah diungkap pada bagian latar belakang, yakni demi mengatasi stagnannya peranan negara dalam pemenuhan kesejahteraan warga.

NEGARA KESEJAHTERAAN REPUBLIK INDONESIA


Iwa Inzagi. Prasyarat Teoritis-Institusional Realisasi Negara Kesejahteraan Republik Indonesia. Program Studi Sosiologi Pembangunan, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, 2010.
ABSTRAK
Cakrawala penelitian ini berkutat di seputar pencarian prasyarat teoritis-institusional demi memungkinkan terealisasikannya cita-cita mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sekaligus sebagai Negara kesejahteraan Republik Indonesia (NkRI). Dengan demikian, apa yang dicoba diretas melalui penelitian ini ialah satu formasi penalaran baru mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih berkesejahteraan, kali ini dengan bertopang pada konsep kesejahteraan (welfare) sebagai instrumen integrasinya.

Catatan EURO 2012: Kesuksesan Pria-Pria Rendah Hati

Joachim Loew (Pelatih Timnas Jerman)
Sebuah kebetulan yang aneh. Empat pelatih kesebelasan semifinalis semuanya figur low profile: Vicente del Bosque (Spanyol), si tua yang pernah didepak dari Real Madrid karena dianggap kurang berwibawa dalam menangani Pasukan Galaksi; Joachim Loew (Jerman), pria perlente yang tetap dipandang sekadar pengganti Juergen Klinsmann; Cesare Prandelli (Italia), yang tak pernah melatih klub berkelas “wah”; dan, apalagi Paulo Bento (Portugal), yang masih bau kencur.

Rio+20 dan Pembangunan Berkesinambungan

Jeffrey D. Sachs
Salah satu penerbitan ilmiah terkemuka di dunia, Nature, baru saja merilis rapor sekolah yang pedas menjelang dibukanya Konferensi Tingkat Tinggi Rio+20 mengenai pembangunan berkesinambungan. Nilai yang diberikan pada pelaksanaan ketiga traktat yang ditandatangani pada akhir KTT Bumi Rio pada 1992 adalah sebagai berikut: perubahan iklim F, keanekaragaman hayati F, dan upaya mengatasi desertifikasi F. Apakah umat manusia sebagai sang murid masih bisa mengelak dikeluarkan dari sekolah?

Kita sudah mengetahui setidak-tidaknya selama satu generasi bahwa dunia membutuhkan jalan menuju koreksi. Bukannya menggerakkan

Pemuda dalam Pandangan API


Meminjam Ranciere, pemuda adalah setiap mereka yang berada dalam posisi migrasi. Artinya ia adalah entitas yang selalu berada di tapal batas. Kehadirannya menentukan, ketiadaannya membuat pincang satu generasi.

Dalam kesejarahannya kaum muda adalah mereka yang mengutarakan cinta. Bermodal itu ia ucapkan kalimat-kalimat penolakan pada penjajahan, pada kerja paksa dan kesewenang-wenangan. Sumpah pemuda 1928 menjadi monumennya.

Pemuda adalah mereka yang bergelora. Semangatnya meluap melimpasi tanggul-tanggul tinggi yang tak mampu dilampaui kesadaran jamannya. Proklamasi kemerdekaan 1945 momennya.

Pangkal Korupsi

Saharudin Daming
Salah satu faktor penyebab meluasnya perilaku korup di Indonesia adalah mengguritanya perilaku kleptokrasi yang sudah membudaya. Kalangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif secara tidak terbatas, kini terkontaminasi pola pengabdian kleptokrasi (kesenangan mengambil/menerima penghasilan tambahan dengan cara yang tidak terhormat), misalnya upeti, uang lelah, biaya tambahan, suap, dan markup.

Inspirasi untuk Temen-Temen FPI

"Mike Tyson Jajal Kemampuan Akting di Panggung Broadway". Itulah judul berita Tempo Online Senin 18/06/2012. Jika Mike Tyson saja bisa mencari nafkah dengan benar, mengapa tidak dengan temen-temen FPI? Kembalilah pada jalan yang patut. Manusia adalah Speaking Being (mahluk bertutur) dan Thinking Being (mahluk berpikir). Janganlah rasa kebersamaan kita dirusak oleh tindakan-tindakan kekerasan. Kedepankan sikap mau berdialog dengan pikiran jernih yang berorientasi penuh pada kemaslahatan semua pihak.

Say no to vandalims! 


Keterangan Gambar:
Sutradara film Spike Lee (kanan) memperhatikan mantan juara kelas berat Mike Tyson menyanyi dalam konferensi pers debut Broadway Tyson berjudul "Mike Tyson: Undisputed Truth" di New York, Amerika Serikat, Senin (18/6) REUTERS/Keith Bedford

Peluruhan Demokrasi di Partai Golkar

Cover Album Rage Against the Machine
Hasrat Partai Golkar (PG) untuk menjadi partai modern agaknya mendapat tantangan cukup berat baru-baru ini. Percepatan agenda Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnasus) dengan agenda tunggal pencapresan Aburizal Bakrie mengindikasikan kemunduran sangat serius di partai yang begitu dominan di masa Orba ini. Padahal, sejak memasuki era Reformasi –meskipun sempat dibayangi tuntutan pembubaran– Golkar dinilai cukup sukses melakukan penyesuaian diri dengan sistem demokrasi yang meniscayakan keterbukaan serta partisipasi penuh setiap orang dalam setiap

Tantangan Politik Nasional 2014. Catatan Robertus Robet & Heru Lelono

Dr. Robertus Robet
Setelah lebih dari satu dasawarsa, politik kita menyuguhkan kehidupan berdemokrasi yang relatif makin kokoh. Bukti kekokohan demokrasi itu bisa kita lihat secara unik yakni justru dari adanya aneka kritik dan desakan terhadap demokrasi itu sendiri. Hanya demokrasi, yang mengijinkan kritik total terhadap kehidupan politik di dalamnya. Makin terbuka ia terhadap kritik, maka ia akan terlembaga secara kuat. Di sini, demokrasi bekerja secara paradoksal: semakin segala pihak mengkritik dan menghantam politik demokrasi kini sebagai kurang pas, kurang ideal maka sesungguhnya ia makin menikmati demokrasi. Ia mungkin kurang sadar bahwa ia hanya dapat memproduksi kritik bertubi-tubi karena ada sistem politik yang menjamin adanya kekuasaan

Consumo Ergo Sum


Rocky Gerung
Pengajar filsafat Universitas Indonesia

Prof. Rocky Gerung
Sebuah kelompok arisan di Jakarta patungan membeli tas tangan Hermes buatan Prancis berharga seratusan juta rupiah. Lalu setiap anggota bergilir memakainya. Seorang politikus muda mondar-mandir di lounge sebuah hotel, berbalut Hugo Boss, jas mahal Jerman, tapi dengan merek yang masih menempel di lengannya.

Citra, status, dan konsumsi adalah produk kebudayaan massa. Ia menggoda selera, lalu memicu hasrat conspicuous consumption. Tapi suatu godaan aristokratik yang hendak dipuaskan secara instan sering hanya menghasilkan kegagapan sosial, plus kelucuan budaya.

Kelas menengah? Inilah "kelas" yang sangat menjengkelkan para pembaca Marx. Yaitu kelas yang sekadar tumbuh menempel pada tubuh kapitalisme, tapi tanpa kehendak "investasi"

Tentang Jacques Lacan

Jacques Lacan 
THE CULT of LACAN 
FREUD, LACAN & THE MIRROR STAGE 

by Richard Webster

THE CAREER OF JACQUES LACAN is one of the most remarkable phenomena in twentieth century intellectual history. Until 1966, when, at the age of 65, he published his Ecrits, very few people outside a small group of Parisian intellectuals were aware of his existence. Even within the psychoanalytic movement he was very much a minor figure, an

Il Maestro Rocky Gerung on The Origins of Neoliberalism

Il Maestro Rocky Gerung
Belakangan ini "hantu" neolib yang merupakan kosa-kata gaib dalam kamus kepolitikan kita itu mulai kembali digunakan untuk menakut-nakuti rasionalitas pemilih. Dengan kalimat lain, disini tak syak lagi kita tengah berbicara mengenai "potensi century" yang akan kembali dieksploitir dan dimaksimalisasi Kawanan Oligark yang bisa dipastikan akan menyalak-nyalak galak di sepanjang malam-malam mereka yang resah menuju ambang batas kuasa 2014.

Mereka tidak ingin kiamat pasca 2014! Artinya, komplotan/Genk aliran hitam ini selalu dahaga haus kuasa. Sayangnya itu selalu ditempuh dengan cara merampas akal sehat publik! Baik dengan cara ditukar-tambah uang atau dengan pengelabuan via media.

Sri Mulyani: Saya Pasti Pulang

Dr. Sri Mulyani Indrawati
KOMPAS 
Minggu, 23 Mei 2010 | 04:04 WIB

”Namanya saja Sri Mulyani… sudah pasti saya akan menjalankan tugas mewakili Indonesia. Pasti… Aku ora minggat lan wis mesti mulih….”

Saya tidak minggat dan pasti pulang….” Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sri Mulyani Indrawati (47)

Cannon of Intellectual

Dr. Robertus Robet on Republicanism 
Republikanisme berbingkai Pancasila. Deret kombinasi kata itulah yang pada akhirnya dipilih sebagai satu kalimat utuh untuk mendeskripsikan ideologi resmi yang dianut Partai SRI. 

Sebagaimana kita semua ketahui, bentuk negara kita adalah republik. Familiar dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Renungan Gerungian

Yang kita miliki kini cuma Industri Demokrasi, bukan Demokrasi dalam normatifitasnya yang sublim. 

Produk yang diolah mesin demokrasi ini ialah bahan mentah aspirasi yang diproses dalam satu gerak rutin putaran roda gila yang menjemukan. 

Resultannya kita namai komoditas aspirasi. Semata biar mudah menyebutnya. 

Komodifikasi aspirasi sejatinya kotoran yang keluar dari lambung para oligark. Benda-benda busuk ini kita sebut saja konsensus oligarki. Artinya, aspirasi kini bukan pertama-tama disuling dari letih tatib tata cara prosesi artikulasi atas apa yang terpancar dari dasar diri, yaitu yang lama terendap, yang tersarikan, dan yang selebihnya terbuang karena sengaja diseleksi; yang-Etik sebutannya.  

Artikuasi aspirasi bukanlah buah mentah yang jatuh ke tanah tanpa pernah mengecap matang. Melainkan yang telah masak-masak dipikirkan. Yang matang di renungan. Yang kenyal karena alot diperdebatkan; yang begitu lama dididihkan dalam panci uji laboratorium kesabaran. Itulah aspirasi, yakni satu praktik translasi sarat arti, yang dikalimatisasi dan ditulis sebagai proposal perubahan sosial.  

Namun ujung kerinduan ini kelihatannya belum jua tampak di pelupuk mata. Tak kunjung terlihat daratan. Masih terlunta-lunta di samudera. Sama sekali belum menunjukkan gelagat bahwa perjalanan akan segera diakhiri dengan pesta sederhana, yaitu mendekap rapat kegembiraan bersama. 

Di tengah-tengah perjalanan tak berkesudahan ini, nyali, daya juang, juga kesetiaan, terasa makin meniscayakan kesungguhan. Bukan main menuntut kita terus menerus tunduk pada batu ujian kegigihan. Sementara itu, yang terasing terus menerus disakiti, yang diam terus-terusan dibungkam, yang tampak setia justru dikhianati --dan celakanya semua itu justru dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi. 

Sekali lagi, tanpa bermaksud menggurui, yang cuma kita miliki adalah industri demokrasi. Itulah medan persoalannya sekaligus peta untuk menunjuki harus kemana dan atau akan harus kembali kedalam apa.


Demokrasi Kurva Lonceng


Il Maestro Rocky Gerung
Tiga survei tentang elektabilitas calon presiden 2014 dua pekan lalu. Tiga-tiganya datang dengan hasil berbeda. Kelirukah metodologinya? Atau desain risetnya memang dirancang unutuk “memenangkan sang calon”.

Kurva lonceng adalah ideologi para surveyor. Dijamin standar baku metodologi, kurva itu seharusnya tidak meliuk-liuk berlebihan.tapi sejak politik diasuransikan pada statistik, liuk kurva itu akan sangat bergantung pada premi para politikus.
Inilah kondisi politik hari ini: pertama, opini publik menjadi identik dengan hasil survei. Kedua, popularitas seorang tokoh hari ini tidak didebitkan pada cacat politiknya hari kemarin. Dua kondisi inilah yang menerangkan patologi politik kita hari ini: demokrasi tampak membengkak, tapi tidak tumbuh. Hiruk-pikuk debat publik sekadar menghasilkan bising, bukan suara. Politik kita silau oleh sensasi, tapi buta dalam substansi.

Pembengkakan tubuh politik itu akibat muatan kuantifikasi: penggalangan, pencitraan, arogansi dan transaksi. Politik membengkak karena kekuasaan ditimbun dalam ambisi kepentingan personal, bukan dalam niat keadilan sosial. Perlombaan inilah yang menumbuhkan industri opini publik dan sejak itulah politik menjadi urusan statistik.

Apakah sesungguhnya substansi politik? Demokrasi adalah ruang opini publik. Kontestasi kepentingan diselenggarakan disitu. Tapi ideal ini menghendaki prasyarat etik: seluruh latar belakang kepentingan harus dipamerkan terbuka. Dengan cara itu, politik diproduksi. Itulah politik yang otentik. Di belakang proses ini, bekerja nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang kini hilang dari proposal riset publik, dengan akibat juga tugas etis politik untuk memberdayakan“the unspeakable” yaitu mereka yang ada di pinggiran kurva lonceng.

Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Palang otentik ini mungkin terlalu tinggi untuk dilompati para perancang opini publik. Teori propaganda memang mengajarkan bahwa lebih mudah menggiring herd mentality menerobos dibawah palang. Artinya manipulasi opini publik memang sesuai dengan kondisi dasar psikologi massa: bergerombol tanpa ide, menunggu disuapi janji, lalu siap diperintah. Psikologi ini adalah lahan investasi para demagog. Dengan mengekspoitasi kedunguan publik, demokrasi masih dapat dipertanggungjawabkan dengan argument: “itulah kehendak mayoritas”.

Memang demokrasi lebih sering dimanfaatkan oleh para demagog dengan menurunkan standar etika politik. Disitu opini publik diperlakukan sebagai komoditas dalam “industri demokrasi”, dan dipasarkan melalui lembaga-lembaga survei. Filosofinya diperoleh dengan cara pragmatis dari prinsip demokrasi itu sendiri: demi kebebasan kompetisi politik, manipulasi opini publik harus diterima sebagai suatu bentuk upaya persuasi. Sampai disitu politik masih menjadi urusan publik. Artinya, sejauh manipulasi itu diedarkan di pasar informasi, ia terbuka untuk dipersaingkan. Demokrasi tetap percaya publik selalu memiliki cukup rasionalitas untuk menapis dan memilih.

Bila pasar informasi itu dikendalikan oleh kepentingan politik yang sama, yang terjadi bukan sekadar manipulasi, tapi juga monopoli opini publik. Dalam pasar semacam ini, prinsip “caveat emptor”  -teliti sebelum membeli- tidak berfungsi. Karena informasi tidak lengkap, tidak ada kesempatan memilih harapan. Demokrasi lalu menjadi sekadar ruang transaksi oligarki tempat tukar tambah kepentingan segelintir orang.

Apalagi politik kita pahami dari sudut pandang etik, yaitu tanggungjawab merawat kualitas demokrasi justru dibebankan kepada mereka yang secara akademis lebih mampu berfikir lurus dan panjang. Pada merekalah tuntutan atas kejujuran dan keadilan diharapkan: suatu etik “caveat venditor” –bahwa penjual jasa tidak menjual barang rongsokan. Agaknya, palang ini sudah lama roboh diterobos tubuh-tubuh bengak.

                                                                               ***

OPINI publik adalah peralatan ekstraparlementer dengan kekuatan supraparlementer. Ia mampu memelorotkan pamor seseorang pemimpin, tapi juga dapat dipakai untuk menyembunyikan niat korup dari seseorang tokoh. Disinilah “kapital media” beroperasi.

Manipulasi dan monopoli opini publik, menjadikan demokrasi sekadar menjadi bagian dari industri media. Fungsi institusi demokrasi bahkan dapat diambil alih oleh industri media: tekanan politik dapat dinegoisasikan diruang redaksi, dan sebuah “talkshow” dapat berubah menjadi ruang pengadilan.

Politik industri media ini jugalah yang menyebabkan demokrasi kita sekadar membengkak, tapi tidak tumbuh. Dalam demokrasi, setiap suara dihitung sama. Tapi arah suara publik dapat dimanipulasikan oleh indutri opini publik karena informasi tidak terakses sama oleh publik. Distorsi inilah yang menjadi ruang transaksi antara pembuat survei dan kepentingan pemesan. Sekali lagi, argumentnya adalah prinsip kebebasan kompetisi politik.

Dalam kondisi seperti itu, hubungan antara demokrasi dan opini publik menjadi tidak suci. Demokrasi memerlukan opini publik untuk mengetahui peta perebutan sumber-sumber ekonomi-politik, tapi demokrasi sekaligus dimanfaatkan sebagai ruang pembenaran ruang manipulasi. Paradoks inilah yang sedang kita alami.

Walau begitu, politik tidak boleh menjadi malas hanya karena kondisi yang menjengkelkan itu. Analisis politik adalah satu soal. Tapi kehendak politik harus melampaui apa yang faktual. Dengan sikap itu, kita memerangi “ herd mentality” dalam politik kita hari-hari ini. Radikalisasi ini kita perlukan untuk memastikan opini publik bukanlah  konsensus oligarki, parlementer, atau hasil olahan statistik. Opini publik adalah hasil dari konfrontasi etik, antara kehendak perubahan dengan kepentingan privat. Disitu statistik hanyalah konfirmasi terhadap kehendak pembaruan.

                                                                                         ***

POLITIK kita memang sangat terasa kuantitif: mobilisasi massa, belanja iklan, black propaganda. Tidak tersisa lagi ruang ide dan debat rasional. Politik sebagai percakapan keadilan diantara warga yang setara tidak lagi berlangsung. Mobilisasi Cuma menyetarakan massa didepan panggung para demagog. Dalam ruang kuantifikasi itu, warga negara sekadar dicacah sebagai konsumen, bukan prodsen demokrasi. Ia hadir dalam kerumunan, bukan ruang kewargaan. Ia sungguh-sungguh dinonaktifkan dari politik.

Sesungguhnya, demokrasi kita sedang kehilangan ide kesetaraan. Kita memilih demokrasi karena kita pernah kekurangan kebebasan. Tapi kini ruang demokrasi itu sepenuhnya dikuasai oleh blok oligarkis. Proses itu terjadi karena politik telah diselenggarakan secara kuantitatif: yang dieksploitasi adalah kepuasan tentang ada yang didepan mata, bukan tentang apa yang harus ada sebagai hak.

Mengaktifkan etika publik adalah upaya radikal mengembalikan politik warga. Politik kuantitatif-demagogis tidak hanya bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, tapi juga merendahkan otonomi manusia. Ia menyelenggarakan keadilan dan kesetaraan agar otonomi itu tidak dimusnahkan oleh ambisi-ambisi kuantitatif: dari klaim keunggulan moral sampai keunggulan kapital.

Etika politik bertujuan mencegah pembengkakan politik. Etika politik menghendaki politik tumbuh dalam keadilan.

Survei politik masih akan berdatangan. Distorsi opini masih terus diproduksi. Kurva lonceng masih akan meliuk-liuk. Tapi politik tetaplah hak publik. Yang etik tidak mungkin diserahkan pada statistik. Politik sejati tidak diukur berdasarkan probabilitas, melainkan determinitas setiap subyek yeng menghendaki demokrasi tumbuh.

Ketika diminta mengomentari keruntuhan Imperium Romawi, Jeans Jacques Rousseau menjawab singkat “Etika politik adalah lambung demokrasi. Ia mencerna opini publik, lalu memisahkan mana opini bawaan, mana opini olahan."

ROCKY GERUNG
Pengajar Filsafat Universitas Indonesia    

Mimesis Struktur Ketidaksetaraan Ekonomi Obyektif Kedalam Struktur Mental Randah Diri Subyektif



Nah, darimana asal muasal struktur rasa sepeti ini muncul? Dalam perspektif kesejahteraan, horor seperti ini timbul dari struktur ketidakmerataan distribusi kesejahteraan yg membuat satu sama lain tidak equal; yg satu tinggi hati, yg lainnya rendah diri.

Karya seni semacam ini adalah artikulasi paling relevan untuk menyoroti bagaimana struktur sosial obyektif secara dialketis berkorespondensi dan pada gilirannya mempengaruhi konfigurasi struktur mental subyektif.

Disini, karya seni ditempatkankan sebagai teks sebagaimana lazimnya diperlakukan dalam stud-studi kebudayaan (cultural studies). berikut teksnya:

RADIO HEAD_CREEP

When you were here before
Couldn't look you in the eye
You're just like an angel
Your skin makes me cry
You float like a feather
In a beautiful world
I wish I was special
You're so fucking special

But I'm a creep
I'm a weirdo
What the hell am I doing here?
I don't belong here

I don't care if it hurts
I want to have control
I want a perfect body
I want a perfect soul
I want you to notice when I'm not around
You're so fucking special
I wish I was special

But I'm a creep
I'm a weirdo
What the hell I'm doing here?
I don't belong here

She's running out again
She's running out
She runs runs runs

Whatever makes you happy
Whatever you want
You're so fucking special
I wish I was special

But I'm a creep
I'm a weirdo
What the hell am I doing here?
I don't belong here
I don't belong here

Why So Serious??

Joker said:
Even if you have to die...
then die with your very best smile appearing in your face ...

*
Perhaps u did't know, Joker known as the most cruel man in Gotham.. So, if the most cruel criminal's in Gotham made such statement, then why we were so serious so far?!!! :D


Mengoperasikan Etika Kesetaraan Jacques Rancierre

Satu draft ttg etika distribusi wefare dalam rezim negara kesejahteraan republik indonesia


There is politics when there is a part of those who have no part [Politik ada jika terdapat bagian bagi mereka yg-bukan bagian]. 
Jacques Ranciere

Di titik ini yang-politis berupaya menemukan cara bagi mrk yang tersingkirkan untuk muncul dan masuk dalam hitungan.
Robertus Robet


Mengoperasikan kategori mengenai yg-politis dalam pikiran filsafat politik Rancierre bisa dipenuhi dgn pertama-tama mencangkokkan satu konsep lain yang dirumuskan oleh  Gosta Esping-Andersen ketika dia mengabstraksi satu tipologi rezim kesejahteraan --dalam hal ini rezim negara kesejahteraan sosial demokrat. Konsep yang dimaksud adalah konsep "kewargaan sosial" (social citizenship). 

Reasoningnya adalah, karena konsep social citizenship berhasil memasukkan setiap orang sebagai yang harus "dihitung" oleh negara. Ringkasnya, konsep ini beroperasi dalam dua level. Pertama dalam proses atribusi kedalam konsep warga. Kedua, penyetaraan melalui praktik distribusi welfare. Pada dua momen ini semua orang dipatenkan sebagai "bagian" tak terpisahkan dari negara. 


Hal ini terjadi terutama ketika pemerintah melancarkan satu set tindakan eksperimentasi politik kesejahteraan, dalam bentuk produksi dan redistribusi well-being yang ditujukan bagi pemerataan kesejahteraan bagi semua orang.

Di titik ini kita bisa mengajukan Swedia sebagai contoh. Efek atribusi kedalam "warga" pada kategori produksi dan redistribusi welfare secara mencengangkan berhasil membuat semua orang mampu menikmati priviledge dari keanggotaan politiknya. Dalam rumusan yg lebih operasional, pengalaman Swedia ini misalnya bisa dituliskan kedalam formula: bahwa semua orang --lepas dari fakta bahwa dia miskin atau kaya, PNS ataupun wiraswasta, pria maupaun wanita, muda dan tua-- seluruhnya dianggap berhak dan dipastikan mendapatkan seluruh jaminan sosial yang diintroduksi negara

Masih mengacu kedalam pengalaman Swedia, secara serempak dan dalam waktu yang bersamaan semua orang bisa menikmati hak-hak ekosob sembari tetap menikmati hak-hak sipil politiknya. Di titik ini, menjadi tak mengherankan jika umumnya intelektual kelas dunia menulis dalam kertas kerjanya -dan hampir semuanya dalam intonasi penuh kekaguman- bahwa Swedia adalah: The most universalist welfare state in the world.


Disini, jika dalam Rancierre yg-politis ditemukan di dalam the aesthetics, maka dalam kasus Swedia yg-politis ditemukan di dalam praktik produksi-distribusi welfare.


Kembali kepada Indonesia, secara hipotetis yg-politis potensial bisa ditemukan pasca diintroduksinya satu platform "Negara Kesejahteraan Republik Indonesia" atau visi kenegaraan baru yang difungsikan sebagai haluan simbolik untuk menavigasi satu rangkaian gerak penetratif ke arah NKRI yang berkesejahteraan dan berkesetaraan.


Dengan tawaran ini, Indonesia yg buram dan stagnan tidak lagi cuma bisa dihayati dalam nuansa yg pesimistik, melainkan juga memungkinkan untuk difahami dalam kategorinya Ranciere, yakni yang berada dalam posisi migrasi. 


Meminjam istilahnya Badiou, NKRI yang ditempatkan dalam posisi migrasi Rancierre ialah NKRI yang tengah berada di dalam keadaan menjadi; NKRI yg selalu berada dalam posisi in the making, dengan kita semua sebagai aktor-aktor yang telibat penuh dalam rekayasa perubahannya. 


NKRI adalah something else is possible


Iwa Inzagi

Salah Kaprah Pemakaian Istilah Neolib dalam Kisruh Century (Satu Contoh tentang Abuse of Abstraction)

Kalo dipikir-pikir, lama-lama kita malah makin asyik masyuk dalam tataran debat ideologis. Tapi itulah efek domino dari peristiwa; di satu saat dia seperti bencana, di saat lain tampil sebagai blessing in disguise. Tanpa ba bi bu lagi, ini dia tulisan dari salah seorang doktor filsafat yang saat ini aktif mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat paling prestisius di Indonesia, STF Driyarkara.

NEOLIBERALISME
oleh: Dr. Herry B. Priyono

Istilah neoliberalisme adalah kisah salah kaprah. Dan mungkin salah kaprahitulah yang sedang mendera kita dalam perdebatan luas di hari-hari ini. Apa yang terjadi dalam perdebatan tentang neoliberalisme hari-hari ini untuk kesekian kali menunjukkan gejala ganjil berikut. Kehidupan publik kita rupanya ditandai secara mendalam oleh sikap anti-intelektual. Maka, ketika meledak perdebatan tentang suatu ideologi, dan ideologi pada dirinya selalu membutuhkan pemahaman intelektual, tidak siaplah kita.

Seperti yang terjadi hari-hari ini, akibatnya tidak mudah pula melakukan penjernihan mengenai arti neoliberalisme. Sebab, cuaca perdebatan telah menjadi keruh dengan salah kaprah. Saya masih ingat, gejala itu pula yang melanda perdebatan tentang ideologi "akhir sejarah" di negeri ini di sekitar munculnya buku The End of History karya Francis Fukuyama (1992). Pemahaman intelektual memang tak mudah dan beban menjernihkan dengan bahasa sederhana mudah terpelanting ke penyederhanaan perkara. Lalu, mesti mulai dari mana penjelasan tentang neoliberalisme?

SALAH KAPRAH PENGGUNAAN ISTILAH
Istilah neoliberalisme dalam pengertian yang kini dipakai tidak berasal dari paket kebijakan yang disebut Konsensus Washington. Ia telah dipakai untuk menyebut watak rezim Augusto Pinochet yang berkuasa di Cile tahun 1973-1990, yaitu watak ideologis hasil kolusi kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem. Ketika rezim kediktatoran mulai surut di kawasan Amerika Latin, neoliberalisme dipakai untuk menyebut ideologi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem.

Namun, apa yang ekstrem hingga kebijakan ekonomi pasar bebas ekstrem yang disebut neoliberal? Jawabannya tidak terletak pada ilmu ekonomi, tetapi pada sebuah pandangan tentang kaitan antara manusia dan masyarakat. Lugasnya, suatu filsafat politik. Mungkin tidak ada pemikir lebih serius yang meletakkan dasar untuk pandangan ini daripada Friedrich von Hayek (1899-1992).  

Secara ringkas, beginilah kira-kira garis gagasannya. Setiap usaha membentuk dan mengatur tatanan (order) melalui otoritas seperti pemerintah terpusat selalu mengandung risiko pembatasan kebebasan setiap warga atau justru memunculkan perbudakan. Istilah "tatanan" itu dapat Anda ganti dengan kata "bangsa Indonesia" sebab akhirnya Indonesia adalah tatanan politik. Bagi Hayek, alternatifnya adalah tatanan yang tidak dibentuk melalui otoritas atau rencana apa pun, tetapi tatanan dibiarkan terbentuk secara alamiah sebagai hasil ekuilibrium (perimbangan) tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan dirinya. Dari sinilah berakar tuntutan peran minimal atau bahkan nol dari pemerintah dalam pembentukan tatanan.

Dalam rumusan verbatim Hayek: "Tatanan dapat terbentuk dengan sendirinya dari tindakan-tindakan bebas yang oleh para pelakunya tidak dimaksudkan secara sadar untuk membentuk tatanan" (1967). Tanpa diselidiki dengan cermat, gagasan itu mengandung tanda faktual. Tak ada anak pergi ke sekolah, buruh bekerja di pabrik, ataupun seorang akuntan mengerjakan pembukuan perusahaan untuk secara sengaja membentuk tatanan (misalnya membentuk Indonesia sebagai bangsa). Namun, satu selidik kecil sudah cukup menunjukkan, antara "berlaksa-laksa tindakan bebas setiap orang" dan
"terbentuknya Indonesia sebagai bangsa" terbentang jurang sangat dalam yang butuh jembatan. Artinya, berlaksa-laksa tindakan bebas tiap orang tidak dengan sendirinya membentuk tatanan.

Apakah jembatan itu? Di sinilah gagasan Hayek menjelma menjadi program ekonomi, dengan mendorong ekonomi pasar menuju posisinya yang ekstrem. Apa yang ekstrem? Liberalisme klasik menggagas kegiatan ekonomi digerakkan bukan oleh komando, tetapi oleh harga (price) dalam dinamika perimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand). Gagasan Hayek mau memakai mekanisme itu bukan hanya untuk mengatur kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk mengorganisasikan seluruh kegiatan dalam semesta hidup masyarakat baik ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan, maupun barang/jasa publik lain.

Dari agenda itulah kemudian istilah liberalisme memperolah tambahan kata "neo" (baru) di depannya. Sekali lagi, istilah neoliberalisme dalam pengertian sekarang awalnya bukan soal ekonomi, melainkan filsafat. Hanya dalam proses selanjutnya, model ekonomi liberal (dalam rupa pengejaran kepentingan diri melalui sinyal harga) dipakai sebagai alat koordinasi untuk mengatur semua kegiatan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kalau dalam liberalisme klasik manusia itu makhluk ekonomi (homo economicus) hanya (sekali lagi "hanya") dalam kegiatan ekonomi, pada agenda neoliberalisme manusia diperlakukan sebagai makhluk ekonomi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Bukankah itu seperti fundamentalisme agama yang berambisi mengatur seluruh bidang kehidupan dengan doktrin agama tertentu? Itulah mengapa di tahap ketika telah terpelanting menjadi "proyek pengatur seluruh bidang kehidupan dengan dalil harga", agenda neoliberal mirip fundamentalisme agama. Yang satu mau melakukannya dengan doktrin agama, sedangkan yang lain dengan dalil harga. Maka, daripada memakai kata "neoliberal" , mungkin istilah "fundamentalisme pasar" lebih tepat dipakai ketika soalnya menyangkut urusan kebijakan ekonomi.

Tanpa pokok di atas dipahami lebih dulu, rupanya akan sangat sulit memahami apa yang neoliberal dan apa yang tidak. Apa implikasinya?

DAMPAK DOMINO
Sekali lagi, neoliberalisme bukan pertama-tama perkara ekonomi, tetapi proyek mengatur ulang hubungan manusia dan masyarakat. Tentu saja proyek itu pada gilirannya menuntut pengaturan ulang bidang kegiatan politik, hukum, budaya, hubungan bekerja, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya tentu bidang pendidikan, kesehatan, dan prasarana publik lain. 

Itulah mengapa agenda neoliberal menuntut agar bidang-bidang seperti pendidikan atau kesehatan publik ditata ulang dengan langkah privatisasi. Namun, di sini kita perlu hati-hati. Dalam agenda neoliberal, privatisasi bukan hanya sebagai taktik sementara, yang dalam ilmu ekonomi dapat dibenarkan sebagai strategi menyuntikkan insentif untuk menggerakkan produktivitas. Dalam proyek neoliberal, privatisasi dilihat sebagai kondisi akhir yang hendak dicapai. Lugasnya, privatisasi bukan hanya sarana, tetapi tujuan. Dengan itu bisa dikatakan, tidak setiap privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi adalah bentuk neoliberalisme, tetapi neoliberalisme memang punya tujuan agar berbagai bidang kegiatan dalam masyarakat digerakkan oleh motif pengejaran kepentingan diri privat. Itulah mengapa etos publik, solidaritas sosial, tindakan afirmatif terhadap kelompok yang miskin dan tersingkir adalah omong kosong besar bagi agenda neoliberal.

Pada perkembangan mutakhir, istilah neoliberal juga punya pengertian baru. Ini juga bukan perkara yang mudah dijelaskan. Dalam bidang ekonomi, arti "ekonomi" semakin kehilangan maksud awalnya, yaitu kesejahteraan bersama. Bagaimana itu terjadi? Andai anda punya uang 10 miliar rupiah. Tentu uang itu bisa dipakai untuk apa pun. Andaikan ada dua pilihan: untuk membangun pabrik bagi produksi sepatu untuk dijual atau untuk bermain valas? Andaikan bermain valas membuat uang anda belipat ganda secara jauh lebih cepat dari pada membangun pabrik. Paham neoliberal bilang tidak ada yang salah dengan itu. Sebabnya bukan karena laba itu buruk, tetapi karena kebebasan tiap orang mengejar kepentingan dirinya adalah dogma keramat. Sekali lagi, soalnya bukan murni ekonomi.

Itulah mengapa munculnya transaksi uang maya (virtual) secara kolosal dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dianggap melekat pada agenda neoliberal. Dari situ lalu neoliberalisme punya arti virtualisasi ekonomi. Lalu deindustrialisasi terjadi, pertanian ditinggalkan, dan ekonomi riil terbengkalai karena lalu ekonomi dan ilmu ekonomi sibuk dengan urusan dagang uang. Bisa saja namanya derivatif, lindung nilai, sekuritas, atau juga futures.

Lalu, di mana tempat pemerintah dalam agenda neoliberal? Jawabannya dapat dibuat lugas. Tidak ada ideologi yang diterapkan secara murni, tidak juga neoliberalisme. Itulah mengapa ironinya agenda neoliberal justru lebih sering menuntut tangan besi pemerintah, misalnya dalam pemberangusan serikat-serikat buruh. Pinochet di Cile atau Thatcher di Inggris melakukannya dengan menghancurkan kekuatan serikat buruh. Pokok ini sangat penting bagi cuaca perdebatan hari-hari ini. Adanya peran pemerintah sama sekali bukan dengan sendirinya berati paket kebijakan tidak berciri neoliberal. Sangat biasa paket kebijakan melibatkan peran pemerintah yang besar, tetapi tetap saja berciri neoliberal.

Kalau istilah neoliberalisme membingungkan, mungkin ada baiknya diganti dengan istilah "fundamentalisme pasar" supaya lebih mudah dimengerti dalam konteks ketika fundamentalisme agama juga sedang ganas. Dan, cara paling sederhana untuk memahami fundamentalisme pasar bukan terletak pada apakah paket kebijakan melibatkan peran pemerintah. Itu kurang relevan!

Ada dua cara sederhana. Pertama, silahkan cermati apakah semakin banyak bidang kehidupan dalam tata hidup bersama (di luar bidang ekonomi) mengalami komersialisasi, dari bidang pendidikan sampai kesehatan, dari hukum sampai prasarana publik. Kedua, apakah kegiatan ekonomi semakin dikuasai oleh dagang uang dan bukan oleh transaksi barang/jasa riil.

Seandainya penjelasan sederhana ini berguna, silahkan pakai. Tetapi, bila tidak, ada satu hal yang semoga boleh saya aturkan: saya menulis ini bukan karena ingin menjadi menteri, apalagi wakil presiden.


Dr. Herry Priyono
Dosen pada Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta